Identitas Buku
Judul
Buku :
Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad Ke-20
Penulis :
Jan Breman
Penerjemah : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit :
Pustaka Utama Grafiti
Cetakan :
Cetakan 3, 1992
Jumlah
Halaman : 346
Komentar Tentang Buku
Buku karangan Jan
Breman yang berjudul Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad
ke-20, (terj) Koesalah Soebagyo Toer
ini berisi tentang fakta sejarah sosial dan segi-segi negatif dari
sistem kapitalisme dan
kolonialisme. Breman dengan lugas mengungkap
praktek keji politik kolonial Belanda terhadap puluhan ribu pekerja asal India,
Cina, dan Jawa serta daerah-daerah lain di Pantai Timur Sumatera yang
dipekerjakan di kawasan perkebunan Sumatera Timur pada sekitar peralihan abad
ke -19 dan abad ke-20. Permasalahan yang dikupas dalam buku Breman adalah
sekitar seratus ribu pekerja di daerah Sumatera Timur yang tidak mempunyai hak
untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang telah dibuat dengan pihak perkebunan
sebelum berangkat ke Deli. Para pekerja yang berani menghentikan kontrak kerja dan
melarikan diri, akan menerima hukuman berat yang disebut dengan poenale sanctie
(sangsi hukuman).
Breman menggunakan
analisis sosiologis untuk mengungkapkan penderitaan para pekerja di perkebunan.
Pengungkapan fakta sejarah yang terpendam dalam arsip-arsip kerajaan Belanda
selama 90 tahun telah membuktikan betapa kejinya politik penjajah Belanda
sekitar abad ke-19 dan abad ke-20. Breman juga menggali arsip-arsip berupa
laporan yang dibuat oleh Rhemrev, seorang Jaksa Tinggi yang ditugaskan menilai
pelaksanaan ordonansi kuli (Koeli Ordonnantie) pada tahun 1903. Selain itu juga
berdasarkan tulisan J. van Brand seorang pengacara di ibu kota Keresidenan
Sumatera Timur, Medan. Tulisan tersebut dituangkan dalam brosurnya berjudul “De
Millioenen uit Deli”,yang mengacu kepada keuntungan berupa jutaan gulden
kekayaan yang digali dari perkebunan-perkebunan besar di Deli. Isi brosur
khususnya menyoroti kasus-kasus
berkenaan dengan penerapan ordonansi serta sanksi hukumannya (poenale sanctie).
Breman lebih dari sekedar menggali
fakta sejarah-sosial dan mengungkapkan segi-segi negatif dari sistem
kapitalisme dan kolonialisme, juga memberikan contoh yang sangat berharga
sebagai cendikiawan bagi pakar-pakar ilmu sosial dan kemasyarakatan pada
umumnya. Dalam buku ini, Breman dengan jujur dan berani mengungkapkan
penyimpangan kebijakan pemerintahnya. Dampak kebijakan yang tidak adil dan
tidak berperikemanusiaan itu disoroti dengan tajamnya. Selain itu kita dapat mengambil pelajaran dari buku ini bahwa
pendekatan sejarah-sosial mampu menggali dan merenkonstruksi dari arsip-arsip
masa lampau, keadaan masyarakat secara cermat.
Ringkasan
Buku
Bab V. Masyarakat
Perkebunan dan Orde Kolonial
Masyarakat Perkebunan
yang berada di Sumatra Timur memiliki beberapa sifat yang unik, ciri cirinya adalah
terletak di pinggiran daerah jajahan, tumbuh cepat sebagai faktor yang
dominan, serta
keberadaan majikan dan buruh yang bersifat sementara. Hegemoni para tuan
kebun dan kekerasan yang menandai perlakuannya terhadap para kuli sangatlah
menonjol untuk sistem di daerah rintisan seperti terwujud di daerah Sumatra
pada akhir abad ke 19. ”Timur
yang liar”
merupakan istilah yang tepat untuk menyebut iklim sosial di daerah itu.
Pembukaan Buitengewest
( Daerah Luar Jawa ), merupakan langkah penting dalam menetapkan perbatasan
imperium Belanda di Asia Tenggara, menjelang akhir abad yang lalu sudah
mendekati penyelesaian. Faktor
yang perlu di catat bahwa kedua golongan yang menjadi tenaga penggerak
perkebunan itu semula boleh di katakan seluruhnya (majikan) atau sebagian besar
(kuli) datang dari luar tanah jajahan ini. Inisiatifnya sudah pasti datang dari
para pengusaha swasta dapat memanfaatkan kedudukan strategis daerah yang masih
jarang penduduknya tapi luas tanahnya ini untuk menciptakan cara cara produksi
baru yang tidak terlalu terperanguh oleh struktur struktur prakapitalis. Di samping alasan
ekonomi, sejak
semula sudah jelas ada pula alasan ekonomi, sejak semula sudah
jelas ada pula alasan yang berkaitan dengan negara. Sumatra pada paruh pertama abad ke 19
adalah wilayah yang di sengketakan oleh Belanda dan Inggris. Dibukanya Terusan Suez
menyebabkan jarak ke Eropa menjadi jauh lebih pendek, dan yang paling penting
adalah jarak ke pasar dunia. Pertumbuhan
Malaka yang pesat sebagai daerah eksploitasi berdasarkan perkebunan, dan pertumbuhan
Singapura sebagai titik transfer di Pasifik, juga telah mendorong
pemerintah Hindia Belanda bergerak Jalan menuju Asia Timur, dimana sedang terjadi
berbagai perubahan besar, menghampar
di dekat pantai Sumatra. Kalau
hendak mencegah jatuhnya wilayah itu ke tangan Inggris, pemerintah Hindia
Belanda harus hadir di situ secara nyata.
Ada beberapa alasan
lain yang menyebabkan pemerintah kolonial ingin mengisi kekosongan di daerah
pinggiran, seperti
pertimbangan politik dalam negeri mengapa daerah yang di perebutkan itu harus
di duduki secara konkret dan dilindungi. Dorongan untuk
melakukan ekspansi juga di sebabkan oleh padatnya Pulau Jawa, disana masa petaninya
pun betul betul tak ada daya gerak dan ekonominya tetap mandek di tingkat yang
sangat rendah.
Pada tahun 1885 mulai
tampak jelas bahwa produksi tembakau di perusahaan perusahaan perkebunan besar
tidak akan bersifat sementara melainkan tetap. Maka para pengusaha dan
pemerintah pun mulai melakukan penanaman modal besar besaran, yang dalam jangka
panjang memang di perlukan, yaitu
untuk membangun jalan raya, jalan
kereta api, pelabuhan, rumah sakit, kantor kantor
pemerintahan, dan
secara umum meningkatkan mutu fasilitas infrastruktur dan kerangka
institusional yang sesuai untuk kehidupan masyarakat yang lebih teratur dan
maju.
Ciri daerah kolonisasi
Sumatra Timur ialah bahwa orang datang kesana bukan dengan niat menetap
selamanya. Baik
tuan kebun maupun kuli beranggapan bahwa keberadaan mereka di sana hanyalah
sementara. Di
perusahaan perusahaan perkebunan Amerika yang lama, sebagian besar buruh
dan pengusaha pun berasal dari tempat lain, namun mereka datang
bukan hanya untuk bekerja tetapi untuk menetap.
Sumatra Timur seolah
sudah menjadi satu
perkebunan besar dan yang berperan sebagai pemilik saham terbesar adalah Deli
Maatschappij, perlu
di catat, perusahaan
itu memilih Medan sebagai markas besar, dan baru sesudahnya
tempat itu menjadi pusat pemerintahan daerah. Tidak salah kalau para
tuan kebun beranggapan bahwa Deli adalah ciptaan dan milik mereka, jaringan insfrastruktur
yang utama seperti jalan raya, jalan
kereta api, hubungan
telepon dan telegraf, pasokan
air, rumah
sakit, semuanya
di biayai dan dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan. Medan terletak di
jantung tanah perkebunan dan mencerminkan watak perkebunan itu.
Pada tahun 1880an
jumlah amtenar dan jawatan secara berangsur angsur bertambah, namun sesudah masa
perintis lewat pun hegemoni perusahaan swasta tetap tidak berkurang. Para tuan kebun cepat
menyadari bahwa keuntungan akan berada di pihak mereka apabila mereka bersatu. Kesadaran tersebut
penting sekali bagi kemantapan hegemoni itu yang harus menjalankan tugasnya
jauh dari pusat kebijakan politik kolonial dalam hal ini harus berhadapan
dengan barisan perusahaan perkebunan besar yang kuat dan padu.
Dalam persekutuan yang
di kelola oleh PT di Sumatra Timur itu ikut serta pula kepala kepala orang Cina
dan bangsawan pribumi, mereka
bertugas mendisiplinkan orang orang setanah air mereka di perkebunan. Mereka berasal dari
kalangan pedagang kelas menengah yang tinggak di kota kota penting dan
pelabuhan-pelabuhan
daerah itu dalam jumlah besar, dan
mereka bertindak sebagai agen perusahaan Cina yang berpusat di Singapura dan
Penang. Mereka
adalah mata rantai penting dalam jaringan distribusi, baik ilegal maupun
ilegal, seperti
penyelundupan opium, penjualan
kuli kontrak yang melarikan diri dan pelacur.
Perkebunan di Sumatra Timur
memiliki markas besar yaitu di Medan, yang mana Medan terletak di jantung tanah
perkebunan dan mencerminkan watak perkebunan itu. Medan bukan hanya pusat
pemerintahan dan ekonomi saja tetapi di sana juga terdapat dinas pemerintah, kantor kantor dagang, dan perusahaan pemasok
lahan, tetapi
juga sebagai tempat rekreasi bagi para tuan kebun. Di situ mereka
menghabiskan liburan mereka. Di
dalam maskapai perkebunan di bentuklah suatu asisten yang kedudukannnya pun
kurang dianggap oleh tuan kebun
itu sendiri, kedudukan
asisten pun juga tidak mau di sejajarkan oleh para kuli, asisten tersebut
apabila mencari hiburan dengan berburu dan atribut yang dengan sendirinya erat
dengannya adalah kuda dan senapan, setelah beberapa lama, sifat sifat kasar dalam
kehidupan tuan kebun lama-lama
aus juga. Adat
yang lebih halus mulai tampak, dan
tipe pengusaha yang baru pun tampil kedepan, menunjukkan adanya
peradaban rohani tinggi.
Mereka dengan
seenaknya memotong gaji para buruh. Dengan adanya
pemotongan-pemotongan tersebut bisa dibilang apa yang mereka dapatkan tidaklah
sebanding dengan kerja yang sangat berat dan menyiksa ketahanan tubuh mereka
sehingga bagi yang tidak mampu lagi menjalankan pekerjaan itu bukanlah
semata-mata untuk mendapatkan upah melainkan dengan tujuan hanya untuk
mendapatkan jaminan hidup yang nyatanya menyengsarakan di barak-barak pekerja
atau buruh perkebunan di perusahaan Deli Maatschappij.
Misalnya pemimpin
perusahaan memotong lagi jumlah keseluruhan penanaman tembakau untuk menutup
beberapa penggeluarannya seperti biaya membersihkan lahan dan kegiatan lainnya
untuk menyiapkan lahan tembakau. Meskipun demikian mereka tetap harus bekerja
dan walaupun kontraknya telah habis masanya. Kenyataan ini bukanlah seperti
yang kita bayangkan seperti saat ini, karena demi mendapatkan secercah kelegaan
dan kebahagiaan untuk hidup, mereka harus tetap berhutang kepada pengusaha agar
mendapatkan yang mereka inginkan. Misalnya saja, hiburan berupa pertunjukan
seni, siapa-siapa yang ingin mendapatkan kesenangan dengan mendengarkan
musik-musik atau tarian yang dikiranya sangat menggembirakan harus membayar
karena tarif untuk menyewa artis-artis
tersebut dikenakan kepada penonton yang biasanya adalah para
kuli kontrak.
Kalau diperhatikan
tentang masyarakat perkebunan, pesta mabuk-mabukan yang liar, kakasaran, dan
ketidaksopanan tetap menandai gaya hidup orang Eropa di Deli selama beberapa
dasawarsa pertama abad ke-20.
Perjudian yang
terang-terangan diberlakukan pun menjadi tipu muslihat bagi pengusaha
perkebunan dimana setiap orang yang kalah dalam berjudi boleh meminjam uang
lagi dengan syarat bunga yang tinggi dan dibayar tepat waktu. Maka, mereka yang
sudah kehilangan akal untuk mendapatkan uang harus meminta lagi kepada
administrateur untuk dapat bekerja lagi dan membuat kontrak yang baru dengan
perusahaan.
Sangat kurangnya unsur
perempuan di Deli sesuai benar dengan gambaran Deli sebagai tempat transit yang
masyarakatnya di kenal masih agak liar. Lelaki mendominasi staf
perkebunan dari atas sampai bawah dari 688 orang eropa yang ada di Sumatra
Timur pada 1884, 540
orang diantaranya adalah lelaki dan 148 orang perempuan. kebanyakan asisten
berstatus bujangan, karena
bagi mereka berlaku larangan kawin. Kalau sesekali terlalu berani atau besar
mulut, biasanya
mereka di maafkan karena statusnya masih bujangan.
Di kalangan kuli, kaum perempuan juga
merupakan minoritas. Dari seluruh kuli sebanyak 62.000 orang yang bekerja di
Deli Maatschappij pada awal abad ke 20, hanya 5000 orang yang
berjenis kelamin perempuan semuanya adalah orang Jawa, kaum lelaki di sana
masih berusia muda, di
perkebunan mereka dapat menikmati seks, tetapi orang Cina tak
begitu menyukai perempuan mereka lebih menyukai anak anak di bawah umur yang
dinamakan anak Jawi, dan
pengawas punya hak pertama atas mereka, banyak juga diantara
mereka yang berhubungan sesama jenis dan pembunuhan yang di latar belakangi
hubungan sesama jenis bukan hal aneh di sana, tetapi bagi orang Jawa
berlaku sebaliknya. Tanpa
perempuan, mereka
tidak mungkin bertahan hidup di perkebunan, lelaki jawa cepat
merasa puas,sedangkan perempuan mudah terikat pada perkebunan tempat tinggal
mereka.
Tetapi akibat banyaknya
hubungan tanpa status banyak terjadi penyebaran penyakit kelamin dan apabila da
perempuan yang masuk ke perkebunan mereka di periksa terlebih dahulu untuk
mengantisipasi penyakit tersebut dan perempuan itu juga menjual anak anaknya
kepada orang yang menawar paling tinggi, ini menunjukkan betapa
rusak susila para kuli kontrak di perkebunan itu, sama halnya dengan
lelaki eropa untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka mendapatkan hak
pertama untuk memilih wanita
pribumi atau dari jepang untuk ikatan sementara, mereka di jadikan
pengurus rumah tangga yang merupakan isitilah yang halus untuk gundik Jawa yang
cantik dan patuh, menurut
anggapan di perkebunan semua wanita di anggap sebagai pelacur atau terpaksa
menjadi pelacur, walaupun
demikian para tuan kebun memanfaatkan juga pelacur kontrak itu untuk memuaskan
nafsu seks mereka dan mereka bersaing dengan orang jawa dan Cina yang cabul.
Di dalam struktur
perkebunan superioritas orang kulit putih berhadapan denghan inferioritas Asia. Situasi kolonial yang
merupakan tanah subur bagi rasialismeyang jahat menimbulkan ketegangan lain
dalam hubungan perburuhan di perkebunan, tenaga kerja selamanya
terdiri atas orang timur yang sebagian rendah sekali statusnya. Pengawasan berasa di
tangan orang porang yang sadar akan superioritas rasialnya dan mereka hidup
dalam tradisi hubungan yang patriarkat.
Yang penting bagi
mereka adalah warna kulit. Antara
kulit putih di satu pihak dan kulit sawo matang atau kuning di lain pihak tak
mungkin ada warna campuran. Inilah
sebabnya maka tak ada orang indo eropa di perkebunan Deli, jadi kebalikannya dari
keadaan di Pulau Jawa bahkan di kalangan pejabat pemerintahan pun lapisan
antara itu sangat sedikit jumlahnya. Pada masa perintis, orang kurang
memperhatikan warna kulit dalam menerima pegawai untuk tugas kantor dan tugas
bantuan lainnya, tapi
menjelang akhir abad yang lalu lapisan antara di perkebunan itu di bersihkan
dari unsur unsur non putihnya.
Ordonansi kuli tidak
membawa perubahan pada praktek-praktek
jahat yang sejak semula sudah menjadi ciri perkebunan di Sumatra Timur, padahal alasan pokok
memperkenalkan ordonansi itu pada 1880 adalah memberikan perlindungan hukum
kepada para kuli kontrak, berita
yang tak banyak jumlahnya menunjukkan bahwa para tuan kebun terus bertindak otokratis
dan memperlakukan para kuli mereka dengan buruk, kemudian sempat
menembus ke dunia luar. Usaha
mengakhiri ekses ekses tersebut dengan merumuskan perintah dan larangan secara
lebih tegas hanya sedikit atau tidak memberi hasil sama sekali atau bahkan
memberi efek sebaliknya. Tidak
mungkin lagi di tutup-tutupi
bahwa tindak kekerasan merupakan ciri yang menonjol dalam industri perkebunan
besar dan pertambangan di Daerah Luar Jawa yang mempekerjakan tenaga buruh
dalam jumlah besar.
Beberapa kesimpulan
yang bidsa diambil adalah keadaan di tempat kuli kontrak hidup dan bekerja di
perkebunan tidak jauh berbeda dari keadaan ditempat para pekerja paksa bekerja, kuli kontrak dianggap
tak kurang kriminalnya dari pekerja paksa, karenanya, sikap terhadap kedua
golongan itu pada hakikatnya sama, yaitu bahwa hanya dengan disiplin besi
saja sampah masyarakat pribumi atau bangsat-bangsat tak berguna itu dapat
di suruh bekerja dan terus di pekerjakan. Tiang hukuman yang
sangat besar peranannnya untuk mendisiplinkan kuli kontrak di perkebunan tidak
hanya berguna di situ, dan
bukan penemuan para majikan yang gila kuasa. Secara umum tiang hukuman
merupakan alat ampuh pemerintah kolonial untuk menundukkan kuli yang suka
berontak.
Bab
VI. Masalah Kuli: Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan
Pada awalnya gejolak yang terjadi
antara pemilik kebun, Pekerja (kuli) dan penguasa (kolonial) yang terjadi
di deli Sumatera Timur disulut dengan adanya brosur yang diumumkan oleh Van Den
Brand. Tulisan atau brosur ini banyak menimbulkan kontra terutama bagi pemilik
modal (pemilik kebun), poltitisi kolonial
maupun kalangan birokrat. Inti dari brosur
yang diterbitkan oleh Van Den Bremen adalah telah terjadinya ketidak adilan di
sumatera timur berkaitan dengan hasil praktik ordonansi kuli dimana kuli tidak
diperlakukan dengan peri kemanusian, disiksa, dihukum tanpa melalui pembelaan.
Dapat dilihat disini kaum penegak hukum juga telah melakukan hal yang tidak
berdasarkan keadilan. Dan herannya ini hanya berlaku pada pekerja (kuli yang
bekerja pada pengusaha pemilik modal perkebunan di Sumatera Tengah. Sedangkan
sebaliknya hukum tumpul jika membidik penguasa pemilik modal. Pendapat Van Den
Brand juga dipertegas oleh Dokter Tscudownsky dalam kongres kedotekan di Paris,
dia mengatakan bahwa “di Deli (Sumatera Timur) peradapan diajarkan kepada
pribumi dan orang cina (yang umumnya kuli yang bekerja pada pengusaha
perkebunan) dengan tongkat, alkohol
dan sfilis (penyakit kelamin).
Karena brosur yang telah
dikeluarkan sangat menghebohkan, bahkan sampai dengan majlis rendah di belanda,
maka menteri urusan daerah jajahan menunjuk Rhemrev untuk menyelidiki kebenaran
dan apa sebenarnya terjadi seperti yang tercatat dari brosur tersebut. Selama
dalam melaksanakan penyelidikan, untuk mendapatkan keterangan yang objektif
Rhemrev, menggunakan metode pendekan parsipatori dengan menggunakan mata-mata.
Hal ini bertujuan untuk mengatasi kecendrungan ketidak percayaan dan stigma
negative dari pekerja (kuli) terhadap orang kulit putih, sehingga proses
pengambilan dan pengumpulan data jadi tidak efektif bahkan terhambat. Namun
dari segi pengusaha cara yang dilakukan oleh Rhemdev ini juga tidak berkenan.
Pihak pengusaha menginkan pengambilan data didampingi oleh pihak perusahaan
(tuan kebun). Sehinga proses pengambilan data menjadi agak terhambat. Dan
informasi ini juga sampai kepada majelis rendah, dan meminta Menteri daerah
jajahan agar menjamin Rhendrev perpegang teguh dengan metode dan pandangannya
sendiri.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan
Rhendrev dengan mengandalkan petunjuk tidak langsung akibat dari pembatasan
yang diinginkan oleh tuan kebun menunjukan adanya ruang yang digunakan sebagai
penjara, tanda-tanda aus pada tiang hukuman yang menunjukan bahwa kuli biasa
diikat disitu. Selain itu ia juga melakukan penyelidikan terhadap pejabat
kehakiman terhadapa ordonasi kuli seperti dalam brosur Van Den Brand. Hasil
penyelidikannya menunjukan bahwa seorang majikan sudah cukup untuk menghukum
seorang kuli dengan tuduhan melarikan diri dan hukuman itu selalu lebih berat
dari aturan. Dan pada intinya hasil pemeriksaan tersebut adalah telah
terjadinya kejahata di sumatera timur, dengan kesedihan dan penderitaan pekerja
akibat praktek ordonasi kuli.
Rekomendasi dari hasil penyelidikan
oleh Rhemrev, yang walaupun naskah aslinya tidak pernah dipublikasikan
dimanapaun adalah sebagai berikut :
(1) Pembentukan Pejabat Khusus untuk
mengawasi pelaksanaan ordonasi kuli,
(2) Pembentukan Pengadilan Tinggi di
Medan,
(3) Perbaikan Upah Kuli dan
(4)Peningkatan
kekuatan kepolisian.
Atas usulan rekomendasi
tersebut ditetapkanlah Hotink sebagai inspektur khusus untuk mengawasi praktek
ordonasi kuli. Selain itu juga Gubernur Jenderal telah menyuratai menteri
daerah jajahan untuk menaikan upah minimum namun tidak mendapatkan respon
balik.
Hasil dari penyelidikan Rhemrev menjadi diskusi
yang sengit di kancah perpolitikan majelis rendah belanda. Setiap orang dan
anggota majelis rendah menunggu pempublikasian dari hasil penyelidikan Rhemrev.
Terutama dari partai oposisi pemerintah partai sosialis. Perdebatan panjang
terjadi antara partai pendukung pemerintah bersama menteri urusan daerah
jajahan dengan paratai sosialis sebagai oposisi pemerintah. Pokok yang
diperdebatkan adalah “hasil penelidikan“ yang hanya brupa ringkasan yang
laporan utamanya tidak pernah dipulikasikan. Pihak oposisi sangat keras untuk
menentang penghapusan Poenale Sanctie dalam ordonasi kuli dengan mengajukan
mosi yang cenderung moderat antara lain perlu mengusulkan apakah perlu pemaksaan
dalam perjanjian kerja. Berdasarkan
perjanjian tersebut akan disusun peraturan baru.
Mengenai pembentukan
pengadilan tinggi di Sumatera Timur, lobi tuan kebun sangat gencar agar tidak
jadi dibentuk karena dengan adanya pengadilan tinggi akan menghalangi praktek
melanggar hukum yang mereka lakukan kepada pekerja. Kabarnya dengan adanya
intervensi tuan kebun kepada residen Sumatera Timur, dimana residen Sumatera
Timur mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal perihal tentang tidak
diperlukannya pengadilan tinggi. Selain itu ordonansi kuli tetap akan
dilaksanakan ditambah dengan rencana penambahan polisi. Hasil penjelasan dari
menteri tersebut dapat diterima oleh anggota majelis rendah.
Namun dalam internal departemen
sendiri juga terjadi perdebatan akibat hasil penyelidikan Rhemrev. Dimana
adanya paham kemanusian menentang adanya fakta yang terjadi dengan adanya
pelanggaran kemanusian. Disamping itu pemerintah dengan berbagai cara termasuk
dengan memanfaatkan dan memutar balikan informasi yang tidak diketahui oleh
pihak lain untuk merasionasasikan bahwa kebijakan ordonasi kuli rancangan Hoetink
yang sangat merugikan pekerja tetap dilaksanakan. Disampin itu juga memberikan
alasan-alasan yang membenarkan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengadilan
dalam mengawasi dan menegakan hukum di Sumatera Timur.
Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada hubungan baik antara pemerintah dengan tuan tanah dalam
melindungi usaha dan kekejaman praktek pengurusan kebun di Sumatera Timur.
Pemerintah lebih cenderung melindungi tuan tanah (pengusaha) karena dampak dari
sector usaha perkebunan saat itu sangat menunjang keungan Negara belanda.
Dilain pihak rakyat (pekerja/kuli) sangat dirugikan bahkan sampai dengan
dianiaya, dirampas hak hukumnya demi kepentingan tuan tanah. Pemerintah telah
lalai dalam menjaga dan meregulasi hubungan antara tuan tanah dan kuli.
Walaupun demikian, masih ada yang berpihak kepada kuli seperti Van Den Brand
yang menyuarakan ketidak adilan di Sumatera Timur ke dunia Internasional dan
Rhemrev yang berusaha dengan objectif melakukan penyelidikan terhadap ketidak
adilan, walaupun mentah di kancah politik pemerintah Hindia maupun kancah
politik belanda. Dan pada akhirnya tersingkir. Demikainlah skandal pemerintah
dengan tuan tanah menghisap
darah para kuli dalam penyelenggaraan perkebunan di Sumatera Timur pada abad
ke-20.
Bab VII. Restorasi
Pada 1905, masih pada
masa Menteri Idenburg, ketua Pengadilan Negeri di Batavia, A.F. van
Blommestein, mulai
menyusun rancangan baru
yang jauh lebih kritis. Dia juga
menyusun paparan
mengenai latar belakang masalah
tersebut, yang banyak diminta oleh para pejabat Kementerian Daerah jajahan di
Belanda. Konsep akhir yang diselesaikan pada 1908
mengusulkan agar poenale
sanctie dipertahankan hanya untuk sebagian kuli, dan oleh karenanya tak dapat
diterima oleh para tuan kebun. Rancangan itu tetap tak dapat diterima,
sekalipun penyusun sudah mengakomodasi sebagian tuntutan mereka. Baru pada 1915
mulai diberlakukan ordonansi kuli yang baru lengkap dengan poenale sanctienya,
yang oleh Van Blommestein dijuluki "cambuk". Tekanan berat dari para
majikan lagi-lagi mendatangkan hasil. Amarah
lain Cremer, berhasil membela kepentingan mereka lewat pernyataannya kepada
Idenburg yang kini menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, bahwa pasa1-pasal
tentang hukuman dan paksaan di dalam kontrak kerja mutlak diperlukan.
Menurut laporan komisi Parlemen yang mempersiapkan ordonansi yang baru itu, jumlah kuli di
perkebunan-perkebunan di
Sumatra Timur pada awal 1917 meningkat menjadi hampir 200.000 orang, berarti
dua kali lipat
dari jumlah pada awal abad ini. Narnun, jumlah pekerja bebas hanya 35% dari
keseluruhannya, bahkan kurang dari jumlah pada masa sebelumnya. Kerja paksa
tetap ada dan masih berjalan terus. Karena sudah tahu hagaimana nanti
kesudahannya, Van Blommestein menerbitkan brosur yang menuduh bahwa Idenburg
secara berencana berpihak pada tuan kebun dan tak mau tahu konsekuensi nyata
dari pernyataan yang berulang kali disampaikannya, bahwa kerja tak bebas harus
diakhiri . Kemunafikan Idenburg seperti yang disebut Van Blommestein adalah
tuduhan paling ringan yang dapat dilontarkan kepada pejabat paling tinggi itu.
Dan tuduhan itu agaknya bukan tanpa dasar.
Lantas, bagaimana
dengan Inspeksi Perburuhan?
Keampuhan inspektorat itu segera saja dilumpuhkan. Yang menyejukkan adalah
ungkapan pemerintah sewaktu inspektorat dilantik, yaitu bahwa pemerintah dengan
sengaja tidak secara ketat menguraikan tugas dan wewenang inspektorat itu. Cara
kerjanya diserahkan kepada kepala inspektorat yang dikenal sebagai petugas yang
tenang dan telah menyatakan akan erat bekerja sama
dengan komite tuan kebun. Seperti
pada masa lalu, apa yang bisa mempermalukan para majikan haruslah ditutupi.
Tetapi, para pengusaha sudah mempelajari. bagaimana cara memanipulasi aturan-aturan yang baru itu, dan kalau perlu
menghindarinya. Karena itu, mereka
tidak menyatakan keberatan ketika pemerintah pada 1908 (Staatsblad 400)
menggantikan peraturan sementara
Inspektorat Perburuhan itu
dengan peraturan yang definitif. Ketika ordonansi kuli baru yang berlaku mulai
1915 dipersiapkan, Komite Tuan Kebun merasa puas, karena tidak membahayakan
kepentingan tuan kebun. Bagaimanapun, pengawasan yang lebih ketat terhadap
perilaku pemimpin perusahaan pada tahun-tahun yang lalu tak banyak membawa
hasil. Séjak 1907 hanya ada sembilan belas kasus penuntutan tuan kebun karena
dipersalahkan melanggar ordonansi kuli.
Tidak dapat tidak
disimpulkan bahwa langkah-langkah yang diambil samasekali tidak sebanding
dengan kehebatan skandal kuli di Sumatra Timur. Dengan lain perkataan,-para
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan kolonial sudah sangat
berhasil menetralisir akibat dari skandal itu. Reaksi umum yang diakibatkan
oleh terungkapnya skandal kuli sangat menyudutkan para pendukung tatanan
hubungan perburuhan yang berlaku. Sesungguhnya penganut aliran etis dalam
kebijakan kolonial iebih berpengaruh dibanding dengan pada tahun-tahun kemudian
setelah segalanya berlalu, sekarang kita dapat memastikan bahwa ketika suasana
marah dan goncang sedang terjadi, sesungguhnya itulah saat yang tepat untuk melakukan
perubahan yang mendasar, yaitu seandainya pada saat politik yang tepat waktu
itu lebih banyak diberikan desakan, terutama di Belanda. Itulah juga pendapat
pengamat paling kritis yang mendalami masalah kuli bertahun-tahun kemudian.
Menurut
pandangan itu, tidak akan mungkin membuka perusahaan perkebunan besar, kemudian
mengonsolidasikannya, dan akhirnya mengembangkannya lebih lanjut, kalau tidak
ada ordonansi kuli dan poenale sanctie. Jalan
pikiran ini menurut saya kurang meyakinkan, karena beberapa hal. Pertama-tama
karena pengembangan bentuk-bentuk produksi yang lain dianggap tidak mungkin.
Seperti kita lihat, anggapan itu sangat keliru. Pada masa perintis pun pernah
ada orang lain di luar tuan kebun Eropa yang berminat mengusahakan tanaman
ekspor. Yang saya maksud adalah para pedagang Cina, yang sejak sebelum
kedatangan para perintis Eropa sudah tertarik membudidayakan lada. Sebagian
dari mereka mengikuti jejak para pengusaha Barat pertama dengan membuka
ladang-ladang tembakau. Tetapi, kemudian pemerintah kolonial menghentikan usaha
tersebut tak ragu lagi, pastilah itu akibat tekanan para tuan kebun kulit putih
yang waktu itu sudah ada.
Orang Cina betul-betul dicegah agar tidak menguasai tanah, dan perlakuan
demikian juga berlaku untuk orang pribumi setempat yang berminat menanam
tembakau Jika kita tengok kembali motif didirikannya Deli Planters Vereeniging
seperti ditulis oleh sekretarisnya pada awal abad ini, kita temukan di situ
bahwa dasar pencegahan itu sudah dinyatakan secara terbuka.
Cara produksi lain yang
juga berorientasi pasar, tapi segera dicekik dari awalnya adalah peralihan
kepada kapitalisme tani yang asli. Pendorongnya yang panama adalah lada. Dua
cara yang digunakan untuk merintangi usaha itu, pertama secara langsung, yaitu
tanah diserahkan
dalam jumlah besar kepada
perusahaan-perusahaan perkebunan, jauh lebih besar dari yang mereka perlukan
untuk penanaman tembakau tiap tahun Akibatnya, semakin banyak tanah pertanian
yang diambil dari kalangan petani. Kedua, cara yang tidak langsung ialah dengan
permufakatan di antara perusahaan perusahaan Barat yang terikat dalam
organisasi untuk hanya memasarkan tembakau dari perkebunan sendiri jadi, penduduk daerah
itu dikucilkan dari tanah mereka sendiri dan, bersamaan dengan itu, secara
paksa mereka digiring kembali ke produksi pertanian pangan.
Kerja di pertambangan
merupakan sistem eksploitasi bahan mentah yang tidak berbeda jauh dari sistem
produksi di perkebunan. Yang membuat berita itu lehih menarik lagi ialah bahwa
ketika ordonansi kuli diberlakukan asisten residen Billiton (Belitung) sudah
menyatakan pendapatnya yang senada. Kedua, dan dalam hubungan dengan hal di
atas, karena para tuan kebun dengan sadar dan
sistematis sejak semula telah menentang peralihan ke kerja bebas. Kerja kontrak
mencegah adanya upah yang tinggi, juga mencegah orang bermukim secara bebas dan berpindah-pindah
secara spontan. Watak produksi kapitalistis di perkebunan sampai awal abad
ke-20 menyebabkan tuan kebun tidak berkepentingan memiliki tenaga kerja yang
permanen dan stabil. Sebaliknya, organisasi perusahaan mereka itu didasarkan
pada prinsip sirkulasi, yaitu mendatangkan kuli yang masih segar dan melepaskan
kuli yang sudah habis tenaganya.
Pilihan yang tampak
konstan lebih pada kuli singkek (baru datang dari Cina) daripada tenaga yang
berpengalaman menunjukkan bahwa para tuan kebun mendorong terbentuknya pola
hubungan sosial dan ekonomi yang benar-benar bertentangan dengan perkembangan
angkatan kerja yang ajek.
Syarat untuk
keiangsungan sistem sirkuiasi adaiah peraturan lccrja yang dirumuskan dengan
ketat, yang berarti kuli kontrak hams tunduk sepenuhnya. Untuk itu, tepat
sekali keberadaan ordonansi kuli dengan poenale sanctienya. Dengan
menunda penghapusan ordonansi, pemerintah membantu memantapkan cara produksi
yang pada sekitar pertukaran abad ini sebenarnya sudah usang. Yang perlu
dicatat adalah keluhan scorang pengusaha yang secara sia-sia mencoba
memperkenalkan pola hubungan kerja yang lain, yaitu dengan memborongkan
produksi pada kelompok pekerja yang membentuk kerja sama di kalangan mereka
sendiri. Menurut
pengalamannya, kuli Cina senang bekerja berdasarkan kontrak, dan di negerinya sendiri pun
mereka biasa melakukannya dalam bentuk kelompok. Tetapi, ordonansi kuli tidak
mengenal bentuk kerja yang lain. Ikatan
kontrak dia lakukan dengan masing-masing kuli dan instruksi diberikan langsung
oleh majikan.
Pilihan yang tampak
konstan lebih pada kuli singkek (baru datang dari Cina) daripada tenaga yang
berpengalaman menunjukkan bahwa para tuan kebun mendorong terbentuknya pola
hubungan sosial dan ekonomi yang benar-benar bertentangan dengan perkembangan
angkatan kerja yang ajek. Syarat untuk kelangsungan
sistem sirkuiasi adalah
peraturan kerja yang dirumuskan dengan ketat, yang berarti kuli kontrak harus tunduk sepenuhnya.
Untuk itu, tepat sekali keberadaan ordonansi kuli dengan poenale
sanctienya. Dengan menunda penghapusan ordonansi, pemerintah membantu
memantapkan cara produksi yang pada sekitar pertukaran abad ini sebenarnya
sudah usang. Yang perlu dicatat adalah keluhan seorang pengusaha yang secara sia-sia
mencoba memperkenalkan pola
hubungan kerja yang lain, yaitu dengan memborongkan produksi pada kelompok
pekerja yang membentuk kerja sama di kalangan mereka sendir. Menurut
pengalamannya, kuli Cina senang bekerja berdasarkan kontrak, dan di negerinya sendiri pun
mereka biasa melakukannya dalam bentuk kelompok. Tetapi, ordonansi kuli tidak
mengenal bentuk kerja yang lain Ikatan kontrak dia lakukan dengan masing-masing
kuli dan instruksi diberikan langsung oleh majikan.
Dalam dasawarsa pertama
abad ke-20 telah terjadi sejumlah
perubahan besar dalam sifat dan sistem perburuhan di perkebunan Sumatra Timur.
Agaknya wajar kalau kita mengaitkannya dengan pengungkapan berbagai pelanggaran
di perkebunan, mula-mula oleh Van den Brand, yang kemudian dibenarkan oleh
Rhemrev dalam laporan resminya. Sebelum ini saya sudah menyatakan keraguan saya
terhadap anggapan bahwa kaum politisi dan birokrat berusaha keras mengadakan
perubahan-perubahan akibat tekanan pendapat umum. Padahal, sebetulnya perubahan
itu digerakkan oleh kekuatan yang lain, bukan oleh penilaian kembali hubungan
antara majikan dan buruh yang didasarkan pada nilai-nilai moral atau politik.
Secara bertahap orang beralih
dari tanaman tembakau ke tanaman keras seperti karet, kemudian sisal dan kelapa sawit.
Kegiatan ini menyebabkan digunakannya tenaga kerja yang lain, sebuah peralihan
yang berbarengan dengan digantikannya kuli Cina dengan kuli Jawa. Tuan kebun kini
lebih suka agar tenaga kerja pendatang tinggal menetap di perkebunan. Jadi,
berubahnya dasar industri perkebunan menyebabkan lama-kelamaan sistem kerja kontrak
pun tidak diperlukan Iagi.
Namun demikian, segala
aturan mengenai kerja paksa dan hukuman dalam ordonansi kuli tetap berlaku
hingga menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial. Seperti sebelumnya, para majikan
menggunakan ordonansi itu sebagai alat untuk menguasai tenaga kerja. Caranya
ialah seperti ditunjukkan dalam pcnelitian Stoler yang bagus, yang terutama
membicarakan periode kolon‘ial akhir dan pasca kolonial. Pada abad ke-20
keseimbangan hak dan kewajiban versi pemerintah tak disangsikan lagi bergeser
ke arah yang menguntungkan para pekerja. Walaupun demikian, timbul juga
pelbagai kejadian mengerikan seperti dilukiskan oleh Rhemrev, juga pada tahun-
tahun kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar