TUGAS BIOGRAFI
“”
KELOMPOK I
- RISWAN - 140706005
- IKA AZURA MARGOLANG - 140706013
- WIWID ANGGRAINI - 140706050
- SRI ANGGRIANI - 140706051
- NAJMA RAFIKA SURI - 140706055
PROGRAM STUDI ILMU
SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
A.
Asal – usul (
lahir dan masa kecil )
Idris Pasaribu
dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1952 di Marindal Delitua. Ia merupakan anak pertama dari 9 bersaudara.
Idris Pasaribu adalah anak dari seorang pensiunan tentara angkatan 45 yaitu
Bapak Cornill Pasaribu dan Ibu Marianna Purba. ayahnya yang juga anggota dari
laskar PNI[1] (Partai Nasional
Indonesia) secara tidak lagsung mempengaruhi hidupnya. Semasa hidup Idris
Pasaribu memang dikenal sebagai anak yang rajin dan pintar, diketahui bahwa ia
telah bisa menulis dan membaca sebelum ia mulai masuk sekolah. sebelum masuk
sekolah ia sudah bisa menulis halus kasar dan juga latin.
Tahun 1958 di usia 5
tahun 2 bulan Idris Pasaribu masuk ke Sekolah Rakyat[2] ( SR ) Taman Siswa,
diketahui bahwa untuk masuk ke Sekolah Rakyat haruslah berusia 7 tahun setengah
namun Idris sudah sangat ingin untuk bersekolah ia memaksa – maksa ayahnya agar
ia bisa bersekolah. Dulu, kalau mau masuk ke Sekolah di Sekolah Rakyat jika
umurnya kurang kita harus bisa memegang telinga kiri dengan tangan kanan
diletakkan diatas kepala lalu peganglah telinga kirinya, tetapi ia tidak sampai
makanya ia tidak bisa masuk ke sekolah negeri, oleh karena itu ayahnya
memasukan Idris ke sekolah swasta. Saat ia bersekolah di Sekolah Rakyat,
sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Rendah di saat ia duduk di kelas
Empat ( IV ) dan berganti nama menjadi Sekolah Dasar saat ia di kelas Enam ( VI
).
Idris Pasaribu adalah
anak yang aktif, selayaknya anak diusianya ia sering bermain dengan teman –
temannya, namun diketahui bahwa Idris adalah anak yang paling muda dilingkungan
sekolahnya. Hampir semua teman – temannya berusia lebih tua darinya dan lebih
besar darinya mereka sering bermain bola kasti setiap ia bermain bola kasti
dengan teman – temannya ia mengaku bahwa terkadang ia merasa lebih sakit jika
terkena bola kasti oleh karena lemparan bola kasti teman – temannya yang
berpostur lebih besar.
Ia juga sering
memancing, ia selalu pergi ke laut untuk memancing namun tidak sering
mendapatkan hasil yang banyak akan tetapi karena ia merupakan anak yang aktif
ia juga banyak berteman dengan orang tua disekitarnya contohnya adalah nelayan
sekitar, setiap ia tidak mendapat hasil tangkapan ikan yang banyak ia sering
berpapasan dengan nelayan dan nelayan – nelayan tersebut sering membagikan
sedikit hasil tangkapan mereka untuk Idris karena Idris tidak mendapatkan ikan
yang banyak. Idris selalu membawa pulang hasil tangkapan ikannya dan yang
diberikan nelayan sebanyak satu ember penuh, setiap ia dalam perjalanan pulang
dan bertemu tetangganya, Idris selalu disebut – sebut pintar memancing karena
setiap memancing tangakapannya selalu banyak hampir satu ember penuh Idris
hanya tertawa saja dan kadang merasa bangga, di dalam benaknya itulah manfaat
dari memiliki banyak teman.
B.
Masa Remaja dan
Awal Mula Kehidupan dalam Berorganisasi
Di tahun 1964 ia dan
keluarganya pindah ke Sibolga, dan ia masuk ke SMP Negeri di Sibolga di tahun
selanjutnya. Semasa ia bersekolah di sekolah menengah ia tetap menjadi murid
yang paling muda, Idris masuk ke SMP di usia 11 tahun disaat anak – anak yang
lain masuk di usia 15 – 17 tahun. Idris
tetap menjadi anak yang rajin dan pintar ia menyelesaikan sekolah menengahnya
hanya dalam dua tahun. saat masih duduk di kelas VIII Idris di tawari oleh Kepala
sekolahnya untuk mengikuti ujian kelulusan regional Tapanuli – Nias, awalnya ia
menolak karena ia masih kelas VIII
tetapi Kepala sekolahnya mengatakan jika ia tidak lulus ia tetap bisa
naik ke kelas IX Idris pun menyetujuinya dan mengikuti ujian regional tersebut,
akhirnya ia lulus dengan mendapat peringkat Kedua seluruh Regional.
