JUDUL : PEKERJA ANAK DI
PERKEBUNAN TEBU
PENULIS : EDY IKHSAN, SUZANNA
EDIYONO, HISAR SIREGAR DAN
ALI MARTUA
PENERBIT : PENERBITAN ATAS KERJA SAMA
LEMBAGA ADVOKASI ANAK INDONESIA (LAAI) DAN AMERICAN CENTER FOR INTERNATIONAL
LABOUR SOLIDARITI (ACILS)
TAHUN
TERBIT : CETAKAN PERTAMA,
MARET 2000
JUMLAH
HALAMAN : 120 HALAMAN
BAB 1
SEJARAH SINGKAT PERKEBUNAN TEBU SEI SEMAYANG
SUMATERA UTARA
1. Sejarah
Singkat Perkebunan Tebu di Indonesia dan Sumatera Utara
1.1 sejarah
perkebunan Tebu di Indonesia
setelah VOC berkuasa di
Jawan Komoditi gula beralih sifatnya dari komuditi perdagangan menjadi komoditi
industry, ketika pengusaha diberi ijin untuk memproduksi gula dengan syarat
wajib menyetor 10 % dari hasilnya kepada penguasa.
Tahun 1830 diadakan
peraturan Tanam Paksa, termasuk untuk tanaman tebu, Belanda sangat diuntungkan
oleh hal ini sehingga ada pemeo “ Industri Gula Adlah Gabus Tempat Negeri
Belanda Mengapung”. Namun di akhir abad 19, perkembangan industry gula di Jawa
yang maju pesat, mengalami kemerosotan yang diakibatkan serangan penyakit sereh
dan adanya persaingan dengan gula Bit asal Eropa sehingga menyebabkan krisis
industry di Jawa.
Ditahun 1886 dan 1887
didirikan balai-balai penelitian untuk tanaman tebu, dan dari hasil penelitian
berhasil ditemukan varietas-varietas yang bermutu baik sehingga rata-rata
produksi hablur gula melonjak drastis sampai pada tahun 1931. Akan tetapi tahun
1933 jumlah pabrik gula yang beroprasi menyusut begitu pula luas areal yang
diusahakan. Meski demikian produksi tetap dapat dipertahankan hingga tahun
1940.
Data lengkap tentang
industry gula pada masa pendudukan Jepang dan masa revolusi fisik tidak
ditemukan. Pada waktu kurun waktu 1950-1957, pengusaha Belanda kembali
mengembangkan industry gula mereka di Jawa. Namun pada tahun 1957, seluruh
perusahaan Belanda diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1957
hingga menjelang pelita 1, produksi gula terus berkembang.
Masa Pelita II, keluar
Inpres No. 9 tahun 1975 yang merupakan kerangka politik untuk menempatkan
industry gula pada posisi strategic dalam kerangka pembangunan nasional, dengan
mengubah sistem tanah menjadi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Harkat petani
diangkat dari buruh menjadi tuan ditanah sendiri. Setiap tahun areal yang
disewakan pabrik semakin kecil dan areal TRI semakin luas. Namun hal ini
membuat produksi akhirnya menurun karena para petani kurang terampil dalam
mengelola tanaman tebu.
1.2 Sejarah
Perkebunan Tebu di Sumatera Utara
Pada saat pengambilan
alih perkebunan pada tahun 1957, PTP IX yang dahulu disebut PPN Baru Sumut I
terdiri dari 22 perkebunan Tembakau yang memproduksi Tembakau Deli yang
terkenal diseluruh dunia sebagai pembalut cerutu. Sampai pada tahun 1971 PTP IX
hanya mengelola suatu komoditi yakni tembakau. PTP IX yang berkedudukan di Medan, sesuai dengan
surat Keputusan Menteri Agraria RI. No. 24/HGU/1965 tanggal 10 Juni 1965
mempunyai areal Hak Guna Usaha seluas 59.000 Ha yang membentang dari Sei Wampu
di Kabupaten Langkat sampai Sei Ular Kabupaten Deli Serdang.
PTP IX selama ini telah
mengalami resiko perusahaan yang mengelola monokultur khususnya tanaman semusim
seperti Tembakau Deli. Maka berdasarkan situasi tersebut, PTP IX melakukan
pengembangan berbagai jenis komoditi lainnya untuk memperkecil resiko tersebut
seperti penanaman kelapa sawit pada tahun 1971 di tanah bekas penanaman
tembakau yang dinilai tidak lagi menguntungkan. Dan di tahun 1877 dengan
penanaman tanaman coklat sebagai pengganti tembakau kareba penerimaan terhadap
coklat lebih merata.
Tanah bekas penanaman
tembakau pada dasarnya harus dihutankan terlebih dahulu selama 5-6 tahun untuk
menjaga kesuburan tanah. Namun sebelum dilakukan penghutanan Direktorat Jendral
Perkebunan mengadakan penelitian sejak tahun 1975 dan hal itu membuahkan hasil
yaitu bahwa budidaya tebu sangat tepat dilakukan diantara rotasi tembakau
sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas tanah.
Sejak tahun 1981/1982
di Sumatera Utara dimulai penanaman tebu percobaan di kebun Sei Semayan, Batang
Kuis, dan Tanjung Morawa oleh P3GI (pusat penelitian perusahaan Gula
Indonesia). Di kebun tebu Sei Semayang dan Timbang Langkat di konversi total
dengan tanaman tebu dan segera dibangaun sebuah pabrik gula yaitu Pabrik Gula
Sei Semayang (PGSS) yang mulai berproduksi tahun 1983. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan gula
dalam negeri dibangun 16 pabrik gula di luar Pulau Jawa dan ditetapkan satu
diantaranya adalah Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM)Byang mulai berproduksi tahun
1984.
BAB
II
PEKERJA
ANAK DAN KELUARGANYA
1. Kelurahan
Tempat penelitian
Penelitian
dilakukan di enam lingkungan yang terdapat di kelurahan Tunggurono, kecematan
Binjai Timur. Dahulu wilayah ini merupakan bagian dari wilayah perkebunan yang
dikenal sebagai penghasil tembakau dan hal ini berlangsung hingga tahun 1982.
Kini wilayah itu dikenal sebagai sebagai daerah budidaya komoditi perdagangan
tebu perkebunan Sei Semayang. Kelurahan ini terbentuk pada tahun 1962.
Berdasarkan struktur mata pencarian penduduk, tercatat paling tidak sekitar 436
dari 1398 kepala keluarga bekerja sebagai buruh perkebunan.
Terdapat 16
lingkungan yang berada dalam wilayah kelurahan Tuggurono. Dari seluruh keluarga
yang bermukim dikelurahan ini, hanya 430 keluarga yang menempati tanah milik
sendiri dan keluarga lainnya tinggal di tanah milik perkebunan. Mereka
menempati tanah itu sejak satu atau beberapa generasi sebelumnya, atau sejak
mereka bekerja sebagai karyawan tetap dipekerbunan setempat.
2. Pekerja
Anak di Enam Lingkungan
Pekerja
anak-anak di ke-6 lingkungan kelurahan Tunggurono telah ada tidak saja sejak
terjadinya konversi komoditi penanaman tebu pada tahun 1982. Fenomena ini dapat
dilacak ketika penanaman tembakau masih menjadi proses yang sangat
menguntungkan. Pada masa itu, anak-anak bekerja terutama untuk membantu
menyelesesaikan pekerjaan borongan orangtuanya sebagai pekerja di perkebunan
tembakau. Kesibukan ketika masa panen tembakau tiba memaksa para pekerja untuk
bekerja sejak dini hari hingga jauh malam sehingga tenaga anak-anak sangat
diperlukan untuk dapat ,enyelesaikan pekerjaan itu. Dalam proses pengambilan
ulat didaun yang hanya diupah dan yang lainnya mereka tidak mendapat upah, yang
dikasi upah adalah orang tuanya.
Dalam hal ini
dapt dilihat bahwa pentingnya kontribusi anak dalam aktifitas prekonomian pada
saat pembudidayaan tembakau. Hal yang sama juga berlangsung saat ini. Dalam
aktivitas keseharian anak-anak di ke 6 lingkungan itu, secara umum dapat
dilakukan pemisahaan berdasarkan pekerjaan yang mendapatkan upah dengan yang
tidak. Pekerjaan yang tidak mendapatkan upah meliputi pekerjaan-pekerjaan yang
meringankan atau menggantikan pekerjaan orang dewasa sehingga mereka dapat
bekerja di luar rumah dengan memperoleh upah. Pekerjaan ini meliputi: pengasuh
adik, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, memasak, belanja ke warung
dan lain-lain. Pekerjaan mendapatkan upah biasa diperoleh dengan bekerja lepas
dikebon, sebagai pencari pinang dan pekupas pinang dan pekerjaan lainnya.
Pekerjaan yang
mereka lakukan di kebon bisa seoerti mengikat tebu dan mengumpulkannya. Masalah
pendidikan tak jarang dari mereka yang putus sekolah, hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan kepala keluarga di ke-6 lingkungan termasuk rendah, yaitu hanya
mampu menamatkan sampai tingkat SD. Namun anak-anak yang putus sekolah
tergolong tinggi angkanya, terdapat pandangan-pandangan dari orangtuanya
terkait dengan anak-anak yang putus sekolah. Alasan karena keterbatasn
kemampuan ekonomi keluarga merupakan angka tertinggi yang menyebabkan anak-anak
mereka tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi. Bersekolah
ditinggat SLTP masih merupakan kemewahan. Namun ada juga anak-anak yang tidak
sempat menamatkan sekolah di tingkat dasar.
Bukan hanya
alasan karena keterbatasan ekonomi yang menjadi alasan anak-anak tersebut putus
sekolah, namun ada juga alasan-alasan liannya seperti karena tinggal kelas yang
menyebabkan mereka tidak ingin lagi pergi kesekolah, karena hal itu dianggap
hanya menyulitkannya saja sehingga mereka lebih memilih bekerja diperkebunan
tebu sebagai pekerja harian lepas.
Dalam
hubungannya dengan pekerja anak, mandor selalu mengetahui asal-usul anak-anak
yang bekerja padanya. Hal ini karena hubungan antara mandor dengan pekerja anak
bukanlah merupakan hubungan kerja semata. Mandor dapat merupakan tetangga,
kerabat dan barang kali teman orang tua si anak. Mandor-mandor tersebut tidak
memiliki kriteria yang sama untuk menerima ataupun memberhentikan pekerja anak
tersebut.
3. Kondisi
Pekerja Anak
Mendapatkan
pekerjaan sebagai karyawan lepas di perkebunan seperti diperkebunan tebu
ternyata tidak sulit mendapatkan pekerjaan ditempat lain. Tidak ada
syarat/kualifikasi pekerja yang dituntut untuk pekerjaan-pekerjaan di
perkebunan. Tuntutan mandor terhadap para pekerja adalah kemampuan mereka untuk
menyelesaikan pekerjaan yang yang membutuhkan ketahanan fisik sesuai dengan
jenis pekerjaan yang ditentukannya.
4. Pekerja
Anak Musiman dan Harian
Padan umumnya,
sesuai dengan masa penanaman, pemeliharaan, dan masa tebang atau panen tebu,
para pekerja harian dapat dibagi dua, yaitu pekerja musiman yang bekerja pada
masa panen dan pekerja harian yang bekerja pada masa pemeliharaan tanaman tebu.
Terdapat empat
jenis pekerjaan yang dilakukan Pekerja Anak. Nebang/motong merupakan pekerjaan
yang dilakukan oleh PA musiman pada masa panen dan selebihnya yaitu mbeset,
ngoret dan mupuk merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja anak harian.
Untuk upah
pekerja anak memperoleh upah mingguan yang dibayar pada hari Sabtu atau Kamis.
Pekerja anak musiman dapat memproleh upah sebesar Rp 5.000,- hingga 40.000,-
per-minggu, sedangkan pekerja anak harian memperoleh Rp 20.000,- hingga Rp
50.000,- seminggu. Hanya 3 persen dari pekerja anak yang akan menggunakan
upahnya terhadap dirinya sendiri dan 97 persen akan menyerahkan sebagian
upahnya kepada orang tuanya.
Sering sekali
para pekerja anak harus menggunakan alat yang berbahaya seperti paraang, arit,
cangkul dan yang lainnya yang dianggap dapat membahayakan para pekerja anak saat
bekerja.selain itu ada juga hal yang yang juga dapat membahayak bagi mereka
adalah seperti terkena minang tebu yang menyebabkan bintil-bintil mengandung
air yang menimbulkan rasa yang sangat gatal pada tangan dan kaki. Sayatan daun
tebu yang tajam diseluruh kaki dan
tangan. Gigitan pacet, ular dan binatang berbisa lainnya.
Peralatam
seperti cangkul, koret, parang dan
peralatan kerja lainnya biasanya disediakan oleh pekerja anak maupun pekerja
dewasa. Pasilitas yang mereka terima dari mandor diluar biaya pengobatan pada
saat kecelakaan yang dialami dilokasi kerja hanyalah pembagian sirup minuman
menjelang lebaran.
Semua dilakukan
pekerja anak ini sebagian karena ingin membantu prekonomian keluarganya
sehingga ia memilih ikut orang tuannya untuk bekerja di kebon atau meminta
sendiri kepada mandor sendiri.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
dari bab sebelumnya,
dapat diketahui beberapa hal berikut, perkiraan jumlah pekerja anak di
perkebunan tebu Sei Semayang berkisar 1362 orang anak. Dari angka itu jumlah
terbesar dari pekerja anak ditemui pada masa panen (sebagai pekerja lepas
musiman), yaitu sebesar 1200 anak, sedangkan sisanya bekerja sebagai pekerja
harian lepas pda masa-masa pemeliharaan
anak bekerja merupakan
fenomena yang lazim di masyarakat setempat. Hal ini telah berlangsung pada saat
pembudidayaan tanaman komoditi tanaman tembakausebelum konversi lahan ke
tanaman tebu pada tahun 1982 dilakukan. Secara kultural .
capaian pendidikan
pekerja anak dan keluarganya rendah, yaitu rata-rata SD. Hamper seluruh orang
tua pekerja anak merupakan pekerja harian lepas dan hanya beberapa menjadi
karyawan harian tetap.pekerja anak harian melakukan pekerjaan harian itu
setelah mereka putus sekolah. Alasan putus sekolah merupakan interaksi beberapa
hal yaitu ketiadaan biaya sekolah, tinggal kelas, terlalu capek unuk belajar
karena bekerja musiman, disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan
dirumah, dan lain-lain. Usia rata-rata anak putus sekolah ini adalah 13 tahun.
Pekerja anak melakukan
pekerjaan yang tidak berbeda dengan oran dewasa. Anak mulai bekerja dan
mendatangi sendiri mandor agar diberi pekerjaan, diajak orang tua, adik/kakak,
ataupun diajak teman-temannya. Waktu kerja anak-anak rata-rata adalah 4,5
dengan upah yang diberikan rata-rata Rp. 33.000 dalam seminggu . fasilitas
berupa jaminan kesehatan atau biaya pengobatan untuk pekerja yang terluka
ketika bekerja tidak diberikan secara merata. Peralatan untuk kebutuhan bekerja
disediakan oleh pekerja anak sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar