BAB I
Pendahuluan : Perspektif Perkebunan
Sumatra
Utara menjadi salah satu perkebunan asing paling berhasil dan intensif ketiga
di dunia. Dibawah kekuasaan Belanda perkebunan – perkebunan yang terletak di cultuurgebied Sumatra menjadi
laboratorium eksperimen teknis dan sosial. Dimana hirarki rasial, kelas, etnik,
dan jender secara sosial di rekayasa, diperebutkan dan diubah.
Berbeda
dengan perusahaan perkebunan di Jawa yang dimana perluasannya berkembang maju
karena tenaga kerja yang didatangkan dari desa – desa sekitar, maka perusahaan
perkebunan Sumatra pada mulanya mengimpor para pekerja Cina dan kemudian
pekerja Jawa dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung di barak – barak
perkebunan dan dijadikan budak. Tidak mengherankan jika ruang sosial, ekonomi
dan politik kontemporer Sumatra Utara banyak ditentukan oleh sejarah bagaimana
masalah tanah dan buruh ditangani atau bahkan diselesaikan.
Terletak
diantara Aceh Utara, Tapanuli dan daerah pegunungan Karo di barat, dan Selat
Malaka di timur, maka wilayah perkebunan mempunyai batas – batas ekologis dan
sosial yang jelas. Cultuurgerbied menjorok
ke pedalaman pulau Sumatra sejauh sekitar 50 – 70 kilometer dan sekarang ini
meliputi sekitar 265 perkebunan yang luas keseluruhannya mencapai 700.000
hektar.
Inti
dari sebuah perkebunan adalah tetap emplasemen sebagai tempat bertemunya jalan
– jalan setapak yang bermil – mil, jalan kereta api mini, dan jalan – jalan
truk yang bersimpang siur menyilang keseluruhan perkebunan. Inti perkebunan
terdiri dari pabrik, perkantoran, perumahan staf, dan pondok – pondok tempat
tinggal para pekerja yang terletak agak jauh terpisah. Rumah yang sangat mewah
merupakan tempat para pengusaha perkebunan Eropa dimana para manajer kepala dan
tuan kebun, rumah itu dikelilingi rumah – rumah yang lebih kecil dan sederhana
tempat para pegawai tinggi pengawas. Pondok – pondok pekerja terdiri dari satu
atau dua bangunan untuk satu atau dua keluarga, dan diletakkan dalam baris –
baris dan rapat dengan kebun.
Tidak
semua orang di cultuurgebied hidup dalam suasana teratur demikian. Secara
etnik, Sumatra Utara merupakan daerah yang paling heterogen di Indonesia dengan
penduduk pedesaan yang terdiri dari Melayu, Karo, Simalungun, dan Toba, etnik
Cina dan India, serta sejumlah imigran Jawa. Tahun1880 penduduk Sumatra Timur
diprediksi sekitar 100.000 jiwa. Menjelang tahun 1930, para imigran Jawa “kuli
– kuli” perkebunan mewakili hampir 50% penduduk pribumi. Pada tahun 1980, dari
seluruh penduduk yang berjumlah lebih dari delapan juta, hampir satu setengah
jiwa berasal dari suku Jawa, yang bekerja secara langsung dari industri
perkebunan.
Para
kuli Jawa tersebut sekarang tinggal di pinggiran perkebunan. Mereka terdiri
dari generasi pertama atau keturunan kedua dan ketiga dari kuli kontrak Jawa
yang datang ke Sumatra sebelum kemerdekaan atau sesudah Perang Dunia sebagai
transmigran. Kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya membangun rumah
dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil – kecilan di tepi – tepi
perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut. Kenyataan
bahwa perkampungan Jawa di pinggiran perkebunan berasal dari lahan garapan
hasil serobotan berarti bahwa kebanyakan dari mereka memproduksi diri dengan
penuh perjuangan ekonomi dan kadang – kadang perjuangan politis.
Bagi
sebagian petani Melayu pesisir, kedatangan perusahaan – perusahaan menyebabkan
mereka menjadi kaya dan mengubah kedudukannya menjadi kelas kuasi-rentenir.
Mereka hidup dari penyewaan tanah kepada imigran Jawa dan Cina yang dihalangi
untuk mendapatkan hak hukum atas tanah. Bagi orang pegunungan Batak Karo hal
ini berarti reorganisasi besar – besaran komunitas dan pertanian mereka.
Ditandai dengan lenyapnya kepemilikan komunal dan cepat meluasnya tanaman
perdagangan, sebuah perluasan yang dibantu oleh mereka dari sejak awal abad ke
– 19. Bagi orang Batak Simalungun yang bertempat tinggal didalam daerah Cultuurgebied, hal ini tidak hanya
infasi dari perkebunan serta meluapnya orang Jawa yang memasuki perbatasan
tanah – tanah mereka, melainkan juga adanya gelombang masuk yang besar dari
orang – orang Batak Toba yang berbudidaya persawahan. Penduduk Simalungun
secara tradisional adalah petani tanaman ladang dengan pola ladang berpindah.
Kontrol Perburuhan dan Cara – cara
Penentangan
Di
Sumatera selama beberapa krisis ekonomi para kuli perkebunan diberi jatah petak
– petak lahan yang harus mereka tanami pada “waktu senggangnya”. Beberapa
peneliti yang mempelajari ekonomi perkebunan memandang pemberian lahan
perkebunan sebagai suatu akal pengurangan biaya oleh pihak modal. Meskipun
begitu, sebagian menafsirkan hal ini sebagai usaha mereka untuk mewujudkan
kebutuhan diri sendiri akan kemandirian sehingga menjadi kontrol buruh. Di
Sumatra Utara hal ini menjadi kesuksesan yang luar biasa, bukan sebagai bentuk
kontrol buruh, melainkan sebagai bentuk perlawanan.