Semasa SMP ia telah
mulai menulis dan sudah berminat untuk menjadi anggota di salah satu organisasi,
namun syaratnya harus sudah duduk di kelas VIII jadi ia harus menunggu dahulu
dan pada tahun 1967 Idris Pasaribu bergabung menjadi anggota GSNI[3] (Gerakan Siswa Nasional
Indonesia). Selain GSNI ada banyak organisasi kesiswaan yang lain seperti GSKI
(Gerakan Siswa Kristen Indonesia) yang anggotanya hanya bisa beragama kristen
protestan, PPSK (Persatuan Pelajar Sekolah Katolik), dan IPNU (Ikatan Pelajar
Nadhatul Ulama) yang anggotanya hanya yang beragama Islam saja. Idris mengaku
ia memilih menjadi anggota GSNI karena ia melihat bahwa diantara semua
organisasi yang ada di lingkungannya hanya GSNI lah satu – satunya organisasi
yang memiliki anggota dari berbagai etnis dan agama, mulai dari etnis Tionghoa,
Batak, Melayu dan dari agama Islam, Kristen bahkan Parmalim (saat it agama
Parmalim penganutnya banyak di Sibolga), semua orang bercampur di dalam GSNI
tanpa membeda – bedakan satu sama lain. Selain semua alasan itu ada satu alasan
yang masih mencerminkan rasa remajanya yaitu ia tertarik masuk GSNI karena
setiap ia melihat anggota GSNI tampil pementasan anggota GSNI memakai kostum
yang menarik, berawarna – warni sesuai tema pertunjukannya, tidak seperti
organisasi lain yang kostumnya tidak menarik, - candanya. Selain itu, ia juga
menyukai GSNI yang menyanyikan lagu-lagu juang yang membakar semangat tidak
seperti yang lainnya. Di dalam GSNI ada tingkatan – tingkatan anggota yaitu Intermediate
1,2,3 dan Advance. Semasa SMP juga ia memang sudah menyukai di bidang seni
yaitu menyanyi dan menulis. Kebetulan bahwa GSNI pada masa itu satu kantor
dengan LKN[4] (Lembaga Kebudayaan
Nasional). Jadi, ketika anggota LKN sedang bernyanyi ia mendengarnya sehingga
menjadi ikut menyanyi. Lalu ia diajak untuk ikut menyanyi, sehingga diajak
untuk latihan menyanyi setiap hari selasa serta diajak juga menjadi anggota
LKN. Tidak hanya menyanyi, karna ia sudah minat menulis sehingga ia juga
dididik oleh anggota LKN. Ketika ia sedang menulis dan tulisannya, oleh anggota
LKN akan membaca hasil tulisannya tersebut. Mereka akan menanggapi tulisan
Idris. Sehingga dari sinilah ia mulai melatih diri dan menghasilkan karya
tulis. Ketika ia ingin masuk menjadi anggota GSNI, orang tuanya memberikan
tanggapan yang baik sehingga tidak ada penolakan. Walaupun pada masa itu,
sekolah merupakan hal yang penting. Tetapi tidak untuk orang tua Idris, ia
beranggapan walaupun anaknya mengikuti GSNI akan tetapi tidak akan meninggalkan
sekolahnya dan dapat memperoleh prestasi.
Pada masa pemberontakan
G30S, Idris Pasaribu tetap masuk GSNI, pada saat Ir.Soekarno sedang tertekan
karena peristiwa tersebut dan juga Marhaenisme[5] sedang diganyang dan
ditekan. Ia mengaku pada masa itu adalah masa-masa yang berat. Namun itu
menjadi tantangan dan ia tidak takut karena ia merasa siswa/pelajar pada masa
itu sangat kompak.
C.
Menekuni Seni
dan Sastra
Kegemarannya menulis dimulainya
saat ia bersekolah di SMP, Idris sudah mulai menulis dan mengirimkan tulisannya
ke surat kabar ke harian Patriot. Saat itu harian Patriot adalah surat kabarnya
PNI, Sinar Harapan adalah surat kabarnya Partindo, Mercusuar adalah surat
kabarnya NU, KOMPAS adalah surat kabarnya Khatolik. Pada masa itu setiap partai
memiliki media massa nya masing-masing.
Pada tahun 1968 ia naik
tingkat masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Sibolga. Ketika ia masih
bersekolah di SMA Negeri Sibolga ada petinggi cabang PNI di Sibolga mendatanginya
untuk menawarkan ia pindah ke sekolah SMA Swasta Khatolik di Sibolga karena di
SMA Khatolik tersebut belum ada organisasi GSNI, Idris ditawarkan untuk masuk
dan membangun GSNI di SMA Khatolik. Ia pun pindah dan mendirikan GSNI di SMA
Khatolik Sibolga sekaligus menjadi ketua cabang GSNI di Sibolga. Selama masa
SMA Idris mengaku masa – masa itu adalah masa yang paling indah menurutnya
karena walau banyak tekanan ia dan teman – teman satu organisasinya tidak
merasa takut dan kebersamaan tetap ada.
Di SMA Idris tetap fokus pada bidang seni yang digelutinya
sedari masa SMP. Pada saat Idris memimpin cabang GSNI Sibolga dia telah
otomatis telah menjadi anggota LKN, dan jadilah ia anggota LKN pada saat ia
SMA. Saat ia menjadi ketua cabang GSNI
dan menjadi anggota LKN, ia juga menjadi anggota pleno di PNI (Partai Naional
Indonesia). Walaupun jabatannya hanya anggota pleno, ia merupakan anggota
paling muda. Ketika rapat ia diajari untuk berbicara, bertanya dan berdebat
agar melatih diri. Ia diajarkan untuk tidak takut dan percaya diri didalam
setiap rapat oleh anggota yang lebih tua. Anggota yang telah lama bergabung di
PNI akan selalu memberikan tepuk tangan saat Idris selesai bertanya untuk
memberikan apresiasi dan semangat padanya. Sebagai anggota termuda yang akan
dijadikan kader yang baik ia diberikan hak untuk memberikan pertanyaan pertama
di setiap rapat. Ia mengaku itu menjadi bentuk penyemangat dari mereka. Pada
masanya LKN dibawah pimpinan PNI. Di LKN Idris mulai menulis drama dan berlakon
drama, menari, dan menyanyi. Kebetulan saat itu pembimbing GSNI yang aktif juga
merupakan pembimbing di LKN yaitu;
1.
Bapak
Simanungkalit di bidang seni suara
2.
Bapak Simamora
di bidang seni drama atau lakon
3.
Ibu Hutabarat di
bidang seni tari
Mereka bertiga adalah
pelatih – pelatih LKN yang mendapatkan pendidikan tingkat Nasional yang menjadi
pembimbing di LKN.
Idris tetap fokus pada
bidang seni yang digelutinya dari dulu seni suara, seni lakon, dan seni sastra.
Di seni suara ia pernah mengikuti lomba Bintang Radio dan mendapatkan peringkat
pertama, dan ia juga pernah memenangkan juara satu menyanyi se-Tapanuli dari
RRI se-Nusantara. Dalam seni lakon ia pernah mendapat peran sebagai raja di
tarian serampang dua belas di tingkat siswa di tahun 1969, dan ia juga sering
menuliskan naskah untuk beberapa drama yang di tayangkan oleh LKN. Saat menulis
ia juga pernah ditangkap hingga ia kabur ke Simalungun, dia dituduh GSNI yang
berkonflik, saat ia melarikan diri selama 4 bulan ia ditangkap dan ditahan
selama 5 bulan. Ia menceritakan bahwa saat ia ditangkap hanya melakukan
olahraga saja, makan dan kegiatan yang lainnya. Setelah delapan bulan ia
dibebaskan, dan ketika itu sedang berlangsung ujian sekolah (ujian caturwulan).
Walaupun ia dipenjara selama delapan bulan prestasinya tidak luntur, ia meraih
rangking 4 saat ujian tersebut. Pada usia ini ia telah keluar-masuk penjara.
Ketertarikannya di
dunia sastra, Idris mencoba untuk menulis cerpen – cerpen yang ia kirimkan ke
berbagai surat kabar yang ada pada masa itu. Seluruh tulisan Idris berisikan
pengalaman – pengalaman hidupnya yang dituangkannya ke dalam tulisan berbentuk
cerpen. Salah satu judul cerpennya yaitu “Daun Cemara Pada Gugur” cerpennya itu
ia kirimkan ke majalah Mutiara di Jakarta dan kemudian tulisannya tersebut
diterbitkan. Ia terkejut ketika ada wesel majalah Mutiara dari Jakarta datang
ke sekolahnya dan pada hari Senin saat upacara bendera, Kepala sekolahnya
mengumumkan bahwa cerpen Idris telah diterbitkan di majalah tersebut, itu
merupakan salah satu prestasinya di badang sastra. Hasil upah tulisannya bisa
untuk membayarkan uang sekolahnya selama enam bulan, namun Idris hanya
membayarkan uang sekolahnya untuk 3 bulan saja, dan sisa uangnya ia belikan
celana yang sedang tren pada saat itu.
Saat Idris menulis di
Koran harian Patriot yang merupakan media masa Partai Nasional Indonesia harian
Patriot di bredel kemudian berganti nama menjadi harian Patriot Jaya pada tahun
1968. Setelah dua bulan terbit, wartawam utama harian Patriot Jaya meninggal
dunia, terjadilah kekosongan posisi waratawan. Pada saat upacara penguburannya
ikut hadir melayat seperti, para petinggi harian dari Medan, para pemimpin
redaksi dan staff yang datang berbincang – bincang. Mereka membicarakan tentang
posisi wartawan yang mengalami kekosongan untuk menggantikan wartawan yang
sudah meninggal tersebut. Ada salah satu rekan yang bernama Zul Ibra mengatakan
bahwa ada wartawan muda di harian Patriot Jaya, ia mengatakan bahwa wartawan
itu memiliki tulisan – tulisan yang bagus yaitu Idris Pasaribu. Para pemimpin
redaksi menyuruh Zul Ibra untuk memanggil Idris, dan akhirnya di daerah
perkuburan yang terletak di pinggir laut itu tepatnya di kantor harian Patriot
Jaya Idris Pasaribu memperkenalkan dirinya dengan menunjukkan kartu pelajarnya
kepada pimpinan redaksi termasuk kartu kaderisasi GSNI nya, dan saat itu juga
ia langsung ditawari untuk menjadi wartawan utama oleh pimpinan redaksi.
Jadilah ia wartawan dan langsung di foto dengan latar belakang perkuburan di
pinggir laut untuk dijadikan pas foto sebagai kartu identitas wartawan, dan ia
pun menjadi wartawan di usia 16 tahun.
D.
Kehidupan Semasa
Kuliah
Idris Pasaribu lulus
Sekolah Menengah Atas pada tahun 1970. Pada tahun 1971 ia melanjutkan study nya
ke Fakultas Hukum – Universitas Sumatera Utara. Ia mengatakan pernah di
skorsing sebanyak 2 kali saat masa kuliahnya oleh Rektor. Pertama saat masa
Rektor Brigjen Retno Kajati dan saat masa Rektor B. Hari Suwondo. Saat masa
kuliah ia menggunakan bemo sebagai kendaraan kemana-mana bahkan saat pergi
kekampus. Pernah suatu ketika ia tidak sengaja memarkirkan bemo nya di parkiran
Dekan Fakultas nya. Ia tidak tahu bahwa tempat itu merupakan parkiran Dekan.
Ketika kejadian itu, Dekan Fakultas nya memakirkan kendaraan nya di belakang
bemo nya. Saat ditanya oleh Dekan nya mengapa diparkir disitu, ia pun menjawab
bahwa ia memarkirkan bemo nya diparkiran Dekan karena kosong. Lalu ditanya
kembali oleh Dekan, apakah ia tidak tahu disitu tempat parkir dekan. Ia mengaku
tidak tau siapa itu Dekan dan siapa Dekannya. Pada saat itu Idris tidak
mengetahui apa itu Dekan karena pada masa ia sekolah ia hanya mengetahui
pimpinan seperti direktur. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat lucu
pada masa awal-awal ia berkuliah. Idris pergi berkuliah dengan menggunakan
kendaraan bemo miliknya, karena hanya dengan kendaraan bemo ia dapat berkuliah.
Tidak hanya menarik bemo pada siang harinya, ketika malam harinya ia membuka
kedai rokok. Kadang ia tidur dikedai tersebut. Jadi ia memanfaatkan waktu untuk
dapat membiayai semasa ia kuliah. Pada saat naik tingkat II, Idris mencari
besasiswa untuk kuliahnya, ia mencari beasiswa yang dinamakan Supersemar. Lalu
ia mendapatkan beasiswa Supersemar tersebut, ia menggunakan beasiswa itu untuk membiayai
kuliah. Selain dari beasiswa, Idris Pasaribu menambah biaya dengan tetap menarik
bemo, hasil dari kerjanya menarik bemo digunakan untuk membiayai uang sekolah
dua orang adik laki-lakinya.
Ayahnya adalah seorang
tentara angkatan tahun 45 dan sudah pensiun. Ayahnya bersekolah hanya sampai
kelas V di H.I.S. Karena itu, Idris lah yang mencari uang sekolah untuk adiknya
yang di Sibolga. Sebelum berkuliah di Fakultas Hukum, ia sudah lulus ujian
masuk kuliah yang dilakukan di masing-masing Fakultas. Pada tahun 1975, ada
yang dinamakan ujian Sipenmaru yaitu ujian masuk kuliah tingkat Nasional. Ia
memilih masuk Fakultas Hukum dikarenakan ayahnya mengatakan pada saat itu belum
ada orang bergelar Mister (Mr.). Selain itu ayahnya menyuruh ia masuk ke
Fakultas Hukum karena ayahnya pernah diadili oleh Mr. Kebangsaan (Belanda).
Ayahnya berharap ia menjadi hakim. Walau ia tidak menyukainya ia tetap
mengikuti ujian masuk di Fakultas Hukum, lalu ia pun ikut ujian tersebut dan
ternyata ia lulus serta mendapatkan peringkat ke 6 di seluruh peserta ujian di
Fakultas Hukum. Lulusan hukum tahun 1971 saat itu bergelar Mister dan berganti
menjadi S.H pada tahun 1972.
Saat ia masuk kuliah,
ia langsung bergabung di organisasi GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia), namun ia tidak terlalu aktif karena ia masih aktif di GSNI. Saat
itu ia sudah lulus GSNI, anggota boleh menjadi DPD selama tiga tahun jika
anggota langsung menyambung kuliah dan kalau tidak kuliah hanya 2 tahun menjadi
DPD, itu adalah peraturan yang telah tertera. Selama masa kuliah, ia selalu
berkegiatan kesana kemari dan aktif ber GSNI. Selama ia kuliah ia sering
ditangkap oleh angkatan mulai dari polisi, polisi militer, TNI. Ia ditangkap
selama satu bulan, 4 bulan terkadang 3 hari 3 malam. Akibatnya ia sering di skorsing
oleh rektor selama 6-7 bulan. Saat itu masa perkuliahan tidak menggunakan
semester tetapi tingkatan. Tingkat I ( SE 1) Tingkat II (Semester I), tingkat
III (Semester II), Tingkat IV (D1), Tingkat V (S1). Pada masa kelulusan
sarjana, di ijazah tertulis telah menyelesaikan studi nya dengan lulus cukup dan
berhak untuk mengambil pendidikan gelar doktor. Pada masa itu, sarjana hukum
hanya ada di dua Universitas yang diizinkan untuk mengambil gelar doktor yaitu
UGM dan UI. Namun ia tidak ada uang untuk melanjutkan kuliah gelar doktor dan
akhirnya ia mencari beasiswa. Kemudian ia mendapatkan beasiswa dari ipost,
namun pada saat ia sedang menjalani ujian ia ditangkap dalam satu gerakan
dituduh mengikuti PNI Ali-Surachman[6] pada tahun 1979. Pada saat
ditangkap ia tidak diperiksa bahkan tidak ditanya hanya langsung ditangkap
begitu saja dan ditahan selama 8 bulan. Selama masa penahanan ia hanya
melakukan kegiatan biasa seperti bangun pagi, sarapan, olahraga dan kegiatan
lainnya. Kegiatan tersebut tidak boleh dilakukan keluar dari pagar tahanan. Ia
tidak merasa tertekan namun juga tidak menikmatinya.
Pada tahun 1982 ketika
ia sudah lulus kuliah, ia juga sudah menjadi PNS. Namun ia mengundurkan diri,
karena dipaksa untuk masuk ke Partai Golar. Ia dicalonkan menjadi anggota DPRD
Se-Kota Medan dari Kopri. Akan tetapi ia tidak mau menjadi anggota DPRD, ia
lebih memilih keluar dari Golkar karena menurutnya tidak sesuai dengan
pemikirannya karna ia masuk untuk menjadi anggota pun karena dipaksa. Ia meras
hak azasinya seperti terinjak-injak. Sehingga ia lebih memilih mengikuti LKN,
bahkan ia menjadi ketua LKN Divisi Sumatera Utara, namun ia tidak aktif.
E.
Awal Mula Karir
Sejak memasuki awak
kuliah ia sudah mulai banyak menulis dan tetap rajin mengirimkannya ke berbagai
surat kabar. Idris pernah menuliskan cerita bersambung yang berjudul “ Sebuah
Dosa Suci” di harian Sinar Harapan Jakarta. Cerita bersambung “Sebuah Dosa
Suci” tersebut diterbitkan dan mendapat respon sangat bagus. Selain itu, ia
juga mendapatkan kritik oleh beberapa sastrawan, mereka berkomentar bahwa tulisannya
sangat bagus namun judulnya menjadi sebuah polemik karena tidak ada yang
namanya Dosa yang Suci. Idris menceritakan bahwa cerita bersambung “Sebuah Dosa
Suci” ini merupakan pengalaman pribadinya ketika saat awal masuk kuliah. Cerita
tersebut berisi tentang pengalaman saat ayah dan adiknya yang sedang sakit sehingga
ia sangat membutuhkan uang. Ketika ia sedang menarik bemo, ada seorang
penumpang yang bernama ibu Simangunsong meninggalkan dompetnya di bemo Idris,
di dompetnya berisi uang sebesar delapan puluh tujuh ribu rupiah, KTP, SIM, dan
surat – surat lainnya. Karena keadaan lagi terdesak, ia sangat membutuhkan uang
tersebut. Ia berpikir jika ia mengembalikan dompet yang berisikan uang
tersebut, maka ia tidak bisa membayarkan pengobatan adiknya yang harus segera
di opname. Lalu, tanpa piker panjang, ia memutuskan untuk mengambil uang
tersebut. Cerita inilah yang disebut sebagai Dosa namun Suci, karena untuk
menyelamatkan nyawa adiknya.
Kemudian setelah tiga
bulan ia mengumpulkan uang dari hasil kerjanya menarik bemo. Uang hasil dari
menarik bemo yang ia kumpulkan, ia gunakan untuk mengembalikan uang ibu
tersebut. Setelah uangnya terkumpil, ia mendatangi ibu tersebut dengan niat
baik untuk mengembalikan dompet beserta uang yang telah diambilnya. Ia mengambil
kumpulan koran dan menuliskan surat namun sebelumnya ibu tersebut menolak surat
yang diberikan karena sudah lama berlalu ibu tersebut tidak ingat lagi
dengannya. Dulu saat narik bemo ia lusuh sedangkan saat menjumpai ibu tersebut
dengan rapi dan memakai jaket almamater. Namun setelah melalui perdebatan
panjang akhirnya ibu tersebut mau menerimanya untuk bertemu, serta menerima
surat dari Idris. Tiga hari kemudian, ia mendatangi ibu itu kembali, ibu
tersebut langsung menangis karena membaca suratnya dan kejujurannya. Idris
mengatakan kalau ia jujur ia tak akan mendapatkan uang itu untuk biaya adiknya.
Kemudian, suami dari ibu tersebut datang dan mengatakan bahwa mereka ikhlas dan
menerimanya. Surat-surat ibu yang hilang sudah diurus semua jadi mereka pun
menganggap masalah yang terjadi tiga bulan yang lalu telah selesai. Saat ia ingin pulang, ia diberikan
uang oleh ibu Simangunsong tersebut sebesar lima puluh ribu rupiah. Lalu,
muncul idenya untuk menulis cerpen dengan judul “Rp. 50.000”. Hanya dengan pemberian
lima puluh ribu tersebut mampu mengagas ide untuk membuat sebuah cerpen.
Baginya, segala sesuatu cerita yang menarik didalam kehidupannya akan ia
tuangkan kedalam cerita, agar cerita tersebut dapat diingat kembali serta
menjadi masukkan yang membacanya. Lalu ia menulis cerpen dengan judul “Rp.
50.000” tersebut dan ia mengirimkan tulisannya di Harian Waspada.
“Sebuah Dosa Suci”
merupakan hal yang sangat berkesan karena selain pengalaman pribadi karangannya
juga mendapat tanggapan dari para sastrawan. Satu tahun kemudian,ia berangkat
ke Jakarta mendatangi sastrawan H.B. Jassin. H.B. Jassin terkejut bahwa Idris
masih berusia 18 tahun, padahal ia kira Idris sudah tua karena bahasa-bahasa
yang digunakannya dianggap terlalu dewasa. Kemudian datanglah Gunawan Muhammad
dan menanyakan kepadanya apa tanggapannya terhadap kritikan mereka, namun ia
menjawab dengan santai dan tersenyum saja. Mereka berasumsi bahwa ia akan
memberikan tanggapan atau sanggahan, namun pada nyatanya ia tidak memberikan
tanggapan serius karena ia menganggap itu hanyalah pendapat orang saja.
Kemudian terbitlah
Harian Tempo, kemudian ia direkrut menjadi “stranger” atau wartawan lepas. Ia
mendapatkan gaji sebesar dua puluh delapan ribu rupiah perbulannya. Namun ia
bertahan di Harian Tempo hanya lima bulan disebabkan karena menurutnya tidak
adanya kebebasan dalam menulis berita, berita yang diinginkan harus sesuai
dengan permintaan Harian Tempo. Hampir setiap ia menulis terkadang tulisannya
hanya dimuat sebanyak dua paragraf saja, hal itu tidak sesuai dengan yang
diingikannya karena ia sudah lelah untuk mendapatkan berita dan menuliskannya.
Merasa tidak sesuai dengan pekerjaan tersebut ia pun pindah ke Harian Kartini
juga sebagai wartawan pada tahun 1980an. Ia mendapatkan gaji sebanyak dua ratus
ribu rupiah pertulisan dan mendapatkan gaji tujuh ribu lima ratus rupiah
perbulannya. Saat bekerja di Harian Kartini ia juga telah menulis novel dan
novlet. Kemudian Harian Kartini pun pecah dan ia memutuskan untuk keluar dari
Harian Kartini. Hal ini disebabkan karena dari pecahnya Harian Kartini terdapat
dua kubu yang memperebutkan Idris sebagai wartawannya, namun karena kedua kubu
tersebut adalah teman-temannya jadi ia merasa lebih baik berhenti daripada
terjadi permusuhan diantara belah pihak. Kedua belah pihak yang ingin
memperebutkannya untuk menjadi wartawan yang juga sebagai temannya bernama
Motinggobosi dan Massayuda. Ia lebih memilih keluar agar tidak terjadi Tarik
menarik yang dapat menyebabkan perdebatan, keputusannya yang ia ambil agar tidak
bermusuhan dengan temannya. Hingga saat ini mereka tetap menjalin pertemanan.
Selama masa kuliah ia
juga telah menjadi wartawan lepas di Harian Analisa sambil merangkap menjadi
wartawan lepas di Harian Tempo dan Harian Kartini. Setelah pindah dari Harian Kartini,
ia bertemu dengan pak Krisna Murti, kemudian menawarkan diri untuk menjadi
wartawan lepas di Majalah Sarinah. Pak Krisna Murti mengatakan bahwa gaji di
Majalah Sarinah lebih kecil dari Harian Kartini, namun ia tidak keberatan akan
hal itu dan tetap memilih untuk bekerja di majalah Sarinah.
Tidak hanya menjadi
wartawan lepas di majalah Sarinah, ia juga menjadi wartawan lepas di Harian
Analisa dan mendapatkan gaji sebesar dua puluh ribu rupiah perbulannya. Sudah
begitu banyak hasil karya tulisannya baik berupa novel, cerita pendek maupun
cerita bersambung. Dengan menulislah ia dapat menyambung hidupnya. Hasil karya
novelnya ia jadikan tulisan-tulisan di pintu rumahnya yaitu judul dari
novel-novel/novlet yang telah diterbitkan. Honor upah dari menulis yang ia
peroleh sedikit demi sedikit digunakannya untuk membangun rumahnya. Mulai dari
membeli pintu hingga jendela. Sebelumnya jendela rumahnya masih ditutupi dengan
triplek. Dengan memperoleh honor dari menulis dapat memperbaiki bagian rumahnya
termasuk jendela dan bagian rumah yang lainnya sehingga rumahnya dapat terbagun
dengan baik. Ia menyebutkan bahwa rumahnya adalah rumah bertumbuh.
F.
Memulai
Berkeluarga
Ia menikah pada tahun
1978 yaitu setahun sebelum ia lulus kuliah. Istrinya bernama RAY Sri Gantri
Yuliana Herti. Istrinya juga merupakan seorang kader GSNI, namun dari Salatiga.
Proses bertemu ia dengan istrinya memiliki banyak cerita yang menarik juga
menyedihkan. Pertemuan ia dengan istrinya yaitu ketika ia melarikan diri dari
Medan dan di tangkap di Jogja. Dia ditangkap karena pada masa perkulihannya
melakukan gerakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). Ia ditangkap di Jogja
selama 4 bulan. Di samping tahanan tempat ia ditahan, ada sebuah sungai yang
dimana di samping sungai tersebut terdapat asrama yang merupakan tempat tinggal
Sri Gantri Yuliana Herti. Ketika masa penangkapannya telah selesai dan dilepas
dari tahanan, ia bertemu dengan Sri Gantri Yuliana Herti di Salatiga dan
memulai perkenalan. Masa perkenalan dengan Sri Gantri Yuliana Herti hanya
berlangsung selama 2 bulan. Dalam jangka 2 bulan, ia langsung menyukai Sri
Gantri Yuliana Herti. Lalu tanpa pikir panjang, ia langsung membawa kabur Sri
Gantri Yuliana Herti untuk menikah di Medan. Ia membawa kabur Sri Gantri
Yuliana Herti ketika ia sudah lulus SMA. Namun kepergian mereka tidak direstui
oleh ayah Sri Gantri Yuliana Herti. Seorang anak perempuan yang akan dibawa
kabur dengan laki-laki yang hanya sebentar dikenal, membuat seorang ayah
pastinya tidak mengizinkan anaknya. Akan tetapi mereka tetap melaksanakan aksi
kabur mereka tersebut. Mereka kabur dari Salatiga menuju Medan dengan menaiki
kapal Tampomas. Saat kabur dengan menaiki kapal Tampomas merupakan kenangan
yang lucu sekaligus menyedihkan. Dimana, ketika menaiki kapal Tampomas, mereka
tidak memiliki uang sehingga mereka tidur digeledak kapal. Geledak kapal dimana
tempatnya yang sangat kotor. Ketika malam hari cuacanya sangat dingin, akan
tetapi mereka tidur hanya beralaskan koran, bahkan jika mereka ingin berpelukan
untuk menghangatkan tidak bisa dilakukan, karena pastinya malu jika dilihat
oleh penumpang lain. Kenangan ini merupakan kesederhanaan didalam kehidupan
keluarganya. Ia mengaku terkadanga harus membekali keperluan ruma dengan
seadanya. Ia dan istrinya selalu langsung menyiapkan beras satu kaleng, kecap
satu botol dan bahan pokok lainnya. Mereka mempersiapkan bahan-bahan pangan
tersebut apabila nantinya tidak memiliki uang untuk membelii lauk-pauk. Dengan
berjalannya pernikahan mereka, lambat laun ayah sang istri yang merupakan seorang
tentara dapat merestui pernikahan mereka.
Idris Pasaribu telah
memiliki 3 anak yang pertama bernama Natalius Pasaribu Marhaen, kedua Matius
Pasaribu Marhaen dan yang ketiga adalah Markus Pasaribu Marhaen. Namun anaknya
yang kedua sudah meninggal dikarenakan sakit kanker. Anak mereka sudah menikah
termasuk yang anak kedua. Anak kedua mereka yang telah meninggal pada tahun
2016 bulan Maret, meninggalkan anak yang sekarang tinggal bersama Idris dan
istrinya karena istri dari anak kedua mereka juga sudah meninggal. Jadi Idris
dan istrinyalah yang merawat anak tersebut.
G.
Proses dan
Pencapaian
Kehidupan seseorang
yang menyukai di bidang seni dan sastra pastilah memiliki banyak pasang
surutnya. Sering sekali tulisan yang telah ia buat ditolak. Alasan tulisannya
ditolak karena tidak sesuai dengan harapan yang mereka inginkan. Jadi ada
sebuah cerpen yang menurutnya sangat bagus, tetapi malah di tolak yaitu yang
berjudul “Halimah”. Sudah pasti cerpen ini merupakan cerita kehidupan yang
dialaminya. Halimah ini merupakan seorang sarinah dan ia sangat cantik. Dengan
kecantikan si Halimah ia langsung jatuh cinta. Ia pun menulis surat untuk
mengungkapkan isi hatinya kepada si Halimah. Ketika ia menulis surat yang
dipertunjukkan kepada si Halimah, surat tersebut dibalas oleh si Halimah.
Tetapi balasan surat tersebut tidak terdapat kata-kata balasan, dimana yang
artinya kertas tersebut kosong hanya terdapat dibawahnya hanya ada namanya
dengan tanda tangannya. Si Halimah ini merupakan teman satu kampusnya di
Fakultas Hukum. Idris Pasaribu sangat berharap bahwa cerpen ini dapat dimuat.
Lalu ia mencoba untuk mengirim cerpen ini ke Harian Merdeka. Ketika dikirim ke
Harian Merdeka, cerpen tersebut dimuat. Karena cerpennya yang telah di muat di
Harian Merdeka, lalu ia ingin memberikan cerpen tersebut kepada si Halimah.
Untuk mengirimkan cerpen tersebut, ia mengirim koran tersebut lewat kantor pos
ke alamat si Halimah tersebut dengan alamat di Rantau Prapat. Namun cerpen yang
ia kirim melalui kantor pos tidak dibaca oleh si Halimah. Idris tidak putus
asa, ia membuat cerpen kembali. Karena mereka satu kampus, jadi ia mudah
memberikan cerpen tersebut. Lalu ia memberikan cerpen tersebut dikantin kampus,
setelah itu barulah cerpennya dibaca oleh si Halimah. Inilah cerita kehidupannya
semasa kuliah.
Idris Pasaribu juga
memiliki nama yang unik untuk setiap tulisannya yaitu “Ris Pasha”(nama pena).
Nama tersebut selalu ada di setiap tulisannya. Nama ini sering muncul di
majalah-majalah wanita seperti, Sarinah, Femina, Kartini dll.
Sekarang Idris Pasaribu
masih aktif di LKN, namun ia juga bekerja di Harian Analisa bagian Redaktor
Budaya dan juga wakil ketua KSI (Komunitas Sastra Indonesia) Pusat di Jakarta.
Sekarang Idris Pasaribu tidak tinggal lagi di Deli Tua akan tetapi tinggal di
Perumahan Villa Palem Kencana Blok XY, Jl. Pinang Mas 10 No. 11. Tidak hanya
bekerja sebagai Redaktor Budaya di Harian Analisa, Idris Pasaribu tetap
melanjutkan bidang yang digelutinya yaitu seni dan sastra. Sehingga ia
merupakan pendiri Teater Anak Negeri (TAN) yang didirikan pada tahun 1997 yang
bertempat di Taman Budaya. Teater Anak Negeri tidak hanya didirikan Idris
Pasaribu saja, akan tetapi dengan kawan-kawannya yaitu: Hafiz Tahadi, Dra. Cut
Mutia Mutriyola, Aisyah Basyar, Drs. Mangatas Pasaribu.
Di Teater Anak Negeri
ini lebih berfokus kepada seni teater, mereka sangat aktif dan sering
mementaskan film-film dokumenter. Anggota-anggota yang ada didalam Teater Anak
Negeri juga sama seperti yanga da di KSI (Komunitas Sastra Indonesia). Tidak
hanya menjadi sastrawan, tetapi mereka mampu melakoni cerita sehingga menjadi
film-film dokumenter. Sudah banyak karya yang sudah dihasilkan.
Aktifitasnya yang intens di dunia sastra
nasional semakin meningkat karena saat ia menjadi Ketua Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) di Medan. Memasuki usianya yang bagi kebanyakan orang digunakan
bersantai, Idris Pasaribu masih terus bergelut dengan impiannya. Selain
menggarap film Amang Pasinuan, dia masih mempersiapkan novel. Jika ingin
menjumpai Idris Pasaribu, tidak ada kesulitan untuk bertemu dengannya. Ia mudah
ditemui di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) persis “Di Bawah Pohon Asam”
setiap Sabtu pukul 15.00 WIB. Ini merupakan tempat Idris dan para muridnya
berdiskusi dan menularkan pengalaman yang dimilikinya.
Sudah banyak sekali
hasil karya buku yang telah ditulis oleh Idris Pasaribu. Seperti novel “Acek
Botak” dan “Pincalang” pada tahun 2014. Tidak hanya ini saja, novelnya yang
berjudul “Nikah (Lagi)” yang telah diterbitkan oleh Kilangit Kencana. Novel
“Nikah (Lagi)” merupakan satu dari sekian banyak karyanya yang disimpan selama
ini. Masih banyak naskah novel lain yang disimpan oleh Idris Pasaribu menunggu,
hingga ada penerbit buku yang bersedia menerbitkannya. Semoga penungguan itu
membawa hasil. Masyarakat yang membacanya pun bisa menikmati karya-karya dari
sastrawan cum jurnalis yang berproses kreatif di Sumatera Utara ini.
Karya novel yang
ditulis oleh sastrawan memiliki sisi idealis, tetapi hidup dan kehidupan acap
harus mengabaikan nilai-nilai ideal tersebut. Buku-buku sastra karya penulis
dalam negeri, dinilai tidak memiliki daya jual. Penilaian itu tidak selalu
benar. Akan tetapi situasi mengatakan bahwa kebenaran saat ini. Usaha
menerbitkan buku karya sastrawan kita menjad spekulatif bagi para penertbit.
Persentase kegagalan di pasar mencapai 60% sampai 80%, sehingga jarang penerbit
yang mau berspekulasi.
Tidak terbantahkan,
ketika penerbit Kakilangit Kencana yang dikelola oleh Syarifuddin Azhar
(sastrawan) menerbitkan Acek Botak telah mendongkrak nama penerbit Kakilangit Kencana
sebagai pemegang label mayor di negeri. Meskipun tidak sedasyat nama penerbit
yang menerbitkan karya-karya terjemahan, setidaknya Kakilangit Kencana punya
tempat khusus sebagai penerbit yang berjibaku mengangkat sastra nasional.
Bahwa nama Idris Pasaribu
sebagai sastrawan semakin diperhitungkan kalangan kritikus nasional, ketika
buku Acek Botak diterbitkan menjadi buku. Inilah yang menyebabkan novel-novel
yang diterbitkan Kakilangit Kencana mampu mengangkay dan memajukan dunia
sastra. Bahwa novel Acek Botak ini merupakan novel yag mengandung nilai sejarah
Tionghoa di Sumatera Utara. Berkisah tentang nasib peranakan Tionghoa. Satu
dari sekian banyak komunitas yang membangun Sumatera Utara. Sebelumnya hanya
ditemukan dalam penelitian-penelitian ilmiah para antropolog dan sejarawan.
Imajinasi dalam sastra telah memperkarya tafsir terhadap objek penelitian
tersebut.
“Acek Botak” bisa
disebut merupakan satu dari sedikit buku sastra di negeri ini yang mengangkat
kultur masyarakat Tionghoa di negeri ini. Bahwa novel yang telah ia tulis menyinggung
sejarah dan antropologi. Kakilangit Kencana sebagai penertbit, memiliki andil
besar untuk itu. Andil yang tak terbantahkan, karena novel-novel lain yang
diterbitkan Kakilangit Kencana ternyata mampu menampilka sisi lain dari
kehidupan masyarakat di negeri ini. “Acek Botak” juga memberikan andil kepada
Kakilangit Kencana, karena namanya menjadi terangkat di kalangan pembaca yang
menyukai sejarah.
Di dalam novel
Pincalang, yang berkisah tentang manusia perahu. Novel ini menyebabkan pembaca
menjadi paham akan kultur komunitas yang senatiasa hidup mengandalkan laut.
Kini semakin sulit menemukan komunitas manusia laut tersebut, karena peradaban
menuntut mereka untuk memutuskan menetap di lokasi yang tetap. Setidaknya novel
“Pincalang” memberitahu kepada pembaca, terdapat sisi lain yang pernah hidup di
sekitar kita. Tidak hanya ini saja, ia juga menulis novel yang berjudul
“Mangalva 1940-1943”.
Sastra adalah bukti
kemapuan sastrawan. Bukan saja untuk menyajikan informasi yang pernah ada
sebagai bahan permenungan, juga mengajak pembaca mengukuhkan ikatan batin
dengan nasib orang yang ada dalam bacaannya. Bahwa seorang Idris Pasaribu mampu
menjadi sastrawan mempunyai langgam yang sesuai dengan kultur yang
membentuknya. Dengan banyak menulis dapat menorehkan pengetahuan juga
didalamnya dan menjadi sesuatu kemasan yang menarik untuk dibaca dikalangan
masyarakat. Tidak hanya di suguhkan oleh cerita yang menarik tetapi tetap
menyinggung kesejarahan. Melalui komunitas sastra yang ia kelola sekarang,
Idris berniat menciptakan para penulis-penulis muda yang lebih besar dari
dirinya. Ratusan penulis dibina dan digodok untuk menggantikan dirinya, agar
adanya penerus sastrawan.
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Dimana dan kapan
bapak dilahirkan?
2.
Siapakah orang
tua dari bapak ?
3.
Apakah pekerjaan
orang tua bapak?
4.
Bagaimana
kehidupan bapak ketika kanak – kanak hingga remaja?
5.
Bagaimana
mulanya bapak ikut bergabung dalam organisasi?
6.
Kenapa bapak
memilih ikut organisasi tersebut?
7.
Bagaimana proses
kehidupan bapak dalam berorganisasi?
8.
Apa saja
pencapaian bapak dalam berorganisasi?
9.
Apakah manfaat
dari bapak mengikuti organisasi?
10. Bagaimana bapak bisa menyukai dunia seni dan sastra?
11. Seberapa fokus bapak menekuni dunia seni dan sastra?
12. Bagaimana awalnya bapak mulai membuat tulisan?
13. Siapa saja yang menginspirasi bapak dalam membuat
tulisan?
14. Apa saja pencapaian bapak dalam membuat tulisan?
15. Apakah ada pengaruh dari orang tua dengan bidang
yang bapak pilih?
16. Bagaimana tanggapan orang tua bapak ketika bapak
ikut organisasi dan menekuni bidang seni di masa remaja?
17. Siapa saja yang membimbing bapak ketika bapak aktif
menjadi anggota di LKN?
18. Apakah bapak mengalami jatuh bangun dalam mengikuti
seluruh organisasi ?
19. Apakah ada pengalaman yang unik selama bapak membuat
tulisan?
20. Bagaimana mulanya bapak menjadi seorang wartawan di
usia muda?
21. Kenapa bapak bisa memilih jurusan hukum di
Universitas Sumatera Utara sebagai fokus studi bapak?
22. Bagaimana kehidupan bapak selama masa kuliah?
23. Apakah bapak tetap menjadi wartawan semasa kuliah?
24. Apakah semasa kuliah bapak masih aktif
berorganisasi?
25. Bagaimana kehidupan berorganisasi bapak semasa
kuliah?
26. Bagaiamana bisa bapak masuk ke penjara?
27. Apa saja karya bapak yang telah di muat di surat
kabar?
28. Apa saja karya bapak yang terkenal atau yang paling
berkesan ?
29. Bagaimana kehidupan bapak setelah menyelasaikan
kuliah?
30. Bagaimana kehidupan bapak dengan keluarga bapak?
31. Apakah bapak masih aktif di dunia seni dan sastra
sampai sekarang?
32. Apa kegiatan bapak sekarang ?
33. Bagaimana bapak bisa menjadi salah satu pendiri
teater anak negeri?
34. Apa saja pencapaian besar yang dihasilkan teater
anak negri?
35. Apa pekerjaan bapak sekarang?
[1] Partai Nasional Indonesia (PNI)
didirikan pada tahun 1927. Digawangi oleh tokoh-tokoh besar seperti Ir.
Seokarno, Dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Sartono SH, Budiarto SH, dan Dr.
Samsi. PNI tumbuh dan berkembang menjadi salah satu partai politik yang
berpengaruh pada saat itu. Dengan berhaluan nasional, PNI termasuk mampu
berkembang dengan pesat karena semua golongan dirangkul untuk bergabung dan
bersatu.
[2] Sekolah Rakyat merupakan sekolah
yang berdiri pada masa penjajahan Jepang atau yang lebih dikenal dengan nama
Jepangnya Kokumin Gakko. Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Rakyat berubah
menjadi Sekolah Dasar pada tanggal 13 Maret 1946.
[3] Gerakan Siswa Nasional Indonesia
merupakan sebuah organisasi yang pro terhadap Ir. Seokarno. Tujuan didirikannya
GSNI yaitu sebagai tempat siswa bekarya, bekarya yang berpegang teguh pada
ideologi Pancasila. Organisasi kesiswaan ini lahir pada 2 Januari 1959 pada
sejarahnya merupakan gabungan Gerakan Siswa Nasional dan Ikatan Pelajar
Nasional Indonesia.
[4] Lembaga Kebudayaan Nasional
(LKN) merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai
Nasional Indonesia (PNI). Dengan kata lain, LKN merupakan “Onderbouw” PNI.
Lembaga ini dibentuk pada tahun 1959 di Jakarta, yang diketuai oleh Sitor
Situmorang (1959 – 1965).
[5] Marhaenisme merupakan ideologi
ajaran Bung Karno secara keseluruhan. Didalam marhaenisme terkandung alur
pemikiran yang konsisten, suatu ideologi yang membela rakyat dari penindasan
dan pemerasan kapitalisme, kolonialisme/imperialism serta feodalisme dalam
rangka membangun masyarakat adil-makmur dan bebas dari segala penindasan serta
pemerasan.
[6] Pada tahun 1965, PNI pecah
menjadi dua, yang dikenal dengan PNI Ali Surachman dan PNI Osa Usep. PNI Ali
Surachman di bawah pimpinan Ali Sastroarnidjojo dan Surachman, sedangkan PNI
Osa Usep di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar