Senin, 15 Januari 2018

RESENSI BUKU PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEBU

JUDUL                        : PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEBU

PENULIS                    : EDY IKHSAN, SUZANNA EDIYONO, HISAR SIREGAR               DAN ALI MARTUA

PENERBIT                 : PENERBITAN ATAS KERJA SAMA LEMBAGA ADVOKASI ANAK INDONESIA (LAAI) DAN AMERICAN CENTER FOR INTERNATIONAL LABOUR SOLIDARITI (ACILS)

TAHUN TERBIT                 : CETAKAN PERTAMA, MARET 2000

JUMLAH HALAMAN       : 120 HALAMAN

BAB 1
SEJARAH SINGKAT PERKEBUNAN TEBU SEI SEMAYANG
SUMATERA UTARA
1.      Sejarah Singkat Perkebunan Tebu di Indonesia dan Sumatera Utara
1.1  sejarah perkebunan Tebu di Indonesia
setelah VOC berkuasa di Jawan Komoditi gula beralih sifatnya dari komuditi perdagangan menjadi komoditi industry, ketika pengusaha diberi ijin untuk memproduksi gula dengan syarat wajib menyetor 10 % dari hasilnya kepada penguasa.
Tahun 1830 diadakan peraturan Tanam Paksa, termasuk untuk tanaman tebu, Belanda sangat diuntungkan oleh hal ini sehingga ada pemeo “ Industri Gula Adlah Gabus Tempat Negeri Belanda Mengapung”. Namun di akhir abad 19, perkembangan industry gula di Jawa yang maju pesat, mengalami kemerosotan yang diakibatkan serangan penyakit sereh dan adanya persaingan dengan gula Bit asal Eropa sehingga menyebabkan krisis industry di Jawa.
Ditahun 1886 dan 1887 didirikan balai-balai penelitian untuk tanaman tebu, dan dari hasil penelitian berhasil ditemukan varietas-varietas yang bermutu baik sehingga rata-rata produksi hablur gula melonjak drastis sampai pada tahun 1931. Akan tetapi tahun 1933 jumlah pabrik gula yang beroprasi menyusut begitu pula luas areal yang diusahakan. Meski demikian produksi tetap dapat dipertahankan hingga tahun 1940.
Data lengkap tentang industry gula pada masa pendudukan Jepang dan masa revolusi fisik tidak ditemukan. Pada waktu kurun waktu 1950-1957, pengusaha Belanda kembali mengembangkan industry gula mereka di Jawa. Namun pada tahun 1957, seluruh perusahaan Belanda diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1957 hingga menjelang pelita 1, produksi gula terus berkembang.
Masa Pelita II, keluar Inpres No. 9 tahun 1975 yang merupakan kerangka politik untuk menempatkan industry gula pada posisi strategic dalam kerangka pembangunan nasional, dengan mengubah sistem tanah menjadi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Harkat petani diangkat dari buruh menjadi tuan ditanah sendiri. Setiap tahun areal yang disewakan pabrik semakin kecil dan areal TRI semakin luas. Namun hal ini membuat produksi akhirnya menurun karena para petani kurang terampil dalam mengelola tanaman tebu.
1.2  Sejarah Perkebunan Tebu di Sumatera Utara
Pada saat pengambilan alih perkebunan pada tahun 1957, PTP IX yang dahulu disebut PPN Baru Sumut I terdiri dari 22 perkebunan Tembakau yang memproduksi Tembakau Deli yang terkenal diseluruh dunia sebagai pembalut cerutu. Sampai pada tahun 1971 PTP IX hanya mengelola suatu komoditi yakni tembakau. PTP  IX yang berkedudukan di Medan, sesuai dengan surat Keputusan Menteri Agraria RI. No. 24/HGU/1965 tanggal 10 Juni 1965 mempunyai areal Hak Guna Usaha seluas 59.000 Ha yang membentang dari Sei Wampu di Kabupaten Langkat sampai Sei Ular Kabupaten Deli Serdang.
PTP IX selama ini telah mengalami resiko perusahaan yang mengelola monokultur khususnya tanaman semusim seperti Tembakau Deli. Maka berdasarkan situasi tersebut, PTP IX melakukan pengembangan berbagai jenis komoditi lainnya untuk memperkecil resiko tersebut seperti penanaman kelapa sawit pada tahun 1971 di tanah bekas penanaman tembakau yang dinilai tidak lagi menguntungkan. Dan di tahun 1877 dengan penanaman tanaman coklat sebagai pengganti tembakau kareba penerimaan terhadap coklat lebih merata.
Tanah bekas penanaman tembakau pada dasarnya harus dihutankan terlebih dahulu selama 5-6 tahun untuk menjaga kesuburan tanah. Namun sebelum dilakukan penghutanan Direktorat Jendral Perkebunan mengadakan penelitian sejak tahun 1975 dan hal itu membuahkan hasil yaitu bahwa budidaya tebu sangat tepat dilakukan diantara rotasi tembakau sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas tanah.
Sejak tahun 1981/1982 di Sumatera Utara dimulai penanaman tebu percobaan di kebun Sei Semayan, Batang Kuis, dan Tanjung Morawa oleh P3GI (pusat penelitian perusahaan Gula Indonesia). Di kebun tebu Sei Semayang dan Timbang Langkat di konversi total dengan tanaman tebu dan segera dibangaun sebuah pabrik gula yaitu Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) yang mulai berproduksi tahun 1983.  Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dibangun 16 pabrik gula di luar Pulau Jawa dan ditetapkan satu diantaranya adalah Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM)Byang mulai berproduksi tahun 1984.

BAB II
PEKERJA ANAK DAN KELUARGANYA
1.      Kelurahan Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di enam lingkungan yang terdapat di kelurahan Tunggurono, kecematan Binjai Timur. Dahulu wilayah ini merupakan bagian dari wilayah perkebunan yang dikenal sebagai penghasil tembakau dan hal ini berlangsung hingga tahun 1982. Kini wilayah itu dikenal sebagai sebagai daerah budidaya komoditi perdagangan tebu perkebunan Sei Semayang. Kelurahan ini terbentuk pada tahun 1962. Berdasarkan struktur mata pencarian penduduk, tercatat paling tidak sekitar 436 dari 1398 kepala keluarga bekerja sebagai buruh perkebunan.
Terdapat 16 lingkungan yang berada dalam wilayah kelurahan Tuggurono. Dari seluruh keluarga yang bermukim dikelurahan ini, hanya 430 keluarga yang menempati tanah milik sendiri dan keluarga lainnya tinggal di tanah milik perkebunan. Mereka menempati tanah itu sejak satu atau beberapa generasi sebelumnya, atau sejak mereka bekerja sebagai karyawan tetap dipekerbunan setempat.
2.      Pekerja Anak di Enam Lingkungan
Pekerja anak-anak di ke-6 lingkungan kelurahan Tunggurono telah ada tidak saja sejak terjadinya konversi komoditi penanaman tebu pada tahun 1982. Fenomena ini dapat dilacak ketika penanaman tembakau masih menjadi proses yang sangat menguntungkan. Pada masa itu, anak-anak bekerja terutama untuk membantu menyelesesaikan pekerjaan borongan orangtuanya sebagai pekerja di perkebunan tembakau. Kesibukan ketika masa panen tembakau tiba memaksa para pekerja untuk bekerja sejak dini hari hingga jauh malam sehingga tenaga anak-anak sangat diperlukan untuk dapat ,enyelesaikan pekerjaan itu. Dalam proses pengambilan ulat didaun yang hanya diupah dan yang lainnya mereka tidak mendapat upah, yang dikasi upah adalah orang tuanya.
Dalam hal ini dapt dilihat bahwa pentingnya kontribusi anak dalam aktifitas prekonomian pada saat pembudidayaan tembakau. Hal yang sama juga berlangsung saat ini. Dalam aktivitas keseharian anak-anak di ke 6 lingkungan itu, secara umum dapat dilakukan pemisahaan berdasarkan pekerjaan yang mendapatkan upah dengan yang tidak. Pekerjaan yang tidak mendapatkan upah meliputi pekerjaan-pekerjaan yang meringankan atau menggantikan pekerjaan orang dewasa sehingga mereka dapat bekerja di luar rumah dengan memperoleh upah. Pekerjaan ini meliputi: pengasuh adik, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, memasak, belanja ke warung dan lain-lain. Pekerjaan mendapatkan upah biasa diperoleh dengan bekerja lepas dikebon, sebagai pencari pinang dan pekupas pinang dan pekerjaan lainnya.
Pekerjaan yang mereka lakukan di kebon bisa seoerti mengikat tebu dan mengumpulkannya. Masalah pendidikan tak jarang dari mereka yang putus sekolah, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan kepala keluarga di ke-6 lingkungan termasuk rendah, yaitu hanya mampu menamatkan sampai tingkat SD. Namun anak-anak yang putus sekolah tergolong tinggi angkanya, terdapat pandangan-pandangan dari orangtuanya terkait dengan anak-anak yang putus sekolah. Alasan karena keterbatasn kemampuan ekonomi keluarga merupakan angka tertinggi yang menyebabkan anak-anak mereka tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi. Bersekolah ditinggat SLTP masih merupakan kemewahan. Namun ada juga anak-anak yang tidak sempat menamatkan sekolah di tingkat dasar.
Bukan hanya alasan karena keterbatasan ekonomi yang menjadi alasan anak-anak tersebut putus sekolah, namun ada juga alasan-alasan liannya seperti karena tinggal kelas yang menyebabkan mereka tidak ingin lagi pergi kesekolah, karena hal itu dianggap hanya menyulitkannya saja sehingga mereka lebih memilih bekerja diperkebunan tebu sebagai pekerja harian lepas.
Dalam hubungannya dengan pekerja anak, mandor selalu mengetahui asal-usul anak-anak yang bekerja padanya. Hal ini karena hubungan antara mandor dengan pekerja anak bukanlah merupakan hubungan kerja semata. Mandor dapat merupakan tetangga, kerabat dan barang kali teman orang tua si anak. Mandor-mandor tersebut tidak memiliki kriteria yang sama untuk menerima ataupun memberhentikan pekerja anak tersebut.
  
3.      Kondisi Pekerja Anak
Mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan lepas di perkebunan seperti diperkebunan tebu ternyata tidak sulit mendapatkan pekerjaan ditempat lain. Tidak ada syarat/kualifikasi pekerja yang dituntut untuk pekerjaan-pekerjaan di perkebunan. Tuntutan mandor terhadap para pekerja adalah kemampuan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan yang yang membutuhkan ketahanan fisik sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditentukannya.
4.      Pekerja Anak Musiman dan Harian
Padan umumnya, sesuai dengan masa penanaman, pemeliharaan, dan masa tebang atau panen tebu, para pekerja harian dapat dibagi dua, yaitu pekerja musiman yang bekerja pada masa panen dan pekerja harian yang bekerja pada masa pemeliharaan tanaman tebu.
Terdapat empat jenis pekerjaan yang dilakukan Pekerja Anak. Nebang/motong merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh PA musiman pada masa panen dan selebihnya yaitu mbeset, ngoret dan mupuk merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja anak harian.
Untuk upah pekerja anak memperoleh upah mingguan yang dibayar pada hari Sabtu atau Kamis. Pekerja anak musiman dapat memproleh upah sebesar Rp 5.000,- hingga 40.000,- per-minggu, sedangkan pekerja anak harian memperoleh Rp 20.000,- hingga Rp 50.000,- seminggu. Hanya 3 persen dari pekerja anak yang akan menggunakan upahnya terhadap dirinya sendiri dan 97 persen akan menyerahkan sebagian upahnya kepada orang tuanya.
Sering sekali para pekerja anak harus menggunakan alat yang berbahaya seperti paraang, arit, cangkul dan yang lainnya yang dianggap dapat membahayakan para pekerja anak saat bekerja.selain itu ada juga hal yang yang juga dapat membahayak bagi mereka adalah seperti terkena minang tebu yang menyebabkan bintil-bintil mengandung air yang menimbulkan rasa yang sangat gatal pada tangan dan kaki. Sayatan daun tebu  yang tajam diseluruh kaki dan tangan. Gigitan pacet, ular dan binatang berbisa lainnya.
Peralatam seperti  cangkul, koret, parang dan peralatan kerja lainnya biasanya disediakan oleh pekerja anak maupun pekerja dewasa. Pasilitas yang mereka terima dari mandor diluar biaya pengobatan pada saat kecelakaan yang dialami dilokasi kerja hanyalah pembagian sirup minuman menjelang lebaran.
Semua dilakukan pekerja anak ini sebagian karena ingin membantu prekonomian keluarganya sehingga ia memilih ikut orang tuannya untuk bekerja di kebon atau meminta sendiri kepada mandor sendiri.
 BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
dari bab sebelumnya, dapat diketahui beberapa hal berikut, perkiraan jumlah pekerja anak di perkebunan tebu Sei Semayang berkisar 1362 orang anak. Dari angka itu jumlah terbesar dari pekerja anak ditemui pada masa panen (sebagai pekerja lepas musiman), yaitu sebesar 1200 anak, sedangkan sisanya bekerja sebagai pekerja harian lepas pda masa-masa pemeliharaan
anak bekerja merupakan fenomena yang lazim di masyarakat setempat. Hal ini telah berlangsung pada saat pembudidayaan tanaman komoditi tanaman tembakausebelum konversi lahan ke tanaman tebu pada tahun 1982 dilakukan. Secara kultural .
capaian pendidikan pekerja anak dan keluarganya rendah, yaitu rata-rata SD. Hamper seluruh orang tua pekerja anak merupakan pekerja harian lepas dan hanya beberapa menjadi karyawan harian tetap.pekerja anak harian melakukan pekerjaan harian itu setelah mereka putus sekolah. Alasan putus sekolah merupakan interaksi beberapa hal yaitu ketiadaan biaya sekolah, tinggal kelas, terlalu capek unuk belajar karena bekerja musiman, disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan dirumah, dan lain-lain. Usia rata-rata anak putus sekolah ini adalah 13 tahun.
Pekerja anak melakukan pekerjaan yang tidak berbeda dengan oran dewasa. Anak mulai bekerja dan mendatangi sendiri mandor agar diberi pekerjaan, diajak orang tua, adik/kakak, ataupun diajak teman-temannya. Waktu kerja anak-anak rata-rata adalah 4,5 dengan upah yang diberikan rata-rata Rp. 33.000 dalam seminggu . fasilitas berupa jaminan kesehatan atau biaya pengobatan untuk pekerja yang terluka ketika bekerja tidak diberikan secara merata. Peralatan untuk kebutuhan bekerja disediakan oleh pekerja anak sendiri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...