Dalam
konteks Indonesia, studi mengenai protes rakyat kebanyakan terbatas pada
gerakan – gerakan ratu adil atau millenarian
para petani miskin dan kelompok – kelompok sosial tertentu – khususnya para
tokoh-tokohnya – dibarisan terdepan perjuangan antikolonialisme. Karena tidak
termasuk kedalam kedua kategori itu, maka kaum miskin Jawa di perkebunan
Sumatra sangat kurang diperhatikan. Tidak ada satupun yang menaruh perhatian
secara khusus kepada komunitas perkebunan Jawa, tidak pula kepada sejarah
hubungan perburuhan perkebunan yang melalui perantaraannya komunitas –
komunitas ini telah dibentuk dan diubah.
Pengabaian
ini sangat mengherankan berdasarkan sejumlah alasan. Pada zaman kolonial, para
imigran Jawa di Sumatra Utara telah menyediakan tenaga kerja bagi sumber utama
penghasil akan devisa dan keuntungan di Hindia Belanda. Selama masa pendudukan
Jepang dan gerakan kemerdekaan yang menyertainya,perkebunan tersebut merupakan
sumber vital bagi bagi tentara – tentara dikedua konflik tersebut. Selama tahun
1950an serikat – serikat buruh perkebunan di Sumatra Utara pasca merdeka
dianggap memiliki keanggotaan yang terbesar dan paling militan dari organisani
manapun di Indonesia, dan bertanggung jawab atas sebagian besar aksi buruh. Dan
setelah kudeta gagal tahun 1965, di antara kredit luar negeri Indonesia, sektor
perkebunan Sumatra Utara termasuk mendapatkan bagian paling besar. Dalam
berbagai bentuk, pekerja Jawa diperkebunan Deli menempati salah satu arena
pertentangan rasial, etnik, dan kelas yang paling panas diseluruh Indonesia dan
juga sering kali posisi mereka berada ditengah – tengah persaingan kekuasaan
baik regional maupun nasional.
Banyak
ulasan sejarah kontemporer Sumatra Utara mengakui peranan sentral industri
perkebunan dalam memperparah konflik daerah dan etnik. Akan tetapi, hubungan
antara ketegangan itu dengan kebijaksanaan industri perkebunan mengenai
perekrutan, pemukiman dan kontrol tenaga kerja, kebanyakan tidak diperhatikan.
Dengan begitu ekonomi perkebunan menjadi sekedar latar belakang masalah daerah
dan etnik, daripada sebaliknya. Meninjau sejarah cultuurgebied dari perspektif
seperti tersebut membutuhkan lensa yang bersudut besar meski menimbulkan
distorsi. Pemeriksaan pendahuluan sejarah perburuhan di Deli dengan begitu
memerlukan perhatian terhadap sifat – sifat struktural perkembangan kapitalis
dan bagaimana struktur ini ditampilkan, dialami dan diubah oleh mereka yang
hidup didalamnya.
BAB
II
Kontur
Awal Pengawasan Perburuhan : Modal Perusahaan dan Kuli Kontrak
Perkembangan
industri perkebunan di Pantai Timur Sunatra berbeda secara mencolok dan
mendasar dengan bentuk – bentuk penetrasi kapitalis sebelumnya di kepulauan
Indonesia. Bab ini bersangkutan dengan kualitas hubungan perburuhan yang timbul
dari kombinasi orang – orang kasar dan keras hati yang terpikat oleh resiko
petualangan dan bayangan akan kekayaan yang mudah diperoleh dari ekspansi
perkebunan, yang secara etis semakin miskin, secara politis semakin eksplosif,
namun kemudian sangat menguntungkan.
Masuknya Modal Perusahaan di Deli
Kebanyakan
uraian tentang sejarah perkebunan Deli mulai di tahun 1863 dengan langkah kerja
Jacobus Nienhyus dan para pionir pengusaha perkebunan yang pertama kali
“membuka” wilayah tersebut untuk pertanian eksport secara besar – besaran.
Didalamnya tercakup usaha – usaha Belanda pada paruh kedua abad ke – 19 untuk
mengintegrasikan Pulau – pulau seberang secara lebih langsung dibawah kontrol
politik dan ekonominya. Serbuan Inggris ke Sumatra pada waktu itu menambah
urgensi penegasan hegemoni Belanda, karena daerah eksploitasi imperialis di
Asia Tenggara secara lebih bernafsu dituntut dan diamankan untuk produksi dan
pasaran kekuasaan.
Ekspansi
Deli terikat pula kepada pergesekan kedua dalam kebijaksanaan kolonial. Kini
pendapatan negara harus ditingkatkan dengan membuka produksi pertanian eksport
bagi sektor swasta. Tahun 1870 menandai suatu titik balik penting dalam
pemerintahan kolonial Belanda. Setelah bertahun – tahun lamanya berlangsung
monopoli negara atas usaha ektrasi pertanian, mulailah dilaksanakan “politik
pintu terbuka” untuk menggalakkan investasi asing, yang dikodifikasi dalam
Undang – Undang Agraria pada tahun yang sama.
Adanya
sewa sampai dengan 75 tahun atas hamparan – hamparan tanah yang luas dan
menarik investasi dalam tanaman keras yang lambat masaknya tetapi sangat
menguntungkan. Kontrak jangka panjang membenarkan dan mempermudah diperolehnya
pinjaman dan kredit dari perusahaan dagang dan bank investasi. Bank – bank
investasi Eropa mulai tertarik dan diantaranya yang paling besar dan aktif di
Deli ialah HVA (Handelsvereeniging
Amsterdam) yang didirikan pada tahun 1879, kemudian NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij), didirikan
pada tahun 1824, yang “mentransformasikan diri dari perusahaan milik kerajaan
menjadi milik investasi swasta, setengah bank dan setengah pengusaha
perkebunan”.
Dalam
lima belas tahun pertama berlakunya politik agraria baru, mayoritas perkebunan
berada ditangan pengusaha perorangan. Akan tetapi, dengan terjadinya krisis
ekonomi pada pertengahan 1880, harga kopi, gula, tembakau jatuh secara drastis.
Perusahaan investasi seperi HVA dan NHM denga
cepat memborong dan mengkonsolidasikan perusahaan yang belum
berpengalaman, dan dengan demikian untuk pertama kalinya menjamin pengusaha
langsung, baik atas produksi maupun perdagangan.
Hanya
beberapa tahun setelah Jacobus Nienhyus datang dan memperoleh sewa jangka
panjang (99) tahun dari Sultan Deli, didirikanlah Deli Maatschappij pada tahun 1869 yang didukung NHM sebagai
pemegang saham 50% dari keseluruhan. Setelah kejadian itu mulai lah banyak
perusahaan – perusahaan tembakau kecil didirikan seperti di Langkat, dan
Serdang. Pada tahun 1891 saat pasaran tembakau jatuh banyak perusahaan –
perusahaan kecil yang bangkrut; antara tahun 1890 dan 1894 lebih dari dua puluh
buah perkebunan lenyap. Beberapa perusahaan beralih kekopi dan lainnya menjual
lahan mereka. Dari 179 perkebunan pada tahun 1889, tinggal 101 yang masih ada
pada tahun1914 dan hanya 72 buah sekitar tahun 1930.
Sekitar
tahun 1884 terdapat 688 orang Eropa dari berbagai kebangsaan di Deli, namun
industri tembakau tetap monopoli Belanda. Setelah tahun 1900 jaringan
perkebunan bertambah dengan berlandaskan produksi tanaman tanpa musim.
Multinasionalisme di Pantai Timur
Sumatra
Timbulnya
corporate capitalism di Hindia
Belanda telah diartikan sebagai fenomena yang untuk sebagian besar terjadi dari
sifat khas politik kolonial Belanda serta tuntutan produksi pertanian lokal.
Fluktuasi harga yang cepat tidak hanya mendesak para pengusaha kecil
perkebunan, tetapi menjadi perangsang pula kongsi – kongsi pengolahan hasil dan
perdagangan yang berpangkalan di Eropa dan Amerika untuk mengamankan sumber –
sumber bahan mentahnya sendiri. Pada tahun 1869, pembukaan terusan Suez
memungkinkan tersedianya rute lebih cepat dan langsung antara Hindia Belanda
dan pasaran Eropa.
Perusahaan
– perusahaan non Belanda yang pertama kali datang di Deli adalah sebuah firma
Inggris, Harrison and Crossfield, yang didirikan pada tahun 1844 sebagai
pedagang grosir kopi dan teh. Perusahaan ini kemudian aktif sebagai agen
manajemen serta pemilik perkebunan di Sri Langka dan Malaysia; ditahun 1907
keuntungan karet yang sangat besar telah mendorong ekspansi selanjutnya yang
mencakup Pantai Timur Sumatra. Beberapa konsesi disewa di Deli untuk teh, kopi,
karet dan tembakau, dan di tahun 1909 operasinya diperluas sampai ke Jawa,
tempat terbentuknya dua cabang lagi.
Walaupun
terdapat tanah – tanah luas yang dikuasai Iggris, namun masuknya modal Amerika
Utaralah yang dengan cepat memberikan Pantai Timur tersebut gelar “Negeri Dolar
Deli”. Ketika perusahaan Belanda yang merana didekat kota Kisaran menawrkan
konsesinya untuk dijual, maka U.S Rubber
Company, sebuah trus Amerika, membelin hak – hak atas 35.000 acres tersebut dan pada tahun 1911
dibentuklah sebuah anak perusahaan bernama Hollandsche-Amerikaansche
Plantage Maastschappij (HAMP) yang kemudian hari menjadi UNIROYAL. Pada
tahun 1916 Hawaiian Sumatra Plantation Ltd. menjadi perusahaan kedua Amerika di
Deli dengan jumlah luas 12.000 acres, dan
setahun kemudian Goodyear mengikutinya dengan menyewa 16.700 acres dari
perkebunan Dolok Merangir. Sepuluh tahun kemudian ditambah 28.000 acres dan
pada tahun 1932 dibuka 10.000 acres lain untuk menjadi perkebunan Goodyear
Wingfoot jauh diperbatasan barat-daya jalur kawasan perkebunan.
Para
investor lainnya di Deli, termasuk Jepang, Jerman dan Swiss memainkan peranan
yang relatif kecil dan berumur pendek. Di tahun 1913 orang – orang Belanda
menanam modal dalam tembakau, orang Inggris memonopoli perkebunan teh, orang
Amerika membatasi diri dengan karet, dan orang Prancis-Belgia memusatkan diri
dengan kelapa sawit.
Di
tahun 1916 – 1917 HVA memperoleh hak – hak konsesi yang luas di Deli setelah
perubahan orientasinya dari pemasaran semata – mata ke manajemen produksi
perkebunan. Sekitar tahun 1920, bank tunggal tersebut menguasai lebih dari
49.000 hektar perkebunan singkong dan gula di Jawa, 50.000 hektar lagi di
Sumatra, serta mempekerjakan sebanyak 70.000 orang dikedua pulau. Dalam tahun –
tahun 1920an – 1930an hampir separuh (45%) dari ekspor Pantai Timur ditujukan
untuk Amerika Serikat. Tahun 1925 Amerika Serikat langsung mengimpor hasil
perkebunan dengan nilai U.S.$ 45.5 juta dan selain itu U.S.$ 20 juta secara
tidak langsung ( Goodyear ). Selama tahun 1920an – 1930an kepentingan Inggris
lebih daripada Amerika yang menggunakan perkebunan Belanda.
Jadi
berdasarkan beberapa hal, sifat dan besarnya usaha kapitalis di Deli merupakan
hal baru di Hindia Belanda, seperti juga sarana yang digunakan untuk melindungi
dan mengendalikan usaha tersebut. Terletak jauh dari pusat negara kolonial di
Jawa, maka dalam tahun pertama awal pembentukan Deli, cultuurgebied tersebut
benar – benar merupakan sebuah “negara dalam negara” dengan aristoktrat
pengusaha perkebunan yang menyelenggarakan kekuasaan de facto.
Buruh Kontrak
Di
Deli, tidak ada cara yang sedemikian halus untuk menggerogoti kebudayaan dan
memeras tenaga buruh. Para sultan Deli dapat memberikan tanah tapi bukan tenaga
buruh. Oleh karena itu, para pengusaha perkebunan terpaksa mencari personil di
tempat lain; pertama di Malaysia, Singapura, dan Cina; kemudian di desa – desa
miskin Jawa Tengah untuk mendapatkan kuli – kuli, serta din Eropa untuk staf
manajemen. Perbudakan telah dilarang pada tahun 1860 berdasarkan hukum Hindia
Timur, akan tetapi kontrak masih berlangsung. Guna mendukung “pasifikasi”
provinsi – provinsi luar Jawa serta pembangunan industri perkebunan, maka
pemerintah telah mengeluarkan koeli
ordonantie (peraturan kuli) tahun 1880 yang khusus berkaitan dengan kontrak
buruh yang menyangkut keperluan pemindahan. Ordonanti ini menetapkan bahwa
sebagai imbalannya berlayar ke Deli seorang kuli wajib bekerja selama sekian
tahun tertentu. Mengingat bahwa tidak bekerja merupakan pelanggaran kontrak
yang diancam hukuman, maka diberlakukan sanksi pidana ( poenali sanctie )secara keras; pekerja yang melarikan diri, menolak
bekerja, atau dengan cara lain melanggar atura – aturan yang berlaku dalam
kontrak dapat dijatuhi hukuman kurungan, denda, atau kerja paksa dia atas atau
melampaui jangka waktu semula. Disamping itu, seorang yang menyembunyikan kuli
yg melarikan diri akan dipenjara.
Rekrut Eropa dan Asia
Pada
abad ke 19 pekerja Tionghoa dicari secara khusus karena kerajinan dan
keterampilannya, namun biaya perekrutan walau dengan ikatan kontrak, membuat
sumber ini semakin tidak menarik. Lambat laun perekrutan orang Tionghoa di
hentikan walau terdapat 26.000 pekerja Tionghoa di tahun 1930, kini mereka
merupakan 10% saja dari seluruh tenaga kerja buruh dan bukan 90% seperti diabad
yang lalu.
Dalam
tahun 1911 lebih dari 50.000 kuli kontrak telah diimpor dari Jawa Tengah untuk
mengisi permintaan akan buruh diperkebunan karet. Bersamaan dengan meluasnya
usaha perekrutan di Jawa, maka “badan-badan imigrasi” liar menurut kabar telah
menampilkan gaya pasaran perdagangan besar yang ditunjukan kepada penjualan,
bukan perekrutan buruh. Alasan membanjiri Deli dengan orang Jawa berlangsung
selama 80 tahun selanjutnya, akibat penurunan kesejahteraan penduduk pribumi
yang pada peralihan abad dapat mudah dibaca di laporan pemerintahan. Beberapa
orang menetap di Deli setelah berakhirnya kontrak karena lebih menyukainya dan
beberapa mempunyai pilihan lain.
Perempuan dan Kontrol Perburuhan
Pada
peralihan abad jumlah kuli perempuan hanya merupakan 10 – 20 % dari tenaga
kerja yang seluruhnya berjumlah 55.000 pekerja Asia. Kuli – kuli perempuan
masih muda – muda dan hampir semuanya orang Jawa, walau tidak secara terang –
terangan dipaksa melacur diri, mereka hanya diberikan sedikit pilihan selain
berbuat demikian. Melayani kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum
dari para pekerja lelaki dan pihak manajemen lebih merupakan keharusan daripada
pilihan, jika diingat bahwa upah kuli perempuan 1894 hanya separuh upah seorang
pekerja lelaki dan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari hari. Kuli perempuan
yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan
melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar di barak kuli Cina. Dan
dari sebuah perkebunan di Cultuurgebied sebelah selatan, seorang manajer
mngeluh kepada kantor pusat bahwa 35 dari 60 orang pekerja perempuan dimasukkan
rumah sakit karena sipilis.
Pada
tahun 1917 ikhtisar Komisi Perburuhan yang mengusulkan perundang – undangan
yang memberikan pilihan kepada pekerja perempuan hamil untuk terus bekerja atau
kembali ke Jawa telah diprotes oleh kalangan pengusaha perkebunan. Kuli
perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat pekerja
lelaki ke Deli dan sebagai pelipur lara yang diharapkan untuk menahan mereka
disana. Prostitusi dianggap pula sebagai kejahatan yang lebih kecil dari sodomi
yang dilakukan oleh pekerja Cina jika tidak terdapat perempuan. Meskipun
beberapa perusahaan menolak untuk mempekerjakan kuli perempuan untuk mengurangi
biaya, boikut tersebut tidak pernah memperoleh banyak dukungan karena perempuan
merupakan sumber tenaga kerja yang paling murah.
Dalam
kondisi yang kemudian, maka perkawinan antar kuli kontrak kecil kemungkinan untuk
bertahan. Kehidupan keluarga sebagai suatu ikatan sosial sulit dicapai karena
situasi dimana pekerja terus menerus mengalami perpindahan dari barak – barak.
Akibatnya perempuan yang sudah dan belum menikah tetap melacurkan diri, memasak
untuk pekerja bujangan dan pelayan ranjang bagi staf kolonial. Tidak semua
bernasib sama. Ada yang melarikan diri atau pulang ke Jawa saat kontraknya
berakhir. Yang lain terus bekerja menyortir tembakau, memetik teh, dan menyadap
karet, menjadi sasaran perlakuan buruk seperti yang dialami buruh laki – laki.
Para Bekas Kuli di Luar Perkebunan
Menurut
laporan, menjelang 1920an hampir sepetiga orang Jawa tinggal di konsesi –
konsesi perkebunan Simalungun yang berpenduduk padat dan menetap diluar
perkebunan. Angka dari sensus 1930 untuk Sumatra Timur diperkirakan hampir
setengah juta orang Jawa tidak bertempat tinggal di perkebunan. Mereka bekerja
jadi buruh kasar untuk para pedagang Cina. Beberapa malahan menjadi pedagang
kecil dan produsen kecil dengan usaha sendiri.
Mereka
yang tidak tinggal di perkotaan telah membentuk sebuah sub kelas baru di
wilayah pedalaman dengan bermukim di desa – desa Melayu diatas tanah pinjaman
sebagai penumpang. Mereka melakukan pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh
makanan dan hak pakai atas petak-petak tanah desa. Pada umumnya para pengusaha
perkebunan menjadi sadar akan apa yang terjadi di perbatasan-perbatasan setelah
bertahun-tahun kemudian.
Sebuah Fase Baru: Perancangan untuk
Cadangan Buruh yang Menetap
Tiap
tahun ribuan orang meminta pemulangan ke Jawa. Tahun 1915 lebih dari 12.000
calon-pekerja baru telah tiba di Deli, tetapi lebih dari 15.000 orang
meninggalkan Sumatra di tahun yang sama. Masalah yang penting disinin ialah
bahwa perspektif para pengusaha perkebunan, kuli Jawa yang tampaknya
tergantikan mulai terbukti terlalu mahal untuk digunakan. Seorang bekas pegawai
Deli menyatakan bahwa bila tidak diadakan perubahan, maka penyakit, kelemahan,
dan tingkat mortalitas yang tinggi dikalangan para pekerja akhirnya akan
membuat industri perkebunan tidak mungkin menjadi perusahaan yang
menguntungkan.
Tahun
1907 dibentuklah inspektorak perburuhan pemerintah untuk menyelidiki kondisi
perburuhan dan untuk menghentikan kesewenang – wenangan yang berlebihan dalam
kontrak perburuhan. Para pengusaha perkebunan memandang perkembangan tersebut
sebai ancaman yang memusuhi, liberal, dan jahat terhadap otonomi mereka, meski
mereka membujuk dan menggertak para inspektor agar jangan sampai melaksanakan
tugas mereka, namun staf perkebunan tidak bisa menghentikan mereka, kelak
informasi yang keluar nantinya digunakan terhadap mereka dan sanksi hukum yang
selama ini mendukung mereka.
Di
tahun 1903 efek penyangga ekonomi rumah tangga masih terabaikan karena sebagian
kecil tenaga kerja yang telah menikah. Akan tetapi potensi untuk menghilangkan
bagian biaya perawatan tenaga kerja telah semakin menjadi pusat perhatian.
Strategi untuk menjamin adanya penyatuan di satu tempat buruh lokal tersebut
didasarkan atas kolonisasi pembentukan pemukiman – pemukiman buruh di Sumatra
Timur. Pengusaha – pengusaha perkebunan tersebut menyatakan bahwa Deli
memerlukan buruh dan kolonisasi bebas para keluarga Jawa yang tidak berdisiplin
dan tidak biasa dengan pekerjaan perkebunan. Menurut meeka Deli tidak mungkin
dapat menyediakan penduduk pekerja perkebunan yang patuh, khususnya apabila
keluarga –keluarga tersebut diberi tanah yang mencukupi untuk menghidupi
dirinya.
Perubahan Kebijakan Akibat Depresi
Di
Deli jika industri terperangkap dalam depresi akan dilakukan pengaktifan
pengapusan ikatan kontrak. Pada 1930 dan 1933 ,jumlah kuli berkurang menjadi
170.000 dari 336.000 pekerja telah dipecat dan diputus kontraknya. Para kuli
yang tinggal di Pantai Timur telah diganti dengan vrije arbeiders, yang dalam
prakteknya orang yang dilepaskan kemudian di sewa kembali.
Para
laki-laki bujangan merupakan yang pertama dipulangkan ke negeri asal, yaitu
Cina dan Jawa. Perempuan yang sudah menikah dipecat tapi tidak dipulangkan.
Mereka diperbolehkan tinggal di Sumatre sebagai batih suami mereka yang
dipekerjakan.
Pada
tahun 1934, kelebihan pekerja yang dirasakan sebagai beban yang canggung kini
berubah menjadi kekurangan tenaga kerja. Dengan ini dibekukan lah rencana –
rencana kolonisasi dan peminjaman tanah. Menjelang 1940 hanpir 74% tenaga kerja
direkrut secara lokal; dan menjadi akhir 1930an para manajer perkebunan serta
pegawai negri memuji ketenangan sosial pekerja dengan dasar keluarga dengan
pekerjaan perkebunan yang teratur dan dengan disiplin.
Parameter Sosial Kontrol Perburuhan
Para
penguasa perkebunan tidak memiliki pilihan untuk menggunakan sistem kontrol
perburuhan yang paling menguntungkan untuk memaksimalkan laba serta untuk
ekstraksi nilai lebih secara lancar. Aksi dan reaksi mereka akan dibatasi
dengan tegas, tidak hanya oleh tekanan ekstren tetapi dari dalam kalangan
tenaga kerja perkebunan itu sendiri.
Di
Deli, strategi kontrol yang sedang berubah mencerminkan pertentangan dalam
menginkorporasikan bidang baru atau mengarahkan dan menyusun kembali yang lama,
maka strategi tersebut tetap responsif terhadap kondisi hubungan perburuhan dan
perlawanan pekerja.
BAB III
Buruh Perkebunan Protes: Politik
Kekerasan
Kuli
kontrak Deli tidak dikenal pernah menurut. Menjelang tahun 1920an, meluaslah
serangan – serangan terhadap orang kulit putih, sehingga Pantai Timur Sumatra
yang menjadi terkenal buruk di seluruh Hindia Belanda. Para pengusaha
perkebunan berkeluh kesah bahwa orang Jawa imigran ini tidak bersifat pasif dan
kepatuhan. Hal ini dikarenakan kuli Jawa merasa dirinya terlepas dari
formalitas adat istiadat lama yang berada dilingkungan yang asing dan bahasa
yang berbeda. Sehingga pengusaha kebun berargumentasi bahwa tindakan pemaksaan
diperlukan untuk mengontrol mereka.
Di
Deli ada dua citra pekerja. Di satu pihak, dikatakan bahwa para buruh
perkebunan adalah rajin dan bekerja keras dilain pihak, para pekerja tak
terduga – duga dapat mengamuk, dirangsang oleh pemikiran kabur dan tentang
balas dendam. Kredibilitas citra ini di perkuat oleh suatu struktur hubungan
perburuhan yang memberikan yang memberikan kepada anggota staf kulit putih
kedudukan yang rawan secara ekonomis dan sosial didalam masyarakat perkebunan.
Dalam
tahun – tahun awal ekspansi perkebunan telah diadakan usaha keras untuk
menghilangkan basis potlitik kekerasan karena dalam periode tersebut akan
sangat aib, baik secara material maupun ideologis, untuk meminta bala bantuan
bersenjata pemerintah. Dalam tahun 1877 para pengusaha perkebunan mengadukan
bahwa pencurian dan pembunuhan semakin sering waktu itu akibat dari kurangnya
dukungan pemerintah. Kesewenang – wenangan fisik terhadap para buruh dan
serangan fisik terhadap personil manajemen merupakan bagian dari hubungan
perburuhan perkebunan sejak tahun awal. Angka – angka statistik yang berasal
dari Asosiasi Pengusaha Perkebunan DPV dan AVROS, menunjukkan bahwa insiden –
insiden demikian selalu meningkat terus selama bagian awal abad ke- 20, yang
memuncak sampai frekuensi yang sedemikian tinggi sebelum depresi, sehingga
komunitas Eropa menurut laporan dilanda kekhawatiran seperti yang belum pernah
terjadi.
Gerakan Politik Hindia Belanda
Pada
tahun 1908 dibentuklah perserikatan buruh pertama di Indonesia di bawah
pengaruh Sneevlit, seorang sosialis Belanda yang bersemangat mencurahkan
perhatiannya dalam memperbaiki nasib para buruh Indonesia.
Menjelang
akhir tahun 1919, Sarikat Islam telah mempersatukan 22 serikat buruh dengan
keanggotaan 77.000 orang. Pada tahun 1919, para buruh gula berorganisasi, dan
tahun 1924 perserikatan pertama pegawai perkebunan telah di dirikan, yaitu
Sarekat Buruh Ordeneming. Pada umunya tahun 1919 menandai suatu tahun
perorganisasian dan keaktifan yang luar biasa. Pemogokan – pemogokan meluas,
dan pada tahun 1920 sebanyak 84.000 buruh berpartisipasi dalam aksi buruh.
Di
Sumatra, muncul pula organisasi – organisasi pribumi berhaluan nasionalis dan
sosialis, meskipun dalam bentuk agak terselubung. Sayangnya, bukti – bukti
tentang hal spesifik, yaitu bagaimana, dimana, dan kapan parah buruh perkebunan
berperan serta dalam geraktan tersebut sangatlah sedikit. Sumber – sumber
sekunder tidak banyak yang dapat dimintai keterangan, kecuali beberapa refernsi
umum mengenai buruh perkebunan Deli di dalam studi – studi yang tidak langsung
menyangkut masalahnya.
Di
Jawa sebuah gerakan buruh telah timbul yang sebagian terjadi melalui antara
aliansi buruh Eropa dan Asia ; tetapi di Deli ancaman demikian terhadap
hegemoni perusahaan dengan cepat telah dihindarkan. Tahun 1924 dikalkulasikan
bahwa seorang asisten dalam waktu kerja 15 tahun mempunyai kemungkinan 3%
dibunuh oleh buruh dan sedikitnya 50% kemungkinan diserang secara fisik.
Protes Perburuhan dan Mekanisme
Legal Represi Politik
sejak
tahun 1854 penindasan hak – hak sipil telah dicantumkan dalam kitab undang –
undang Hindia Belanda, yang dengan ketat melarang setiap perserikatan atau
pertemuan politik yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Tahun 1915,
sebuah ketentuan baru mengakui secara formal hak penuh untuk berkumpul dan
berserikat, akan tetapi baru setelah tiga tahun ditentukan perinciannya dan
berulah diberlakukan undang – undang tersebut. Di tahun 1919 aebuah kualifikasi
selanjutnya mengijinkan agar para perwira dan pegawai polisi mempunyai
kebebasan masuk, dan untuk rapat tertutup harus diberitahu lima hari
sebelumnya.
Tahun
1925, pemerintah memberikan tanggapam terhadap pemogokan – pemogokan yang
terjadi di Jawa dengan sebuah amandemen yang khusus melarang penghasutan aksi
pemogokan. Penolakan pemerintah untuk membedakan agitasi politik dari
pelanggaran kriminal, atau aksi buruh dari hasutan politik berarti bahwa setiap
orang yang aktif ikut serta dalam
penghentian pekerjaan dengan membantunya secara lisan dapat dikenakan tuntutan
kriminal. Pandangan administratif yang kabur mengenai pa yang merupakan agitasi
politik, keluhan ekonomis, dan ergo pelanggaran kriminal yang memberikan dasar
bagi penindasan oleh pemerintah terhadap perlawanan anti kolonial di Jawa.
Pengusaha Perkebunan dalam Keadaan
Waspada
Pada
tahun 1925, pemogokan yang terjadi di kota – kota pelabuhan seperti Surabaya,
Semarang dan pelabuhan Belawan di Medan, mengakibatkat para peserta di daftar
hitamkan yang dianggap komunis oleh pemerintah. Diperkebunan lain terjadi huru
hara setelah upah seorang buruh Tionghoa dipotong; pekerjaanya dianggap dibawah
standar kualitas, akan tetapi buruh tersebut menolak untuk menerima keputusan
asisten dan bersama – sama beberapa dari kawan kawannya mnyerang asisten tersebut
serta pengawas kepala. Disini para buruh mempersenjatai diri dengan pisau,
kampak, dan pentungan, dan ketertiban dipulihkan oleh polisi.
Antara
tahun 1925 dan 1929 harga tembakau Deli menjadi separuh di pasaran dunia,
karena itu jatuhlah upah buruh tembakau untuk pertama kali dalam beberapa
dasawarsa. Pendapatan para asisten juga berkurang yang menciptakan ketegangan
tambahan. Keluhan dan permohonan diajukan para buruh selama tahun 1925
berjumlah lebih banyak, tetapi tidak berubah dalam isinya. Hal tersebut
menyangkut kerja lembur wajib dan pemindahan para buruh ke divisi lain
perkebunan tanpa keluarga mereka.
Ditahun
1926 – 1927 perhatian kepada kemelut perburuhan dan serbuan perkebunan adalah
minimal baik, meskipun dalam jumlah serangan sesungguhnya terhadap pengawas
Asia meningkat secara drastis. Dari 1926 – 1927 jumlah pemukulan kuli meningkat
70%. Untuk membersihkan citra Deli terhadap dunia luar, maka asosiasi pengusaha
perkebunan membiayai kunjungan bupati – bupati Jawa untuk memeriksa kondisi – kondisi
kehidupan para buruh diperkebunan. Bulan April 1926, sebuah peraturan baru
ditambahkan pada sanksi pidana, yaitu artikel 153 yang membatasi kebebasan pers
dan menetapkan hukuman yang lebih berat, sampai dengan 6 tahun penjara, bagi
mereka yang sengaja, dengan perkataan, tulisan dan gambar, baik secara tidak
langsung, bersyarat, maupun tertutup, atau yang sah di negeri Belanda atau
Hindia Belanda atau mereka yang menciptakan suasana keuntungan bagi hal
tersebut. Dengan mencatat bahwa agen polisi akan diberi bonus 25 Gulden untuk
setiap komunis yang ditangkap, Pewarta Deli menyebutkan hal tersebut sebagai
goncangan awal suatu gerakan kewaspadaan penuh yang baru berkembang di tahun
1928.
Penilaian Ulang Protes Buruh, 1928
– 1929
Serangan
buruh terhadap orang kulit putih semakin meningkat ditahun 1928. Hal diperparah
dengan kedatangan Iwa Kusuma Sumantri ke Medan pada awal tahun 1928. Setelah
meninggalkan negeri Belanda, ia tinggal di Moscow 1935 – 1926, sambil mengajar
di sekolah untuk kaum revolusioner Asia. Setibanya di Medan, Iwa membuka
praktek pengacara hukum. Ia kemudian mulai mengorganisasi para buruh di dalam
dan luar perkebunan dan dalam waktu singkat oleh komunitas Eropa dia
digolongkan sebagai seorang provokator.
Pekerjaan
Iwa di Medan berumur pendek, bulan Juli 1929, dalam penggeledahan para
nasionalis di seluruh Hindia Belanda, ia ditangkap. Dengan atau tanpa Iwa, para
buruh perkebunan dari tahub 1920an dikenal sebagai jenis makhluk yang berlainan
daripada seupuluh tahun yang lalu, yang lebih sadar akan hak – hak sah mereka
dan yang lebih siap secara lisan atau fisik menunjukkan ketidakpuasan mereka.
Ditahun
1928 dua buah asosiasi pengusaha perkebunan, DPV dan AVROS, membuat dan
melaksanakan suatu rencana kerja sama yang lebih teliti guna meningkatkan usaha
untuk mengatasi aktivisa politik populasi perkebunan. Lagi pula, antara tahun
1925 dan 1929 tenaga kerja perkebunan mengalami perluasan cepat, yang tiada
bandingnya sebelum dan sesudah waktu tersebut sebanyak 50% yaitu sebanyak
100.000 buruh. Kemudian peningkatan antara tahun 1928 dan 1929 merupakan
perubahan terkecil dalam jangka waktu lima tahun tersebut.
Protes Buruh dan Kepanikan
Pengusaha Perkebunan Menumpas Bahaya Merah
Bulan
Januari 1929, sembilan orang asisten dan seorang pengawas Asia diserang
diperkebunan – perkebunan Bahsoemboe, Pagar, Merbau, Mendaris, Kenopan Oeloe,
Bukit Tinggi, Aek Pamineke, Batang Serang, Sungei Bahasa, dan Tjinta Radja.
Pada bulan April, dilaporkan adanya 14 serangan lagi. Pada bulan Mei, tiga
orang pengawas diancam atau diserang di Paja Bakong, Simpang Ampat dan Bekiun,
dan di perkebunan Namoe Trasi seorang asisten diancam buruh tionghoa.
Selama
bulan – bulan ini, pers Eropa dan pribumi menyeleksi beberapa insiden tersebut
dan menggunakannya untuk melampiaskan kepada publik ketidakpuasan mereka dengan
masing – masing situasi perburuhan yang ada. Mereka menganjurkan pengapusan
sanksi pidana menggunakan pengadilan bulan Maret terhadap seorang kuli yang
dituduh membunuh seorang asisten. Hampir setiap terjadi kegaduhan di
perkebuanan mempunyai sebab tunggal, kuli – kuli tidak puas dengan cara
bagaimana diperlakukan oleh asisten, pengawas, dan personil manajemen lain.
Selama
tahun 1929 jumlah buruh yang dikembalikan ke asalnya sebagai orang yang tidak
dikehendaki telah meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, menjadi jauh
lebih dari seribu orang. Menurut Gubernur Sumatra, van Sandick, kebanyakan
mereka adalah orang – orang politis yang tidak dikehendaki dan yang telah
datang ke Deli dengan alasan palsu. Menjelang Juli, aksi dan serangan buruh
terjadi dengan frekuensi tidak terputus – putus, sehingga AVROS dan DPV
mengirim petisi bersama yang rahasia sifatnya kepada gubernur Hindia Belanda di
Batavia dengan permohonan, antara lain, agar penghapusan sanksi pidana ditangguhkan
lebih dulu demi kepentingan keamanan dan ketentraman, dan agar bala bantuan
polisi dikirimkan ke Deli.
Korban – korban Depresi
Sampai
tahun 1930 kemelut perburuhan tidak menunjukkan tanda – tanda mereda. Pada awal
Agustus, 65 buruh melakukan penghentian pekerjaan, menuntut dipecatnya seorang
asisten yang telah menggelapkan jatah beras mereka dan memaksa mereka bekerja
pada hari – hari libur; asisten tersebut dipindah dan penjahatan diatur
kembali. Bulan September, 11 orang Tionghoa rekrut baru menolak untuk bekerja
karena perselisihan upah;mereka segera dikirim kembali ke Tionhoa.
Pertengah
1930, didirikanlah organisasi – organisasi politik dan ekonomi yang lain untuk
menjamin agar prioritas pemerintah dipusatkan bagi perlindungan terhadap modal
asing,bukan lapangan kerja kaum buruh Asia.
Depresi
adalah suatu disrupsi yang menyeluruh didunia, dimana para pengusaha perkebunan
jelas tidak berdaya untuk mencegahnya. Bulan Mei 1930, tenaga kerja perkebunan
berjumlah total 336.000; menjelang Desember, 40.000 buruh dibebastugaskan, dan
di akhir 1931 sejumlah 62.000 lainnya dipecat. Tahun 1931 jumlah serangan dan
ancaman terhadap personil supervisi merosot menjadi 113 dari 220 orang ditahun
sebelumnya. Jumlah tersebut berkurang terus sampai dengan tahun 1930an, yang
mencapai jumlah paling kecil sepanjang masa yang hanya 25 insiden sepanjang
tahun 1936.
Pada
permulaan tahun 1930an pers pribumi disensor lebih lanjut didalam amandemen
baru yang menganjurkan ditinggalkannya pertentangan terbuka dengan para
pengusaha. Sementara itu para sultan setempat bekerja sama dengan para pejabat
pemerintah untuk menindas setiap bentuk organisasi politik nasionalis atau
ekstremis. Dari tahun 1932 – 1937, kampanye mereka berhasil dan yang masih
tersisa dari gerakan antikolonial Sumatra telah benar – benar bergerak dibawah
tanah. GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) didirikan dalam tahun gerakan
antikapitalis dan antikolonial. Pendek kata, konfrontasi sehari – hari antara
asisten dan kuli bukanlah struktur kelas dalam huruf kecil. Insiden tersebut
menggambarkan sebuah kunci dari cara – cara kepentingan kelas tersebut
dikaburkan dan dinyatakan menurut garis – garis etnik, jenis kelamin secara
sosial dan rasial.
KESIMPULAN
Pada
akhir tahun 20-an predominnsi bentuk-bentuk kekerasan sosial semacam ini
semakin berkurang,usaha pengurangan yang pertama diambil adalah penghapusan
kontrak kerja (yang sepenuhnya dihapuskan di tahun 1941) dan
prioritas-prioritas baru diberikan untuk membangun suatu persediaan buruh
teteap,reproduksi tenaga kerja lokal lewat prekrutan keluarga dan pembangunan
pemukiman-pemukiman buruh yang diberikan kehidupan selayak sebuah desa.
Manajemen
indrusti perkebunan di Sumatera Utara berhasil melakukan rasionalisasi ketika
memecat dan memulangkan tenaga kerjanya,yaitu lebih dari 160.000 orang.
Perubahan dari buruh kontarak ke buruh lepas bisa dijelaskan sebagai bagian
dari jalannya perkembangan kapitalisme dari kemajuan dari bentuk-bentuk
ekstra-ekonomi ke bentuk-bentuk pemaksaan yang terkait erat dengan peroses
perburuhan itu sendiri,atau bisa diterangkan sebagai kecendrungan modal untuk memilih menaikkan tingkat produktivitas
dan usahanya untuk menurunkan jam kerja sepenuhnya ketika dalam krisis.
Sebagaimana yang telah dijelaskan,Sumatera bukanlah satu-satunya tempat didunia
dimna depresi mengakibatkan potongan upah dan pemecatan yang
besar-besaran,namun sekala pemotongan upah dan pemecatan yang terjadi di Deli
terlalu besar jika dibvandingkan dengan”ukuran” ilmu ekonomi kebutuhan yang
objektif manapun. Jadi tidak mengejutkan bahwa disini strategi perekrutran dan
pengendalian buruh tidak hanya merupakan jawaban terhadap jalan keluar
penciptaan keuntungan perusahaan,melainkan juga sebagai jawaban terhadap potensi-potensi
pembrontakan para buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar