BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keikutsertaan
kaum wanita dalam semua aspek kehidupan suatu bangsa tidak dapat diabaikan.
Disamping sebagai ibu dan isteri yang menjalankan peran domestik seputar urusan
keluarga dan rumah tangga, kaum wanita sejalan dengan tuntutan zaman dan
kondisi real lingkungan sekitarnya, juga dituntut berperan di sektor publik.
Keikutsertaan kaum wanita Indonesia di sektor publik telah berlangsung lama
sejak zaman pra kolonial yang antara lain ditandai oleh tampilnya beberapa
tokoh wanita sebagai penguasa kerajaan baik di Jawa maupun luar Jawa. Demikian
juga pada masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, kaum wanita
Indonesia secara langsung dan tidak langsung ikut berperan aktif di medan
peperangan.[1]
Keikutsertaan
secara aktif kaum wanita dalam melawan kekuatan kolonial telah menonjol sejak
abad 19. Hal itu antara lain dapat diketahui dari maraknya gerakan-gerakan
perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh wanita seperti Christina Martha
Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah
pada sekitar pertengahan abd XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang
Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika
1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahman Dahlan tahun 1872-1936,
Rasuna Said 1901-1965.[2]
Jika
dicermati sejarah gerakan kaum wanita dapat dikemukakan bahwa pada mulanya
lebih tertuju pada bidang pendidikan. Hal ini tampaknya didasari oleh kesadaran
bahwa pendidikan dapat membawa pengaruh yang besar pada perubahan dan kemajuan.
Oleh karena itu bukanlah tanpa sebab jika tokoh-tokoh wanita yang terkemuka
dalam masyarakat Indonesia pada mulanya bergerak dibidang pendidikan. Rohanna
Kudus dan Rahma El Yunusiyah merupakan tokoh wanita di Sumatera Barat yang giat
memajukan pendidikan seperti Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara. Demikian
pula halnya, organisasi-organisasi wanita yang pertama-tama dibentuk,
kegiatannya terutama dalam usaha bagaimana meningkatkan kepandaian wanita, sehingga
peranannya pun akan semakin besar. Organisasi Putri Mardika (tahun 1912 di
Jakarta), Putri Budi Sejati (Surabaya), Keutamaan Istri (Jawa Barat), Sarekat
Kaum Ibu Sumatera (Bukit Tinggi) dan PIKAT (Minahasa) merupakan beberapa contoh
organisasi wanita yang bergerak dibidang pendidikan oleh dan untuk wanita.[3]
Dapat
diduga bahwa awal keberadaan organisasi-organisasi perempuan semacam ini di
Hindia Belanda (tahun 1910-an) berkaitan erat dengan dipromosikannya politik
“Hutang Budi” (Politik Etik) oleh pemerintah kolonial pada waktu itu.[4]
Pemerintah Kolonial dan para pejabatnya masa itu percaya bahwa modernisme (ala
Barat) mampu mengantar ke “pencerahan akal budi”. Pencerahan akal seperti
itulah yang dipercayai akan menghasilkan kebaikan karena “kepandaian adalah
pangkal keselarasan, dan kebodohan adalah pertanda kekacauan”.[5]
Pada saat gerakan wanita dalam berbagai wadah organisasi semakin berkembang,
kemudian digelar Kongres Wanita Indonesia Pertama yang diselenggarakan pada
tanggal 22-25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta.[6]
Salah satu hasil kongres adalah membentuk Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Sejak saat itulah tanggal 22 Desember dijadikan perayaan hari bersejarah dan
disepakati sebagai lahirnya “Hari Ibu”. Untuk mengenangnya, kemudian
diperingati setiap tahun sebagai Hari Nasional.[7]
Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) diubah namanya menjadi Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) pada Kongres Wanita Kedua yang diadakan di
Jakarta pada tahun 1929.
Dalam
gerakan politik praktis yang legal formal, kaum wanita untuk pertama kalinya menyatakan
beroposisi dengan kekuasaan pemerintah pada tahun 1935 ketika pemerintah
kolonial menolak permintaan kaum wanita untuk memilih wanita pribumi sebagai
wakil dalam Dewan Rakyat. Akhirnya, pada 8 Agustus 1938 wanita Indonesia
mengorganisasi lagi pertemuan untuk mengadakan protes terhadap pemerintah yang
diikuti oleh 18 organisasi wanita. Mereka memprotes pemerintah yang tetap saja
memilih wanita Belanda sebagai anggota Dewan Rakyat.[8]
Organisasi wanita di Hindia Belanda boleh dikatakan tidak begitu aktif lagi
setelah aksi protes tersebut hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.
Baru kemudian marak kembali pada zaman pendudukan Jepang ketika kaum wanita
diorganisasi oleh berbagai wadah perjuangan untuk melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Jepang. Demikian juga pada periode Revolusi Kemerdekaan Indonesia1945-1949, kaum wanita
aktif dalam berbagai gerakan perjuangan baik di PMI (Palang Merah Indonesia),
dapur umum, spionase/intelijen maupun di front pertempuran sebagai lasykar
putri.
Setelah
berakhirnya Perang Kemerdekaan, semua organisasi wanita tersebut diafiliasikan
ke dalam suatu organisasi yang lebih besar dan merupakan induk dari seluruh
organisasi wanita di Indonesia yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia
(KOWANI). KOWANI didirikan di Surabaya pada awal bulan Juni tahun 1950,
ketuanya adalah Nyi Puger, wakil ketua Ny. Dr. Angka Nitisastra, penulis Ny.
Irang, dan anggota luar biasa Ny. Samadikun. Dalam rapat pembentukan itu juga
dibentuk Panitia Pembantu Sosial yang anggotanya terdiri dari perhimpunan yang punya usaha kesosialan
guna mendampingi dan membantu melaksanakan pekerjaaan pemerintah di lapangan
sosial.[9]
Sejak saat itu organisasi wanita menjadi tersentralisasi dan kegiatannya lebih
ditentukan oleh induk organisasinya, sehingga tidak dapat lagi semerdeka
seperti sebelumnya.
Akhirnya
pada tanggal 24-26 Nopember 1950 dalam kongresnya yang ke5, KOWANI dibubarkan
dan diganti dengan nama Kongres Wanita Indonesia (tanpa singkatan).[10]
Dalam perjalanan selanjutnya, Kongres Wanita Indonesia hanyalah sebagai alat
administrasi birokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada
kepentingan wanita sendiri sebagai pelaku sejarah. Sementara itu, hampir bersamaan
dengan pembentukan KOWANI, pada 4 Juni 1950 para wakil enam organisasi wanita
berkumpul di Semarang, untuk melebur enam organisasi mereka masing-masing ke
dalam satu wadah tunggal yang diberi nama Gerwis, yaitu kependekan dari Gerakan
Wanita Indonesia Sedar.
Enam
organisasi tersebut ialah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang,
persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan
Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.[11] Koran Kantor Berita Antara yang terbit pada
tanggal 9 Juni 1950 menyebutkan: Gerwis yang diketuai oleh Tis Netty dari
Semarang dan Nyonya Umi dari Surabaya, S.K. Trimurty dari Yogyakarta dan Nyonya
Srie Kustijah dari Semarang masing-masing sebagai wakil ketua dan penulis,
dalam rapatnya yang pertama itu telah memajukan tuntutan kapada pemerintah
antara lain minta supaya fonds pembangunan negara ditujukan bagi kemakmuran
rakyat dan mereka menghendaki negara kesatuan yang 100 % lepas dari “isme”
penjajahan. Gerwis belum menggabungkan diri pada KOWANI.[12]
Dari
berita tersebut dapat diketahui pandangan politik Gerwis sebagai organisasi
wanita sangat progresif dan radikal dimana Indonesia harus merupakan NKRI yang
100 persen lepas dari “isme” penjajahan. Padahal seperti diketahui, bahwa
negara Republik Indonesia pada waktu itu masih dalam bingkai negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang berarti negara RI hanya merupakan bagian dari
negara RIS. Jika mencermati latar
belakang sosial dari para tokoh wanita yang menjadi pelopor Gerwis tersebut
tampak berbeda-beda, tapi ternyata hal tersebut tidak menghalangi langkah
mereka untuk bersama-sama terjun di tengah kancah perjuangan nasional. Bahkan
beberapa dari mereka sudah berjuang dalam satuan gerilya melawan Jepang dan
Belanda. Sejak awal berdirinya Gerwis merupakan organisasi perempuan yang
paling aktif di bidang politik nasional. Sesuai dengan keputusan yang diambil
dalam kongres I pada Desember 1951, Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani.[13]
Gerwani memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun
sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah
sosialisme dan feminisme.
Pada
akhirnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan para Jendral 30 September - 1
oktober 1965 (Gestapu/Gestok), Gerwani dianggap oleh pemerintah Orde Baru
sebagai salah satu organisasi yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September,
dan dalam film karya Arifin C. Noer yang berjudul Penghianatan G 30 S/PKI
digambarkan menyiksa jendral-jendral yang ditangkap sebelum mereka dibunuh di
Lubang Buaya. Selain itu juga digambarkan adegan-adegan dimana anggota-anggota
Gerwani menari telanjang, memotong alat kelamin tawanan mereka dan melakukan
perbuatan amoral lainnya. Namun demikian sebagian ahli sejarah meragukan bahwa
tampilan dalam film tersebut merupakan fakta dari kebenaran suatu sejarah dan
bagian keterlibatan Gerwani sebagai organisasi wanita dalam peristiwa tersebut
masih merupakan misteri sejarah yang belum terungkap. Aktivitas Gerwani di kota
Semarang pada kurun waktu 1950 hingga 1965 sangat masif. Mereka melakukan
aktivitas dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Geliat aktivitas
Gerwani di kota Semarang dapat menyita perhatian kaum wanita di Semarang, oleh
karena itu jumlah mereka pun cukup banyak. Kegairahan Gerwani dalam
melaksanakan program-program mereka serta adanya keterkaitan mereka dengan PKI
akhirnya membawa mereka pada kehancuran pada tahun 1965.
BAB
II
PEMBAHASAN
Proses terbentuknya
GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia)
Pada
awal abad ke-20 perjuangan perjuangan perempuan mulai mengarah pada kemajuan
dalam mencapai kebebasan yang sama dengan laki-laki. Dimulai dengan
merealisasikan gagasan yang dituliskan oleh Kartini mengenai kesadaran tentang
pendidikan bagi perempuan, yang didasari bahwa dengan pendidikan dapat membawa
pengaruh besar terhadap kemajuan dan perubahan karena dari perempuan, awal dari
generasi penerus bangsa menerima didikan, oleh karena itu, bukan tanpa sebab tokoh-tokoh perempuan
terdidik di Indonesia memulai perjuangannya di bidang pendidikan untuk
perempuan. Pada mulanya para kaum perempuan Indonesia membuat
perkumpulan-perkumpulan perempuan yang bertujuan untuk memberikan hak-hak
pendidikan atau pun pengajaran terhadap
kaum perempuan. Sejak tahun 1920, perkumpulan perempuan bertambah banyak dan
terjadi perluasan pengajaran bagi kaum perempuan. Perkumpulan-perkumpulan
perempuan yang semakin meluas di Indonesia hingga banyak organisasi-organisasi
membuat bagian terhadap perempuan dan para perkumpulan tersebut mengadakan
kongres-kongres perempuan.
Kongres
Perempuan Indonesia yang berlangsung tahun 1928 berkelanjutan hingga tahun
1941. Sejak tahun 1941, tidak lagi diadakan Kongres Perempuan Indonesia.
Kondisi ini terutama sekali disebabkan oleh situasi politik Indonesia yang
berada dalam genggaman Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang tidak hanya
mematikan bentuk-bentuk perkumpulan yang mandiri, tetapi melarang adanya
perkumpulan perempuan lain selain fujinkai. Setelah Indonesia merdeka tidak
lagi ada kongres perempuan, yang ada adalah Kongres Wanita. Kongres Perempuan
yang dilangsungkan pada tahun 1928 dan tahun selanjutnya merupakan era
kebangkitan perempuan Indonesia. Karena pada saat inilah pertama kali muncul
kesadaran perempuan Indonesia atas kepentingannya yang berbeda dari rekan
pejuang laki-laki. Pada masa itu juga para perempuan Indonesia dapat berkumpul
secara bebas untuk menentukan kehendaknya.
Setelah
kemerdekaan, pada tahun 1950 perkumpulan-perkumpulan ataupun
organisasi-organisasi perempuan yang tergabung dalam Istri Sedar dan enam
organisasi wanita, yaitu RUPINDO (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan
Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), GERWINDO (Gerakan Wanita
Indonesia, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik
Indonesia (PPRI, Pasuruan) membentuk
GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar). Dalam kongres pertama GERWIS (Gerakan
Wanita Istri Sedar) menghasilkan nama GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dan
diputuskan sebagai pengganti nama organisasi GERWIS (Gerakan Wanita Istri
Sedar), tapi baru tahun 1954 nama GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dipakai
secara resmi.
Sebagian
besar pendiri GERWANI adalah perempuan – perempuan revolusioner yang pernah
terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme dan revolusi bersenjata pasca
kemerdekaan Indonesia. Pemimpin terkemuka GERWANI adalah SK Trimurti, ia sudah
terllibat dalam pergerakan anti-kolonial bersama Bung Karno. Pasca kemerdekaan,
ia ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan. Tokoh lainnya adalah Salawati Daud, ia
menjadi walikota Makassar yang pertama di bawah pemerintahan Republik Indonesia
sekaligus walikota perempuan pertama di Indonesia. Ia aktif dalam pergerakan
anti-kolonial sejak tahun 1930. Selain mengorganisir perlawanan, Salawati Daud
turut bergerilya dan mengangkat senjata melawan Belanda. Tokoh GERWANI yang
lain adalah Soedjinah, Umi Sardjono, dan Soelami.
AKTIVITAS
GERWANI DI KOTA SEMARANG TAHUN 1950-1965
Dalam
perjalanan gerakan wanita, Gerwani sebetulnya memiliki peran yang cukup berarti
dengan mengangkat isu-isu kontroversial pada masanya itu. Seperti isu hak pilih
dan isu poligami. Kekritisan para wanita terhadap ketidakadilan dan penindasan
kaumnya merupakan sesuatu yang bisa menjadi inspirasi dan semangat bagi gerakan
wanita selanjutnya. Terdapat beberapa hal penting yang berpengaruh pada para
wanita dalam organisasi Gerwani sehingga menjadi kritis dan terkesan radikal,
antara lain karena adanya kawin paksa, perceraian sepihak, larangan bersekolah,
dan penghinaan-penghinaan lain yang sangat menyudutkan kaum wanita. Hal-hal itu
merupakan bagian dari praktik sistem budaya warisan feodal yang masih sangat
melekat pada masyarakat Indonesia pada saat itu. Gerwani memilih Semarang sebagai basis karena
secara historis merupakan “Kota Merah”, kota kelahiran partai yang berideologi
komunis yaitu PKI. Banyak anggota Gerwani yang juga merupakan anggota PKI
karena hanya partai inilah yang dilihat bersungguh-sungguh dalam melawan
penindasan terhadap rakyat. Aktivitas Gerwani di kota Semarang sesuai dengan
hal-hal yang tercantum dalam Program-Program Kerja Gerwani. Meskipun programprogram
kerja tersebut baru dibuat dan dikeluarkan pada tahun 1964, namun sebelumnya
sudah diterapkan di daerah-daerah termasuk di kota Semarang.
A.
Aktivitas Sosial Politik
Gerwani
di Kota Semarang memiliki aktivitas yang telah disesuaikan dengan rogram-program
kerja Gerwani Pusat. Beberapa aktivitas di bidang sosial politik antara lain:
1. Gerwani di Kota
Semarang turut memberi dukungan dalam usaha menuntut penghapusan diskriminasi
bagi kaum wanita dan dilaksanakannya Undang-Undang No. 68 tahun 1959 tentang persetujuan
Konvensi Hak-hak Politik bagi Wanita. Dengan ini diharapkan adanya pengembalian
hak-hak wanita, tidak hanya sebagai pendamping suami dan konco wingking
laki-laki. Wanita adalah penyangga negara, jika wanita hancur maka hancur pula
negara.[14]
2. Menuntut penghapusan
diskriminasi mengenai hak-hak wanita dalam jabatan Kepala Desa/Pamong Desa dan
segera dihapuskannya berbagai macam kerja tanpa dibayar yang pada hakekatnya
sama dengan rodi dan pologoro yang sangat memberatkan kaum tani. Pada waktu itu,
sebagian besar kepengurusan bagian wanita tingkat Rukun Tetangga di kota
Semarang dijabat oleh wakil-wakil dari Gerwani.[15]
3. Keberadaan Irian
Barat di bawah kekuasaan Belanda bagaikan nila setitik dalam susu sebelanga.
Oleh karena itu Gerwani ikut serta aktif dalam perjuangan Pembebasan Irian
Barat serta pengembalian ke
dalam kekuasaan
Republik Indonesia. Implementasi dari program ini, Gerwani kota Semarang
mencoba menggalang para sukarelawati untuk turut dikirim merebut Irian Barat.
Pendaftaran sukarelawati ini dilakukan di masing-masing anak cabang di
tiap-tiap kecamatan di kota Semarang.[16]
B.
Aktivitas Sosial Ekonomi
Program perjuangan yang
dampaknya sangat berhubungan langsung dengan kaum perempuan adalah bidang
ekonomi, sehingga bidang ini sangat diperhatikan oleh Gerwani. Adapun program
perjuangan yang telah dilaksanakan oleh Gerwani diantaranya mengenai masalah
lintah darat, bantuan kredit yang murah, pajak negara, kesejahteraan nelayan,
pengendalian harga barang pokok, dan anggaran kesehatan.
1. Menuntut segera
dilaksanakan Undang-undang Perkawinan yang melindungi persamaan hak wanita dan laki-laki
sesuai dengan prinsipprinsip Pasal 16 Piagam PBB yang berisi adanya larangan
kawin paksa, perkawinan anak-anak, perkosaan dan perceraian yang sewenang-wenang
terhadap wanita, serta perlindungan terhadap hak anak-anak yang orang tuanya bercerai.
Pada waktu itu di Kota Semarang. Oleh karena itu, Gerwani berusaha
menyelesaikan permasalahan tersebut, dengan cara mengajak berbicara dengan
pihak terkait. Misalnya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
suami terhadap istrinya, maka anggota Gerwani mendatangi dan berbicara dengan
suami tersebut. Jika suami itu tidak mau menghentikan perbuatannya, maka anggota
Gerwani membantu istri untuk mengajukan gugatan cerai pada suaminya.
2. Menuntut jaminan
upah sama bagi buruh wanita dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya;
jaminan hak sama bagi buruh/pegawai wanita dengan buruh/pegawai laki-laki untuk
naik pangkat dan menduduki semua jabatan; jaminan hak untuk mengikuti segala
kursus kejuruan dengan syarat-syarat yang sama dan memasuki segala lapangan
pekerjaan. Pada waktu itu banyak dari anggota Gerwani di kota Semarang yang
ikut aktif dalam Serikat Buruh Kereta Api.
3. DPC Gerwani kota
Semarang mendesak dilaksanakannya Peraturan Pemerintah yang mengatur cuti hamil
bagi buruh atau pegawai wanita di lapangan swasta maupun pemerintah, sehingga
menghilangkan pembatasan-pembatasan dan kesulitan-kesulitan serta birokrasi
untuk memudahkan setiap buruh/pegawai wanita mendapatkan cuti dan bantuan
selama hamil tua, melahirkan anak, menggugurkan kandungan, menyusui
anak-anaknya serta cuti haid. Sebagian besar anggota Gerwani di kota Semarang
adalah buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, maka pernyataan sikap ini sangat
membantu mereka.
4. Menuntut penghapusan
diskriminasi mengenai hak-hak wanita dalam jabatan Kepala Desa/Pamong Desa dan
segera dihapuskannya berbagai macam kerja tanpa dibayar yang pada hakekatnya
sama dengan rodi dan pologoro yang sangat memberatkan kaum tani. Pada waktu
itu, sebagian besar kepengurusan bagian wanita tingkat Rukun Tetangga di kota
Semarang dijabat oleh wakil-wakil dari Gerwani.
5. Menuntut pemberian
bantuan kredit murah, mudah, dan panjang oleh Pemerintah kepada kaum tani, kaum
nelayan, tukang-tukang pekerja tangan, dan pedagang kecil. Serta diperbanyak
jumlah pasar dan alat perhubungan yang mudah dan murah, terutama di luar Jawa. Mengusahakan
berdirinya koperasi-koperasi tani dan nelayan sampai ke desa-desa. Gerwani kota
Semarang membentuk koperasi-koperasi sampai ke tingkat desa dan membantu
usaha-usaha rumah tangga (misalnya menjahit, memasak, kerajinan tangan, dan
industri-industri kecil lainnya).
6. Gerwani kota
Semarang sering melakukan demonstrasi menuntut penurunan harga barang-barang pokok.
Hal ini adalah wujud dari tuntutan dilaksanakannya Program Sandang-Pangan
antara lain dengan adanya pengendalian harga barang-barang pokok kebutuhan
hidup sehari-hari terutama bahan makanan dan pakaian; dan dengan adanya pengikutsertaan
wakil-wakil organisasi, terutama Buruh, Tani dan Wanita dalam Dewan
Pertimbangan Distribusi. Mendesak Pemerintah agar mengambil tindakan tegas dan
keras terhadap orang-orang yang melakukan penimbunan dan spekulasi-spekulasi,
kemudian dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mencukupi persediaan bahan pokok
serta melaksanakan distribusi secara mudah, murah, dan merata, dengan jalan
melewati koperasi-koperasi, RK-RK, RT-RT.
7. Menuntut
diperbesarnya anggaran belanja untuk kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak.
Balai-balai pengobatan, klinik-klinik persalinan, biro-biro konsultasi dan BKIA-BKIA
(Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) serta jumlah bidan-bidan supaya diperbanyak
sampai ke kecamatan-kecamatan. Pendidikan bagi dukun-dukun bayi serta pendidikan
kesehatan Rakyat supaya diperluas dan diadakan peraturan tarif dokter/Bidan
yang ringan dan harga obat-obatan yang murah.
C.
Aktivitas Sosial Budaya
1. Gerwani di kota
Semarang bersama golongan Lekra mengadakan operasi “Gempa Langit III”. Markas dari
operasi ini di sebuah gang sempit di sebelah pasar Johar Semarang. Operasi ini
dipimpin oleh Martian, seorang pelukis. Daerah yang menjadi sasaran operasi ini
adalah wilayah Tambaklorok dan gang-gang kumuh di kota Semarang. Operasi Gempa
Langit II merupakan bentuk turba (turun ke bawah) para seniman bersama rakyat.
Realitas sosial di masyarakat akan menjadi ilham dari karya mereka. Hasil akhir
dari gerakan turba ini kemudian dipamerkan di Semarang dan dibuka oleh Kepala
Daerah kota Semarang pada 14 Juni 1959. para perupa yang turut dalam pameran
ini antara lain Batara Lubis, Fadjar Sidik, Martian, Djuli Sutrisno, Tarmizi.[17]
2. Gerwani kota
Semarang membentuk beberapa Sekolah Rakyat (sekarang SD) untuk membantu program
pemerintah mengenai pemberantasan buta huruf. Hal tersebut merupakan bentuk
nyata dari program Gerwani mengenai Tuntutan penambahan anggaran belanja pendidikan
dan kebudayaan; penambahan gedung-gedung
sekolah yang memenuhi syarat kesehatan dan sekolah-sekolah kejuruan; perluasan
usaha pemberantasan Buta Huruf; serta peningkatan taraf kebudayaan nasional.
3. Menuntut perluasan
Taman Kanak-Kanak dan pemberian bantuan oleh Pemerintah. Saat itu Gerwani sudah
banyak mendirikan Taman Kanak kanak (TK) Melati di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk kota Semarang. Kurang lebih terdapat 60 TK melati di kota
Semarang.
4. Pada tanggal 14 Mei
1964, bertempat di Gedung GRIS, diadakan rapat bersama Sarbufi (Sarekat Buruh
Film) kota Semarang dan 16 organisasi massa termasuk Gerwani kota Semarang.
Dalam rapat itu diambil keputusan untuk melakukan aksi pemboikotan film-film
dari Amerika. Aksi turun ke jalan dilakukan dua hari setelah acara rapat bersama
itu. Hal tersebut merupakan implementasi dari progaram Gerwani mengenai
tuntutan pelarangan peredaran film dan penerbitan cabul yang mempropagandakan
kejahatan dan perang; dan jaminan perluasan film/penerbitan yang bersifat
mendidik sesuai dengan perkembangan jiwa anak-anak.[18]
D.
Gerwani dalam Periode Menjelang G30S 1965
Pada
tahun 1958 anggota-anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih kuat dan erat
dengan golongan kiri yang ada dalam Kowani, dengan maksud agar Kowani menjadi
menjadi peka terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai
perjuangan golongan kiri. Tujuannya adalah agar Kowani menjadi lebih peduli
untuk memperjuangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan kaum perempuan
miskin.[19]
Menjelang
tahun 1965 Indonesia mengalami masa-masa yang sangat sulit. Sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan pada
tahun 1959 merupakan sebuah usaha di pihak Soekarno dan beberapa pemimpin
nasional lainnya untuk menyelesaikan instabilitas negara. Demokrasi Terpimpin
berusaha mencari pemecahannya melalui kompromi, bahkan konsensus, yang
diarahkan oleh sebuah Negara yang otoriter. Namun tampaknya untuk melakukan
konsensus dan kompromi pun semakin tidak mungkin. Perpecahan-perpecahan politik
diskursusnasionalis terus saja terjadi dalam memperebutkan konsolidasi
kekuasaan negara.
Konflik dan perdebatan politik dalam sistem
politik Demokrasi Terpimpin telah tersebar luas selama awal tahun 1960-an hingga
ke desa-desa dan kota-kota kecil di Indonesia. Kebencian ideologis dan komunal
mencapai tingkat emosional yang tinggi. Bersamaan dengan itu, muncul sebuah
aliansi kekuatan-kekuatan politik yang kuat karena gelisah melihat akhir dari pergolakan
politik yang tengah berlangsung itu, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang
yang sangat anti komunis. Pada pertengahan tahun 1965 mencapai puncaknya.
Sejumlah aksi sepihak yang dilakukan oleh BTI (Barisan Tani Indonesia) di
pedesaan telah sangat mengacaukan berbagai hubungan sosial. Laju tingkat
inflasi menyebabkan kemiskinan luar biasa. Hubungan antara pimpinan Angkatan
Darat dengan PKI menjadi semakin tegang, sedangkan Soekarno lebih condong ke
pihak PKI.
Di
tengah ketegangan situasi ini, beberapa perwira menengah AD melancarkan putsch
militer. Mereka bermaksud untuk melindungi presiden dari rencana Dewan Jendral,
yang konon hendak menggulingkan Soekarno pada peringatan Hari Angkatan Perang
tanggal 5 Oktober 1965. Para perwira tersebut diantaranya adalah Letkol Untung
bin Syamsuri, komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan kawal Presiden
Soekarno (Cakra Bhirawa); Kolonel Latief, komandan Brigade Infanteri I; dan
Mayor Udara Suyono. Mereka mempersiapkan rencana bersama Kamarusjaman alias
Syam, Kepala Biro Khusus PKI (yang keberadaannya dirahasiakan) dan Supono. Pada
waktu antara tanggal 30 September malam sampai 1 Oktober 1965 dini hari,
pasukan militer dibawah komando mereka, menculik para jendral yang dipercaya
sebagai anggota Dewan Jendral. Enam jendral (tiga diantaranya dibunuh ditempat)
dan seorang letnan kemudian dibawa ke Pangkalan Angkatan Udara Halim yang
disebut Lubang buaya. Tempat tersebut juga merupakan tempat latihan militer
para sukarelawan Ganyang Malaysia, diantaranya ada anggota Gerwani dan sebagian
besar anggota Pemuda Rakyat. Para jendral yang masih hidup kemudian dibunuh,
dan mayat mereka semua dilempar ke sebuah sumur kering yang dalam.[20]
Pada
bulan Januari 1965, Sidang Pleno DPP Gerwani menyatakan semboyan di antaranya
tentang Dwikora, peningkatan produksi, menyokong program ekonomi presiden dan
land reform. Pada awalnya Gerwani merupakan organisasi yang tidak berpolitik
kepartaian, tetapi berpandangan politik. Dalam kancah kehidupan politik
Indonesia, atas instruksi dari pemerintah, semua ormas harus mencari gandulan
masing-masing pada salah satu partai dalam Nasakom atau pada golongan-golongan
karya. Gerwani yang sudah merasa sangat
dekat dengat PKI berencana mengambil keputusan secara resmi untuk menyatukan
diri dengan partai pada kongres bulan Desember 1965. Berdasarkan pidato Umi Sardjono,
pada sidang pleno tahunan bulan Januari 1965 memutuskan perubahan status
organisasi, dari organisasi non-politik atas dasar pendidikan dan perjuangan,
menjadi organisasi massa perempuan komunis dan non-komunis progresif . Sidang
pleno tersebut juga memutuskan untuk mendirikan lembaga yang bernama Sri
Panggihan, yang bertujuan mempelajari marxisme, dan menjadikan marxisme sebagai
pelajaran dasar dalam sejumlah sekolah Gerwani.
Gerakan
revolusioner yang dilakukan Gerwani mendapat penolakan keras dari golongan
agamis terutama organisasi wanita Islam seperti Aisyah. Organisasi Aisyah ini
memandang bahwa gerakan yang dilakukan oleh Gerwani sangat bertentangan dengan
kodrat wanita terutama dari sudut pandang Islam. Gaya revolusioner yang
dilakukan Gerwani juga mendapat tentangan keras dari organisasi wanita yang
masih menggunakan gaya hidup tradisional dan feodal.[21]
E.
Penghancuran PKI dan Berakhirnya Gerwani di Semarang Pasca
Peristiwa
G30S Situasi di kota Semarang, berkaitan dengan kabar penculikan dan pembunuhan
sejumlah jendral di Jakarta, pada umumnya dalam kondisi tenang, walaupun masyarakat
merasakan suhu politik sangat tinggi. Bahkan masih banyak warga masyarakat yang
tidak mengetahui berita tentang G 30 S karena beritanya masih simpang siur.
Kodisi sosial politik pun masih relatif tenang, hanya muncul saling curiga
antar anggota masyarakat, partai atau organisasi yang berbeda. Meskipun berita-berita
yang diterima masyarakat, melalui radio maupun dari mulut ke mulut, mengatakan
bahwa penculik dan pembunuh para jendral adalah PKI, namun tidak ada tindakan
apa pun yang dilakukan oleh partai atau organisasi massa lain sebelum 17
Oktober 1965.
Situasi
berubah drastis ketika Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mulai
melakukan gerakan operasi pembersihan. Kekuatan satu batalyon yang terdiri dari
beberapa kompi RPKAD langsung dikirim dari Jakarta pada 17 Oktober 1965, dan
tiba di Semarang pada 18 Oktober 1965. Keesokan harinya, sekitar pukul 23.00,
RPKAD langsung beraksi menangkapi orang-orang yang disinyalir menjadi anggota
atau simpatisan PKI dan diduga terlibat dalam peristiwa G 30 S, setelah
sebelumnya melakukan unjuk kekuatan dengan berkeliling kota Semarang. Batalyon
itu dipimpin langsung oleh komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.[22]
Kondisi
Indonesia setelah terjadi peristiwa itu benar-benar mencekam. Pembantaian
terhadap PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Gerwani, dimulai beberapa saat
setelah Presiden Soekarno mengumumkan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad) Mayjen Soeharto sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 3 Oktober 1965.[23]
Setelah pengangkatan jenazah para jendral, markas-markas PKI di Jakarta
diserang, bangunannya dirusak dan dibakar oleh massa yang marah akibat
provokasi yang dimunculkan kalangan militer AD dibawah komando Soeharto.
Pada
tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad,
menggantikan Ahmad Yani. Kemudian pada akhir Oktober 1965, atas perintah
Soeharto, dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). KAMI lantas
sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad).[24] Selama
bulan Oktober dan November 1965 dimulailah sebuah kampanye propaganda yang
sengaja ditujukan untuk meningkatkan iklim ketakutan, keinginan untuk balas
dendam, dan kebencian rakyat terhadap PKI dan para pendukungnya. Foto-foto yang
diambil dari pengangkatan jenazah ketujuh korban yang dibantai itu
dipertontonkan secara terbuka di media cetak, disertai dengan tulisan-tulisan
sensasional yang menyebutkan bahwa para jendral itu sudah mengalami kekerasan
seksual dan dicincang oleh para anggota Gerwani.172 Rakyat didorong untuk tidak
memberi ampun kepada para pelaku peristiwa G 30 S, yang dikenal sebagai
orang-orang PKI dan ormas-ormasnya. Secara terang-terangan mereka disebut
sebagai pengkhianat, setan, pembunuh anak-anak,173 dan perempuan-perempuan
sundal.
Isu
yang beredar menyebar dengan cepat, menyebutkan bahwa bangsa ini baru saja
terhindar dari pembersihan massal yang
direncanakan oleh PKI Terbunuhnya seorang putri Jendral Nasution yang masih
kecil, Ade Irma Suryani, yang terluka parah hingga meninggal dalam usaha untuk
menculik Nasution pada peristiwa G 30 S. terhadap orang-orang antikomunis.[25]
Komando militer yang dipimpin oleh Soeharto menyebut gerakan tersebut dengan akronim
Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Istilah ini diduga dilontarkan oleh
direktur harian Angkatan Bersenjata, Brigjen Sugandhi[26],
dengan tujuan untuk menanamkan aura jahat yang diasosiasikan dengan istilah
Gestapo, singkatan dari Geheime Staatspolizei, yaitu nama suatu kesatuan polisi
rahasia Jerman semasa Hitler berkuasa dan dikenal sangat kejam.[27]
Propaganda yang disebarkan menyebutkan seolah-olah telah terjadi penyiksaan,
penyiletan kemaluan para jendral, pencukilan mata sambil bertelanjang
menari-nari (disebut tarian harum bunga) yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan
Gerwani di Lubang Buaya.[28]
Keterlibatan
Gerwani dalam peristiwa di Lubang Buaya dianggap sebagai wanita-wanita “murtad,
keji, dan bagian dari organisasi komunis gila, yang telah menjadi tangan utama
dalam penyiksaan dan pembunuhan para jendral”. Pada saat itu memang sejumlah
sukarelawan wanita Pemuda Rakyat dan Gerwani berada di pusat latihan di dekat
pangkalan Angkatan Udara Halim dalam rangka membantu perjuangan menghadapi
konfrontasi dengan Malaysia. Tidak terlalu aneh jika partai, dalam hal ini PKI,
memerlukan beberapa tenaga untuk kepentingannya maka Gerwani selalu siap
mengutus anggotanya. Di sisi lain, pimpinan pusat Gerwani tidak pernah
membahas, apalagi memberikan instruksi kepada anggota-anggota yang ada di
daerah untuk ikut dalam gerakan tersebut. Sukarelawati yang pernah melakukan
latihan di Halim bukan hanya Gerwani, tetapi juga wanita dari organisasi lain
yang tergabung dalam anggota Front Nasional (di antaranya Perwari, Wanita
Marhaen, Wanita Islam, Aisyah, dan Muslimat), yang melakukan latihan-latihan
kesenian dan tari-tarian untuk pertunjukan pada acara ASEAN Games. Saat
peristiwa G 30 S tersebut terjadi, kebetulan yang berada di lokasi adalah
sebagian besar dari anggota Pemuda Rakyat, selebihnya adalah beberapa orang
anggota Gerwani, SOBSI, BTI, dan beberapa istri prajurit Cakrabhirawa. Berdasarkan
cerita dari salah satu istri prajurit Cakrabhirawa, Gerwani dan sukarelawati
yang ada di Lubang Buaya pada peristiwa itu tidak pernah melakukan apapun
seperti yang telah dituduhkan pada mereka.
Menurut
keterangan dari pihak militer AD, pada tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI
Semarang, Asisten I Kodam VII/Diponegoro Kolonel Sahirman mengumumkan dukungan
terhadap G 30 S/PKI pusat. Mereka telah mengusasi Kodam VII/Diponegoro yang
kemudian dijadikan sebagai pusat gerakannya.
Pihak
militer AD menganggap bahwa PKI, yang memiliki simpatisan dalam tubuh AD, adalah dalang dari peristiwa G 30 S. Anonim, Sirnaning Jekso Muncul banyak reaksi
dari PKI dan ormas-ormasnya. Reaksi dari Dewan Pimpinan Daerah Gerwani Jawa
Tengah antara lain dengan mengeluarkan Pengumuman No. 0151/DPD/65 tanggal 5
Oktober 1965, yang menyatakan bahwa Gerakan 30 September semata-mata masalah intern AD, yang penyelesaiannya
dipercayakan kepada kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno.[29]
Kaum
agama mengadakan rapat akbar dengan tema mensukseskan Konferensi Asia Afrika
(KAA) II dan mengutuk G 30 S/PKI pada tanggal 12 Oktober 1965 di Semarang.
Rapat tersebut dihadiri oleh golongan Islam, Katholik, dan Sad Tunggal Jawa
Tengah.[30] Setelah
rapat selesai, kemudian dilanjutkan dengan pawai keliling kota Semarang. Di sepanjang
jalan mereka mencabuti papan-papan nama PKI dan ormas-omasnya. Seusai pawai
bubar terjadi insiden antara beberapa Pemuda Islam yang kebetulan lewat depan
kantor Comite Daerah Besar - Partai Komunis Indonesia (CDB-PKI) kota Semarang
dipanggil oleh anggota PKI dan dianiaya sehingga terluka dan dibawa ke rumah
sakit.
Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII). Dalam pertemuan tersebut telah disepakati adanya tekad bersama dalam
rangka mengikis habis Gerakan 30 September yang kontra revolusioner. Di samping
itu, juga membantu TNI AD dalam usaha penertiban dan pengamanan serta bertekad
bulat untuk menyelesaikan revolusi nasional.
Pada
hari Rabu dan Kamis tanggal 20 dan 21 Oktober 1965 terjadi demonstrasi yang
dilakukan oleh massa disertai dengan pengrusakan dan pembakaran. Massa
mendatangi gedung-gedung, kantor-kantor, dan sekolahsekolah. Kemudian mereka
mencari dokumen-dokumen yang dianggap perlu sebagai bahan bukti atas
keterlibatan PKI dalam G 30 S. Massa yang tidak terkendali marahnya itu
menyerbu gedung CDB-PKI yang terletak di jalan Imam Bonjol, menyita dokumen,
dan selanjutnya membakar gedung tersebut. Di sepanjang jalan, massa yang
semakin banyak meneriakkan Hidup Bung Karno, Hidup ABRI, Hidup RPKAD, Ganyang G
30 S, dan terdengar pula seruan Allahu Akbar. Mereka terus berjalan dan
berbaris teratur menuju gedung Comite Kota – Partai Komunis Indonesia (CK-PKI)
di jalan Pemuda, mengeluarkan isi kantor tersebut dan dibakar. Kemudian mereka
menuju ke Universitas Res Publika di jalan Pemuda. Massa yang sudah habis
kesabarannya mengeluarkan isi gedung dan dibakar di luar. Gerakan yang semula
dilakukan oleh para pemuda, menjadi semakin besar dengan ikutnya anak-anak
sekolah dan buruh-buruh yang hari itu semestinya mereka sekolah dan bekerja.
Selanjutnya
gerakan massa mendatangi Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di jalan Tamrin,
mengeluarkan isi kantor tersebut dan dibakar di tengah jalan. Kantor Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Kebon Sayur juga dikeluarkan
barang-barangnya kemudian dibakar. Di sepanjang jalan yang mereka lewati,
gerakan massa telah mencabuti papan-papan nama PKI, Pemuda Rakyat, SOBSI, dan Gerwani.
Papan-papan tersebut dikumpulkan dan dibakar di jalan Raden Patah. Selama massa
melakukan demonstrasi, kemarahan mereka benarbenar tertuju pada tempat-tempat
PKI. Para demonstran telah membakar bukubuku, majalah-majalah Tiongkok Rakyat,
Peking News, dan lain-lain. Mereka beranggapan melalui media pers tersebut PKI
dapat menyebarkan faham dan informasinya. Bedera merah putih dan gambar
presiden diselamatkan. Sebuah gambar D.N. Aidit yang diketemukan di gedung
CK-PKI jalan Pemuda telah digantung bersama-sama di tengah jalan yang terlebih
dahulu dilubangi bagian mata dan telinganya. Foto-foto D.N. Aidit yang
tergambar bersama tokoh-tokoh luar negeri kebanyakan diketemukan di gedung
CDB-PKI jalan Imam Bonjol, oleh massa dirobek-robek di sepanjang jalan.[31]
Sampai
sore hari gerakan massa bertambah besar pengikutnya. Gedunggedung,
kantor-kantor, dan tempat-tempat yang digunakan sebagai kegiatan PKI yang
berdekatan dengan rumah penduduk tidak dibakar, melainkan hanya dikeluarkan
isinya, kemudian dibakar di luar. Rumah yang dirusak antara lain rumah Tio Sek
Kee, pemilik perusahaan rokok Prau Layar, di jalan Dr. Cipto. Massa menganggap
pemilik perusahaan tersebut adalah kaisar G 30 S dan penyokong kebutuhan
ekonomi PKI. Massa mengeluarkan barang-barang mewah, antara lain dua buah mobil
pick up, piringan hitam, tape recorder, mesin jahit, empat buah TV, dan
lain-lain. Semua barang tersebut dibakar dengan mendapat sambutan meriah dari
rakyat yang menyaksikan. Pada hari yang sama, massa yang bergerak juga menyerbu
pabrik rokok Pak Tani yang kemudian dibakar. Disamping itu dua buah kendaraan
Humel dan sebuah sepeda motor juga ikut dibakar. Kemudian mereka berbaris teratur
menuju asrama CGMI di jalan Widoharjo dan selanjutnya ke gedung harian Gerakan
Massa di jalan Taman Srigunting yang juga dibakar. Gedung-gedung yang hanya
dirusak, selanjutnya oleh massa dinyatakan sebagai milik Front Pemuda. Sampai
petang hari gerakan massa masih terus bergerak. Mereka mencari rumah-rumah
pemimpin PKI Jawa Tengah dan Kota Semarang, yakni Musaji dan Hadi Susanto di
jalan Erlangga, Rewang di jalan Sompok, serta Maspain dan Tjokro Harsojo di
jalan Mangga. Begitu pula dengan rumah Tan Swie Tjam di Peterongan dan rumah RK
Kampung Jeruk, Mustajab. Isi rumah para tokoh partai ini dikeluarkan kemudian dibakar
di depan rumah mereka.[32]
Kejadian
ini dilanjutkan keesokan harinya pada hari Kamis 21 Oktober 1965. Beberapa
bangunan milik PKI maupun ormas-ormasnya yang masih utuh mendapat giliran untuk
dirusak dan dibakar. Sasaran dari gerakan yang dilakukan golongan nasionalis
dan agama ini adalah pabrik rokok Prau Layar di jalan Siliwangi. Empat buah
truk milik pabrik tersebut yang berada di luar gedung telah digulingkan di
pinggir jalan dan kemudian dibakar. Selain itu gedung sekolah di jalan Gajah
Mada, rumah makan Lido di jalan Pemuda, Toko Semarang di jalan Pemuda, toko
sepeda, pengusaha becak Aroma di depan masjid besar Kauman Semarang, Taman
Kanak-kanak Baperki di jalan Mawar, dan toko di Peterongan juga menjadi sasaran
massa untuk dibakar.[33]
Penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang juga dialami oleh kaum wanita. Setelah masuk
tahanan sering kali kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual dan pemerkosaan
mereka alami. Bentuk represi yang dialami anggotaanggota Gerwani kota Semarang
terjadi pada kurun waktu bulan Oktober tahun 1965. Mereka awalnya dibawa ke
kecamatan masing-masing baru kemudian dibawa ke penjara wanita Bulu selama
kurang lebih 5 tahun (1966-1971).
Pada
tahun 1971 anggota-anggota Gerwani yang ditahan di penjara wanita Bulu dipindahkan
ke Plantungan.194 Aktivitas penangkapan bukan monopoli aparat keamanan, namun
dilakukan juga oleh warga sipil anggota beberapa organisasi massa, seperti
Ansor dan Pemuda Marhaen. Kelompok sipil ini bertindak atas kemauan sendiri
karena terprovokasi oleh propaganda tentara yang disebarkan melalui media
massa.195 Kantor Gerwani kota Semarang yang berada di jalan Pemuda menjadi
sasaran amuk massa, antara lain dengan membakar dokumen-dokumen yang ada di
dalam kantor.
Pada
pertengahan bulan Oktober 1965, kelompok-kelompok pemuda antikomunis di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, yang kebanyakan berasal dari organisasi-organisasi Islam
dan Kristen, didukung oleh pasukan RPKAD, mulai melakukan pembantaian terhadap
orang-orang yang diduga menjadi simpatisan PKI dan ormas-ormasnya, dengan
instruksi dari Jakarta untuk memulihkan ketertiban dan menghancurkan sisa-sisa
G 30 S itu. RPKAD melatih dan mempersenjatai kelompok-kelompok pemuda antikomunis
dengan tujuan khusus untuk menghancurkan PKI dan ormas-ormasnya. Kegiatan
serupa juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dibantu oleh kesatuan-kesatuan
khusus Kostrad dan kesatuan-kesatuan lain dari komando militer regional.[34]
Penangkapan-penangkapan
atas anggota, pengurus ataupun simpatisan Gerwani di kota Semarang memiliki
pola-pola yang hampir sama dengan daerah lain, yaitu para anggota Gerwani yang
ditangkap ini pertama kali dikumpulkan di kantor kelurahan/kecamatan, kamp-kamp
konsentrasi. Tempat-tempat yang dijadikan kamp ini ada yang semula adalah gedung
sekolah milik Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Dalam
penahanan di kelurahan atau kecamatan juga dilakukan interograsi disertai
penyiksaan. Lalu dari masing-masing kelurahan/kecamatan, para Gerwani ini
dibawa ke kamp Beteng Ambarawa atau ke LP Bulu. Setelah itu baru dibawa ke
Plantungan-Kendal.
Pada
bulan Desember 1965 hingga bulan Maret 1966 cara penanganan dengan aksi
kekerasan yang dilakukan oleh negara bergeser dari pembantaianpembantaian yang
didukung militer di tingkat lokal ke arah penangkapan dan penahanan yang lebih
tersentralisasi terhadap sisa-sisa Orde Lama, yang dilakukan melalui aparat
Kopkamtib. Peralihan kekuasaan negara dari Orde Lama ke Orde Baru berakhir pada
bulan Maret 1966, saat Presiden Soekarno terpaksa menanda tangani surat yang
terkenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang memberikan
kekuasaan kepada Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad).[35]
Kemudian setelah itu Soeharto mengeluarkan dekrit atas nama presiden yang menyatakan
bahwa PKI adalah ilegal dan memerintahkan dibubarkannya partai itu beserta
seluruh organisasi yang berafiliasi di bawahnya.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Para
wakil enam organisasi wanita berkumpul di Semarang pada 4 Juni 1950 untuk
melebur enam organisasi mereka masing-masing ke dalam satu wadah tunggal, yaitu
Gerwis. Enam organisasi tersebut ialah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang,
Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan
Putri Republik Indonesia dari Pasuruan. Kota Semarang dipilih sebagai basis
Gerwis, karena secara historis merupakan “Kota Merah”. Di kota inilah lahirnya
PKI. Pemimpin Gerwis yang sangat terkemuka, Ibu Munasiah, yang berbicara dengan
garangnya dalam Kongres PKI 1924 dan dibuang ke Digul, berasal dari kota ini.
Kongres Gerwis pertama kali diselenggarakan pada 17-22 Desember 1951 di Surabaya.
Tindakan penting yang diambil pada Kongres I ialah mengecilkan sayap feminis di
dalam organisasi dan berusaha mengkonsolidasi pengaruh PKI terhadap pimpinan
organisasi. Pada Kongres II bulan Maret 1954 di Jakarta bertema hak-hak wanita
dan anak-anak, kemerdekaan dan perdamaian. Sesuai dengan keputusan yang diambil
dalam Kongres I, Gerwis diubah menjadi Gerwani.
Aktivitas
Gerwani di kota Semarang sesuai dengan hal-hal yang tercantum dalam
Program-Program Kerja Gerwani. Meskipun program-program kerja tersebut baru
dibuat dan dikeluarkan pada tahun 1964, namun sebelumnya sudah diterapkan di
daerah-daerah termasuk di kota Semarang. Program kerja Gerwani di kota Semarang
antara lain membentuk koperasi-koperasi sampai ke tingkat desa dan membantu
usaha-usaha rumah tangga (misalnya menjahit, memasak, kerajinan tangan, dan
industri-industri kecil lainnya). Kemudian Gerwani kota Semarang sering
melakukan demonstrasi menuntut penurunan harga barangbarang pokok. Selain itu
Gerwani kota Semarang juga membentuk beberapa Sekolah Rakyat (sekarang SD)
untuk membantu program pemerintah mengenai pemberantasan buta huruf.
Setelah
peristiwa G30S berlangsung, maka terjadi penumpasan anggota PKI dan
ormas-ormasnya. Penumpasan tersebut berupa tindakan represi bahkan pembunuhan
terhadap anggota PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Gerwani. Kaum wanita yang
merupakan anggota Gerwani dan yang dituduh sebagai anggotanya, mengalami
penderitaan karena ditangkap, ditahan, disiksa, dipenjarakan, dibuang, juga
diperkosa bergiliran dan dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya,
serta difitnah habis-habisan. Aksi pelecehan seksual dan perkosaan terhadap
tapol wanita dalam tahanan seringkali menyebabkan yang bersangkutan hamil dan
melahirkan. Mereka mengalami penderitaan luar biasa, baik lahir maupun batin. Bentuk
represi yang dialami anggota-anggota Gerwani kota Semarang terjadi pada kurun
waktu bulan Oktober tahun 1965. Proses penangkapan anggota Gerwani memiliki
pola tertentu, mereka awalnya dibawa ke kecamatan masingmasing baru kemudian
dibawa ke penjara wanita Bulu selama kurang lebih 5 tahun (1966-1971). Pada
tahun 1971 anggota-anggota Gerwani yang ditahan di penjara wanita Bulu
dipindahkan ke Plantungan-Kendal.
Akibat
peristiwa G30S 1965 membuat pemerintah bertindak dengan membubarkan PKI beserta
seluruh organisasi yang berafiliasi di bawahnya dan dinyatakan sebagai
organisasi ilegal. Bersamaan dengan keputusan tersebut, maka aktivitas Gerwani
di Indonesia dinyatakan tamat.
[1]
Nana
Nurliana, dkk, Peranan Wanita Indonesia
di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950 (Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, 1986), hlm.1.
[2] Ryadi Gunawan, “Dimensi-Dimensi Perjuangan Kaum Perempuan
Indonesia dalam Persepktif Sejarah”, Yogyakarta: tahun 1991. Dipetik dalam
Fauzi Ridjal, dkk, “Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia”, Yoyakarta: PT Tiara Wacana, 1993, hlm. 100.
[4] Dalam arti tertentu,
penyebarluasan surat-surat Kartini berbahasa Belanda yaitu Door Duisternis tot
Licht (terbitan Den Haag, Semarang dan Surabaya pada tahun 1911) adalah juga
bagian dari strategi politik kolonial tersebut. Buku “Kartini” tersebut baru
diindonesiakan oleh Armijn Pane pada tahun 1938 (terbitan Balai Poestaka,
Batavia) dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang. Dikutip dari Primariantari, dkk, Perempuan dan Politik Tubuh
Fantastis (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 32.
[6]
Suratmin,
dkk, Biografi Tokoh Perempuan Indonesia
Pertama (Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
1991), hlm. 1.
[7] Vrede-De Steurs, The Indonesian
Woman Struggles and Achievements (The Hague: Mounton & Co, Cora. 1960), hlm. 89-90. Dikutip dari
Primariantari, dkk, Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis ( Yogyakarta:
Kanisius, 1998), hlm. 34.
[11] Saskia E. Wierenga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia
(Jakarta: Garba Budaya, 1999), hlm. 283.
[14] Wawancara, Sumini, mantan ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
(IPPI) cabang Pati, (Pati, tanggal 26 Mei 2009).
[15] Wawancara, Tumini Khadim, mantan pengurus Gerwani Cabang Semarang, (Semarang,
tanggal 8 Juni 2009).
[16] Wawancara, Tumini Khadim, mantan pengurus Gerwani Cabang Semarang,
(Semarang, tanggal 9 September 2009).
[17] Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan
Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku
( Yogyakarta: Merakesumba, 2008), hlm 316-317.
[19] Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI, Sebuah Gerakan Feminisme
Terbesar di Indonesia (Yogyakarta: Carasvati Books, 2007), hlm. 167.
[20] Saskia E. Wierenga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia
(Jakarta: Garba Budaya, 1999), hlm. 475-476.
[22] John Roosa, et al., Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami
Pengalaman Korban 65 (Jakarta: Elsam, 2004) hlm. 27-29.
[29]
Anonim,
Ungkapan Fakta-Fakta Sekitar Peristiwa G
30 S di Jateng (Semarang: Angkatan Darat Kodam VII/Diponegoro, 1965), hlm.
31-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar