Senin, 15 Januari 2018

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Sepanjang Jalan Kenangan : Makna Dan Perebutan Simbol Nama Jalan Di Kota Surabaya


Sepanjang Jalan Kenangan :
Makna Dan Perebutan Simbol Nama Jalan Di Kota Surabaya
Sarkawi B. Husein
Megusik kenangan: Pendahuluan
            31 Mei 2001, menjelang  hari jadi kota Surabaya yang ke-708, berbagai surat kabar yang terbit berisi penolakan atas rencana Pemerintah Kota yang saat itu dijabat oleh Sunarto-Sumoprawiro untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Soekarno-Hatta.
            Alasan rencana perubahan tersebut adalah untuk menghargai jasa Soekarno-Hatta sebagai proklamator (pahlawan nasional). Akan tetapi, masyarakat yang menolak perubahan nama jalan tersebut juga mendasarkan diri pada alasan historis. Seperti yang diketahui, sejak zaman Kolonial hingga saat ini, Darmo merupakan jalan dan kawasan yang sangat penting dan strategis. Pada zaman Belanda, jalan ini diberi nama Darmo Boulevard dan kawasan sekitarnya merupakan tempat perumahan elite tempo dulu.
            Upaya untuk menghapus nama Jalan tersebut dan menggantikannya dengan nama lain sesungguhnya bukan yang pertama kali. Pada tahun 1961, berdasarkan keputusan walikota, kepala daerah Kotapradja Surabaja, pada tanggal 13 Maret 1961 nomot 187-k (pembetulan), Jalan Raya Darmo diubah menjadi Jalan Patrice Lumumba. Tidak ditemukan alasan penggantian nama jalan ini. Tapi, menilik keputusan walikota yang keluar tepat sebulan setelah terbunuhnya Patrice Lumumba, dapat diduga bahwa upaya ini adalah untuk menghormati beliau sebagai mantan pemimpin rakyat Congo.
            Penggantian nama jalan Darmo menjadi Patrice Lumumba di Surabaya juga dapat dimaknai dengan dua hal , yakni sebagai simbol solidaritas Asia dan simbol loyalitas pada Bung Karno.
            Namun demikian, umur nama jalan baru ini hanya bertahan selama lima bulan, karena pada Agustus 1961, Tritunggal Kotapradja Surabaya mengeluarkan keputusan dan pengumuman yang memandang perlu untuk :
1). Mengembalikan nama Djl. Patrice Lumumba menjadi nama semula, ialah Djl. Raya Darmo. Dan
2). Mengubah Djln. Ngagel menjadi Djl. Lumumba.
Usia nama jalan yang sangat singkat di atas disebabkan oleh banyaknya protes warga yang dengan alasan tertentu tetap menginginkan nama Darmo tetap dipertahankan. Kasus di atas merefleksikan  betapa simbol kota, khususnya nama jalan menjadi salah satu ajang atau ruang untuk berlangsungnya kompetisi antara berbagai kepentingan politik.
            Bagian ini antara lain bertujuan untuk mempelajari bagaimana simbol-simbol di Kota Surabaya, khususnya nama jalan merefleksikan keseimbangan kekuasaan, dan bagaimana dinamika kekuasaan membawa perubahan pada sebuah simbol.
Proses Penggantian dan Pemberian Nama Jalan
            Pada masa pemerintahan, proses penamaan jalan-jalan di Kota Surabaya dalam aturan tidak memperkenankan kepada masyarakat unntuk memberikan nama-nama jalan selain yang telah ditetapkan oleh DPRD.
            Walaupun kewenangan  perubahan dan pemberian nama jalan berada pada pemerintahan Kota dan dewan, masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu sering mengajukan usul perubahan dan pemberian nama sesuai dengan pertimbangan mereka. Dalam beberapa kasus, usul masyarakat kadang-kadang terkabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, atau justru ditolak.
            Tarik menarik perihal perubahan dan pemberian nama jalan antara Pemerintah Kota dengan masyarakat kadang-kadang menghabiskan waktu yang berbulan-bulan.
Jaringan Jalan dan Karakteristiknya
Kontrol atas memori kolektif : Nama jalan di era Belanda
            Dari semua kota di Hindia Belanda, Surabaya adalah kota yang pembangunan dan jalannya yang paling tidak teratur. Hal ini disebabkan pembangunan dan jalan yang mengikuti alur sungai yang berkelok-kelok di tengah kota, yaitu Kali Surabaya dan cabangnya Kali Pengirian. Salah satu konsekuensinya adalah terkonsentrasinya perkampungan-perkampungan penduduk di tepi sungai.
            Tentunya, aktivitas penduduk menggunakan sungai sebagai sarana transportasi yang utama. Selain itu, masyarakat khususnya orang-orang Belanda juga menggunakan Kalimas sebagai tempat rekreasi.
            Seain sungai, terdapat juga jalan besar dan terpenting yang memanjang dari pelabuhan ke Simpang. Jalan ini memanjang sebelah Barat dan sejajar dengan Kalimas. Di sinilah terdapat bangunan-bangunan yang bagus, selain Balai Kota yang terletak kurang lebih di tengah-tengah kota lama di tepi Kalimas, di sebelah Utaranya masih terdapat berbagai bangunan, seperti gereja Protestan, gedung senjata, sekolah, galangan kapal, dan lain-lain.
            Pola jalan Kota Surabaya sampai tahun 1900-an dapat dikelompokkan ke dalam dua pola. Pertama, pola jalan yang tidak direncanakan dan timbul sebagai akibat kegiatan ekonomi serta hubungan sosial penduduknya. Kedua, daerah perumahan dan pemukiman baru. Jaringan jalan di kawasan ini sengaja direncanakan untuk keperluan perumahan orang-orang Eropa. Ketiga, adalah daerah yang menghubungakan Surabaya Utara. Di kawasan jalan ini muncul daerah pertokoan.

            Satu hal yang menarik berkaitan dengan pemberian nama jalan pada masa pemerintahan Belanda adalah dipertahankannya sebagian besar nama-nama lokal yang mungkin sudah ada sejak abad ke-19. Nama-nama Belanda umumnya terletak di perumahan-perumahan Eropa, kawasan pelabuhan, serta daerah perdagangan. Termasuk jalan-jalan yang berada di kawasan elite Darmo. Meskipun di kawasan ini memakai nama Belanda, Jalan Raya Darmo yang merupakan jalan utama dan strategis tidak mengalami pergantian, tetapi hanya ditambah menjadi Darmo Bouleverd.
Menghapus Ingatan Lama dan Membangun Ingatan Baru: Era jepang dan Republik
            Seluruh upaya Belanda mengatur dan menguasai kota ini berakhir setelah masuknya penduduk Jepang yang secara resmi menduduki Surabaya pada 8 Maret 1942. Dengan melakukan dya prioritas kebijakan yang dilakukannya, yaitu menghapuskan pengaruh Barat di kalangan rakyat dan memobilisasi rakyat demi kemenangannya. Jepang menganjurkan pemakaian bahasa Jepang dan menghapuskan pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, hanya saja nama-nama jalan yang berbahasa Belanda tidak dihapuskan. Jepang lebih tertarik untuk memobolisasi massa demi kelangsungan kekuasaannya, baik dengan cara kekerasan maupun dengan cara yang lebih simpatik.
            Dalam masa pendudukannya yang sangat singkat, Jepang hanya sibuk dengan latihan perang. Anak-anak sekolah lebih banyak labihan baris-berbaris dan menanam dan mencari jarak.
            Satu-satunya nama jalan yang diganti oleh Jepang adalah Prambanan menjadi jalan Kenpetai yang merupakan pemukiman orang-orang Jepang Sakura, yang bukan tentara tetapi sipil yang dipekerjakan pada instansi-instansi Jepang. Yang banyak tetinggal dari pemerintah Jepang adalah organisasi pemukiman RT, penerus langsung Tonari Gumi, yang lebih dari sekedar simbol.
            Tahun 1949, penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran, tanpa memperhatikan sejarah dan ciri khas suatu tempat berlangsung pada masa DPR-GR.
            Penghapusan tersebut dilakukan karena nama jalan merupakan salah satu simbol yang menyimpan kenangan kolektif. Setelah kemerdekaan semua kenangan itu dianggap perlu dihapus. Nama-nama jalan berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang Indonesia, tatapi kenangan orang Belanda.
1.      Menghidupkan semangat perjuangan, Nama-nama jalan pahlawan: Pemerintah versus masyarakat
Beberapa tahun setelah kemerdekaan (1949>), nama0nama yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, baik dalam skala nasional dan lokal mulai terlihat dalam peta dan daftar nama jalan di Surabaya. Dari 279 nama jalan yang mengalami penghapusan atau perubahan pada tahun 1949>, terdapat 30 nama pahlawan nasional dan lokal yang dianggap berjasa dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Perubahan berikutnya berlanjut pada tahun 1960-1970 dan terus berlanjut pada tahun 1990-an.
Perubahan nama jalan ini menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Beberapa nama jalan yang diubah tidak menjadi masalah dan dapat diterima oleh masyarakat. Selain, Beberapa perubahan nama jalan yang membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan ada yang ditolak oleh masyarakat. Contohnya kasus Jalan Sisingamangaraja.
2.      Menghentikan geliat ular naga: Nama jalan berbahasa Cina dan perubahannya
Selain nama jalan yang berbahasa Belanda dihapuskan, di Kota Surabaya ini juga nama jalan yang berbahasa Cina mengalami hal yang sama. Pada tanggal 8 September 1958 salah satu anggota Panitian Pekerjaaan Umum Kotapraja Surabaya (Jasin Umar) mengirim surat kepada Panitia PU Kotapraja Surabaya yang mengusulkan agar dilakukan perubahan nama0nama jalan yang berbahasa Cina.
Usul perubahan nama jalan tersebut menghabiskan waktu empat tahun. Dalam rapatnya tanggal 13 Oktober 1962, seksi pembangunan DPRD-GR telah menyetujui perubahan nama-nama jalan di kompleks Topekong ini engan nama Karet, Teh, dsb. Yang diperkuat dengan surat utusan walikota No. 33/DPRD-GR tanggal 25 September 1963. Selain waktu yang cukup lama, nama pengganti jalan tesebut ternyata juga tidak memakai nama-nama wali dan lebih memilih nama yang merupakan komoditas perdagangan yang tidak terlalu menyimpang. Secara bertahap nama jalan yang berbahasa Cina itu dihapus dan diganti dengan nama yang berbahasa Indonesia.
3.      Nama jalan internsional dan perubahannya: Sebuah proses domestifikasi

Surabaya pada masa kolonial masih dijumpai nama-nama jalan yang merujuk pada aspek internasional pada tahun 1925-1935. Nama-nam jalan tersebut berada di kawasan pelayaran, industri, dan perdagangan yang sejak abad ke-19 telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Surabaya telah menjadi salah satu kawasan industri yang termaju di antara daerah-daerah lain di Hindia Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...