MEDAN :
Pembangunan Perkotaan oleh Perkebunan dan Pengusaha 1870-1940
Oleh : Cor Passchier
Pulau
Sumatera khususnya Sumatera Timur pada masa itu menjadi sorotan dalam sejarah
di era Kolonialisme disebabkan perkembangan daerah-daerah yang berawal dari
desa menjadi kota yang maju dan berkembang pesat sebagai faktor dari
perkebunan, pengusaha dan bahkan pengusaha tradisional seperti Kesultanan.
Pemukiman perkotaan yang berada di sepanjang pantai di sekitar beberapa pelabuhan
alami merupakan pintu gerbang dalam perniagaan. Pusat-pusat sejarah kota kian
merambat memunculkan suatu permasalahan yang tidak kunjung selesai yang
disebabkan aktivitas yang terlampau padat sehingga bebagai kerusakan diwajah
kota, seperti polusi kemacetan dan tatanan kota yang tidak baik. Dalam mengkaji
sejarah kota Indonesia ini menjadi pertimbangan, dan dapat dibedakan melalui
beberapa tipe :
1.
Pusat-pusat
sejarah adat budaya dan aturan, seperti Yogyakarta, Solo, Banda Aceh.
2.
Pemukiman
perdagangan Kolonial adat di pantai, seperti Jakarta, Cirebon, Semarang,
Surabaya, Palembang dan Ujung Padang.
3.
Pemukiman
perkotaan Kolonial baru, seperti Balikpapan, Bandung, Malang dan Medan
4.
Kontemporer,
perkembangan perkotaan baru Indonesia, seperti Cibinong, Palangkaraya,
Pekanbaru.
Pertumbuhan dan perluasan setiap kota
merupakan produk dari sejarah perkembangan manusia pemukiman. Citra kota
didefenisikan dalam istilah seperti posisi geografis, budaya dan sejarah
signifikasi, kekuasaan administratif dan ekonomi, perkotaan dan kualitas
arsitektur.
Medan,
ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan contoh pertama pembangunan perkotaan
dihasilkan dalam konteks Hindia Belanda Timur, sebuah masyarakat dimana
zkolonial tidak lagi ada sebagai entitas pemerintah, setelah menderita di
hilangnya tiba-tiba.
Pantai Timur
Sumatera, sebagai sejarah awal
Pada
tahun 1842, sebuah perjanjian antara pemerintah Belanda dan Inggris yang
didirikan status quo dari klaim Kolonial kedua negara wilayah Asia Tenggara.
Inggris menarik diri dari Sumatera (Bengkulu, Natal dan Tapanuli) dan Belanda
dilarang untuk membangun setiap pemukiman di Semenanjung Melayu. Intervensi
Kolonial Belanda di pulau Sumatera masih cuku terbatas. Pemerintah Klonial
Belanda menolak untuk menghabiskan dana pada menjelajahi daerah-daerah baru,
kecuali mereka dipaksa untuk melakukannya oleh keadaan tertentu. Seperti pada
sebuah kesempatan muncul tahun 1857, ketika Sultan Siak berada di pulau Timur
Sumatera.
Pada
tahun 1858, kontarak politik ditandatangani antara pemerintah Hindia Belanda
dan kesultanan Siak Sri Indrapura dengan Siak yang berada di bawah kekuasaan
Belanda pemerintah Kolonial. Secara historis Deli, Langkat, da Serdang pada
masa itu tunduk pada Sultan Siak. Para pedagang Inggis takut saat Siak di bawah
kendali Belanda akan mengecualikan merekan dari perdagangan lada Sumatera Utara
(Asahan, Deli dan Langkat). Rupanya, para penguasa adat setempat berbagi
ketakutan yang sama, jadi pada tahun 1863 Sultan Deli mengajukan banding ulang
untuk perlindungan kepada Gubernur Singapura. Raja Serdang dan Sultan Aceh pada
tahun 1862, Sultan Asahan pada tahun 1863. Gubernur Singapura pun kemudian
mengirim Residen Konselor dari Penang ke Deli
Pada
tahun 1862, Belanda pemerintahan Kolonial diatur kotrak politik dengan Sultan
Siak depedensi Deli, langkat dan Serdang yang ditandatangani oleh Sultan Siak
dan tantangan nyata terjadi pada tahun 1864. Residen Elisa Netscher tiba di ibu
kota Siak untuk memecahkan masalah serius antara Sultan dan penasehat adatnya. Netscher diangakat oleh adik dari Sultan Siak
sebagai penguasa baru Siak. Pada tahun 1872 , sebelum menghapuskan monopoli
pemerintah pada pertanian di jawa, pengusaha swasta sudah mulai mencari
tantangan baru untuk melakukan bisnis di
Kepulauan Indonesia.
Pada
tahun 1863, Jacob Nienhuys mengunjungi pantai utara-timur Sumatera dan
negosiasi dimulai dengan Sultan Deli untuk mendapatkan tanah pertanian. Setahun
kemudian tembakau pertama dikirim ke Rotterdam yang merupakan titik awal
eksploitasi pantai utara-timur Sumatera dengan besar skala Barat perusahaan
pertanian.
Medan, proses
ekonomi perkebunan
Di
era Kolonial akhir, pantai Sumatera utara-timut mengalami ekonomi
besar-besaran. Deli merupakan wilayah yang terkenal sebagai daerah yang luas
tanah di bawah budidaya terutama dengan tembakau, tetapi juga dengan kopi dan
teh, diperkuat oleh kelapa sawit dan karet sekitar pergantian abad. Medan
dianggap sebagai titik pusat ekonomi perkebunan yang signifika, dikarenakan
Deli Maatschappij. Kota modern Medan kemudian membangun pusat pemerintahan
merekan di lokasi di pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli, sekitar 10 km
sebelah Selatan dari Labuhan Deli. Situs pemukiman ini dikenal dengan Medan
Putri dan ke Selatan terdapat Kesawan, di tepi Barat dari Deli Sungai, dan juga
salah satu pemukiman utama kawasan Batak, Sukapiring.
Masyarakat
perkebunana
Masyarakat
perkebuna merupakan kelompok internasional. Keberhasilan ekonomi budaya
tembakau, tidak hanya menarik minat para pekebun, tetapi juga untuk buruh,
kuli, bekerja di bawah kontrak dengan perusahaan.
Penjualan
ilegal dari beberapa tanah oleh Sultan Deli kepada perusahaan-perusahaaan Barat
dengan alasan digarap di konsesi membuat orang Bartak lokal protes dan berusaha
menghalangi eksploitasi tanah mereka oleh Westernpertanian perusahaan.
Pada
tahun 1872, pemerintah pusat mengirim ekspedisi militer untuk menghukum orang
Batak, intervensi mendunkung Sultan Deli dan perusahaan pertanian. Sejak saat
itu orang Batak dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan rutin ini di
perkebunan. Pada tahun 1863, Jacob Nienhuys sudah merekrut kuli Cina dari
Singapura.
Pada
tahun 1877,pemerintah Kolonial Inggris dari Straits Settlements menolak untuk
bekerja sama dalam bisnis perekrutan kuli.
Pembangunan kota
di awal
Pada
tahun 1884, sebuah hotel didirikan di sisi selatan dari Esplanade Grand Hotel
Medan (saat ini bangunan bank), dijuluki ‘de Pijpenla’ (pipa kotak) selanjutnya
‘Deli Spoorweg Maatschappij’ didirikan pada tahun 1883 dan pada tahun 1885 kereta api antara Medan dan Labuhan Deli
diresmikan, yang terletak di sisi barat Esplanade. Klub Kolonial ‘de Witte’
juga didirikan pada tahun 1879, namun pleter dan batu bata banguna yang berada
hanya selesai pada tahun 1887, dengan kantor pos itu dibentuk sisi utara Esplanade.
Lingkungan
perkotaan benar0benar tidak berubah selama 20tahun ke depan, itu hanya di akhir
dekade pertama di abad ke 20 bahwa plot di sisi barat dari esplanade
dipengaruhi dengan bangunan permanen, sementara itu, kampung kesawan berubah
drastis menjadi komersial kabupaten. Di jalan utama Kesawan sudah puluhan tokoh
yang didirikan, sebagian besar dikelolah oleh orang-orang Cina.
Setelah
pergantian abad
Pada
tahun 1879, pemerintah Hindia Belanda mengakui perkembangan di utara-timut
Smatera pamtai dengan pembentukan asiten residen di Medan. Pada tahun 1898,
sebuah bangunan menumental berdiri di sisi barat Deli River untuk mengajukan
Residen.
Pada
tahun 1906, di Selatan-barat dari istana Sultan, dibangun Mesjid besar (Mesjid
Raya) gaya Maroko dengan jendela kaca patri yang dirancang oleh Dingemans. Pada
tahun 1907, sebuah operasi diluncurkan untuk mereformasikan mata uang di pantai
utara-timur dari Sumatera. Inggris Straits Kolonial Dolar dilarang dan Gulden
Hindia Belanda diperkenalkan, yang diikuti oleh pembentukan Javasche Bank di
sisi barat dari Esplanade. Pada tahun 1913, Kapten-Cina, Tjong A Fie, diberkahi
dengan townhall dengan menara jam
dibangunan gedung Balai Kota.
Pada
tahun 1909, arsitek dari BOW bernama J.Snuyf merancang kantor pos baru. Tahun
1914 didirikan gedung perkantoran di sudut barat Kesawan/Esplanade. Tahun 1929,
Nederlandsche Handel Maatschappaij dibangun kantor mereka di selatan Westside
Esplanade dengan gaya arsitektur modern dan dapat dibandingkan dengan gedung
perkantoran di kota Batavia Jakarta.
Kota Kolonial
Pada
tahun 1909, Medan encapai status sebagai kota mandiri. Terlepas dari
pembangunan-pembangunan diatas, sebuah perusahan pasokan air “Ajer Beresih”
(air bersih) juga dibangun pada tahun 1905. Untuk mencurahkan perhatian pada
peran arti inisiatif pribadi, perkebunan tembakau bersatu dalam yang Perkebunan
Deli Verceeniging (PDV), perkebunan karet bersatu kedalam AVROS.
Era Kolonial
akhir
Sekitar
tahun 1918, pemerintah kota mengambil langkah pertama menuju memainkan peran
aktif dalam masyarakat perumahan dan kesehatan. Pada tahun1919, mereka
memerintah peraturan kampung dan mencoba mnyadari model proyek perumahan,
empengaruhi kualitas perumahan anggaran yang rendah. Pelaksaan (kota)
proyek-proyek perbaikan kampung benar-benar dimulai pada tahun 1925, dengan
dukungan dana dari pemerintahan pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar