Senin, 15 Januari 2018

Resensi Buku Menjinakkan Kuli Bab 5 sampai 7

Identitas Buku
Judul Buku        : Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di                                                Sumatera Timur Pada Awal Abad Ke-20
Penulis                         : Jan Breman
Penerjemah                  : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit                       : Pustaka Utama Grafiti
Cetakan                       : Cetakan 3, 1992
Jumlah Halaman          : 346


Komentar Tentang Buku

Buku karangan Jan Breman yang berjudul Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, (terj) Koesalah Soebagyo Toer ini berisi tentang fakta sejarah sosial dan segi-segi negatif dari sistem kapitalisme dan kolonialisme. Breman dengan lugas mengungkap praktek keji politik kolonial Belanda terhadap puluhan ribu pekerja asal India, Cina, dan Jawa serta daerah-daerah lain di Pantai Timur Sumatera yang dipekerjakan di kawasan perkebunan Sumatera Timur pada sekitar peralihan abad ke -19 dan abad ke-20. Permasalahan yang dikupas dalam buku Breman adalah sekitar seratus ribu pekerja di daerah Sumatera Timur yang tidak mempunyai hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang telah dibuat dengan pihak perkebunan sebelum berangkat ke Deli. Para pekerja yang berani menghentikan kontrak kerja dan melarikan diri, akan menerima hukuman berat yang disebut dengan poenale sanctie (sangsi hukuman).
Breman menggunakan analisis sosiologis untuk mengungkapkan penderitaan para pekerja di perkebunan. Pengungkapan fakta sejarah yang terpendam dalam arsip-arsip kerajaan Belanda selama 90 tahun telah membuktikan betapa kejinya politik penjajah Belanda sekitar abad ke-19 dan abad ke-20. Breman juga menggali arsip-arsip berupa laporan yang dibuat oleh Rhemrev, seorang Jaksa Tinggi yang ditugaskan menilai pelaksanaan ordonansi kuli (Koeli Ordonnantie) pada tahun 1903. Selain itu juga berdasarkan tulisan J. van Brand seorang pengacara di ibu kota Keresidenan Sumatera Timur, Medan. Tulisan tersebut dituangkan dalam brosurnya berjudul “De Millioenen uit Deli”,yang mengacu kepada keuntungan berupa jutaan gulden kekayaan yang digali dari perkebunan-perkebunan besar di Deli. Isi brosur khususnya menyoroti kasus-kasus berkenaan dengan penerapan ordonansi serta sanksi hukumannya (poenale sanctie).
            Breman lebih dari sekedar menggali fakta sejarah-sosial dan mengungkapkan segi-segi negatif dari sistem kapitalisme dan kolonialisme, juga memberikan contoh yang sangat berharga sebagai cendikiawan bagi pakar-pakar ilmu sosial dan kemasyarakatan pada umumnya. Dalam buku ini, Breman dengan jujur dan berani mengungkapkan penyimpangan kebijakan pemerintahnya. Dampak kebijakan yang tidak adil dan tidak berperikemanusiaan itu disoroti dengan tajamnya. Selain itu kita dapat mengambil pelajaran dari buku ini bahwa pendekatan sejarah-sosial mampu menggali dan merenkonstruksi dari arsip-arsip masa lampau, keadaan masyarakat secara cermat.


Ringkasan Buku

Bab V. Masyarakat Perkebunan dan Orde Kolonial
Masyarakat Perkebunan yang berada di Sumatra Timur memiliki beberapa sifat yang unik, ciri cirinya adalah terletak di pinggiran daerah jajahan, tumbuh cepat sebagai faktor yang dominan, serta keberadaan majikan dan buruh yang bersifat sementara. Hegemoni para tuan kebun dan kekerasan yang menandai perlakuannya terhadap para kuli sangatlah menonjol untuk sistem di daerah rintisan seperti terwujud di daerah Sumatra pada akhir abad ke 19. Timur yang liar merupakan istilah yang tepat untuk menyebut iklim sosial di daerah itu.
Pembukaan Buitengewest ( Daerah Luar Jawa ), merupakan langkah penting dalam menetapkan perbatasan imperium Belanda di Asia Tenggara, menjelang akhir abad yang lalu sudah mendekati penyelesaian. Faktor yang perlu di catat bahwa kedua golongan yang menjadi tenaga penggerak perkebunan itu semula boleh di katakan seluruhnya (majikan) atau sebagian besar (kuli) datang dari luar tanah jajahan ini. Inisiatifnya sudah pasti datang dari para pengusaha swasta dapat memanfaatkan kedudukan strategis daerah yang masih jarang penduduknya tapi luas tanahnya ini untuk menciptakan cara cara produksi baru yang tidak terlalu terperanguh oleh struktur struktur prakapitalis. Di samping alasan ekonomi, sejak semula sudah jelas ada pula alasan ekonomi, sejak semula sudah jelas ada pula alasan yang berkaitan dengan negara. Sumatra pada paruh pertama abad ke 19 adalah wilayah yang di sengketakan oleh Belanda dan Inggris. Dibukanya Terusan Suez menyebabkan jarak ke Eropa menjadi jauh lebih pendek, dan yang paling penting adalah jarak ke pasar dunia. Pertumbuhan Malaka yang pesat sebagai daerah eksploitasi berdasarkan perkebunan, dan pertumbuhan Singapura sebagai titik transfer di Pasifik, juga telah mendorong pemerintah Hindia Belanda bergerak Jalan menuju Asia Timur, dimana sedang terjadi berbagai perubahan besar, menghampar di dekat pantai Sumatra. Kalau hendak mencegah jatuhnya wilayah itu ke tangan Inggris, pemerintah Hindia Belanda harus hadir di situ secara nyata.
Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan pemerintah kolonial ingin mengisi kekosongan di daerah pinggiran, seperti pertimbangan politik dalam negeri mengapa daerah yang di perebutkan itu harus di duduki secara konkret dan dilindungi. Dorongan untuk melakukan ekspansi juga di sebabkan oleh padatnya Pulau Jawa, disana masa petaninya pun betul betul tak ada daya gerak dan ekonominya tetap mandek di tingkat yang sangat rendah.
Pada tahun 1885 mulai tampak jelas bahwa produksi tembakau di perusahaan perusahaan perkebunan besar tidak akan bersifat sementara melainkan tetap. Maka para pengusaha dan pemerintah pun mulai melakukan penanaman modal besar besaran, yang dalam jangka panjang memang di perlukan, yaitu untuk membangun jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, rumah sakit, kantor kantor pemerintahan, dan secara umum meningkatkan mutu fasilitas infrastruktur dan kerangka institusional yang sesuai untuk kehidupan masyarakat yang lebih teratur dan maju.
Ciri daerah kolonisasi Sumatra Timur ialah bahwa orang datang kesana bukan dengan niat menetap selamanya. Baik tuan kebun maupun kuli beranggapan bahwa keberadaan mereka di sana hanyalah sementara. Di perusahaan perusahaan perkebunan Amerika yang lama, sebagian besar buruh dan pengusaha pun berasal dari tempat lain, namun mereka datang bukan hanya untuk bekerja tetapi untuk menetap.
Sumatra Timur seolah sudah menjadi satu perkebunan besar dan yang berperan sebagai pemilik saham terbesar adalah Deli Maatschappij, perlu di catat, perusahaan itu memilih Medan sebagai markas besar, dan baru sesudahnya tempat itu menjadi pusat pemerintahan daerah. Tidak salah kalau para tuan kebun beranggapan bahwa Deli adalah ciptaan dan milik mereka, jaringan insfrastruktur yang utama seperti jalan raya, jalan kereta api, hubungan telepon dan telegraf, pasokan air, rumah sakit, semuanya di biayai dan dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan. Medan terletak di jantung tanah perkebunan dan mencerminkan watak perkebunan itu.
Pada tahun 1880an jumlah amtenar dan jawatan secara berangsur angsur bertambah, namun sesudah masa perintis lewat pun hegemoni perusahaan swasta tetap tidak berkurang. Para tuan kebun cepat menyadari bahwa keuntungan akan berada di pihak mereka apabila mereka bersatu. Kesadaran tersebut penting sekali bagi kemantapan hegemoni itu yang harus menjalankan tugasnya jauh dari pusat kebijakan politik kolonial dalam hal ini harus berhadapan dengan barisan perusahaan perkebunan besar yang kuat dan padu.
Dalam persekutuan yang di kelola oleh PT di Sumatra Timur itu ikut serta pula kepala kepala orang Cina dan bangsawan pribumi, mereka bertugas mendisiplinkan orang orang setanah air mereka di perkebunan. Mereka berasal dari kalangan pedagang kelas menengah yang tinggak di kota kota penting dan pelabuhan-pelabuhan daerah itu dalam jumlah besar, dan mereka bertindak sebagai agen perusahaan Cina yang berpusat di Singapura dan Penang. Mereka adalah mata rantai penting dalam jaringan distribusi, baik ilegal maupun ilegal, seperti penyelundupan opium, penjualan kuli kontrak yang melarikan diri dan pelacur.
            Perkebunan di Sumatra Timur memiliki markas besar yaitu di Medan, yang mana Medan terletak di jantung tanah perkebunan dan mencerminkan watak perkebunan itu. Medan bukan hanya pusat pemerintahan dan ekonomi saja tetapi di sana juga terdapat dinas pemerintah, kantor kantor dagang, dan perusahaan pemasok lahan, tetapi juga sebagai tempat rekreasi bagi para tuan kebun. Di situ mereka menghabiskan liburan mereka. Di dalam maskapai perkebunan di bentuklah suatu asisten yang kedudukannnya pun kurang dianggap oleh tuan kebun itu sendiri, kedudukan asisten pun juga tidak mau di sejajarkan oleh para kuli, asisten tersebut apabila mencari hiburan dengan berburu dan atribut yang dengan sendirinya erat dengannya adalah kuda dan senapan, setelah beberapa lama, sifat sifat kasar dalam kehidupan tuan kebun lama-lama aus juga. Adat yang lebih halus mulai tampak, dan tipe pengusaha yang baru pun tampil kedepan, menunjukkan adanya peradaban rohani tinggi.
Mereka dengan seenaknya memotong gaji para buruh. Dengan adanya pemotongan-pemotongan tersebut bisa dibilang apa yang mereka dapatkan tidaklah sebanding dengan kerja yang sangat berat dan menyiksa ketahanan tubuh mereka sehingga bagi yang tidak mampu lagi menjalankan pekerjaan itu bukanlah semata-mata untuk mendapatkan upah melainkan dengan tujuan hanya untuk mendapatkan jaminan hidup yang nyatanya menyengsarakan di barak-barak pekerja atau buruh perkebunan di perusahaan Deli Maatschappij.
Misalnya pemimpin perusahaan memotong lagi jumlah keseluruhan penanaman tembakau untuk menutup beberapa penggeluarannya seperti biaya membersihkan lahan dan kegiatan lainnya untuk menyiapkan lahan tembakau. Meskipun demikian mereka tetap harus bekerja dan walaupun kontraknya telah habis masanya. Kenyataan ini bukanlah seperti yang kita bayangkan seperti saat ini, karena demi mendapatkan secercah kelegaan dan kebahagiaan untuk hidup, mereka harus tetap berhutang kepada pengusaha agar mendapatkan yang mereka inginkan. Misalnya saja, hiburan berupa pertunjukan seni, siapa-siapa yang ingin mendapatkan kesenangan dengan mendengarkan musik-musik atau tarian yang dikiranya sangat menggembirakan harus membayar karena tarif untuk menyewa artis-artis tersebut dikenakan kepada penonton yang biasanya adalah para kuli kontrak.
Kalau diperhatikan tentang masyarakat perkebunan, pesta mabuk-mabukan yang liar, kakasaran, dan ketidaksopanan tetap menandai gaya hidup orang Eropa di Deli selama beberapa dasawarsa pertama abad ke-20. Perjudian yang terang-terangan diberlakukan pun menjadi tipu muslihat bagi pengusaha perkebunan dimana setiap orang yang kalah dalam berjudi boleh meminjam uang lagi dengan syarat bunga yang tinggi dan dibayar tepat waktu. Maka, mereka yang sudah kehilangan akal untuk mendapatkan uang harus meminta lagi kepada administrateur untuk dapat bekerja lagi dan membuat kontrak yang baru dengan perusahaan.




Sangat kurangnya unsur perempuan di Deli sesuai benar dengan gambaran Deli sebagai tempat transit yang masyarakatnya di kenal masih agak liar. Lelaki mendominasi staf perkebunan dari atas sampai bawah dari 688 orang eropa yang ada di Sumatra Timur pada 1884, 540 orang diantaranya adalah lelaki dan 148 orang perempuan. kebanyakan asisten berstatus bujangan, karena bagi mereka berlaku larangan kawin. Kalau sesekali terlalu berani atau besar mulut, biasanya mereka di maafkan karena statusnya masih bujangan.
Di kalangan kuli, kaum perempuan juga merupakan minoritas. Dari seluruh kuli sebanyak 62.000 orang yang bekerja di Deli Maatschappij pada awal abad ke 20, hanya 5000 orang yang berjenis kelamin perempuan semuanya adalah orang Jawa, kaum lelaki di sana masih berusia muda, di perkebunan mereka dapat menikmati seks, tetapi orang Cina tak begitu menyukai perempuan mereka lebih menyukai anak anak di bawah umur yang dinamakan anak Jawi, dan pengawas punya hak pertama atas mereka, banyak juga diantara mereka yang berhubungan sesama jenis dan pembunuhan yang di latar belakangi hubungan sesama jenis bukan hal aneh di sana, tetapi bagi orang Jawa berlaku sebaliknya. Tanpa perempuan, mereka tidak mungkin bertahan hidup di perkebunan, lelaki jawa cepat merasa puas,sedangkan perempuan mudah terikat pada perkebunan tempat tinggal mereka.
Tetapi akibat banyaknya hubungan tanpa status banyak terjadi penyebaran penyakit kelamin dan apabila da perempuan yang masuk ke perkebunan mereka di periksa terlebih dahulu untuk mengantisipasi penyakit tersebut dan perempuan itu juga menjual anak anaknya kepada orang yang menawar paling tinggi, ini menunjukkan betapa rusak susila para kuli kontrak di perkebunan itu, sama halnya dengan lelaki eropa untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka mendapatkan hak pertama untuk memilih wanita pribumi atau dari jepang untuk ikatan sementara, mereka di jadikan pengurus rumah tangga yang merupakan isitilah yang halus untuk gundik Jawa yang cantik dan patuh, menurut anggapan di perkebunan semua wanita di anggap sebagai pelacur atau terpaksa menjadi pelacur, walaupun demikian para tuan kebun memanfaatkan juga pelacur kontrak itu untuk memuaskan nafsu seks mereka dan mereka bersaing dengan orang jawa dan Cina yang cabul.

Di dalam struktur perkebunan superioritas orang kulit putih berhadapan denghan inferioritas Asia. Situasi kolonial yang merupakan tanah subur bagi rasialismeyang jahat menimbulkan ketegangan lain dalam hubungan perburuhan di perkebunan, tenaga kerja selamanya terdiri atas orang timur yang sebagian rendah sekali statusnya. Pengawasan berasa di tangan orang porang yang sadar akan superioritas rasialnya dan mereka hidup dalam tradisi hubungan yang patriarkat.
Yang penting bagi mereka adalah warna kulit. Antara kulit putih di satu pihak dan kulit sawo matang atau kuning di lain pihak tak mungkin ada warna campuran. Inilah sebabnya maka tak ada orang indo eropa di perkebunan Deli, jadi kebalikannya dari keadaan di Pulau Jawa bahkan di kalangan pejabat pemerintahan pun lapisan antara itu sangat sedikit jumlahnya. Pada masa perintis, orang kurang memperhatikan warna kulit dalam menerima pegawai untuk tugas kantor dan tugas bantuan lainnya, tapi menjelang akhir abad yang lalu lapisan antara di perkebunan itu di bersihkan dari unsur unsur non putihnya.
Ordonansi kuli tidak membawa perubahan pada praktek-praktek jahat yang sejak semula sudah menjadi ciri perkebunan di Sumatra Timur, padahal alasan pokok memperkenalkan ordonansi itu pada 1880 adalah memberikan perlindungan hukum kepada para kuli kontrak, berita yang tak banyak jumlahnya menunjukkan bahwa para tuan kebun terus bertindak otokratis dan memperlakukan para kuli mereka dengan buruk, kemudian sempat menembus ke dunia luar. Usaha mengakhiri ekses ekses tersebut dengan merumuskan perintah dan larangan secara lebih tegas hanya sedikit atau tidak memberi hasil sama sekali atau bahkan memberi efek sebaliknya. Tidak mungkin lagi di tutup-tutupi bahwa tindak kekerasan merupakan ciri yang menonjol dalam industri perkebunan besar dan pertambangan di Daerah Luar Jawa yang mempekerjakan tenaga buruh dalam jumlah besar.
Beberapa kesimpulan yang bidsa diambil adalah keadaan di tempat kuli kontrak hidup dan bekerja di perkebunan tidak jauh berbeda dari keadaan ditempat para pekerja paksa bekerja, kuli kontrak dianggap tak kurang kriminalnya dari pekerja paksa, karenanya, sikap terhadap kedua golongan itu pada hakikatnya sama, yaitu bahwa hanya dengan disiplin besi saja sampah masyarakat pribumi atau bangsat-bangsat tak berguna itu dapat di suruh bekerja dan terus di pekerjakan. Tiang hukuman yang sangat besar peranannnya untuk mendisiplinkan kuli kontrak di perkebunan tidak hanya berguna di situ, dan bukan penemuan para majikan yang gila kuasa. Secara umum tiang hukuman merupakan alat ampuh pemerintah kolonial untuk menundukkan kuli yang suka berontak.

Bab VI. Masalah Kuli: Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan
            Pada awalnya gejolak yang terjadi antara pemilik kebun, Pekerja (kuli) dan penguasa (kolonial) yang terjadi di deli Sumatera Timur disulut dengan adanya brosur yang diumumkan oleh Van Den Brand. Tulisan atau brosur ini banyak menimbulkan kontra terutama bagi pemilik modal (pemilik kebun), poltitisi kolonial maupun kalangan birokrat. Inti dari brosur yang diterbitkan oleh Van Den Bremen adalah telah terjadinya ketidak adilan di sumatera timur berkaitan dengan hasil praktik ordonansi kuli dimana kuli tidak diperlakukan dengan peri kemanusian, disiksa, dihukum tanpa melalui pembelaan. Dapat dilihat disini kaum penegak hukum juga telah melakukan hal yang tidak berdasarkan keadilan. Dan herannya ini hanya berlaku pada pekerja (kuli yang bekerja pada pengusaha pemilik modal perkebunan di Sumatera Tengah. Sedangkan sebaliknya hukum tumpul jika membidik penguasa pemilik modal. Pendapat Van Den Brand juga dipertegas oleh Dokter Tscudownsky dalam kongres kedotekan di Paris, dia mengatakan bahwa “di Deli (Sumatera Timur) peradapan diajarkan kepada pribumi dan orang cina (yang umumnya kuli yang bekerja pada pengusaha perkebunan) dengan tongkat, alkohol dan sfilis (penyakit kelamin).
            Karena brosur yang telah dikeluarkan sangat menghebohkan, bahkan sampai dengan majlis rendah di belanda, maka menteri urusan daerah jajahan menunjuk Rhemrev untuk menyelidiki kebenaran dan apa sebenarnya terjadi seperti yang tercatat dari brosur tersebut. Selama dalam melaksanakan penyelidikan, untuk mendapatkan keterangan yang objektif Rhemrev, menggunakan metode pendekan parsipatori dengan menggunakan mata-mata. Hal ini bertujuan untuk mengatasi kecendrungan ketidak percayaan dan stigma negative dari pekerja (kuli) terhadap orang kulit putih, sehingga proses pengambilan dan pengumpulan data jadi tidak efektif bahkan terhambat. Namun dari segi pengusaha cara yang dilakukan oleh Rhemdev ini juga tidak berkenan. Pihak pengusaha menginkan pengambilan data didampingi oleh pihak perusahaan (tuan kebun). Sehinga proses pengambilan data menjadi agak terhambat. Dan informasi ini juga sampai kepada majelis rendah, dan meminta Menteri daerah jajahan agar menjamin Rhendrev perpegang teguh dengan metode dan pandangannya sendiri.
            Hasil pemeriksaan yang dilakukan Rhendrev dengan mengandalkan petunjuk tidak langsung akibat dari pembatasan yang diinginkan oleh tuan kebun menunjukan adanya ruang yang digunakan sebagai penjara, tanda-tanda aus pada tiang hukuman yang menunjukan bahwa kuli biasa diikat disitu. Selain itu ia juga melakukan penyelidikan terhadap pejabat kehakiman terhadapa ordonasi kuli seperti dalam brosur Van Den Brand. Hasil penyelidikannya menunjukan bahwa seorang majikan sudah cukup untuk menghukum seorang kuli dengan tuduhan melarikan diri dan hukuman itu selalu lebih berat dari aturan. Dan pada intinya hasil pemeriksaan tersebut adalah telah terjadinya kejahata di sumatera timur, dengan kesedihan dan penderitaan pekerja akibat praktek ordonasi kuli.
            Rekomendasi dari hasil penyelidikan oleh Rhemrev, yang walaupun naskah aslinya tidak pernah dipublikasikan dimanapaun adalah sebagai berikut :
(1) Pembentukan Pejabat Khusus untuk mengawasi pelaksanaan ordonasi kuli,
(2) Pembentukan Pengadilan Tinggi di Medan,
(3) Perbaikan Upah Kuli dan
(4)Peningkatan kekuatan kepolisian.
Atas usulan rekomendasi tersebut ditetapkanlah Hotink sebagai inspektur khusus untuk mengawasi praktek ordonasi kuli. Selain itu juga Gubernur Jenderal telah menyuratai menteri daerah jajahan untuk menaikan upah minimum namun tidak mendapatkan respon balik.
            Hasil  dari penyelidikan Rhemrev menjadi diskusi yang sengit di kancah perpolitikan majelis rendah belanda. Setiap orang dan anggota majelis rendah menunggu pempublikasian dari hasil penyelidikan Rhemrev. Terutama dari partai oposisi pemerintah partai sosialis. Perdebatan panjang terjadi antara partai pendukung pemerintah bersama menteri urusan daerah jajahan dengan paratai sosialis sebagai oposisi pemerintah. Pokok yang diperdebatkan adalah “hasil penelidikan“ yang hanya brupa ringkasan yang laporan utamanya tidak pernah dipulikasikan. Pihak oposisi sangat keras untuk menentang penghapusan Poenale Sanctie dalam ordonasi kuli dengan mengajukan mosi yang cenderung moderat antara lain perlu mengusulkan apakah perlu pemaksaan dalam perjanjian kerja. Berdasarkan perjanjian tersebut akan disusun peraturan baru.
Mengenai pembentukan pengadilan tinggi di Sumatera Timur, lobi tuan kebun sangat gencar agar tidak jadi dibentuk karena dengan adanya pengadilan tinggi akan menghalangi praktek melanggar hukum yang mereka lakukan kepada pekerja. Kabarnya dengan adanya intervensi tuan kebun kepada residen Sumatera Timur, dimana residen Sumatera Timur mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal perihal tentang tidak diperlukannya pengadilan tinggi. Selain itu ordonansi kuli tetap akan dilaksanakan ditambah dengan rencana penambahan polisi. Hasil penjelasan dari menteri tersebut dapat diterima oleh anggota majelis rendah.
            Namun dalam internal departemen sendiri juga terjadi perdebatan akibat hasil penyelidikan Rhemrev. Dimana adanya paham kemanusian menentang adanya fakta yang terjadi dengan adanya pelanggaran kemanusian. Disamping itu pemerintah dengan berbagai cara termasuk dengan memanfaatkan dan memutar balikan informasi yang tidak diketahui oleh pihak lain untuk merasionasasikan bahwa kebijakan ordonasi kuli rancangan Hoetink yang sangat merugikan pekerja tetap dilaksanakan. Disampin itu juga memberikan alasan-alasan yang membenarkan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengadilan dalam mengawasi dan menegakan hukum di Sumatera Timur.
            Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan baik antara pemerintah dengan tuan tanah dalam melindungi usaha dan kekejaman praktek pengurusan kebun di Sumatera Timur. Pemerintah lebih cenderung melindungi tuan tanah (pengusaha) karena dampak dari sector usaha perkebunan saat itu sangat menunjang keungan Negara belanda. Dilain pihak rakyat (pekerja/kuli) sangat dirugikan bahkan sampai dengan dianiaya, dirampas hak hukumnya demi kepentingan tuan tanah. Pemerintah telah lalai dalam menjaga dan meregulasi hubungan antara tuan tanah dan kuli. Walaupun demikian, masih ada yang berpihak kepada kuli seperti Van Den Brand yang menyuarakan ketidak adilan di Sumatera Timur ke dunia Internasional dan Rhemrev yang berusaha dengan objectif melakukan penyelidikan terhadap ketidak adilan, walaupun mentah di kancah politik pemerintah Hindia maupun kancah politik belanda. Dan pada akhirnya tersingkir. Demikainlah skandal pemerintah dengan tuan tanah menghisap darah para kuli dalam penyelenggaraan perkebunan di Sumatera Timur pada abad ke-20.

Bab VII. Restorasi
Pada 1905, masih pada masa Menteri Idenburg, ketua Pengadilan Negeri di Batavia, A.F. van Blommestein, mulai menyusun rancangan baru yang jauh lebih kritis. Dia juga menyusun paparan mengenai latar belakang masalah tersebut, yang banyak diminta oleh para pejabat Kementerian Daerah jajahan di Belanda. Konsep akhir yang diselesaikan pada 1908 mengusulkan agar poenale sanctie dipertahankan hanya untuk sebagian kuli, dan oleh karenanya tak dapat diterima oleh para tuan kebun. Rancangan itu tetap tak dapat diterima, sekalipun penyusun sudah mengakomodasi sebagian tuntutan mereka. Baru pada 1915 mulai diberlakukan ordonansi kuli yang baru lengkap dengan poenale sanctienya, yang oleh Van Blommestein dijuluki "cambuk". Tekanan berat dari para majikan lagi-lagi mendatangkan hasil. Amarah lain Cremer, berhasil membela kepentingan mereka lewat pernyataannya kepada Idenburg yang kini menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, bahwa pasa1-pasal tentang hukuman dan paksaan di dalam kontrak kerja mutlak diperlukan.  Menurut laporan komisi Parlemen yang mempersiapkan ordonansi yang baru itu, jumlah kuli di perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur pada awal 1917 meningkat menjadi hampir 200.000 orang, berarti dua kali lipat dari jumlah pada awal abad ini. Narnun, jumlah pekerja bebas hanya 35% dari keseluruhannya, bahkan kurang dari jumlah pada masa sebelumnya. Kerja paksa tetap ada dan masih berjalan terus. Karena sudah tahu hagaimana nanti kesudahannya, Van Blommestein menerbitkan brosur yang menuduh bahwa Idenburg secara berencana berpihak pada tuan kebun dan tak mau tahu konsekuensi nyata dari pernyataan yang berulang kali disampaikannya, bahwa kerja tak bebas harus diakhiri . Kemunafikan Idenburg seperti yang disebut Van Blommestein adalah tuduhan paling ringan yang dapat dilontarkan kepada pejabat paling tinggi itu. Dan tuduhan itu agaknya bukan tanpa dasar.
Lantas, bagaimana dengan Inspeksi Perburuhan? Keampuhan inspektorat itu segera saja dilumpuhkan. Yang menyejukkan adalah ungkapan pemerintah sewaktu inspektorat dilantik, yaitu bahwa pemerintah dengan sengaja tidak secara ketat menguraikan tugas dan wewenang inspektorat itu. Cara kerjanya diserahkan kepada kepala inspektorat yang dikenal sebagai petugas yang tenang dan telah menyatakan akan erat bekerja sama dengan komite tuan kebun. Seperti pada masa lalu, apa yang bisa mempermalukan para majikan haruslah ditutupi. Tetapi, para pengusaha sudah mempelajari. bagaimana cara memanipulasi aturan-aturan yang baru itu, dan kalau perlu menghindarinya. Karena itu, mereka tidak menyatakan keberatan ketika pemerintah pada 1908 (Staatsblad 400) menggantikan peraturan sementara Inspektorat Perburuhan itu dengan peraturan yang definitif. Ketika ordonansi kuli baru yang berlaku mulai 1915 dipersiapkan, Komite Tuan Kebun merasa puas, karena tidak membahayakan kepentingan tuan kebun. Bagaimanapun, pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku pemimpin perusahaan pada tahun-tahun yang lalu tak banyak membawa hasil. Séjak 1907 hanya ada sembilan belas kasus penuntutan tuan kebun karena dipersalahkan melanggar ordonansi kuli.
Tidak dapat tidak disimpulkan bahwa langkah-langkah yang diambil samasekali tidak sebanding dengan kehebatan skandal kuli di Sumatra Timur. Dengan lain perkataan,-para pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan kolonial sudah sangat berhasil menetralisir akibat dari skandal itu. Reaksi umum yang diakibatkan oleh terungkapnya skandal kuli sangat menyudutkan para pendukung tatanan hubungan perburuhan yang berlaku. Sesungguhnya penganut aliran etis dalam kebijakan kolonial iebih berpengaruh dibanding dengan pada tahun-tahun kemudian setelah segalanya berlalu, sekarang kita dapat memastikan bahwa ketika suasana marah dan goncang sedang terjadi, sesungguhnya itulah saat yang tepat untuk melakukan perubahan yang mendasar, yaitu seandainya pada saat politik yang tepat waktu itu lebih banyak diberikan desakan, terutama di Belanda. Itulah juga pendapat pengamat paling kritis yang mendalami masalah kuli bertahun-tahun kemudian.
Menurut pandangan itu, tidak akan mungkin membuka perusahaan perkebunan besar, kemudian mengonsolidasikannya, dan akhirnya mengembangkannya lebih lanjut, kalau tidak ada ordonansi kuli dan poenale sanctie. Jalan pikiran ini menurut saya kurang meyakinkan, karena beberapa hal. Pertama-tama karena pengembangan bentuk-bentuk produksi yang lain dianggap tidak mungkin. Seperti kita lihat, anggapan itu sangat keliru. Pada masa perintis pun pernah ada orang lain di luar tuan kebun Eropa yang berminat mengusahakan tanaman ekspor. Yang saya maksud adalah para pedagang Cina, yang sejak sebelum kedatangan para perintis Eropa sudah tertarik membudidayakan lada. Sebagian dari mereka mengikuti jejak para pengusaha Barat pertama dengan membuka ladang-ladang tembakau. Tetapi, kemudian pemerintah kolonial menghentikan usaha tersebut tak ragu lagi, pastilah itu akibat tekanan para tuan kebun kulit putih yang waktu itu sudah ada. Orang Cina betul-betul dicegah agar tidak menguasai tanah, dan perlakuan demikian juga berlaku untuk orang pribumi setempat yang berminat menanam tembakau Jika kita tengok kembali motif didirikannya Deli Planters Vereeniging seperti ditulis oleh sekretarisnya pada awal abad ini, kita temukan di situ bahwa dasar pencegahan itu sudah dinyatakan secara terbuka.
Cara produksi lain yang juga berorientasi pasar, tapi segera dicekik dari awalnya adalah peralihan kepada kapitalisme tani yang asli. Pendorongnya yang panama adalah lada. Dua cara yang digunakan untuk merintangi usaha itu, pertama secara langsung, yaitu tanah diserahkan dalam jumlah besar kepada perusahaan-perusahaan perkebunan, jauh lebih besar dari yang mereka perlukan untuk penanaman tembakau tiap tahun Akibatnya, semakin banyak tanah pertanian yang diambil dari kalangan petani. Kedua, cara yang tidak langsung ialah dengan permufakatan di antara perusahaan perusahaan Barat yang terikat dalam organisasi untuk hanya memasarkan tembakau dari perkebunan sendiri jadi, penduduk daerah itu dikucilkan dari tanah mereka sendiri dan, bersamaan dengan itu, secara paksa mereka digiring kembali ke produksi pertanian pangan.
Kerja di pertambangan merupakan sistem eksploitasi bahan mentah yang tidak berbeda jauh dari sistem produksi di perkebunan. Yang membuat berita itu lehih menarik lagi ialah bahwa ketika ordonansi kuli diberlakukan asisten residen Billiton (Belitung) sudah menyatakan pendapatnya yang senada. Kedua, dan dalam hubungan dengan hal di atas, karena para tuan kebun dengan sadar dan sistematis sejak semula telah menentang peralihan ke kerja bebas. Kerja kontrak mencegah adanya upah yang tinggi, juga mencegah orang bermukim secara bebas dan berpindah-pindah secara spontan. Watak produksi kapitalistis di perkebunan sampai awal abad ke-20 menyebabkan tuan kebun tidak berkepentingan memiliki tenaga kerja yang permanen dan stabil. Sebaliknya, organisasi perusahaan mereka itu didasarkan pada prinsip sirkulasi, yaitu mendatangkan kuli yang masih segar dan melepaskan kuli yang sudah habis tenaganya.
Pilihan yang tampak konstan lebih pada kuli singkek (baru datang dari Cina) daripada tenaga yang berpengalaman menunjukkan bahwa para tuan kebun mendorong terbentuknya pola hubungan sosial dan ekonomi yang benar-benar bertentangan dengan perkembangan angkatan kerja yang ajek.
Syarat untuk keiangsungan sistem sirkuiasi adaiah peraturan lccrja yang dirumuskan dengan ketat, yang berarti kuli kontrak hams tunduk sepenuhnya. Untuk itu, tepat sekali keberadaan ordonansi kuli dengan poenale sanctienya.  Dengan menunda penghapusan ordonansi, pemerintah membantu memantapkan cara produksi yang pada sekitar pertukaran abad ini sebenarnya sudah usang. Yang perlu dicatat adalah keluhan scorang pengusaha yang secara sia-sia mencoba memperkenalkan pola hubungan kerja yang lain, yaitu dengan memborongkan produksi pada kelompok pekerja yang membentuk kerja sama di kalangan mereka sendiri. Menurut pengalamannya, kuli Cina senang bekerja berdasarkan kontrak, dan di negerinya sendiri pun mereka biasa melakukannya dalam bentuk kelompok. Tetapi, ordonansi kuli tidak mengenal bentuk kerja yang lain. Ikatan kontrak dia lakukan dengan masing-masing kuli dan instruksi diberikan langsung oleh majikan.
Pilihan yang tampak konstan lebih pada kuli singkek (baru datang dari Cina) daripada tenaga yang berpengalaman menunjukkan bahwa para tuan kebun mendorong terbentuknya pola hubungan sosial dan ekonomi yang benar-benar bertentangan dengan perkembangan angkatan kerja yang ajek. Syarat untuk kelangsungan sistem sirkuiasi adalah peraturan kerja yang dirumuskan dengan ketat, yang berarti kuli kontrak harus tunduk sepenuhnya. Untuk itu, tepat sekali keberadaan ordonansi kuli dengan poenale sanctienya.  Dengan menunda penghapusan ordonansi, pemerintah membantu memantapkan cara produksi yang pada sekitar pertukaran abad ini sebenarnya sudah usang. Yang perlu dicatat adalah keluhan seorang pengusaha yang secara sia-sia mencoba memperkenalkan pola hubungan kerja yang lain, yaitu dengan memborongkan produksi pada kelompok pekerja yang membentuk kerja sama di kalangan mereka sendir. Menurut pengalamannya, kuli Cina senang bekerja berdasarkan kontrak, dan di negerinya sendiri pun mereka biasa melakukannya dalam bentuk kelompok. Tetapi, ordonansi kuli tidak mengenal bentuk kerja yang lain Ikatan kontrak dia lakukan dengan masing-masing kuli dan instruksi diberikan langsung oleh majikan.
Dalam dasawarsa pertama abad ke-20 telah terjadi sejumlah perubahan besar dalam sifat dan sistem perburuhan di perkebunan Sumatra Timur. Agaknya wajar kalau kita mengaitkannya dengan pengungkapan berbagai pelanggaran di perkebunan, mula-mula oleh Van den Brand, yang kemudian dibenarkan oleh Rhemrev dalam laporan resminya. Sebelum ini saya sudah menyatakan keraguan saya terhadap anggapan bahwa kaum politisi dan birokrat berusaha keras mengadakan perubahan-perubahan akibat tekanan pendapat umum. Padahal, sebetulnya perubahan itu digerakkan oleh kekuatan yang lain, bukan oleh penilaian kembali hubungan antara majikan dan buruh yang didasarkan pada nilai-nilai moral atau politik. Secara bertahap orang beralih dari tanaman tembakau ke tanaman keras seperti karet, kemudian sisal dan kelapa sawit. Kegiatan ini menyebabkan digunakannya tenaga kerja yang lain, sebuah peralihan yang berbarengan dengan digantikannya kuli Cina dengan kuli Jawa. Tuan kebun kini lebih suka agar tenaga kerja pendatang tinggal menetap di perkebunan. Jadi, berubahnya dasar industri perkebunan menyebabkan lama-kelamaan sistem kerja kontrak pun tidak diperlukan Iagi.
Namun demikian, segala aturan mengenai kerja paksa dan hukuman dalam ordonansi kuli tetap berlaku hingga menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial. Seperti sebelumnya, para majikan menggunakan ordonansi itu sebagai alat untuk menguasai tenaga kerja. Caranya ialah seperti ditunjukkan dalam pcnelitian Stoler yang bagus, yang terutama membicarakan periode kolon‘ial akhir dan pasca kolonial. Pada abad ke-20 keseimbangan hak dan kewajiban versi pemerintah tak disangsikan lagi bergeser ke arah yang menguntungkan para pekerja. Walaupun demikian, timbul juga pelbagai kejadian mengerikan seperti dilukiskan oleh Rhemrev, juga pada tahun- tahun kemudian.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...