WABAH TAHUN
Kumbang Kopra dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Padang Kolonial
Freek Colombijn
Dalam artikel ini dianalisis cara
warga Padang Kolonial yang membahas
masalah lingkuangan, yaitu wabah kumbang bedak dan kumbang kopra. Kurang dari
satu dekade lalu volume “Kota Indonesia” (Nas 1986) memberikan perhatian tidak
eksplisit untuk masalah lingkngan dan masalah lingkungan tampaknya hanya
baru-bar ini menjadi perhatian sebagai subjek penelitian. Lingkungan layak mendapat
perhatian terus-menerus, tidak hanya dari ilmuwan fisik tapi juga dari
sejarahwan dan ilmuwan sosial lainnya.
Clive
Ponting mencerikan sebuah cerita yang sangat meresahkan dan ketika Roggeveen,
pengunjung Eropa mencapai pulau ia menemukan orang-orang yang hidup dalam
kondisi kumuh dan banyak patung-patung yang tersisa terdampar di dekat tambang.
Jadi
ilmuwan harus mempelajari kondisi untuk kesadaran lingkungan, dan proses
bagaimana kesadaran berkembang menjadi sebuah aturan. Perbandingan kasus sekarang
dan masa lalu dapat menyebabkan teori aksi lingkungan (Galjart 1988: 88). Dalam
tulisan ini ada beberapa kasus di Padang yang melibatkan masalah dengan teknis
yaitu gangguan yang disebabkan oleh kumbang badak dan kumbang koprah diberbagai
lokasi untuk pohon kelpa, tempat pembuangan sampah, dan saham kopra.
Pertumbuhan
berlebihan dari populasi kumbang yang mengganggu ekologi “keseimbangan” adalah
disebabakan oleh buatan manusia, pembuangan sampah sangat yang sangat besar.
Puncak gangguan yang disebabkan oleh dua jenis kumbang bertepatan pada tahun
1918.
Galjart
(1988: 85) menyatakan bahwa selalu ada beberapa kelompok kepentingan yang
terlebat dalam penciptaan dan solusi dari masalah lingkungan. Sejalan dengan
proposisi ini, asumsi dasar dalam tulisan ini adalah bahwa kelompok kepentingan
berusaha menggeser konsekuensi polusi perilaku mereka ke kelompok lain, atau
untuk menolak konsekuensi apapun. Sikap ini sangat mungkin terjadi pada
Indonesia, yang dapat dicirikan sebagai masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk
yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih kelompok etnis yang hidup
berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit politik.
Kelompok
etnis yang berbeda mencoba untuk menaklukan dan memperthanakan ruang untuk
kegiatan mereka seperti perumahan, toko-toko, dan pemakaman (Teolichting 1938).
Kumbang Badak di Kebun Kelapa
Pada zaman Kolonial, Padang adalah
tempat yang sangat hijau. Pada awal abad ke-19 pohon yang paling sering
ditemukan di Padang adalah pohon nipah. Daunnya diunakan untuk atap jerami,
juga sebagai pembungkus rokok. Kemudian kelapa, bagian yang paling berharga
dari pohon ini adalah buah, pelepah daun yang digunakan untuk tali, tikar,
sendok, dan cangkir. Kopra adalah daging buah kering untuk bahan dasar margarin
(Encyclopaedie II, 1918: 255-257; III, 2929: 36; Mogea 1991).
Kumbang badak adalah salah satu hama
terburuk yang mempengaruhi pohon kelapa dan mungkin juga pohon nipah. Kumbang
bertelur dilimbah sayuran busuk seperti di pembuangan. Bahan busuk memberikan
nutrisi bagi larva setelah menetas dari telur.
Pada tahun 1905 Gubenur Sumatera
Barat mengeluarkan hukum untuk perlindungan kelapa. Hukum penggarapan pohon
kelapa untuk membersihkan pohon mati atau pohon yang dipenuhi dengan kumbang
badak. Pemilik pohon nipah tetap diperlukan untuk memotong pohon kelapa ke
tanah dan membakar semua bahan limbah. Untuk pelanggaran dapat dihukum dengan
denda dari 10-25 gulden untuk Eropa, 1-10 gulden bagi warga asli.
Pada tahun 1911, setelah jangka
waktu hukum Gubernur telah habis, pemerintah kota Padang mengusulkan agar dewan
menjual kembali hukum yang pada saat itu dianggap lebih penting daripada enam
tahun sebelumnya (Sumatera Bode 1911/11/11).
Datuk Sutan Maharadja berpendapt
bahwa pohon yang yang terinfeksi tidak boleh ditebang, karena kerugian keuangan
penggarap. Diskusi antara Datuk Sutan Maharadja dan rekan Eropanya memberikan
kesan bahwa garis pemisah antara kelompok-kelompok berkepentingan.
Datuk Sutan Maharadja menerima
bantuan yang tidak diminta dari Batavia. Direktur Departemen Kehakiman, setelah
berkonsultasi dengan Direktur Departemen perdagangan, Pertanian, dan Industri,
dianjurkan menghapus ketentuan yang tidak hanya mati tetapi juga terinfeksi
pohon harus ditebang. Tidak ada informasi rinci tentang pelaksanan hukum itu,
tetapu dari 1907 datang laporan bahwa hukum itu “sangat buruk” yang diamati
(Sumatera Bode 1907/09/02). Dalam kasus apapun, tindakan yang diambil tidak
bisa memusnakan kumbang dan kerusakan dilakukan untuk pohon kelapa tumbuh
begitu parah sehingga pemerintah pusat harus memberikakn bantuan. Kali ini
sampah tampaknya menjadi salah satu penyebabnya utama.
Solusi Ekperimental untuk Dump
Refuse
Pada tahun 1917 Departemen
Perdagangan, Pertanian, dan Industri, mengirim entomologi, S. Leemans menemukan
bahwa pohon-pohon yang terinfeksi semua tumbuh dekat sampah, yang terumata
terdiri dari sampah sayur dari pasar, singkatnya inkubator yang sangat baik
untuk larva. Tiga-perempat dari pohon-pohon di sekitar tempat pembuangan sampah
rusak atau mati. Dia menyarankan agar melakukan pembakaran sampah atau menyiapkan
tempat pembuangan sampah jauh dari pohon kelapa (Verslag Padang 1919: 77-80).
Setelah Leefmans telah membuat laporan pertama ia mulai bereksperimen dengan
cara-cara lain untuk membuang sampah.
Menolak pengumpulan dan pengolahan
menjadi isu politik di Padang pada tahun 1918. Diskusi ini diawali dengan
kisah-kisah dari wabah penyakit pes di Medan, tapi segera berpusat pada
kumbang. Ancaman wabah mendesak pemerintah untuk mulai mengumpulkan sampah di
kampung. Warga di kampung biasanya membuang sampah mereka dengan membakarnya.
Sekarang pemerintah meramalkan peningkatan besar dalam sampah dikumpulkan dan
mencari cara-cara baru untuk membuangnya.
Dua minggu kemudian dewan menggelar
sidang tertutup. Disebutkan di atas konsultan, Leefmans, menyarankan agar tidak
membuang sampah di laut, karena sampah dapat merusak perikanan. Leemans telah
bereksperimen dengan penggunaan bahan limbah untuk membangun rawa-tanah di
Padang. Leemans mengusulkan untuk menutup sampah dengan lapisan 30-50
sentimeter pasir. Pasir akan mencegah kumbang bertelur.
Dua bulan setelah sidang rahasia,
dewan memutuskan : untuk meninggalkan ide membuang sampah ke laut, untuk yang
membuang sampah di tempat pembuangan agar menutup dengan lapisan pasir, dan membuat
studi lebih lanjut dari insinerator.
Kopra
meupakan salah satu produk ekspor utama, yang terdiri 28 persen dari total
ekspor dari Padang antara 1906 dan 1940.
Tahun wabah bertepatan dengan perubahan
mendasar dalam politik lokal. Sebelum 1918 dewan terpilih sebagai individu atas
dasar prestise pribadi mereka. Dalam prakteknya ini berarti bahwa dewan
didominasi oleh prwakilan dari perusahaan-perusahaan perdagangan besar Eropa. Perwakilan
tersebut disebut “trekker” siapa yang datang ke Padang untuk waktu yang singkat dan kemudian dipindahkan ke pos
lain.
Perbandingan Tiga Kasus dari Pelolaan
Lingkungan
Dalam kasus tertua pohon yang
terinfeksi berjuang dengan menghilangkan gejala pohon-pohon yang mati. Dalam
kasus kedua penelitian secara menyeluruh didasarkan menghasilkan sebuah metode
untuk menangani penyebab infestasi sampah itu adalah peternakan tanah untuk
kutu. Dalam kasus ketiga ada yang bukan hanya perhatian untuk solusi teknis,
orang juga mempertanyakan penyebab yang mendasari, yaitu dominasi masyarakat
dengan kepentingan ekonomi.
Fase ini memang ditandai dengan konflik, tetapi
tidak selalu bersifat antar etnis. Pada contoh pohon kelapa yang terinfeksi,
dan yang patut dipertanyakan apakah ada perbedaan tujuan kepentingan? karena
solusi yang diajukan menebang pohon-pohon adalah dimaksudkan untuk menjadi
bermanfaat bagi pohon pemilik sendiri. Dalam kasus kedua argumen yang
dikembangkan pada dasarnyan konflik
kompetensi antara dua PNS. Kepala pekerjaan umum kota menganjurkan
insinerator, yang harus dibangun oleh Departemennya, sedangkan Leemans memohon
untuk solusi eksperimental yang harus
diawasi oleh nya. Pegawai negeri dan para pembuat kebijakan mungkin menggarisbawahi
masalah untuk membuat posisi mereka lebih penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar