Senin, 15 Januari 2018

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : MEDAN : Pembangunan Perkotaan oleh Perkebunan dan Pengusaha 1870-1940

MEDAN : Pembangunan Perkotaan oleh Perkebunan dan Pengusaha 1870-1940
Oleh : Cor Passchier
            Pulau Sumatera khususnya Sumatera Timur pada masa itu menjadi sorotan dalam sejarah di era Kolonialisme disebabkan perkembangan daerah-daerah yang berawal dari desa menjadi kota yang maju dan berkembang pesat sebagai faktor dari perkebunan, pengusaha dan bahkan pengusaha tradisional seperti Kesultanan. Pemukiman perkotaan yang berada di sepanjang pantai di sekitar beberapa pelabuhan alami merupakan pintu gerbang dalam perniagaan. Pusat-pusat sejarah kota kian merambat memunculkan suatu permasalahan yang tidak kunjung selesai yang disebabkan aktivitas yang terlampau padat sehingga bebagai kerusakan diwajah kota, seperti polusi kemacetan dan tatanan kota yang tidak baik. Dalam mengkaji sejarah kota Indonesia ini menjadi pertimbangan, dan dapat dibedakan melalui beberapa tipe :
1.      Pusat-pusat sejarah adat budaya dan aturan, seperti Yogyakarta, Solo, Banda Aceh.
2.      Pemukiman perdagangan Kolonial adat di pantai, seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, Palembang dan Ujung Padang.
3.      Pemukiman perkotaan Kolonial baru, seperti Balikpapan, Bandung, Malang dan Medan
4.      Kontemporer, perkembangan perkotaan baru Indonesia, seperti Cibinong, Palangkaraya, Pekanbaru.
Pertumbuhan dan perluasan setiap kota merupakan produk dari sejarah perkembangan manusia pemukiman. Citra kota didefenisikan dalam istilah seperti posisi geografis, budaya dan sejarah signifikasi, kekuasaan administratif dan ekonomi, perkotaan dan kualitas arsitektur.
            Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan contoh pertama pembangunan perkotaan dihasilkan dalam konteks Hindia Belanda Timur, sebuah masyarakat dimana zkolonial tidak lagi ada sebagai entitas pemerintah, setelah menderita di hilangnya tiba-tiba.
Pantai Timur Sumatera, sebagai sejarah awal
            Pada tahun 1842, sebuah perjanjian antara pemerintah Belanda dan Inggris yang didirikan status quo dari klaim Kolonial kedua negara wilayah Asia Tenggara. Inggris menarik diri dari Sumatera (Bengkulu, Natal dan Tapanuli) dan Belanda dilarang untuk membangun setiap pemukiman di Semenanjung Melayu. Intervensi Kolonial Belanda di pulau Sumatera masih cuku terbatas. Pemerintah Klonial Belanda menolak untuk menghabiskan dana pada menjelajahi daerah-daerah baru, kecuali mereka dipaksa untuk melakukannya oleh keadaan tertentu. Seperti pada sebuah kesempatan muncul tahun 1857, ketika Sultan Siak berada di pulau Timur Sumatera.
            Pada tahun 1858, kontarak politik ditandatangani antara pemerintah Hindia Belanda dan kesultanan Siak Sri Indrapura dengan Siak yang berada di bawah kekuasaan Belanda pemerintah Kolonial. Secara historis Deli, Langkat, da Serdang pada masa itu tunduk pada Sultan Siak. Para pedagang Inggis takut saat Siak di bawah kendali Belanda akan mengecualikan merekan dari perdagangan lada Sumatera Utara (Asahan, Deli dan Langkat). Rupanya, para penguasa adat setempat berbagi ketakutan yang sama, jadi pada tahun 1863 Sultan Deli mengajukan banding ulang untuk perlindungan kepada Gubernur Singapura. Raja Serdang dan Sultan Aceh pada tahun 1862, Sultan Asahan pada tahun 1863. Gubernur Singapura pun kemudian mengirim Residen Konselor dari Penang ke Deli
            Pada tahun 1862, Belanda pemerintahan Kolonial diatur kotrak politik dengan Sultan Siak depedensi Deli, langkat dan Serdang yang ditandatangani oleh Sultan Siak dan tantangan nyata terjadi pada tahun 1864. Residen Elisa Netscher tiba di ibu kota Siak untuk memecahkan masalah serius antara Sultan dan penasehat adatnya.  Netscher diangakat oleh adik dari Sultan Siak sebagai penguasa baru Siak. Pada tahun 1872 , sebelum menghapuskan monopoli pemerintah pada pertanian di jawa, pengusaha swasta sudah mulai mencari tantangan baru untuk melakukan  bisnis di Kepulauan Indonesia.
            Pada tahun 1863, Jacob Nienhuys mengunjungi pantai utara-timur Sumatera dan negosiasi dimulai dengan Sultan Deli untuk mendapatkan tanah pertanian. Setahun kemudian tembakau pertama dikirim ke Rotterdam yang merupakan titik awal eksploitasi pantai utara-timur Sumatera dengan besar skala Barat perusahaan pertanian.
Medan, proses ekonomi perkebunan
            Di era Kolonial akhir, pantai Sumatera utara-timut mengalami ekonomi besar-besaran. Deli merupakan wilayah yang terkenal sebagai daerah yang luas tanah di bawah budidaya terutama dengan tembakau, tetapi juga dengan kopi dan teh, diperkuat oleh kelapa sawit dan karet sekitar pergantian abad. Medan dianggap sebagai titik pusat ekonomi perkebunan yang signifika, dikarenakan Deli Maatschappij. Kota modern Medan kemudian membangun pusat pemerintahan merekan di lokasi di pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli, sekitar 10 km sebelah Selatan dari Labuhan Deli. Situs pemukiman ini dikenal dengan Medan Putri dan ke Selatan terdapat Kesawan, di tepi Barat dari Deli Sungai, dan juga salah satu pemukiman utama kawasan Batak, Sukapiring.
Masyarakat perkebunana
            Masyarakat perkebuna merupakan kelompok internasional. Keberhasilan ekonomi budaya tembakau, tidak hanya menarik minat para pekebun, tetapi juga untuk buruh, kuli, bekerja di bawah kontrak dengan perusahaan.
            Penjualan ilegal dari beberapa tanah oleh Sultan Deli kepada perusahaan-perusahaaan Barat dengan alasan digarap di konsesi membuat orang Bartak lokal protes dan berusaha menghalangi eksploitasi tanah mereka oleh Westernpertanian perusahaan.
            Pada tahun 1872, pemerintah pusat mengirim ekspedisi militer untuk menghukum orang Batak, intervensi mendunkung Sultan Deli dan perusahaan pertanian. Sejak saat itu orang Batak dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan rutin ini di perkebunan. Pada tahun 1863, Jacob Nienhuys sudah merekrut kuli Cina dari Singapura.
            Pada tahun 1877,pemerintah Kolonial Inggris dari Straits Settlements menolak untuk bekerja sama dalam bisnis perekrutan kuli.
Pembangunan kota di awal
            Pada tahun 1884, sebuah hotel didirikan di sisi selatan dari Esplanade Grand Hotel Medan (saat ini bangunan bank), dijuluki ‘de Pijpenla’ (pipa kotak) selanjutnya ‘Deli Spoorweg Maatschappij’ didirikan pada tahun 1883 dan pada tahun 1885  kereta api antara Medan dan Labuhan Deli diresmikan, yang terletak di sisi barat Esplanade. Klub Kolonial ‘de Witte’ juga didirikan pada tahun 1879, namun pleter dan batu bata banguna yang berada hanya selesai pada tahun 1887, dengan kantor pos itu dibentuk sisi utara Esplanade.
            Lingkungan perkotaan benar0benar tidak berubah selama 20tahun ke depan, itu hanya di akhir dekade pertama di abad ke 20 bahwa plot di sisi barat dari esplanade dipengaruhi dengan bangunan permanen, sementara itu, kampung kesawan berubah drastis menjadi komersial kabupaten. Di jalan utama Kesawan sudah puluhan tokoh yang didirikan, sebagian besar dikelolah oleh orang-orang Cina.
Setelah pergantian abad
            Pada tahun 1879, pemerintah Hindia Belanda mengakui perkembangan di utara-timut Smatera pamtai dengan pembentukan asiten residen di Medan. Pada tahun 1898, sebuah bangunan menumental berdiri di sisi barat Deli River untuk mengajukan Residen.
            Pada tahun 1906, di Selatan-barat dari istana Sultan, dibangun Mesjid besar (Mesjid Raya) gaya Maroko dengan jendela kaca patri yang dirancang oleh Dingemans. Pada tahun 1907, sebuah operasi diluncurkan untuk mereformasikan mata uang di pantai utara-timur dari Sumatera. Inggris Straits Kolonial Dolar dilarang dan Gulden Hindia Belanda diperkenalkan, yang diikuti oleh pembentukan Javasche Bank di sisi barat dari Esplanade. Pada tahun 1913, Kapten-Cina, Tjong A Fie, diberkahi dengan townhall dengan  menara jam dibangunan gedung Balai Kota.
            Pada tahun 1909, arsitek dari BOW bernama J.Snuyf merancang kantor pos baru. Tahun 1914 didirikan gedung perkantoran di sudut barat Kesawan/Esplanade. Tahun 1929, Nederlandsche Handel Maatschappaij dibangun kantor mereka di selatan Westside Esplanade dengan gaya arsitektur modern dan dapat dibandingkan dengan gedung perkantoran di kota Batavia Jakarta.
Kota Kolonial
            Pada tahun 1909, Medan encapai status sebagai kota mandiri. Terlepas dari pembangunan-pembangunan diatas, sebuah perusahan pasokan air “Ajer Beresih” (air bersih) juga dibangun pada tahun 1905. Untuk mencurahkan perhatian pada peran arti inisiatif pribadi, perkebunan tembakau bersatu dalam yang Perkebunan Deli Verceeniging (PDV), perkebunan karet bersatu kedalam AVROS.
Era Kolonial akhir

            Sekitar tahun 1918, pemerintah kota mengambil langkah pertama menuju memainkan peran aktif dalam masyarakat perumahan dan kesehatan. Pada tahun1919, mereka memerintah peraturan kampung dan mencoba mnyadari model proyek perumahan, empengaruhi kualitas perumahan anggaran yang rendah. Pelaksaan (kota) proyek-proyek perbaikan kampung benar-benar dimulai pada tahun 1925, dengan dukungan dana dari pemerintahan pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...