Sepanjang
Jalan Kenangan :
Makna
Dan Perebutan Simbol Nama Jalan Di Kota Surabaya
Sarkawi
B. Husein
Megusik
kenangan: Pendahuluan
31 Mei 2001, menjelang
hari jadi kota Surabaya yang ke-708, berbagai surat kabar yang terbit
berisi penolakan atas rencana Pemerintah Kota yang saat itu dijabat oleh
Sunarto-Sumoprawiro untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan
Soekarno-Hatta.
Alasan rencana perubahan tersebut adalah untuk menghargai
jasa Soekarno-Hatta sebagai proklamator (pahlawan nasional). Akan tetapi,
masyarakat yang menolak perubahan nama jalan tersebut juga mendasarkan diri
pada alasan historis. Seperti yang diketahui, sejak zaman Kolonial hingga saat
ini, Darmo merupakan jalan dan kawasan yang sangat penting dan strategis. Pada
zaman Belanda, jalan ini diberi nama Darmo Boulevard dan kawasan sekitarnya
merupakan tempat perumahan elite tempo dulu.
Upaya untuk menghapus nama Jalan tersebut dan
menggantikannya dengan nama lain sesungguhnya bukan yang pertama kali. Pada
tahun 1961, berdasarkan keputusan walikota, kepala daerah Kotapradja Surabaja,
pada tanggal 13 Maret 1961 nomot 187-k (pembetulan), Jalan Raya Darmo diubah
menjadi Jalan Patrice Lumumba. Tidak ditemukan alasan penggantian nama jalan
ini. Tapi, menilik keputusan walikota yang keluar tepat sebulan setelah
terbunuhnya Patrice Lumumba, dapat diduga bahwa upaya ini adalah untuk
menghormati beliau sebagai mantan pemimpin rakyat Congo.
Penggantian nama jalan Darmo menjadi Patrice Lumumba di
Surabaya juga dapat dimaknai dengan dua hal , yakni sebagai simbol solidaritas
Asia dan simbol loyalitas pada Bung Karno.
Namun demikian, umur nama jalan baru ini hanya bertahan
selama lima bulan, karena pada Agustus 1961, Tritunggal Kotapradja Surabaya
mengeluarkan keputusan dan pengumuman yang memandang perlu untuk :
1). Mengembalikan nama
Djl. Patrice Lumumba menjadi nama semula, ialah Djl. Raya Darmo. Dan
2). Mengubah Djln.
Ngagel menjadi Djl. Lumumba.
Usia nama jalan yang
sangat singkat di atas disebabkan oleh banyaknya protes warga yang dengan
alasan tertentu tetap menginginkan nama Darmo tetap dipertahankan. Kasus di
atas merefleksikan betapa simbol kota,
khususnya nama jalan menjadi salah satu ajang atau ruang untuk berlangsungnya
kompetisi antara berbagai kepentingan politik.
Bagian ini antara lain bertujuan untuk mempelajari
bagaimana simbol-simbol di Kota Surabaya, khususnya nama jalan merefleksikan
keseimbangan kekuasaan, dan bagaimana dinamika kekuasaan membawa perubahan pada
sebuah simbol.
Proses
Penggantian dan Pemberian Nama Jalan
Pada masa pemerintahan, proses penamaan jalan-jalan di
Kota Surabaya dalam aturan tidak memperkenankan kepada masyarakat unntuk
memberikan nama-nama jalan selain yang telah ditetapkan oleh DPRD.
Walaupun kewenangan
perubahan dan pemberian nama jalan berada pada pemerintahan Kota dan
dewan, masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu sering mengajukan usul
perubahan dan pemberian nama sesuai dengan pertimbangan mereka. Dalam beberapa
kasus, usul masyarakat kadang-kadang terkabulkan seluruhnya, dikabulkan
sebagian, atau justru ditolak.
Tarik menarik perihal perubahan dan pemberian nama jalan
antara Pemerintah Kota dengan masyarakat kadang-kadang menghabiskan waktu yang
berbulan-bulan.
Jaringan
Jalan dan Karakteristiknya
Kontrol
atas memori kolektif : Nama jalan di era Belanda
Dari semua kota
di Hindia Belanda, Surabaya adalah kota yang pembangunan dan jalannya yang
paling tidak teratur. Hal ini disebabkan pembangunan dan jalan yang mengikuti
alur sungai yang berkelok-kelok di tengah kota, yaitu Kali Surabaya dan
cabangnya Kali Pengirian. Salah satu konsekuensinya adalah terkonsentrasinya
perkampungan-perkampungan penduduk di tepi sungai.
Tentunya, aktivitas penduduk menggunakan sungai sebagai
sarana transportasi yang utama. Selain itu, masyarakat khususnya orang-orang
Belanda juga menggunakan Kalimas sebagai tempat rekreasi.
Seain sungai, terdapat juga jalan besar dan terpenting
yang memanjang dari pelabuhan ke Simpang. Jalan ini memanjang sebelah Barat dan
sejajar dengan Kalimas. Di sinilah terdapat bangunan-bangunan yang bagus,
selain Balai Kota yang terletak kurang lebih di tengah-tengah kota lama di tepi
Kalimas, di sebelah Utaranya masih terdapat berbagai bangunan, seperti gereja
Protestan, gedung senjata, sekolah, galangan kapal, dan lain-lain.
Pola jalan Kota Surabaya sampai tahun 1900-an dapat
dikelompokkan ke dalam dua pola. Pertama, pola jalan yang tidak direncanakan
dan timbul sebagai akibat kegiatan ekonomi serta hubungan sosial penduduknya.
Kedua, daerah perumahan dan pemukiman baru. Jaringan jalan di kawasan ini
sengaja direncanakan untuk keperluan perumahan orang-orang Eropa. Ketiga,
adalah daerah yang menghubungakan Surabaya Utara. Di kawasan jalan ini muncul
daerah pertokoan.
Satu hal yang menarik berkaitan dengan pemberian nama
jalan pada masa pemerintahan Belanda adalah dipertahankannya sebagian besar
nama-nama lokal yang mungkin sudah ada sejak abad ke-19. Nama-nama Belanda
umumnya terletak di perumahan-perumahan Eropa, kawasan pelabuhan, serta daerah
perdagangan. Termasuk jalan-jalan yang berada di kawasan elite Darmo. Meskipun
di kawasan ini memakai nama Belanda, Jalan Raya Darmo yang merupakan jalan
utama dan strategis tidak mengalami pergantian, tetapi hanya ditambah menjadi
Darmo Bouleverd.
Menghapus
Ingatan Lama dan Membangun Ingatan Baru: Era jepang dan Republik
Seluruh upaya Belanda mengatur dan menguasai kota ini
berakhir setelah masuknya penduduk Jepang yang secara resmi menduduki Surabaya
pada 8 Maret 1942. Dengan melakukan dya prioritas kebijakan yang dilakukannya,
yaitu menghapuskan pengaruh Barat di kalangan rakyat dan memobilisasi rakyat
demi kemenangannya. Jepang menganjurkan pemakaian bahasa Jepang dan
menghapuskan pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, hanya saja nama-nama jalan
yang berbahasa Belanda tidak dihapuskan. Jepang lebih tertarik untuk
memobolisasi massa demi kelangsungan kekuasaannya, baik dengan cara kekerasan
maupun dengan cara yang lebih simpatik.
Dalam masa pendudukannya yang sangat singkat, Jepang
hanya sibuk dengan latihan perang. Anak-anak sekolah lebih banyak labihan
baris-berbaris dan menanam dan mencari jarak.
Satu-satunya nama jalan yang diganti oleh Jepang adalah
Prambanan menjadi jalan Kenpetai yang merupakan pemukiman orang-orang Jepang
Sakura, yang bukan tentara tetapi sipil yang dipekerjakan pada
instansi-instansi Jepang. Yang banyak tetinggal dari pemerintah Jepang adalah
organisasi pemukiman RT, penerus langsung Tonari Gumi, yang lebih dari sekedar
simbol.
Tahun 1949, penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa
Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran, tanpa memperhatikan sejarah dan
ciri khas suatu tempat berlangsung pada masa DPR-GR.
Penghapusan tersebut dilakukan karena nama jalan
merupakan salah satu simbol yang menyimpan kenangan kolektif. Setelah
kemerdekaan semua kenangan itu dianggap perlu dihapus. Nama-nama jalan
berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang Indonesia,
tatapi kenangan orang Belanda.
1. Menghidupkan semangat perjuangan,
Nama-nama jalan pahlawan: Pemerintah versus masyarakat
Beberapa
tahun setelah kemerdekaan (1949>), nama0nama yang berjasa dalam perjuangan
kemerdekaan, baik dalam skala nasional dan lokal mulai terlihat dalam peta dan
daftar nama jalan di Surabaya. Dari 279 nama jalan yang mengalami penghapusan
atau perubahan pada tahun 1949>, terdapat 30 nama pahlawan nasional dan
lokal yang dianggap berjasa dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Perubahan
berikutnya berlanjut pada tahun 1960-1970 dan terus berlanjut pada tahun
1990-an.
Perubahan
nama jalan ini menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Beberapa nama jalan
yang diubah tidak menjadi masalah dan dapat diterima oleh masyarakat. Selain,
Beberapa perubahan nama jalan yang membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan
ada yang ditolak oleh masyarakat. Contohnya kasus Jalan Sisingamangaraja.
2. Menghentikan geliat ular naga: Nama
jalan berbahasa Cina dan perubahannya
Selain
nama jalan yang berbahasa Belanda dihapuskan, di Kota Surabaya ini juga nama
jalan yang berbahasa Cina mengalami hal yang sama. Pada tanggal 8 September
1958 salah satu anggota Panitian Pekerjaaan Umum Kotapraja Surabaya (Jasin
Umar) mengirim surat kepada Panitia PU Kotapraja Surabaya yang mengusulkan agar
dilakukan perubahan nama0nama jalan yang berbahasa Cina.
Usul
perubahan nama jalan tersebut menghabiskan waktu empat tahun. Dalam rapatnya
tanggal 13 Oktober 1962, seksi pembangunan DPRD-GR telah menyetujui perubahan
nama-nama jalan di kompleks Topekong ini engan nama Karet, Teh, dsb. Yang
diperkuat dengan surat utusan walikota No. 33/DPRD-GR tanggal 25 September
1963. Selain waktu yang cukup lama, nama pengganti jalan tesebut ternyata juga
tidak memakai nama-nama wali dan lebih memilih nama yang merupakan komoditas
perdagangan yang tidak terlalu menyimpang. Secara bertahap nama jalan yang
berbahasa Cina itu dihapus dan diganti dengan nama yang berbahasa Indonesia.
3. Nama jalan internsional dan
perubahannya: Sebuah proses domestifikasi
Surabaya
pada masa kolonial masih dijumpai nama-nama jalan yang merujuk pada aspek
internasional pada tahun 1925-1935. Nama-nam jalan tersebut berada di kawasan
pelayaran, industri, dan perdagangan yang sejak abad ke-19 telah mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Surabaya telah menjadi salah satu kawasan industri
yang termaju di antara daerah-daerah lain di Hindia Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar