Senin, 15 Januari 2018

KAPITALISME dan KONFRONTASI di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870 – 1979

BAB I
Pendahuluan : Perspektif Perkebunan
Sumatra Utara menjadi salah satu perkebunan asing paling berhasil dan intensif ketiga di dunia. Dibawah kekuasaan Belanda perkebunan – perkebunan yang terletak di cultuurgebied Sumatra menjadi laboratorium eksperimen teknis dan sosial. Dimana hirarki rasial, kelas, etnik, dan jender secara sosial di rekayasa, diperebutkan dan diubah.
Berbeda dengan perusahaan perkebunan di Jawa yang dimana perluasannya berkembang maju karena tenaga kerja yang didatangkan dari desa – desa sekitar, maka perusahaan perkebunan Sumatra pada mulanya mengimpor para pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung di barak – barak perkebunan dan dijadikan budak. Tidak mengherankan jika ruang sosial, ekonomi dan politik kontemporer Sumatra Utara banyak ditentukan oleh sejarah bagaimana masalah tanah dan buruh ditangani atau bahkan diselesaikan.
Terletak diantara Aceh Utara, Tapanuli dan daerah pegunungan Karo di barat, dan Selat Malaka di timur, maka wilayah perkebunan mempunyai batas – batas ekologis dan sosial yang jelas. Cultuurgerbied menjorok ke pedalaman pulau Sumatra sejauh sekitar 50 – 70 kilometer dan sekarang ini meliputi sekitar 265 perkebunan yang luas keseluruhannya mencapai 700.000 hektar.
Inti dari sebuah perkebunan adalah tetap emplasemen sebagai tempat bertemunya jalan – jalan setapak yang bermil – mil, jalan kereta api mini, dan jalan – jalan truk yang bersimpang siur menyilang keseluruhan perkebunan. Inti perkebunan terdiri dari pabrik, perkantoran, perumahan staf, dan pondok – pondok tempat tinggal para pekerja yang terletak agak jauh terpisah. Rumah yang sangat mewah merupakan tempat para pengusaha perkebunan Eropa dimana para manajer kepala dan tuan kebun, rumah itu dikelilingi rumah – rumah yang lebih kecil dan sederhana tempat para pegawai tinggi pengawas. Pondok – pondok pekerja terdiri dari satu atau dua bangunan untuk satu atau dua keluarga, dan diletakkan dalam baris – baris dan rapat dengan kebun.
Tidak semua orang di cultuurgebied hidup dalam suasana teratur demikian. Secara etnik, Sumatra Utara merupakan daerah yang paling heterogen di Indonesia dengan penduduk pedesaan yang terdiri dari Melayu, Karo, Simalungun, dan Toba, etnik Cina dan India, serta sejumlah imigran Jawa. Tahun1880 penduduk Sumatra Timur diprediksi sekitar 100.000 jiwa. Menjelang tahun 1930, para imigran Jawa “kuli – kuli” perkebunan mewakili hampir 50% penduduk pribumi. Pada tahun 1980, dari seluruh penduduk yang berjumlah lebih dari delapan juta, hampir satu setengah jiwa berasal dari suku Jawa, yang bekerja secara langsung dari industri perkebunan.
Para kuli Jawa tersebut sekarang tinggal di pinggiran perkebunan. Mereka terdiri dari generasi pertama atau keturunan kedua dan ketiga dari kuli kontrak Jawa yang datang ke Sumatra sebelum kemerdekaan atau sesudah Perang Dunia sebagai transmigran. Kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya membangun rumah dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil – kecilan di tepi – tepi perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut. Kenyataan bahwa perkampungan Jawa di pinggiran perkebunan berasal dari lahan garapan hasil serobotan berarti bahwa kebanyakan dari mereka memproduksi diri dengan penuh perjuangan ekonomi dan kadang – kadang perjuangan politis.
Bagi sebagian petani Melayu pesisir, kedatangan perusahaan – perusahaan menyebabkan mereka menjadi kaya dan mengubah kedudukannya menjadi kelas kuasi-rentenir. Mereka hidup dari penyewaan tanah kepada imigran Jawa dan Cina yang dihalangi untuk mendapatkan hak hukum atas tanah. Bagi orang pegunungan Batak Karo hal ini berarti reorganisasi besar – besaran komunitas dan pertanian mereka. Ditandai dengan lenyapnya kepemilikan komunal dan cepat meluasnya tanaman perdagangan, sebuah perluasan yang dibantu oleh mereka dari sejak awal abad ke – 19. Bagi orang Batak Simalungun yang bertempat tinggal didalam daerah Cultuurgebied, hal ini tidak hanya infasi dari perkebunan serta meluapnya orang Jawa yang memasuki perbatasan tanah – tanah mereka, melainkan juga adanya gelombang masuk yang besar dari orang – orang Batak Toba yang berbudidaya persawahan. Penduduk Simalungun secara tradisional adalah petani tanaman ladang dengan pola ladang berpindah.
Kontrol Perburuhan dan Cara – cara Penentangan
Di Sumatera selama beberapa krisis ekonomi para kuli perkebunan diberi jatah petak – petak lahan yang harus mereka tanami pada “waktu senggangnya”. Beberapa peneliti yang mempelajari ekonomi perkebunan memandang pemberian lahan perkebunan sebagai suatu akal pengurangan biaya oleh pihak modal. Meskipun begitu, sebagian menafsirkan hal ini sebagai usaha mereka untuk mewujudkan kebutuhan diri sendiri akan kemandirian sehingga menjadi kontrol buruh. Di Sumatra Utara hal ini menjadi kesuksesan yang luar biasa, bukan sebagai bentuk kontrol buruh, melainkan sebagai bentuk perlawanan.
Dalam konteks Indonesia, studi mengenai protes rakyat kebanyakan terbatas pada gerakan – gerakan ratu adil atau millenarian para petani miskin dan kelompok – kelompok sosial tertentu – khususnya para tokoh-tokohnya – dibarisan terdepan perjuangan antikolonialisme. Karena tidak termasuk kedalam kedua kategori itu, maka kaum miskin Jawa di perkebunan Sumatra sangat kurang diperhatikan. Tidak ada satupun yang menaruh perhatian secara khusus kepada komunitas perkebunan Jawa, tidak pula kepada sejarah hubungan perburuhan perkebunan yang melalui perantaraannya komunitas – komunitas ini telah dibentuk dan diubah.
Pengabaian ini sangat mengherankan berdasarkan sejumlah alasan. Pada zaman kolonial, para imigran Jawa di Sumatra Utara telah menyediakan tenaga kerja bagi sumber utama penghasil akan devisa dan keuntungan di Hindia Belanda. Selama masa pendudukan Jepang dan gerakan kemerdekaan yang menyertainya,perkebunan tersebut merupakan sumber vital bagi bagi tentara – tentara dikedua konflik tersebut. Selama tahun 1950an serikat – serikat buruh perkebunan di Sumatra Utara pasca merdeka dianggap memiliki keanggotaan yang terbesar dan paling militan dari organisani manapun di Indonesia, dan bertanggung jawab atas sebagian besar aksi buruh. Dan setelah kudeta gagal tahun 1965, di antara kredit luar negeri Indonesia, sektor perkebunan Sumatra Utara termasuk mendapatkan bagian paling besar. Dalam berbagai bentuk, pekerja Jawa diperkebunan Deli menempati salah satu arena pertentangan rasial, etnik, dan kelas yang paling panas diseluruh Indonesia dan juga sering kali posisi mereka berada ditengah – tengah persaingan kekuasaan baik regional maupun nasional.
Banyak ulasan sejarah kontemporer Sumatra Utara mengakui peranan sentral industri perkebunan dalam memperparah konflik daerah dan etnik. Akan tetapi, hubungan antara ketegangan itu dengan kebijaksanaan industri perkebunan mengenai perekrutan, pemukiman dan kontrol tenaga kerja, kebanyakan tidak diperhatikan. Dengan begitu ekonomi perkebunan menjadi sekedar latar belakang masalah daerah dan etnik, daripada sebaliknya. Meninjau sejarah cultuurgebied dari perspektif seperti tersebut membutuhkan lensa yang bersudut besar meski menimbulkan distorsi. Pemeriksaan pendahuluan sejarah perburuhan di Deli dengan begitu memerlukan perhatian terhadap sifat – sifat struktural perkembangan kapitalis dan bagaimana struktur ini ditampilkan, dialami dan diubah oleh mereka yang hidup didalamnya.
BAB II
Kontur Awal Pengawasan Perburuhan : Modal Perusahaan dan Kuli Kontrak
Perkembangan industri perkebunan di Pantai Timur Sunatra berbeda secara mencolok dan mendasar dengan bentuk – bentuk penetrasi kapitalis sebelumnya di kepulauan Indonesia. Bab ini bersangkutan dengan kualitas hubungan perburuhan yang timbul dari kombinasi orang – orang kasar dan keras hati yang terpikat oleh resiko petualangan dan bayangan akan kekayaan yang mudah diperoleh dari ekspansi perkebunan, yang secara etis semakin miskin, secara politis semakin eksplosif, namun kemudian sangat menguntungkan.
Masuknya Modal Perusahaan di Deli
Kebanyakan uraian tentang sejarah perkebunan Deli mulai di tahun 1863 dengan langkah kerja Jacobus Nienhyus dan para pionir pengusaha perkebunan yang pertama kali “membuka” wilayah tersebut untuk pertanian eksport secara besar – besaran. Didalamnya tercakup usaha – usaha Belanda pada paruh kedua abad ke – 19 untuk mengintegrasikan Pulau – pulau seberang secara lebih langsung dibawah kontrol politik dan ekonominya. Serbuan Inggris ke Sumatra pada waktu itu menambah urgensi penegasan hegemoni Belanda, karena daerah eksploitasi imperialis di Asia Tenggara secara lebih bernafsu dituntut dan diamankan untuk produksi dan pasaran kekuasaan.
Ekspansi Deli terikat pula kepada pergesekan kedua dalam kebijaksanaan kolonial. Kini pendapatan negara harus ditingkatkan dengan membuka produksi pertanian eksport bagi sektor swasta. Tahun 1870 menandai suatu titik balik penting dalam pemerintahan kolonial Belanda. Setelah bertahun – tahun lamanya berlangsung monopoli negara atas usaha ektrasi pertanian, mulailah dilaksanakan “politik pintu terbuka” untuk menggalakkan investasi asing, yang dikodifikasi dalam Undang – Undang Agraria pada tahun yang sama.
Adanya sewa sampai dengan 75 tahun atas hamparan – hamparan tanah yang luas dan menarik investasi dalam tanaman keras yang lambat masaknya tetapi sangat menguntungkan. Kontrak jangka panjang membenarkan dan mempermudah diperolehnya pinjaman dan kredit dari perusahaan dagang dan bank investasi. Bank – bank investasi Eropa mulai tertarik dan diantaranya yang paling besar dan aktif di Deli ialah HVA (Handelsvereeniging Amsterdam) yang didirikan pada tahun 1879, kemudian NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij), didirikan pada tahun 1824, yang “mentransformasikan diri dari perusahaan milik kerajaan menjadi milik investasi swasta, setengah bank dan setengah pengusaha perkebunan”.
Dalam lima belas tahun pertama berlakunya politik agraria baru, mayoritas perkebunan berada ditangan pengusaha perorangan. Akan tetapi, dengan terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan 1880, harga kopi, gula, tembakau jatuh secara drastis. Perusahaan investasi seperi HVA dan NHM denga  cepat memborong dan mengkonsolidasikan perusahaan yang belum berpengalaman, dan dengan demikian untuk pertama kalinya menjamin pengusaha langsung, baik atas produksi maupun perdagangan.
Hanya beberapa tahun setelah Jacobus Nienhyus datang dan memperoleh sewa jangka panjang (99) tahun dari Sultan Deli, didirikanlah Deli Maatschappij pada tahun 1869 yang didukung NHM sebagai pemegang saham 50% dari keseluruhan. Setelah kejadian itu mulai lah banyak perusahaan – perusahaan tembakau kecil didirikan seperti di Langkat, dan Serdang. Pada tahun 1891 saat pasaran tembakau jatuh banyak perusahaan – perusahaan kecil yang bangkrut; antara tahun 1890 dan 1894 lebih dari dua puluh buah perkebunan lenyap. Beberapa perusahaan beralih kekopi dan lainnya menjual lahan mereka. Dari 179 perkebunan pada tahun 1889, tinggal 101 yang masih ada pada tahun1914 dan hanya 72 buah sekitar tahun 1930.
Sekitar tahun 1884 terdapat 688 orang Eropa dari berbagai kebangsaan di Deli, namun industri tembakau tetap monopoli Belanda. Setelah tahun 1900 jaringan perkebunan bertambah dengan berlandaskan produksi tanaman tanpa musim.
Multinasionalisme di Pantai Timur Sumatra
Timbulnya corporate capitalism di Hindia Belanda telah diartikan sebagai fenomena yang untuk sebagian besar terjadi dari sifat khas politik kolonial Belanda serta tuntutan produksi pertanian lokal. Fluktuasi harga yang cepat tidak hanya mendesak para pengusaha kecil perkebunan, tetapi menjadi perangsang pula kongsi – kongsi pengolahan hasil dan perdagangan yang berpangkalan di Eropa dan Amerika untuk mengamankan sumber – sumber bahan mentahnya sendiri. Pada tahun 1869, pembukaan terusan Suez memungkinkan tersedianya rute lebih cepat dan langsung antara Hindia Belanda dan pasaran Eropa.
Perusahaan – perusahaan non Belanda yang pertama kali datang di Deli adalah sebuah firma Inggris, Harrison and Crossfield, yang didirikan pada tahun 1844 sebagai pedagang grosir kopi dan teh. Perusahaan ini kemudian aktif sebagai agen manajemen serta pemilik perkebunan di Sri Langka dan Malaysia; ditahun 1907 keuntungan karet yang sangat besar telah mendorong ekspansi selanjutnya yang mencakup Pantai Timur Sumatra. Beberapa konsesi disewa di Deli untuk teh, kopi, karet dan tembakau, dan di tahun 1909 operasinya diperluas sampai ke Jawa, tempat terbentuknya dua cabang lagi.
Walaupun terdapat tanah – tanah luas yang dikuasai Iggris, namun masuknya modal Amerika Utaralah yang dengan cepat memberikan Pantai Timur tersebut gelar “Negeri Dolar Deli”. Ketika perusahaan Belanda yang merana didekat kota Kisaran menawrkan konsesinya untuk dijual, maka U.S Rubber Company, sebuah trus Amerika, membelin hak – hak atas 35.000 acres tersebut dan pada tahun 1911 dibentuklah sebuah anak perusahaan bernama Hollandsche-Amerikaansche Plantage Maastschappij (HAMP) yang kemudian hari menjadi UNIROYAL. Pada tahun 1916 Hawaiian Sumatra Plantation Ltd. menjadi perusahaan kedua Amerika di Deli dengan jumlah luas 12.000 acres, dan setahun kemudian Goodyear mengikutinya dengan menyewa 16.700 acres dari perkebunan Dolok Merangir. Sepuluh tahun kemudian ditambah 28.000 acres dan pada tahun 1932 dibuka 10.000 acres lain untuk menjadi perkebunan Goodyear Wingfoot jauh diperbatasan barat-daya jalur kawasan perkebunan.
Para investor lainnya di Deli, termasuk Jepang, Jerman dan Swiss memainkan peranan yang relatif kecil dan berumur pendek. Di tahun 1913 orang – orang Belanda menanam modal dalam tembakau, orang Inggris memonopoli perkebunan teh, orang Amerika membatasi diri dengan karet, dan orang Prancis-Belgia memusatkan diri dengan kelapa sawit.
Di tahun 1916 – 1917 HVA memperoleh hak – hak konsesi yang luas di Deli setelah perubahan orientasinya dari pemasaran semata – mata ke manajemen produksi perkebunan. Sekitar tahun 1920, bank tunggal tersebut menguasai lebih dari 49.000 hektar perkebunan singkong dan gula di Jawa, 50.000 hektar lagi di Sumatra, serta mempekerjakan sebanyak 70.000 orang dikedua pulau. Dalam tahun – tahun 1920an – 1930an hampir separuh (45%) dari ekspor Pantai Timur ditujukan untuk Amerika Serikat. Tahun 1925 Amerika Serikat langsung mengimpor hasil perkebunan dengan nilai U.S.$ 45.5 juta dan selain itu U.S.$ 20 juta secara tidak langsung ( Goodyear ). Selama tahun 1920an – 1930an kepentingan Inggris lebih daripada Amerika yang menggunakan perkebunan Belanda.
Jadi berdasarkan beberapa hal, sifat dan besarnya usaha kapitalis di Deli merupakan hal baru di Hindia Belanda, seperti juga sarana yang digunakan untuk melindungi dan mengendalikan usaha tersebut. Terletak jauh dari pusat negara kolonial di Jawa, maka dalam tahun pertama awal pembentukan Deli, cultuurgebied tersebut benar – benar merupakan sebuah “negara dalam negara” dengan aristoktrat pengusaha perkebunan yang menyelenggarakan kekuasaan de facto.
Buruh Kontrak
Di Deli, tidak ada cara yang sedemikian halus untuk menggerogoti kebudayaan dan memeras tenaga buruh. Para sultan Deli dapat memberikan tanah tapi bukan tenaga buruh. Oleh karena itu, para pengusaha perkebunan terpaksa mencari personil di tempat lain; pertama di Malaysia, Singapura, dan Cina; kemudian di desa – desa miskin Jawa Tengah untuk mendapatkan kuli – kuli, serta din Eropa untuk staf manajemen. Perbudakan telah dilarang pada tahun 1860 berdasarkan hukum Hindia Timur, akan tetapi kontrak masih berlangsung. Guna mendukung “pasifikasi” provinsi – provinsi luar Jawa serta pembangunan industri perkebunan, maka pemerintah telah mengeluarkan koeli ordonantie (peraturan kuli) tahun 1880 yang khusus berkaitan dengan kontrak buruh yang menyangkut keperluan pemindahan. Ordonanti ini menetapkan bahwa sebagai imbalannya berlayar ke Deli seorang kuli wajib bekerja selama sekian tahun tertentu. Mengingat bahwa tidak bekerja merupakan pelanggaran kontrak yang diancam hukuman, maka diberlakukan sanksi pidana ( poenali sanctie )secara keras; pekerja yang melarikan diri, menolak bekerja, atau dengan cara lain melanggar atura – aturan yang berlaku dalam kontrak dapat dijatuhi hukuman kurungan, denda, atau kerja paksa dia atas atau melampaui jangka waktu semula. Disamping itu, seorang yang menyembunyikan kuli yg melarikan diri akan dipenjara.
Rekrut Eropa dan Asia
Pada abad ke 19 pekerja Tionghoa dicari secara khusus karena kerajinan dan keterampilannya, namun biaya perekrutan walau dengan ikatan kontrak, membuat sumber ini semakin tidak menarik. Lambat laun perekrutan orang Tionghoa di hentikan walau terdapat 26.000 pekerja Tionghoa di tahun 1930, kini mereka merupakan 10% saja dari seluruh tenaga kerja buruh dan bukan 90% seperti diabad yang lalu.
Dalam tahun 1911 lebih dari 50.000 kuli kontrak telah diimpor dari Jawa Tengah untuk mengisi permintaan akan buruh diperkebunan karet. Bersamaan dengan meluasnya usaha perekrutan di Jawa, maka “badan-badan imigrasi” liar menurut kabar telah menampilkan gaya pasaran perdagangan besar yang ditunjukan kepada penjualan, bukan perekrutan buruh. Alasan membanjiri Deli dengan orang Jawa berlangsung selama 80 tahun selanjutnya, akibat penurunan kesejahteraan penduduk pribumi yang pada peralihan abad dapat mudah dibaca di laporan pemerintahan. Beberapa orang menetap di Deli setelah berakhirnya kontrak karena lebih menyukainya dan beberapa mempunyai pilihan lain.
Perempuan dan Kontrol Perburuhan
Pada peralihan abad jumlah kuli perempuan hanya merupakan 10 – 20 % dari tenaga kerja yang seluruhnya berjumlah 55.000 pekerja Asia. Kuli – kuli perempuan masih muda – muda dan hampir semuanya orang Jawa, walau tidak secara terang – terangan dipaksa melacur diri, mereka hanya diberikan sedikit pilihan selain berbuat demikian. Melayani kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum dari para pekerja lelaki dan pihak manajemen lebih merupakan keharusan daripada pilihan, jika diingat bahwa upah kuli perempuan 1894 hanya separuh upah seorang pekerja lelaki dan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari hari. Kuli perempuan yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar di barak kuli Cina. Dan dari sebuah perkebunan di Cultuurgebied sebelah selatan, seorang manajer mngeluh kepada kantor pusat bahwa 35 dari 60 orang pekerja perempuan dimasukkan rumah sakit karena sipilis.
Pada tahun 1917 ikhtisar Komisi Perburuhan yang mengusulkan perundang – undangan yang memberikan pilihan kepada pekerja perempuan hamil untuk terus bekerja atau kembali ke Jawa telah diprotes oleh kalangan pengusaha perkebunan. Kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli dan sebagai pelipur lara yang diharapkan untuk menahan mereka disana. Prostitusi dianggap pula sebagai kejahatan yang lebih kecil dari sodomi yang dilakukan oleh pekerja Cina jika tidak terdapat perempuan. Meskipun beberapa perusahaan menolak untuk mempekerjakan kuli perempuan untuk mengurangi biaya, boikut tersebut tidak pernah memperoleh banyak dukungan karena perempuan merupakan sumber tenaga kerja yang paling murah.
Dalam kondisi yang kemudian, maka perkawinan antar kuli kontrak kecil kemungkinan untuk bertahan. Kehidupan keluarga sebagai suatu ikatan sosial sulit dicapai karena situasi dimana pekerja terus menerus mengalami perpindahan dari barak – barak. Akibatnya perempuan yang sudah dan belum menikah tetap melacurkan diri, memasak untuk pekerja bujangan dan pelayan ranjang bagi staf kolonial. Tidak semua bernasib sama. Ada yang melarikan diri atau pulang ke Jawa saat kontraknya berakhir. Yang lain terus bekerja menyortir tembakau, memetik teh, dan menyadap karet, menjadi sasaran perlakuan buruk seperti yang dialami buruh laki – laki.
Para Bekas Kuli di Luar Perkebunan
Menurut laporan, menjelang 1920an hampir sepetiga orang Jawa tinggal di konsesi – konsesi perkebunan Simalungun yang berpenduduk padat dan menetap diluar perkebunan. Angka dari sensus 1930 untuk Sumatra Timur diperkirakan hampir setengah juta orang Jawa tidak bertempat tinggal di perkebunan. Mereka bekerja jadi buruh kasar untuk para pedagang Cina. Beberapa malahan menjadi pedagang kecil dan produsen kecil dengan usaha sendiri.
Mereka yang tidak tinggal di perkotaan telah membentuk sebuah sub kelas baru di wilayah pedalaman dengan bermukim di desa – desa Melayu diatas tanah pinjaman sebagai penumpang. Mereka melakukan pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh makanan dan hak pakai atas petak-petak tanah desa. Pada umumnya para pengusaha perkebunan menjadi sadar akan apa yang terjadi di perbatasan-perbatasan setelah bertahun-tahun kemudian.
Sebuah Fase Baru: Perancangan untuk Cadangan Buruh yang Menetap
Tiap tahun ribuan orang meminta pemulangan ke Jawa. Tahun 1915 lebih dari 12.000 calon-pekerja baru telah tiba di Deli, tetapi lebih dari 15.000 orang meninggalkan Sumatra di tahun yang sama. Masalah yang penting disinin ialah bahwa perspektif para pengusaha perkebunan, kuli Jawa yang tampaknya tergantikan mulai terbukti terlalu mahal untuk digunakan. Seorang bekas pegawai Deli menyatakan bahwa bila tidak diadakan perubahan, maka penyakit, kelemahan, dan tingkat mortalitas yang tinggi dikalangan para pekerja akhirnya akan membuat industri perkebunan tidak mungkin menjadi perusahaan yang menguntungkan.
Tahun 1907 dibentuklah inspektorak perburuhan pemerintah untuk menyelidiki kondisi perburuhan dan untuk menghentikan kesewenang – wenangan yang berlebihan dalam kontrak perburuhan. Para pengusaha perkebunan memandang perkembangan tersebut sebai ancaman yang memusuhi, liberal, dan jahat terhadap otonomi mereka, meski mereka membujuk dan menggertak para inspektor agar jangan sampai melaksanakan tugas mereka, namun staf perkebunan tidak bisa menghentikan mereka, kelak informasi yang keluar nantinya digunakan terhadap mereka dan sanksi hukum yang selama ini mendukung mereka.
  Di tahun 1903 efek penyangga ekonomi rumah tangga masih terabaikan karena sebagian kecil tenaga kerja yang telah menikah. Akan tetapi potensi untuk menghilangkan bagian biaya perawatan tenaga kerja telah semakin menjadi pusat perhatian. Strategi untuk menjamin adanya penyatuan di satu tempat buruh lokal tersebut didasarkan atas kolonisasi pembentukan pemukiman – pemukiman buruh di Sumatra Timur. Pengusaha – pengusaha perkebunan tersebut menyatakan bahwa Deli memerlukan buruh dan kolonisasi bebas para keluarga Jawa yang tidak berdisiplin dan tidak biasa dengan pekerjaan perkebunan. Menurut meeka Deli tidak mungkin dapat menyediakan penduduk pekerja perkebunan yang patuh, khususnya apabila keluarga –keluarga tersebut diberi tanah yang mencukupi untuk menghidupi dirinya.
Perubahan Kebijakan Akibat Depresi
Di Deli jika industri terperangkap dalam depresi akan dilakukan pengaktifan pengapusan ikatan kontrak. Pada 1930 dan 1933 ,jumlah kuli berkurang menjadi 170.000 dari 336.000 pekerja telah dipecat dan diputus kontraknya. Para kuli yang tinggal di Pantai Timur telah diganti dengan vrije arbeiders, yang dalam prakteknya orang yang dilepaskan kemudian di sewa kembali.
Para laki-laki bujangan merupakan yang pertama dipulangkan ke negeri asal, yaitu Cina dan Jawa. Perempuan yang sudah menikah dipecat tapi tidak dipulangkan. Mereka diperbolehkan tinggal di Sumatre sebagai batih suami mereka yang dipekerjakan.
Pada tahun 1934, kelebihan pekerja yang dirasakan sebagai beban yang canggung kini berubah menjadi kekurangan tenaga kerja. Dengan ini dibekukan lah rencana – rencana kolonisasi dan peminjaman tanah. Menjelang 1940 hanpir 74% tenaga kerja direkrut secara lokal; dan menjadi akhir 1930an para manajer perkebunan serta pegawai negri memuji ketenangan sosial pekerja dengan dasar keluarga dengan pekerjaan perkebunan yang teratur dan dengan disiplin.
Parameter Sosial Kontrol Perburuhan
Para penguasa perkebunan tidak memiliki pilihan untuk menggunakan sistem kontrol perburuhan yang paling menguntungkan untuk memaksimalkan laba serta untuk ekstraksi nilai lebih secara lancar. Aksi dan reaksi mereka akan dibatasi dengan tegas, tidak hanya oleh tekanan ekstren tetapi dari dalam kalangan tenaga kerja perkebunan itu sendiri.
Di Deli, strategi kontrol yang sedang berubah mencerminkan pertentangan dalam menginkorporasikan bidang baru atau mengarahkan dan menyusun kembali yang lama, maka strategi tersebut tetap responsif terhadap kondisi hubungan perburuhan dan perlawanan pekerja.
BAB III
Buruh Perkebunan Protes: Politik Kekerasan
Kuli kontrak Deli tidak dikenal pernah menurut. Menjelang tahun 1920an, meluaslah serangan – serangan terhadap orang kulit putih, sehingga Pantai Timur Sumatra yang menjadi terkenal buruk di seluruh Hindia Belanda. Para pengusaha perkebunan berkeluh kesah bahwa orang Jawa imigran ini tidak bersifat pasif dan kepatuhan. Hal ini dikarenakan kuli Jawa merasa dirinya terlepas dari formalitas adat istiadat lama yang berada dilingkungan yang asing dan bahasa yang berbeda. Sehingga pengusaha kebun berargumentasi bahwa tindakan pemaksaan diperlukan untuk mengontrol mereka.
Di Deli ada dua citra pekerja. Di satu pihak, dikatakan bahwa para buruh perkebunan adalah rajin dan bekerja keras dilain pihak, para pekerja tak terduga – duga dapat mengamuk, dirangsang oleh pemikiran kabur dan tentang balas dendam. Kredibilitas citra ini di perkuat oleh suatu struktur hubungan perburuhan yang memberikan yang memberikan kepada anggota staf kulit putih kedudukan yang rawan secara ekonomis dan sosial didalam masyarakat perkebunan.
Dalam tahun – tahun awal ekspansi perkebunan telah diadakan usaha keras untuk menghilangkan basis potlitik kekerasan karena dalam periode tersebut akan sangat aib, baik secara material maupun ideologis, untuk meminta bala bantuan bersenjata pemerintah. Dalam tahun 1877 para pengusaha perkebunan mengadukan bahwa pencurian dan pembunuhan semakin sering waktu itu akibat dari kurangnya dukungan pemerintah. Kesewenang – wenangan fisik terhadap para buruh dan serangan fisik terhadap personil manajemen merupakan bagian dari hubungan perburuhan perkebunan sejak tahun awal. Angka – angka statistik yang berasal dari Asosiasi Pengusaha Perkebunan DPV dan AVROS, menunjukkan bahwa insiden – insiden demikian selalu meningkat terus selama bagian awal abad ke- 20, yang memuncak sampai frekuensi yang sedemikian tinggi sebelum depresi, sehingga komunitas Eropa menurut laporan dilanda kekhawatiran seperti yang belum pernah terjadi.
Gerakan Politik Hindia Belanda
Pada tahun 1908 dibentuklah perserikatan buruh pertama di Indonesia di bawah pengaruh Sneevlit, seorang sosialis Belanda yang bersemangat mencurahkan perhatiannya dalam memperbaiki nasib para buruh Indonesia.
Menjelang akhir tahun 1919, Sarikat Islam telah mempersatukan 22 serikat buruh dengan keanggotaan 77.000 orang. Pada tahun 1919, para buruh gula berorganisasi, dan tahun 1924 perserikatan pertama pegawai perkebunan telah di dirikan, yaitu Sarekat Buruh Ordeneming. Pada umunya tahun 1919 menandai suatu tahun perorganisasian dan keaktifan yang luar biasa. Pemogokan – pemogokan meluas, dan pada tahun 1920 sebanyak 84.000 buruh berpartisipasi dalam aksi buruh.
Di Sumatra, muncul pula organisasi – organisasi pribumi berhaluan nasionalis dan sosialis, meskipun dalam bentuk agak terselubung. Sayangnya, bukti – bukti tentang hal spesifik, yaitu bagaimana, dimana, dan kapan parah buruh perkebunan berperan serta dalam geraktan tersebut sangatlah sedikit. Sumber – sumber sekunder tidak banyak yang dapat dimintai keterangan, kecuali beberapa refernsi umum mengenai buruh perkebunan Deli di dalam studi – studi yang tidak langsung menyangkut masalahnya.
Di Jawa sebuah gerakan buruh telah timbul yang sebagian terjadi melalui antara aliansi buruh Eropa dan Asia ; tetapi di Deli ancaman demikian terhadap hegemoni perusahaan dengan cepat telah dihindarkan. Tahun 1924 dikalkulasikan bahwa seorang asisten dalam waktu kerja 15 tahun mempunyai kemungkinan 3% dibunuh oleh buruh dan sedikitnya 50% kemungkinan diserang secara fisik.
Protes Perburuhan dan Mekanisme Legal Represi Politik
sejak tahun 1854 penindasan hak – hak sipil telah dicantumkan dalam kitab undang – undang Hindia Belanda, yang dengan ketat melarang setiap perserikatan atau pertemuan politik yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Tahun 1915, sebuah ketentuan baru mengakui secara formal hak penuh untuk berkumpul dan berserikat, akan tetapi baru setelah tiga tahun ditentukan perinciannya dan berulah diberlakukan undang – undang tersebut. Di tahun 1919 aebuah kualifikasi selanjutnya mengijinkan agar para perwira dan pegawai polisi mempunyai kebebasan masuk, dan untuk rapat tertutup harus diberitahu lima hari sebelumnya.
Tahun 1925, pemerintah memberikan tanggapam terhadap pemogokan – pemogokan yang terjadi di Jawa dengan sebuah amandemen yang khusus melarang penghasutan aksi pemogokan. Penolakan pemerintah untuk membedakan agitasi politik dari pelanggaran kriminal, atau aksi buruh dari hasutan politik berarti bahwa setiap orang yang aktif  ikut serta dalam penghentian pekerjaan dengan membantunya secara lisan dapat dikenakan tuntutan kriminal. Pandangan administratif yang kabur mengenai pa yang merupakan agitasi politik, keluhan ekonomis, dan ergo pelanggaran kriminal yang memberikan dasar bagi penindasan oleh pemerintah terhadap perlawanan anti kolonial di Jawa.
Pengusaha Perkebunan dalam Keadaan Waspada
Pada tahun 1925, pemogokan yang terjadi di kota – kota pelabuhan seperti Surabaya, Semarang dan pelabuhan Belawan di Medan, mengakibatkat para peserta di daftar hitamkan yang dianggap komunis oleh pemerintah. Diperkebunan lain terjadi huru hara setelah upah seorang buruh Tionghoa dipotong; pekerjaanya dianggap dibawah standar kualitas, akan tetapi buruh tersebut menolak untuk menerima keputusan asisten dan bersama – sama beberapa dari kawan kawannya mnyerang asisten tersebut serta pengawas kepala. Disini para buruh mempersenjatai diri dengan pisau, kampak, dan pentungan, dan ketertiban dipulihkan oleh polisi.
Antara tahun 1925 dan 1929 harga tembakau Deli menjadi separuh di pasaran dunia, karena itu jatuhlah upah buruh tembakau untuk pertama kali dalam beberapa dasawarsa. Pendapatan para asisten juga berkurang yang menciptakan ketegangan tambahan. Keluhan dan permohonan diajukan para buruh selama tahun 1925 berjumlah lebih banyak, tetapi tidak berubah dalam isinya. Hal tersebut menyangkut kerja lembur wajib dan pemindahan para buruh ke divisi lain perkebunan tanpa keluarga mereka.
Ditahun 1926 – 1927 perhatian kepada kemelut perburuhan dan serbuan perkebunan adalah minimal baik, meskipun dalam jumlah serangan sesungguhnya terhadap pengawas Asia meningkat secara drastis. Dari 1926 – 1927 jumlah pemukulan kuli meningkat 70%. Untuk membersihkan citra Deli terhadap dunia luar, maka asosiasi pengusaha perkebunan membiayai kunjungan bupati – bupati Jawa untuk memeriksa kondisi – kondisi kehidupan para buruh diperkebunan. Bulan April 1926, sebuah peraturan baru ditambahkan pada sanksi pidana, yaitu artikel 153 yang membatasi kebebasan pers dan menetapkan hukuman yang lebih berat, sampai dengan 6 tahun penjara, bagi mereka yang sengaja, dengan perkataan, tulisan dan gambar, baik secara tidak langsung, bersyarat, maupun tertutup, atau yang sah di negeri Belanda atau Hindia Belanda atau mereka yang menciptakan suasana keuntungan bagi hal tersebut. Dengan mencatat bahwa agen polisi akan diberi bonus 25 Gulden untuk setiap komunis yang ditangkap, Pewarta Deli menyebutkan hal tersebut sebagai goncangan awal suatu gerakan kewaspadaan penuh yang baru berkembang di tahun 1928.

Penilaian Ulang Protes Buruh, 1928 – 1929
Serangan buruh terhadap orang kulit putih semakin meningkat ditahun 1928. Hal diperparah dengan kedatangan Iwa Kusuma Sumantri ke Medan pada awal tahun 1928. Setelah meninggalkan negeri Belanda, ia tinggal di Moscow 1935 – 1926, sambil mengajar di sekolah untuk kaum revolusioner Asia. Setibanya di Medan, Iwa membuka praktek pengacara hukum. Ia kemudian mulai mengorganisasi para buruh di dalam dan luar perkebunan dan dalam waktu singkat oleh komunitas Eropa dia digolongkan sebagai seorang provokator.
Pekerjaan Iwa di Medan berumur pendek, bulan Juli 1929, dalam penggeledahan para nasionalis di seluruh Hindia Belanda, ia ditangkap. Dengan atau tanpa Iwa, para buruh perkebunan dari tahub 1920an dikenal sebagai jenis makhluk yang berlainan daripada seupuluh tahun yang lalu, yang lebih sadar akan hak – hak sah mereka dan yang lebih siap secara lisan atau fisik menunjukkan ketidakpuasan mereka.
Ditahun 1928 dua buah asosiasi pengusaha perkebunan, DPV dan AVROS, membuat dan melaksanakan suatu rencana kerja sama yang lebih teliti guna meningkatkan usaha untuk mengatasi aktivisa politik populasi perkebunan. Lagi pula, antara tahun 1925 dan 1929 tenaga kerja perkebunan mengalami perluasan cepat, yang tiada bandingnya sebelum dan sesudah waktu tersebut sebanyak 50% yaitu sebanyak 100.000 buruh. Kemudian peningkatan antara tahun 1928 dan 1929 merupakan perubahan terkecil dalam jangka waktu lima tahun tersebut.
Protes Buruh dan Kepanikan Pengusaha Perkebunan Menumpas Bahaya Merah
Bulan Januari 1929, sembilan orang asisten dan seorang pengawas Asia diserang diperkebunan – perkebunan Bahsoemboe, Pagar, Merbau, Mendaris, Kenopan Oeloe, Bukit Tinggi, Aek Pamineke, Batang Serang, Sungei Bahasa, dan Tjinta Radja. Pada bulan April, dilaporkan adanya 14 serangan lagi. Pada bulan Mei, tiga orang pengawas diancam atau diserang di Paja Bakong, Simpang Ampat dan Bekiun, dan di perkebunan Namoe Trasi seorang asisten diancam buruh tionghoa.
Selama bulan – bulan ini, pers Eropa dan pribumi menyeleksi beberapa insiden tersebut dan menggunakannya untuk melampiaskan kepada publik ketidakpuasan mereka dengan masing – masing situasi perburuhan yang ada. Mereka menganjurkan pengapusan sanksi pidana menggunakan pengadilan bulan Maret terhadap seorang kuli yang dituduh membunuh seorang asisten. Hampir setiap terjadi kegaduhan di perkebuanan mempunyai sebab tunggal, kuli – kuli tidak puas dengan cara bagaimana diperlakukan oleh asisten, pengawas, dan personil manajemen lain.
Selama tahun 1929 jumlah buruh yang dikembalikan ke asalnya sebagai orang yang tidak dikehendaki telah meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, menjadi jauh lebih dari seribu orang. Menurut Gubernur Sumatra, van Sandick, kebanyakan mereka adalah orang – orang politis yang tidak dikehendaki dan yang telah datang ke Deli dengan alasan palsu. Menjelang Juli, aksi dan serangan buruh terjadi dengan frekuensi tidak terputus – putus, sehingga AVROS dan DPV mengirim petisi bersama yang rahasia sifatnya kepada gubernur Hindia Belanda di Batavia dengan permohonan, antara lain, agar penghapusan sanksi pidana ditangguhkan lebih dulu demi kepentingan keamanan dan ketentraman, dan agar bala bantuan polisi dikirimkan ke Deli.
Korban – korban Depresi
Sampai tahun 1930 kemelut perburuhan tidak menunjukkan tanda – tanda mereda. Pada awal Agustus, 65 buruh melakukan penghentian pekerjaan, menuntut dipecatnya seorang asisten yang telah menggelapkan jatah beras mereka dan memaksa mereka bekerja pada hari – hari libur; asisten tersebut dipindah dan penjahatan diatur kembali. Bulan September, 11 orang Tionghoa rekrut baru menolak untuk bekerja karena perselisihan upah;mereka segera dikirim kembali ke Tionhoa.
Pertengah 1930, didirikanlah organisasi – organisasi politik dan ekonomi yang lain untuk menjamin agar prioritas pemerintah dipusatkan bagi perlindungan terhadap modal asing,bukan lapangan kerja kaum buruh Asia.
Depresi adalah suatu disrupsi yang menyeluruh didunia, dimana para pengusaha perkebunan jelas tidak berdaya untuk mencegahnya. Bulan Mei 1930, tenaga kerja perkebunan berjumlah total 336.000; menjelang Desember, 40.000 buruh dibebastugaskan, dan di akhir 1931 sejumlah 62.000 lainnya dipecat. Tahun 1931 jumlah serangan dan ancaman terhadap personil supervisi merosot menjadi 113 dari 220 orang ditahun sebelumnya. Jumlah tersebut berkurang terus sampai dengan tahun 1930an, yang mencapai jumlah paling kecil sepanjang masa yang hanya 25 insiden sepanjang tahun 1936.
Pada permulaan tahun 1930an pers pribumi disensor lebih lanjut didalam amandemen baru yang menganjurkan ditinggalkannya pertentangan terbuka dengan para pengusaha. Sementara itu para sultan setempat bekerja sama dengan para pejabat pemerintah untuk menindas setiap bentuk organisasi politik nasionalis atau ekstremis. Dari tahun 1932 – 1937, kampanye mereka berhasil dan yang masih tersisa dari gerakan antikolonial Sumatra telah benar – benar bergerak dibawah tanah. GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) didirikan dalam tahun gerakan antikapitalis dan antikolonial. Pendek kata, konfrontasi sehari – hari antara asisten dan kuli bukanlah struktur kelas dalam huruf kecil. Insiden tersebut menggambarkan sebuah kunci dari cara – cara kepentingan kelas tersebut dikaburkan dan dinyatakan menurut garis – garis etnik, jenis kelamin secara sosial dan rasial.


















KESIMPULAN
Pada akhir tahun 20-an predominnsi bentuk-bentuk kekerasan sosial semacam ini semakin berkurang,usaha pengurangan yang pertama diambil adalah penghapusan kontrak kerja (yang sepenuhnya dihapuskan di tahun 1941) dan prioritas-prioritas baru diberikan untuk membangun suatu persediaan buruh teteap,reproduksi tenaga kerja lokal lewat prekrutan keluarga dan pembangunan pemukiman-pemukiman buruh yang diberikan kehidupan selayak sebuah desa.

Manajemen indrusti perkebunan di Sumatera Utara berhasil melakukan rasionalisasi ketika memecat dan memulangkan tenaga kerjanya,yaitu lebih dari 160.000 orang. Perubahan dari buruh kontarak ke buruh lepas bisa dijelaskan sebagai bagian dari jalannya perkembangan kapitalisme dari kemajuan dari bentuk-bentuk ekstra-ekonomi ke bentuk-bentuk pemaksaan yang terkait erat dengan peroses perburuhan itu sendiri,atau bisa diterangkan sebagai kecendrungan modal  untuk memilih menaikkan tingkat produktivitas dan usahanya untuk menurunkan jam kerja sepenuhnya ketika dalam krisis. Sebagaimana yang telah dijelaskan,Sumatera bukanlah satu-satunya tempat didunia dimna depresi mengakibatkan potongan upah dan pemecatan yang besar-besaran,namun sekala pemotongan upah dan pemecatan yang terjadi di Deli terlalu besar jika dibvandingkan dengan”ukuran” ilmu ekonomi kebutuhan yang objektif manapun. Jadi tidak mengejutkan bahwa disini strategi perekrutran dan pengendalian buruh tidak hanya merupakan jawaban terhadap jalan keluar penciptaan keuntungan perusahaan,melainkan juga sebagai jawaban terhadap potensi-potensi pembrontakan para buruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...