Senin, 15 Januari 2018

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : TAUKE CINA

            Tenaga kerja orang-orang Cina  umumnya hampir tidak ditemukan penduduk setempat yang bekerja di panglong milik tauke Cina itu. Biasanya mereka adalah sebagai penjual kayu untuk panglong kayu bakar dan arang kayu milik orang Cina (Verslag van Arbeidsinspectie, 1929:145). Tenaga Cina ini direkrut oleh tauke dari pasar tenag kerja di Singapura. Biaya perekrutan dibebankan kepada calon kuli dengan perjanjian bahwa upah yang mereka terima akan dpotong untuk membayar utang tersebut. Karena mereka bukan penduduk Hindi Belanda, setiap kuli harus dibayar dengan fiskalnya oleh tauke. Kuli-kuli Cina itu diangkut dengan tongkang atau wangkang milik tauke sendiri. Salain itu juga tauke berkewajiban mengirim barang-barang kebutuhan pokok untuk tenaga kerja di panglong. Seterusnya tauke tinggal menunggu ekspor kayu dari panglongnya di Singapura, sambil melaksanakan bisnisnya yang lain.
            Sebagaimana yang sudah dikatakan sebekumnya bahwa sejak abad ke-20 sebagian tauke sudah memindahkan usaha penggergajian papannya ke Singapura. Dengan demikian, jenis panglong ini juga semakin sedikit jumlahnya di Bengkalis dan Riau. Yang diperlukan tauke adalah kayu-kayu balok atau gelondongan yang kemudian dapat digergaji dengan mesin di Singapura.
            Jumlah panglong mencapai puncaknya tahun 1930, pada masa berikutnya jumlahnya cenderung menurun disebabkan harga kayu yang turun di pasar Singapura dan Hongkong, selain itu juga disebabkan tauke kalah bersaing dengan para pengusaha pribumi yang mulai mengalihkan usahanya dari tanaman karet  ke usaha panglong ini seperti halnya di Siak (Pastor 1927:116).. bahkan dikatakan bahwa 50% produksi kayu gelondongan ini bersal dari panglong pengusahan pribumi. Selain biaya produksi yang rendah, pajak yang diberikan juga rendah, karena berada di daerah yang berpemeintahan sendiri , di bawah kesultanan Siak. Tenaga kerja dari penduduk setempat dan karena itu tidak perlu pula membayar fiskal. Slain itu biaya fiskal yang tinggi  yang dikenakan pemerintah untuk setiap tenaga kerja panglong  yang datang dari Singapura juga menjadi penyebab kemunduran panglong Cina tersebut (Verslag van Arbeidsinspetie, 1937:116). Pada periode ini banyak tauke yang memindahkan usahanya ke Malaka.
            Jumlah panglong pada periode berikutnya kembali meningkat pada tahun 1935. Hal ini disebabkan karena pemerintah menurunkan biaya fiskal dari setiap kuli dengan maksud menarik kembali para tauke tersebut. Bahkan dalam tahun 1936 pemerintah dalam keadaan keuangan yang sulit ini mencoba menawarkan daerah-daerah lain seperti Aceh, Sumatera Timur dan Jambi. Ternyata tawaran tersebut kurang memperolah perhatian tauke, karena hanya dua panglong kayu balok yang dibuka tauke pada tahun 1937 (Verslag van Arbeidsinspetie, 1937:116).
            Dilihat dari jenis cara produksinya, panglong arang kayu dan kayu bakar lebih banyak terdapat di Karesidenan Riau dari pada di Bengkalis, khsnya di Siak dan Indagiri. Sebelum meningkatnya di tahun 1927 di Riau terjadi juga penurunan-penurunan jumlah panglong balok yang disebabkan karena tauke kecil pemilik panglong balok menutup usahanya. Mereka kalah bersaing dengan tauke panglong balok yang besar yang sejak tahun 1928 sudah memiliki alat transportasi railbaan, sehingga kayu-kayu besar tidak lagi ditarik oleh kuli dari tengah hutan ke pinggir sungai, tetapi diangkat dengan railbaan itu. Pada tahun 1931 saj 8 buah panglong balok ini gulung tikar (Verslag van Arbeidsinspetie, 1932:10). Demikian juga panglong kayu bakar yang yang jumlahnya juga menurun, karena harga kayu bakar yang rendah di Cina. Pada tahun 1935 , 59 buah panglong kayu bakar juga gulung tikar (Verslag van Arbeidsinspetie, 1936:116).
            Produksi terbesar bersal dari jenis panglong kayu gelondongan (balok), dengan produksi tertinggi sebelum tahun 1930, sesudah itu cenderung menurun. Hampir seluruh produksi kayu di Riau diekspor ke Singapura dan hanya dalam jumlah yang kecil untuk memenuhi kebutuhan pengasapan ikan di Bagan Siapi-api.
            Pada tahun 1925 dan 1926, dua orang tauke Cina, yaitu Lam Tim dan Jan Jau, pemilik beberapa panglong di dataran rendah Indragiri dikabarkan telah mengirim berton-ton kayu mereka lewat singapura ke Hongkong (Pastor, 1927:11).
            Kehadiran dua panglong ini telah memberikan pendapat yang luar biasa terhadap keuangan negara. Tahun 1897 pemerintah memperoleh sedikit masukan dari pajak panglong berdasarkan tenaga kerja (Verbaal 29 Agustus 1900, no. 54) meskipun jumlah masukan ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah pajak pada tahun-tahun berikutnya, akan tetapi dari pemerintah kolonial antusias untuk meningkatkan pengawasannya di daerah lokasi panglon. Dengan pengawasan yang diperketat diharapkan panglong akan memberikan sumber pendapatan yang baik untuk keuangan pemerintah.
            Jumlah tertinggi antara tahun 1927-1929, kemudian jumlahnya cenderung menurun pada tahun berikutnya. Bila dilihat dari ketiga jenis panglong , ternyata retribusi terbesar berasal dari panglong kayu gelondongan. Akan tetapi setelah tahun 1930-an, jumlah retribusi panglong yang cenderung menurun karena harga kayu yang murah dan persaingan dengan pengusaha pribumi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
            Dikabarkan seorang tauke yang bernama Si Hoa memiliki hubungan yang erat dengan raja Lingga, Ia dengan memudah memperoleh lisensi dan izin perpanjang usahanya di raja Lingga. Dikatakan jika ia menghadap raja Lingga, ia tidak lupa membawa uang yang bertumpuk-tumpuk.
            Pejabat kolonial dari jawatan kehutanan yang pergi ke lokasi panglong mengatakan bahwa meskipun uda ada usaha terpadu dari pemerintah kolonial, dari pejabat setempat, asisten residen/residen, polisi dan jawatan kehutanan, kakan tetapi kerjasama kepala panglong dengan para pejabat telah menyebabkan negara kolonial dirugikan. Penyeludupan kayu –kayu ke Singapura, manipulasi dalam penghitungan jumlah tenaga kerja dan tungku-tungku pembakaran adalah kasus-kasus yang sering terjadi yang menyebabkan kerugian negara.
Organisasi dan Hubungan Kerja
            Organisasi kerja panglong adalah sebagai berikut. Pertama tauke, orang yang bertindak sebagai pemilik modal dan pensuplai tenaga kerja dan kebutuhan-kebutuhan lainnya di panglong. Ia tidak langsung mengurus usahanya. Urusan langsung panglong diserahkan  kepada wakilnya yaitu kepala panglong dan dia akan di bantu temannya, antara lain yaitu mandor, tkang masak dan sekretaris. Mandor menurut istilah penduduk setempat disebut juga dengan ‘tukang hantam’, yaitu orang yang memiliki fisik yang kuat yang berperan mengontrol jalannya usaha. Sementara juru masak adalah orang yang menyediakan makanan untuk para kulinya dan sekretaris berperan sebagai yang mencatat dan mengurusi kegiatan dan pembagian pekerjaan sampai pada urusan pembayaran upah. Pendeknya masalah pembukuan akan diurus oleh sekretaris panglong. Setelah kelompok inti, terdapat barisan pekerja atau kuli-kuli panglong.
            Pada umumnya kuli bersama kelompok inti tinggal di bangsal-bangsal atau rumah kongsi yang dibangun atas biaya tauke. Rumah kongsi itu juga memiliki kebun sayur dan peternakan babi dan ayam yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Di rumah kongsi ini kepala panglong bersama para pembantunya juga dapat mengawasi para kulinya agar tidak kabur atau mereka yang hendak kabur.
Bagan Rumah Kongsi
Panglong memiliki kelompok kerja dengan pembagian tugas masing-masing. Di dalam panglong kayu balok, kelompok kerja dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : Pertama, kepala panglong bersama pembantunya. Pekerjaan mereka sama sekali tidak berat dan bahkan mereka sangat banyak waktu luang, mereka tinggal di bangsal. Kelompok kedua adalah penebang pohon, penggergaji dan pembuat jalan dari lokasi penebangan sampai ke dekat sungai. Kelompok ketiga adalah kelompok penarik kayu, yang kerjanya paling berat dengan menarik kayu-kayu besar dari tengah hutan ke pinggir sungai. Pembagian kerja untuk panglong kayu bakar hampir sama, hanya perbedaannya pada kelompok ketiga adalah penggergaji dan pembawa kayu. Pembagian kelompok ini juga berlaku untuk pemberian jatah makan dan letak tempat tidur.
Jumlah kuli di setiap panglong bervariasi, tergantung besar kecilnya usaha atau jenis panglong. Rata-rata jumlah tenaga berkisar dari 25-60 orang. Menurut data, jumlah pekerja di panglong tidak terlalu akurat, karena pemilik panglong cenderung memanipulasi jumlah tenaga kerja yang sesungguhnya di panglong mereka. Data yang deiberikan juga berkaitan degan besarnya pajak yang akan ditanggung oleh pemilik panglong.
Tahun 1923, hubungan kuli dengan tauke sangat kabur. Kuli-kuli panglong bukanlah kuli kontrak di bawah Penal Sanction, seperti halnya kuli-kuli di tempat lain. Kontrak kerja hanya dilakukan secara lisan antara tauke dengan kuli karena kuli ini tidak direkrut melalui jalur perekrutan resmi, yaitu lewat kantor proktektorat Cina di Singapura.
Karena kontrak kerja yang hanya secara lisan, sulit bagi pmerintah kolonial untuk mengawasi kesewenangan-kesewenangan majikan terhadap kuli-kuli tersebut. Kesulitan lain adalah dalam masalah mengontrol masuknya kuli-kuli yang direkrut tauke ke lokasi panglong yang berdekatan dengan Singapura dan wilayah Kepulauan Riau yang begitu luas dan terpencar. Karena itu, ketika Inspeksi Perburuhan melakukan penelitian ke wilayah panglong Riau pada tahun 1925, sebagian kuli tidak memiliki kartu izin tinggal
Tahun 1923, hubungan kerja diatur dalam serangkaian peraturan yang dimuat dalam Panglongreglement dalam panglongkeur. Pertauran itu memuat serangkaian peraturan yang ditulis di dalam 3 bahasa yaitu Beland, Cina dan Melayu yang berisi hak dan kewajiban kuli dan tauke, misalnya dalam masalah upah, jaminan kesehatan, perumahan, makanan, jam kerja, hari-hari libur dan kartu izin tinggal. Hari kerja di luar hari libur besaar Cina adalah 26 hari. dikatakan juga bahwa tauke harus membayar upah kuli, menyediakan pengobatan gratis, tempat tinggal yang layak, makanan yang baik dan jam kerja yang tidak boleh lebih dari 10 jam seta hari libur seperti hari besar Cina.
Upah dibayar dalam dollar Singapura. Sistem pembayarannya adalah sebagai berikut : kepala panglong dan pembantunya menerima upah per bulan, sementara kuli menerima upah sesuai jenis dan hasil yang dikerjakannya. Upah bulanan yang diterima kepala panglong berkisar antara $ 25 sampai $ 75, sedangkan mandor $ 15 - $45. Kuli juga menerima premi yaitu pembayran upah pada hari libur dan premi bulanan yang jumlahnya bervariasi dari $ 0,50 sampai $ 4.  Kuli juga menerima makanan gratis yang nilainya kira-kira $ 15 sehari. Pada hari libur, kuli juga menikmati hiburan yang disediakan oleh majikan, berupa pertunjukan ronggeng, Mak Yong, dan diizinkan untuk bermain domino.untuk jaminan kesehatan, tauke diwajibkan oeleh pemerintah memberikan sumbangan setiap bulan berdasarkan jumlah kuli ke setiap rumah sakit atau poliklinik terdekat.
Kondisi kerja dan Peranan penguasa
Pada tahun 1897 terjadi protes pejabat kantor proktorat Cina di Singapura mengenai kondisi kerja yang jelek di panglong. Kondisi kerja di panglong terlihat menyedihkan, kuli-kuli terlibat utang karena bermain judi dan mengisap candu disertai perlakuan mandor yang kejam. Hal ini menjadikan panglong mirip kehidupan bandit. Protes tersebut mengharuskan pemerintah melakukan penelitian ke panglong terutama di Bengkalis.
Tahun 1923, peraturan dibuat untuk menangani kasus panglong karena semakin gencarnya kritik yang dilontarkan di berbagai media terhadap sikap pemerintah yang bungkam terhadap maslah tersebut. Setelah diberlakukannya peraturan pemerintah, kontor isnpeksi Perburuhan di Batavia menempatkan wakilnya di Tanjung Pinang dan Bengkalis.
Tahun 1924-1936 disumpulakan adanya perbaikan kondisi kehidupan kuli seperti pelayanan kesehatan, perumahan, makanan yang baik yang dilakukan oleh tauke panglong. Pemerintah melakukan penutupan panglong bagi yang tidak mengikuti peraturan pemerintah.
Namun, hasil tersebut masih banyak diperdebatkan oleh pengamat yang berkunjung ke lokasi. Hal ini diliat di majalah De Indische Gids yang memuat cata penginspeksian , personel yang tidak sebanding dengan luas daerah panglong serta sikap pejabat yang terkadang pro tauke. Selin itu, kuli juga tidak berani mengadukan nasibnya ke Landraad atau ke pejabatn Inspeksi Perburuhan, karena diancam oleh tauke atau wakilnya. Bentuk – bentuk eksploitasi masih berjalan terlihat dengan maslah upah dan utang bahkan kesehatan.
Upah dan utang
Tingkat upah yang diberikan kepada kuli menurut pejabat Inspeksi Perburuhan sudah pantas, bahkan kuli dapat menabung untuk keluarganya. Namun masalah timbul karena sistem pembayaran upah yang ditunda-tunda oleh tauke berbulan-bulan bahkan sampai bertahun tahun. Masalah eksploitasi yang diliaht dengan adanya hutang kuli. Kuli terlibat hutang kepada tauke. Tahun 1932, 62,2 % kuli terlibat utang rata rata 40 dollar. Pada akhir tahun meningkat sampai 80,6 % dengan rata-rata 53 dollar. Bahkan dalam beberapa panglong di Bengkalis, kuli terlibat utang rata rata 100-300 dollar.

Keterlibatan kuli dengan hutang dikarenakan bermain judi, minum candu dan membeli barang-barang kebutuhan di kedai milik kepala panglong. Harga barang yang dijual oleh kepala panglong sangat tinggi dibandingkan di pasar, namun kuli terpaksa harus membeli di kedai kepala panglong. Candu digunakan oleh kuli untuk menghilangkan ketegangan atau kejenuhan bekerja sehari-hari, namun bersifat adiktif yaitu semakin banyak yang menghisapnya semakin tinggi ketagihannya. Setiap kuli memiliki buku perhitungan tentang upah dan utang mereka masing-masing. Namun kuli masih tidak bisa hitung dan baca sehingga mereka tidak mengerti tulisan yang dibuat oleh sekertaris panglong. Perhitungan yang ditulis oleh sekretarisnya cenderung merugikan kuli. Kemudian kuli juga diberikan pertunjukan sehingga kuli mengeluarkan biaya dalam berkencan bersama pelacur-pelacur yang datang bersama pertunjukan tersebut.
Jaminan kesehatan
Pada umumnya tingkat kesehatan kuli cenderung kurang baik. Selain disebabkan kondisi tempat tinggal yang jelak, juga disebabkan karena makanan. Tahun 1933, kekurangan makanan muncul di beberapa panglong sehingga banyak kuli yang sakit dan meninggal. Peraturan pemerintah tidak terealisasikan kepada kuli.  Kekurangan makanan di panglong-panglong tergantung pengiriman tauke Singapura yang bertugas mengirimkan kebutuhan pokok kuli ke panglong dengan tongkang-tongkang kayu. Keterlambatan pengiriman makanan juga disebabkan karena tauke tidak memiliki cukup modal atau mengalami kesulitan keuangan. Kualitas makanan juga jelek sehingga kuli sakit beri-beri.
Kewajiban tauke memberikan sumbangan untuk biaya perawatan juga tidak terlaksana, kuli harus membayar biaya rumah sakit dengan pemotongan upah mereka. Kondisi tersebut diperparah ketika harga kayu turun tahun 1933 dan diberlakaukan ristriksi produksi sehingga tauke tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Dari hasil penyelidikan ke panglong ternyata tingkat sakit dan meninggal semakin tinggi.
Masalah penundaan upah, keterlibatan buruh dengan yang dan tingkat kesehatan yang jelek merupakan bentuk-bentuk eksploitasi yang berlangsung oleh tauke kepada kuli. Eksplotiasi tersebut juga dilihat dengan jam kerja yang sampai 16 jam sehari, pukulan-pukulan rotan serta berbagai bentuk kekejaman lainnya. Kondisi seperti ini telah melahirkan serangkaian konflik yang tak pernah usai antara kuli dengan tauke dan majikan. Protes-protes kuli bermunculan baik dengan cara melarikan diri maupun dengan cara membunuh majikan.
KESIMPULAN
Kehadiran panglong memberikan keuntungan besar untuk sumber pendapatan negara baik dri pajak usaha dan pajak-pajak lainnya seperti candu, judi dan uang fiskal kuli. Keuntungan yang diperoleh baik oleh pengusaha panglong maupun pemerintah telah dibayar dengan keluhan dan kondisi kerja yang jelek oleh para kuli panglong. Demi untuk mencapai target produksi tauke sering melakukan bentuk eksploitasi terhadap kuli lewat penundaan upah, pemberian makanan yang kurang baik sehingga menimbulkan protes proletarisasi di kalangan barisan pekerja di wilayah pengusaha hutan milik Cina. Pemerintah merancang peraturan hubungan tauke dengan kuli dengan baik namun kenyataannya peraturan tersebut tidak terealisasikan. Posisi kuli lemah dan berada di dua kekuatan, di satu pihak tauke Singapura dan yang lainnya penguasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...