Tenaga kerja orang-orang Cina umumnya hampir tidak ditemukan penduduk
setempat yang bekerja di panglong milik tauke Cina itu. Biasanya mereka adalah
sebagai penjual kayu untuk panglong kayu bakar dan arang kayu milik orang Cina
(Verslag van Arbeidsinspectie, 1929:145).
Tenaga Cina ini direkrut oleh tauke dari pasar tenag kerja di Singapura. Biaya
perekrutan dibebankan kepada calon kuli dengan perjanjian bahwa upah yang
mereka terima akan dpotong untuk membayar utang tersebut. Karena mereka bukan
penduduk Hindi Belanda, setiap kuli harus dibayar dengan fiskalnya oleh tauke.
Kuli-kuli Cina itu diangkut dengan tongkang atau wangkang milik tauke sendiri.
Salain itu juga tauke berkewajiban mengirim barang-barang kebutuhan pokok untuk
tenaga kerja di panglong. Seterusnya tauke tinggal menunggu ekspor kayu dari
panglongnya di Singapura, sambil melaksanakan bisnisnya yang lain.
Sebagaimana yang sudah dikatakan
sebekumnya bahwa sejak abad ke-20 sebagian tauke sudah memindahkan usaha
penggergajian papannya ke Singapura. Dengan demikian, jenis panglong ini juga
semakin sedikit jumlahnya di Bengkalis dan Riau. Yang diperlukan tauke adalah
kayu-kayu balok atau gelondongan yang kemudian dapat digergaji dengan mesin di
Singapura.
Jumlah panglong mencapai puncaknya
tahun 1930, pada masa berikutnya jumlahnya cenderung menurun disebabkan harga
kayu yang turun di pasar Singapura dan Hongkong, selain itu juga disebabkan
tauke kalah bersaing dengan para pengusaha pribumi yang mulai mengalihkan
usahanya dari tanaman karet ke usaha
panglong ini seperti halnya di Siak (Pastor 1927:116).. bahkan dikatakan bahwa
50% produksi kayu gelondongan ini bersal dari panglong pengusahan pribumi.
Selain biaya produksi yang rendah, pajak yang diberikan juga rendah, karena
berada di daerah yang berpemeintahan sendiri , di bawah kesultanan Siak. Tenaga
kerja dari penduduk setempat dan karena itu tidak perlu pula membayar fiskal.
Slain itu biaya fiskal yang tinggi yang
dikenakan pemerintah untuk setiap tenaga kerja panglong yang datang dari Singapura juga menjadi
penyebab kemunduran panglong Cina tersebut (Verslag
van Arbeidsinspetie, 1937:116). Pada periode ini banyak tauke yang
memindahkan usahanya ke Malaka.
Jumlah panglong pada periode
berikutnya kembali meningkat pada tahun 1935. Hal ini disebabkan karena
pemerintah menurunkan biaya fiskal dari setiap kuli dengan maksud menarik
kembali para tauke tersebut. Bahkan dalam tahun 1936 pemerintah dalam keadaan
keuangan yang sulit ini mencoba menawarkan daerah-daerah lain seperti Aceh,
Sumatera Timur dan Jambi. Ternyata tawaran tersebut kurang memperolah perhatian
tauke, karena hanya dua panglong kayu balok yang dibuka tauke pada tahun 1937 (Verslag van Arbeidsinspetie, 1937:116).
Dilihat dari jenis cara produksinya,
panglong arang kayu dan kayu bakar lebih banyak terdapat di Karesidenan Riau
dari pada di Bengkalis, khsnya di Siak dan Indagiri. Sebelum meningkatnya di
tahun 1927 di Riau terjadi juga penurunan-penurunan jumlah panglong balok yang
disebabkan karena tauke kecil pemilik panglong balok menutup usahanya. Mereka
kalah bersaing dengan tauke panglong balok yang besar yang sejak tahun 1928
sudah memiliki alat transportasi railbaan, sehingga kayu-kayu besar tidak lagi
ditarik oleh kuli dari tengah hutan ke pinggir sungai, tetapi diangkat dengan
railbaan itu. Pada tahun 1931 saj 8 buah panglong balok ini gulung tikar (Verslag van Arbeidsinspetie, 1932:10).
Demikian juga panglong kayu bakar yang yang jumlahnya juga menurun, karena
harga kayu bakar yang rendah di Cina. Pada tahun 1935 , 59 buah panglong kayu
bakar juga gulung tikar (Verslag van
Arbeidsinspetie, 1936:116).
Produksi terbesar bersal dari jenis
panglong kayu gelondongan (balok), dengan produksi tertinggi sebelum tahun
1930, sesudah itu cenderung menurun. Hampir seluruh produksi kayu di Riau
diekspor ke Singapura dan hanya dalam jumlah yang kecil untuk memenuhi
kebutuhan pengasapan ikan di Bagan Siapi-api.
Pada tahun 1925 dan 1926, dua orang
tauke Cina, yaitu Lam Tim dan Jan Jau, pemilik beberapa panglong di dataran
rendah Indragiri dikabarkan telah mengirim berton-ton kayu mereka lewat
singapura ke Hongkong (Pastor, 1927:11).
Kehadiran dua panglong ini telah
memberikan pendapat yang luar biasa terhadap keuangan negara. Tahun 1897
pemerintah memperoleh sedikit masukan dari pajak panglong berdasarkan tenaga
kerja (Verbaal 29 Agustus 1900, no.
54) meskipun jumlah masukan ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
jumlah pajak pada tahun-tahun berikutnya, akan tetapi dari pemerintah kolonial
antusias untuk meningkatkan pengawasannya di daerah lokasi panglon. Dengan
pengawasan yang diperketat diharapkan panglong akan memberikan sumber
pendapatan yang baik untuk keuangan pemerintah.
Jumlah tertinggi antara tahun
1927-1929, kemudian jumlahnya cenderung menurun pada tahun berikutnya. Bila
dilihat dari ketiga jenis panglong , ternyata retribusi terbesar berasal dari
panglong kayu gelondongan. Akan tetapi setelah tahun 1930-an, jumlah retribusi
panglong yang cenderung menurun karena harga kayu yang murah dan persaingan
dengan pengusaha pribumi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Dikabarkan seorang tauke yang
bernama Si Hoa memiliki hubungan yang erat dengan raja Lingga, Ia dengan
memudah memperoleh lisensi dan izin perpanjang usahanya di raja Lingga.
Dikatakan jika ia menghadap raja Lingga, ia tidak lupa membawa uang yang
bertumpuk-tumpuk.
Pejabat kolonial dari jawatan
kehutanan yang pergi ke lokasi panglong mengatakan bahwa meskipun uda ada usaha
terpadu dari pemerintah kolonial, dari pejabat setempat, asisten residen/residen,
polisi dan jawatan kehutanan, kakan tetapi kerjasama kepala panglong dengan
para pejabat telah menyebabkan negara kolonial dirugikan. Penyeludupan kayu
–kayu ke Singapura, manipulasi dalam penghitungan jumlah tenaga kerja dan
tungku-tungku pembakaran adalah kasus-kasus yang sering terjadi yang
menyebabkan kerugian negara.
Organisasi
dan Hubungan Kerja
Organisasi kerja panglong adalah
sebagai berikut. Pertama tauke, orang yang bertindak sebagai pemilik modal dan
pensuplai tenaga kerja dan kebutuhan-kebutuhan lainnya di panglong. Ia tidak
langsung mengurus usahanya. Urusan langsung panglong diserahkan kepada wakilnya yaitu kepala panglong dan dia
akan di bantu temannya, antara lain yaitu mandor, tkang masak dan sekretaris.
Mandor menurut istilah penduduk setempat disebut juga dengan ‘tukang hantam’,
yaitu orang yang memiliki fisik yang kuat yang berperan mengontrol jalannya
usaha. Sementara juru masak adalah orang yang menyediakan makanan untuk para
kulinya dan sekretaris berperan sebagai yang mencatat dan mengurusi kegiatan
dan pembagian pekerjaan sampai pada urusan pembayaran upah. Pendeknya masalah
pembukuan akan diurus oleh sekretaris panglong. Setelah kelompok inti, terdapat
barisan pekerja atau kuli-kuli panglong.
Pada umumnya kuli bersama kelompok
inti tinggal di bangsal-bangsal atau rumah kongsi yang dibangun atas biaya
tauke. Rumah kongsi itu juga memiliki kebun sayur dan peternakan babi dan ayam
yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Di rumah kongsi ini kepala
panglong bersama para pembantunya juga dapat mengawasi para kulinya agar tidak
kabur atau mereka yang hendak kabur.
Bagan Rumah Kongsi
Panglong memiliki kelompok kerja dengan
pembagian tugas masing-masing. Di dalam panglong kayu balok, kelompok kerja
dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : Pertama, kepala panglong bersama
pembantunya. Pekerjaan mereka sama sekali tidak berat dan bahkan mereka sangat
banyak waktu luang, mereka tinggal di bangsal. Kelompok kedua adalah penebang
pohon, penggergaji dan pembuat jalan dari lokasi penebangan sampai ke dekat
sungai. Kelompok ketiga adalah kelompok penarik kayu, yang kerjanya paling
berat dengan menarik kayu-kayu besar dari tengah hutan ke pinggir sungai.
Pembagian kerja untuk panglong kayu bakar hampir sama, hanya perbedaannya pada
kelompok ketiga adalah penggergaji dan pembawa kayu. Pembagian kelompok ini
juga berlaku untuk pemberian jatah makan dan letak tempat tidur.
Jumlah kuli di setiap panglong bervariasi,
tergantung besar kecilnya usaha atau jenis panglong. Rata-rata jumlah tenaga
berkisar dari 25-60 orang. Menurut data, jumlah pekerja di panglong tidak
terlalu akurat, karena pemilik panglong cenderung memanipulasi jumlah tenaga
kerja yang sesungguhnya di panglong mereka. Data yang deiberikan juga berkaitan
degan besarnya pajak yang akan ditanggung oleh pemilik panglong.
Tahun 1923, hubungan kuli dengan tauke sangat kabur.
Kuli-kuli panglong bukanlah kuli kontrak di bawah Penal Sanction, seperti
halnya kuli-kuli di tempat lain. Kontrak kerja hanya dilakukan secara lisan antara
tauke dengan kuli karena kuli ini tidak direkrut melalui jalur perekrutan
resmi, yaitu lewat kantor proktektorat Cina di Singapura.
Karena kontrak kerja yang hanya secara lisan, sulit
bagi pmerintah kolonial untuk mengawasi kesewenangan-kesewenangan majikan
terhadap kuli-kuli tersebut. Kesulitan lain adalah dalam masalah mengontrol
masuknya kuli-kuli yang direkrut tauke ke lokasi panglong yang berdekatan
dengan Singapura dan wilayah Kepulauan Riau yang begitu luas dan terpencar.
Karena itu, ketika Inspeksi Perburuhan melakukan penelitian ke wilayah panglong
Riau pada tahun 1925, sebagian kuli tidak memiliki kartu izin tinggal
Tahun 1923, hubungan kerja diatur dalam serangkaian
peraturan yang dimuat dalam Panglongreglement dalam panglongkeur. Pertauran itu
memuat serangkaian peraturan yang ditulis di dalam 3 bahasa yaitu Beland, Cina
dan Melayu yang berisi hak dan kewajiban kuli dan tauke, misalnya dalam masalah
upah, jaminan kesehatan, perumahan, makanan, jam kerja, hari-hari libur dan
kartu izin tinggal. Hari kerja di luar hari libur besaar Cina adalah 26 hari.
dikatakan juga bahwa tauke harus membayar upah kuli, menyediakan pengobatan
gratis, tempat tinggal yang layak, makanan yang baik dan jam kerja yang tidak
boleh lebih dari 10 jam seta hari libur seperti hari besar Cina.
Upah dibayar dalam dollar Singapura. Sistem
pembayarannya adalah sebagai berikut : kepala panglong dan pembantunya menerima
upah per bulan, sementara kuli menerima upah sesuai jenis dan hasil yang
dikerjakannya. Upah bulanan yang diterima kepala panglong berkisar antara $ 25
sampai $ 75, sedangkan mandor $ 15 - $45. Kuli juga menerima premi yaitu
pembayran upah pada hari libur dan premi bulanan yang jumlahnya bervariasi dari
$ 0,50 sampai $ 4. Kuli juga menerima
makanan gratis yang nilainya kira-kira $ 15 sehari. Pada hari libur, kuli juga
menikmati hiburan yang disediakan oleh majikan, berupa pertunjukan ronggeng,
Mak Yong, dan diizinkan untuk bermain domino.untuk jaminan kesehatan, tauke
diwajibkan oeleh pemerintah memberikan sumbangan setiap bulan berdasarkan
jumlah kuli ke setiap rumah sakit atau poliklinik terdekat.
Kondisi kerja dan Peranan penguasa
Pada tahun 1897 terjadi protes pejabat kantor
proktorat Cina di Singapura mengenai kondisi kerja yang jelek di panglong.
Kondisi kerja di panglong terlihat menyedihkan, kuli-kuli terlibat utang karena
bermain judi dan mengisap candu disertai perlakuan mandor yang kejam. Hal ini
menjadikan panglong mirip kehidupan bandit. Protes tersebut mengharuskan
pemerintah melakukan penelitian ke panglong terutama di Bengkalis.
Tahun 1923, peraturan dibuat untuk menangani kasus
panglong karena semakin gencarnya kritik yang dilontarkan di berbagai media
terhadap sikap pemerintah yang bungkam terhadap maslah tersebut. Setelah
diberlakukannya peraturan pemerintah, kontor isnpeksi Perburuhan di Batavia
menempatkan wakilnya di Tanjung Pinang dan Bengkalis.
Tahun 1924-1936 disumpulakan adanya perbaikan
kondisi kehidupan kuli seperti pelayanan kesehatan, perumahan, makanan yang
baik yang dilakukan oleh tauke panglong. Pemerintah melakukan penutupan
panglong bagi yang tidak mengikuti peraturan pemerintah.
Namun, hasil tersebut masih banyak diperdebatkan
oleh pengamat yang berkunjung ke lokasi. Hal ini diliat di majalah De Indische
Gids yang memuat cata penginspeksian , personel yang tidak sebanding dengan
luas daerah panglong serta sikap pejabat yang terkadang pro tauke. Selin itu,
kuli juga tidak berani mengadukan nasibnya ke Landraad atau ke pejabatn
Inspeksi Perburuhan, karena diancam oleh tauke atau wakilnya. Bentuk – bentuk
eksploitasi masih berjalan terlihat dengan maslah upah dan utang bahkan
kesehatan.
Upah dan utang
Tingkat upah yang diberikan kepada kuli menurut
pejabat Inspeksi Perburuhan sudah pantas, bahkan kuli dapat menabung untuk
keluarganya. Namun masalah timbul karena sistem pembayaran upah yang
ditunda-tunda oleh tauke berbulan-bulan bahkan sampai bertahun tahun. Masalah
eksploitasi yang diliaht dengan adanya hutang kuli. Kuli terlibat hutang kepada
tauke. Tahun 1932, 62,2 % kuli terlibat utang rata rata 40 dollar. Pada akhir
tahun meningkat sampai 80,6 % dengan rata-rata 53 dollar. Bahkan dalam beberapa
panglong di Bengkalis, kuli terlibat utang rata rata 100-300 dollar.
Keterlibatan kuli dengan hutang dikarenakan bermain
judi, minum candu dan membeli barang-barang kebutuhan di kedai milik kepala
panglong. Harga barang yang dijual oleh kepala panglong sangat tinggi
dibandingkan di pasar, namun kuli terpaksa harus membeli di kedai kepala
panglong. Candu digunakan oleh kuli untuk menghilangkan ketegangan atau
kejenuhan bekerja sehari-hari, namun bersifat adiktif yaitu semakin banyak yang
menghisapnya semakin tinggi ketagihannya. Setiap kuli memiliki buku perhitungan
tentang upah dan utang mereka masing-masing. Namun kuli masih tidak bisa hitung
dan baca sehingga mereka tidak mengerti tulisan yang dibuat oleh sekertaris
panglong. Perhitungan yang ditulis oleh sekretarisnya cenderung merugikan kuli.
Kemudian kuli juga diberikan pertunjukan sehingga kuli mengeluarkan biaya dalam
berkencan bersama pelacur-pelacur yang datang bersama pertunjukan tersebut.
Jaminan kesehatan
Pada umumnya tingkat kesehatan kuli cenderung kurang
baik. Selain disebabkan kondisi tempat tinggal yang jelak, juga disebabkan
karena makanan. Tahun 1933, kekurangan makanan muncul di beberapa panglong
sehingga banyak kuli yang sakit dan meninggal. Peraturan pemerintah tidak
terealisasikan kepada kuli. Kekurangan
makanan di panglong-panglong tergantung pengiriman tauke Singapura yang bertugas
mengirimkan kebutuhan pokok kuli ke panglong dengan tongkang-tongkang kayu.
Keterlambatan pengiriman makanan juga disebabkan karena tauke tidak memiliki
cukup modal atau mengalami kesulitan keuangan. Kualitas makanan juga jelek
sehingga kuli sakit beri-beri.
Kewajiban tauke memberikan sumbangan untuk biaya
perawatan juga tidak terlaksana, kuli harus membayar biaya rumah sakit dengan
pemotongan upah mereka. Kondisi tersebut diperparah ketika harga kayu turun
tahun 1933 dan diberlakaukan ristriksi produksi sehingga tauke tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut. Dari hasil penyelidikan ke panglong ternyata
tingkat sakit dan meninggal semakin tinggi.
Masalah penundaan upah, keterlibatan buruh dengan
yang dan tingkat kesehatan yang jelek merupakan bentuk-bentuk eksploitasi yang
berlangsung oleh tauke kepada kuli. Eksplotiasi tersebut juga dilihat dengan
jam kerja yang sampai 16 jam sehari, pukulan-pukulan rotan serta berbagai
bentuk kekejaman lainnya. Kondisi seperti ini telah melahirkan serangkaian
konflik yang tak pernah usai antara kuli dengan tauke dan majikan.
Protes-protes kuli bermunculan baik dengan cara melarikan diri maupun dengan
cara membunuh majikan.
KESIMPULAN
Kehadiran panglong memberikan keuntungan besar untuk
sumber pendapatan negara baik dri pajak usaha dan pajak-pajak lainnya seperti
candu, judi dan uang fiskal kuli. Keuntungan yang diperoleh baik oleh pengusaha
panglong maupun pemerintah telah dibayar dengan keluhan dan kondisi kerja yang
jelek oleh para kuli panglong. Demi untuk mencapai target produksi tauke sering
melakukan bentuk eksploitasi terhadap kuli lewat penundaan upah, pemberian
makanan yang kurang baik sehingga menimbulkan protes proletarisasi di kalangan
barisan pekerja di wilayah pengusaha hutan milik Cina. Pemerintah merancang
peraturan hubungan tauke dengan kuli dengan baik namun kenyataannya peraturan
tersebut tidak terealisasikan. Posisi kuli lemah dan berada di dua kekuatan, di
satu pihak tauke Singapura dan yang lainnya penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar