Sabtu, 30 September 2017

TUGAS BIOGRAFI



TUGAS BIOGRAFI
“”
KELOMPOK I
  1. RISWAN                                                        -                       140706005
  2. IKA AZURA MARGOLANG                      -                       140706013
  3. WIWID ANGGRAINI                                  -                       140706050
  4. SRI ANGGRIANI                                         -                       140706051
  5. NAJMA RAFIKA SURI                               -                       140706055

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

A.    Asal – usul ( lahir dan masa kecil )
Idris Pasaribu dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1952 di Marindal Delitua.  Ia merupakan anak pertama dari 9 bersaudara. Idris Pasaribu adalah anak dari seorang pensiunan tentara angkatan 45 yaitu Bapak Cornill Pasaribu dan Ibu Marianna Purba. ayahnya yang juga anggota dari laskar PNI[1] (Partai Nasional Indonesia) secara tidak lagsung mempengaruhi hidupnya. Semasa hidup Idris Pasaribu memang dikenal sebagai anak yang rajin dan pintar, diketahui bahwa ia telah bisa menulis dan membaca sebelum ia mulai masuk sekolah. sebelum masuk sekolah ia sudah bisa menulis halus kasar dan juga latin.
Tahun 1958 di usia 5 tahun 2 bulan Idris Pasaribu masuk ke Sekolah Rakyat[2] ( SR ) Taman Siswa, diketahui bahwa untuk masuk ke Sekolah Rakyat haruslah berusia 7 tahun setengah namun Idris sudah sangat ingin untuk bersekolah ia memaksa – maksa ayahnya agar ia bisa bersekolah. Dulu, kalau mau masuk ke Sekolah di Sekolah Rakyat jika umurnya kurang kita harus bisa memegang telinga kiri dengan tangan kanan diletakkan diatas kepala lalu peganglah telinga kirinya, tetapi ia tidak sampai makanya ia tidak bisa masuk ke sekolah negeri, oleh karena itu ayahnya memasukan Idris ke sekolah swasta. Saat ia bersekolah di Sekolah Rakyat, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Rendah di saat ia duduk di kelas Empat ( IV ) dan berganti nama menjadi Sekolah Dasar saat ia di kelas Enam ( VI ).
Idris Pasaribu adalah anak yang aktif, selayaknya anak diusianya ia sering bermain dengan teman – temannya, namun diketahui bahwa Idris adalah anak yang paling muda dilingkungan sekolahnya. Hampir semua teman – temannya berusia lebih tua darinya dan lebih besar darinya mereka sering bermain bola kasti setiap ia bermain bola kasti dengan teman – temannya ia mengaku bahwa terkadang ia merasa lebih sakit jika terkena bola kasti oleh karena lemparan bola kasti teman – temannya yang berpostur lebih besar.
Ia juga sering memancing, ia selalu pergi ke laut untuk memancing namun tidak sering mendapatkan hasil yang banyak akan tetapi karena ia merupakan anak yang aktif ia juga banyak berteman dengan orang tua disekitarnya contohnya adalah nelayan sekitar, setiap ia tidak mendapat hasil tangkapan ikan yang banyak ia sering berpapasan dengan nelayan dan nelayan – nelayan tersebut sering membagikan sedikit hasil tangkapan mereka untuk Idris karena Idris tidak mendapatkan ikan yang banyak. Idris selalu membawa pulang hasil tangkapan ikannya dan yang diberikan nelayan sebanyak satu ember penuh, setiap ia dalam perjalanan pulang dan bertemu tetangganya, Idris selalu disebut – sebut pintar memancing karena setiap memancing tangakapannya selalu banyak hampir satu ember penuh Idris hanya tertawa saja dan kadang merasa bangga, di dalam benaknya itulah manfaat dari memiliki banyak teman.

B.     Masa Remaja dan Awal Mula Kehidupan dalam Berorganisasi
Di tahun 1964 ia dan keluarganya pindah ke Sibolga, dan ia masuk ke SMP Negeri di Sibolga di tahun selanjutnya. Semasa ia bersekolah di sekolah menengah ia tetap menjadi murid yang paling muda, Idris masuk ke SMP di usia 11 tahun disaat anak – anak yang lain masuk di usia 15 – 17 tahun.  Idris tetap menjadi anak yang rajin dan pintar ia menyelesaikan sekolah menengahnya hanya dalam dua tahun. saat masih duduk di kelas VIII Idris di tawari oleh Kepala sekolahnya untuk mengikuti ujian kelulusan regional Tapanuli – Nias, awalnya ia menolak karena ia masih kelas VIII  tetapi Kepala sekolahnya mengatakan jika ia tidak lulus ia tetap bisa naik ke kelas IX Idris pun menyetujuinya dan mengikuti ujian regional tersebut, akhirnya ia lulus dengan mendapat peringkat Kedua seluruh Regional. 
Semasa SMP ia telah mulai menulis dan sudah berminat untuk menjadi anggota di salah satu organisasi, namun syaratnya harus sudah duduk di kelas VIII jadi ia harus menunggu dahulu dan pada tahun 1967 Idris Pasaribu bergabung menjadi anggota GSNI[3] (Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Selain GSNI ada banyak organisasi kesiswaan yang lain seperti GSKI (Gerakan Siswa Kristen Indonesia) yang anggotanya hanya bisa beragama kristen protestan, PPSK (Persatuan Pelajar Sekolah Katolik), dan IPNU (Ikatan Pelajar Nadhatul Ulama) yang anggotanya hanya yang beragama Islam saja. Idris mengaku ia memilih menjadi anggota GSNI karena ia melihat bahwa diantara semua organisasi yang ada di lingkungannya hanya GSNI lah satu – satunya organisasi yang memiliki anggota dari berbagai etnis dan agama, mulai dari etnis Tionghoa, Batak, Melayu dan dari agama Islam, Kristen bahkan Parmalim (saat it agama Parmalim penganutnya banyak di Sibolga), semua orang bercampur di dalam GSNI tanpa membeda – bedakan satu sama lain. Selain semua alasan itu ada satu alasan yang masih mencerminkan rasa remajanya yaitu ia tertarik masuk GSNI karena setiap ia melihat anggota GSNI tampil pementasan anggota GSNI memakai kostum yang menarik, berawarna – warni sesuai tema pertunjukannya, tidak seperti organisasi lain yang kostumnya tidak menarik, - candanya. Selain itu, ia juga menyukai GSNI yang menyanyikan lagu-lagu juang yang membakar semangat tidak seperti yang lainnya. Di dalam GSNI ada tingkatan – tingkatan anggota yaitu Intermediate 1,2,3 dan Advance. Semasa SMP juga ia memang sudah menyukai di bidang seni yaitu menyanyi dan menulis. Kebetulan bahwa GSNI pada masa itu satu kantor dengan LKN[4] (Lembaga Kebudayaan Nasional). Jadi, ketika anggota LKN sedang bernyanyi ia mendengarnya sehingga menjadi ikut menyanyi. Lalu ia diajak untuk ikut menyanyi, sehingga diajak untuk latihan menyanyi setiap hari selasa serta diajak juga menjadi anggota LKN. Tidak hanya menyanyi, karna ia sudah minat menulis sehingga ia juga dididik oleh anggota LKN. Ketika ia sedang menulis dan tulisannya, oleh anggota LKN akan membaca hasil tulisannya tersebut. Mereka akan menanggapi tulisan Idris. Sehingga dari sinilah ia mulai melatih diri dan menghasilkan karya tulis. Ketika ia ingin masuk menjadi anggota GSNI, orang tuanya memberikan tanggapan yang baik sehingga tidak ada penolakan. Walaupun pada masa itu, sekolah merupakan hal yang penting. Tetapi tidak untuk orang tua Idris, ia beranggapan walaupun anaknya mengikuti GSNI akan tetapi tidak akan meninggalkan sekolahnya dan dapat memperoleh prestasi.
Pada masa pemberontakan G30S, Idris Pasaribu tetap masuk GSNI, pada saat Ir.Soekarno sedang tertekan karena peristiwa tersebut dan juga Marhaenisme[5] sedang diganyang dan ditekan. Ia mengaku pada masa itu adalah masa-masa yang berat. Namun itu menjadi tantangan dan ia tidak takut karena ia merasa siswa/pelajar pada masa itu sangat kompak.

C.     Menekuni Seni dan Sastra
Kegemarannya menulis dimulainya saat ia bersekolah di SMP, Idris sudah mulai menulis dan mengirimkan tulisannya ke surat kabar ke harian Patriot. Saat itu harian Patriot adalah surat kabarnya PNI, Sinar Harapan adalah surat kabarnya Partindo, Mercusuar adalah surat kabarnya NU, KOMPAS adalah surat kabarnya Khatolik. Pada masa itu setiap partai memiliki media massa nya masing-masing.
Pada tahun 1968 ia naik tingkat masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Sibolga. Ketika ia masih bersekolah di SMA Negeri Sibolga ada petinggi cabang PNI di Sibolga mendatanginya untuk menawarkan ia pindah ke sekolah SMA Swasta Khatolik di Sibolga karena di SMA Khatolik tersebut belum ada organisasi GSNI, Idris ditawarkan untuk masuk dan membangun GSNI di SMA Khatolik. Ia pun pindah dan mendirikan GSNI di SMA Khatolik Sibolga sekaligus menjadi ketua cabang GSNI di Sibolga. Selama masa SMA Idris mengaku masa – masa itu adalah masa yang paling indah menurutnya karena walau banyak tekanan ia dan teman – teman satu organisasinya tidak merasa takut dan kebersamaan tetap ada.
Di SMA Idris  tetap fokus pada bidang seni yang digelutinya sedari masa SMP. Pada saat Idris memimpin cabang GSNI Sibolga dia telah otomatis telah menjadi anggota LKN, dan jadilah ia anggota LKN pada saat ia SMA.  Saat ia menjadi ketua cabang GSNI dan menjadi anggota LKN, ia juga menjadi anggota pleno di PNI (Partai Naional Indonesia). Walaupun jabatannya hanya anggota pleno, ia merupakan anggota paling muda. Ketika rapat ia diajari untuk berbicara, bertanya dan berdebat agar melatih diri. Ia diajarkan untuk tidak takut dan percaya diri didalam setiap rapat oleh anggota yang lebih tua. Anggota yang telah lama bergabung di PNI akan selalu memberikan tepuk tangan saat Idris selesai bertanya untuk memberikan apresiasi dan semangat padanya. Sebagai anggota termuda yang akan dijadikan kader yang baik ia diberikan hak untuk memberikan pertanyaan pertama di setiap rapat. Ia mengaku itu menjadi bentuk penyemangat dari mereka. Pada masanya LKN dibawah pimpinan PNI. Di LKN Idris mulai menulis drama dan berlakon drama, menari, dan menyanyi. Kebetulan saat itu pembimbing GSNI yang aktif juga merupakan pembimbing di LKN yaitu;
1.      Bapak Simanungkalit di bidang seni suara
2.      Bapak Simamora di bidang seni drama atau lakon
3.      Ibu Hutabarat di bidang seni tari
Mereka bertiga adalah pelatih – pelatih LKN yang mendapatkan pendidikan tingkat Nasional yang menjadi pembimbing di LKN.
Idris tetap fokus pada bidang seni yang digelutinya dari dulu seni suara, seni lakon, dan seni sastra. Di seni suara ia pernah mengikuti lomba Bintang Radio dan mendapatkan peringkat pertama, dan ia juga pernah memenangkan juara satu menyanyi se-Tapanuli dari RRI se-Nusantara. Dalam seni lakon ia pernah mendapat peran sebagai raja di tarian serampang dua belas di tingkat siswa di tahun 1969, dan ia juga sering menuliskan naskah untuk beberapa drama yang di tayangkan oleh LKN. Saat menulis ia juga pernah ditangkap hingga ia kabur ke Simalungun, dia dituduh GSNI yang berkonflik, saat ia melarikan diri selama 4 bulan ia ditangkap dan ditahan selama 5 bulan. Ia menceritakan bahwa saat ia ditangkap hanya melakukan olahraga saja, makan dan kegiatan yang lainnya. Setelah delapan bulan ia dibebaskan, dan ketika itu sedang berlangsung ujian sekolah (ujian caturwulan). Walaupun ia dipenjara selama delapan bulan prestasinya tidak luntur, ia meraih rangking 4 saat ujian tersebut. Pada usia ini ia telah keluar-masuk penjara.
Ketertarikannya di dunia sastra, Idris mencoba untuk menulis cerpen – cerpen yang ia kirimkan ke berbagai surat kabar yang ada pada masa itu. Seluruh tulisan Idris berisikan pengalaman – pengalaman hidupnya yang dituangkannya ke dalam tulisan berbentuk cerpen. Salah satu judul cerpennya yaitu “Daun Cemara Pada Gugur” cerpennya itu ia kirimkan ke majalah Mutiara di Jakarta dan kemudian tulisannya tersebut diterbitkan. Ia terkejut ketika ada wesel majalah Mutiara dari Jakarta datang ke sekolahnya dan pada hari Senin saat upacara bendera, Kepala sekolahnya mengumumkan bahwa cerpen Idris telah diterbitkan di majalah tersebut, itu merupakan salah satu prestasinya di badang sastra. Hasil upah tulisannya bisa untuk membayarkan uang sekolahnya selama enam bulan, namun Idris hanya membayarkan uang sekolahnya untuk 3 bulan saja, dan sisa uangnya ia belikan celana yang sedang tren pada saat itu.
Saat Idris menulis di Koran harian Patriot yang merupakan media masa Partai Nasional Indonesia harian Patriot di bredel kemudian berganti nama menjadi harian Patriot Jaya pada tahun 1968. Setelah dua bulan terbit, wartawam utama harian Patriot Jaya meninggal dunia, terjadilah kekosongan posisi waratawan. Pada saat upacara penguburannya ikut hadir melayat seperti, para petinggi harian dari Medan, para pemimpin redaksi dan staff yang datang berbincang – bincang. Mereka membicarakan tentang posisi wartawan yang mengalami kekosongan untuk menggantikan wartawan yang sudah meninggal tersebut. Ada salah satu rekan yang bernama Zul Ibra mengatakan bahwa ada wartawan muda di harian Patriot Jaya, ia mengatakan bahwa wartawan itu memiliki tulisan – tulisan yang bagus yaitu Idris Pasaribu. Para pemimpin redaksi menyuruh Zul Ibra untuk memanggil Idris, dan akhirnya di daerah perkuburan yang terletak di pinggir laut itu tepatnya di kantor harian Patriot Jaya Idris Pasaribu memperkenalkan dirinya dengan menunjukkan kartu pelajarnya kepada pimpinan redaksi termasuk kartu kaderisasi GSNI nya, dan saat itu juga ia langsung ditawari untuk menjadi wartawan utama oleh pimpinan redaksi. Jadilah ia wartawan dan langsung di foto dengan latar belakang perkuburan di pinggir laut untuk dijadikan pas foto sebagai kartu identitas wartawan, dan ia pun menjadi wartawan di usia 16 tahun.




D.    Kehidupan Semasa Kuliah
Idris Pasaribu lulus Sekolah Menengah Atas pada tahun 1970. Pada tahun 1971 ia melanjutkan study nya ke Fakultas Hukum – Universitas Sumatera Utara. Ia mengatakan pernah di skorsing sebanyak 2 kali saat masa kuliahnya oleh Rektor. Pertama saat masa Rektor Brigjen Retno Kajati dan saat masa Rektor B. Hari Suwondo. Saat masa kuliah ia menggunakan bemo sebagai kendaraan kemana-mana bahkan saat pergi kekampus. Pernah suatu ketika ia tidak sengaja memarkirkan bemo nya di parkiran Dekan Fakultas nya. Ia tidak tahu bahwa tempat itu merupakan parkiran Dekan. Ketika kejadian itu, Dekan Fakultas nya memakirkan kendaraan nya di belakang bemo nya. Saat ditanya oleh Dekan nya mengapa diparkir disitu, ia pun menjawab bahwa ia memarkirkan bemo nya diparkiran Dekan karena kosong. Lalu ditanya kembali oleh Dekan, apakah ia tidak tahu disitu tempat parkir dekan. Ia mengaku tidak tau siapa itu Dekan dan siapa Dekannya. Pada saat itu Idris tidak mengetahui apa itu Dekan karena pada masa ia sekolah ia hanya mengetahui pimpinan seperti direktur. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat lucu pada masa awal-awal ia berkuliah. Idris pergi berkuliah dengan menggunakan kendaraan bemo miliknya, karena hanya dengan kendaraan bemo ia dapat berkuliah. Tidak hanya menarik bemo pada siang harinya, ketika malam harinya ia membuka kedai rokok. Kadang ia tidur dikedai tersebut. Jadi ia memanfaatkan waktu untuk dapat membiayai semasa ia kuliah. Pada saat naik tingkat II, Idris mencari besasiswa untuk kuliahnya, ia mencari beasiswa yang dinamakan Supersemar. Lalu ia mendapatkan beasiswa Supersemar tersebut, ia menggunakan beasiswa itu untuk membiayai kuliah. Selain dari beasiswa, Idris Pasaribu menambah biaya dengan tetap menarik bemo, hasil dari kerjanya menarik bemo digunakan untuk membiayai uang sekolah dua orang adik laki-lakinya.
Ayahnya adalah seorang tentara angkatan tahun 45 dan sudah pensiun. Ayahnya bersekolah hanya sampai kelas V di H.I.S. Karena itu, Idris lah yang mencari uang sekolah untuk adiknya yang di Sibolga. Sebelum berkuliah di Fakultas Hukum, ia sudah lulus ujian masuk kuliah yang dilakukan di masing-masing Fakultas. Pada tahun 1975, ada yang dinamakan ujian Sipenmaru yaitu ujian masuk kuliah tingkat Nasional. Ia memilih masuk Fakultas Hukum dikarenakan ayahnya mengatakan pada saat itu belum ada orang bergelar Mister (Mr.). Selain itu ayahnya menyuruh ia masuk ke Fakultas Hukum karena ayahnya pernah diadili oleh Mr. Kebangsaan (Belanda). Ayahnya berharap ia menjadi hakim. Walau ia tidak menyukainya ia tetap mengikuti ujian masuk di Fakultas Hukum, lalu ia pun ikut ujian tersebut dan ternyata ia lulus serta mendapatkan peringkat ke 6 di seluruh peserta ujian di Fakultas Hukum. Lulusan hukum tahun 1971 saat itu bergelar Mister dan berganti menjadi S.H pada tahun 1972.
Saat ia masuk kuliah, ia langsung bergabung di organisasi GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), namun ia tidak terlalu aktif karena ia masih aktif di GSNI. Saat itu ia sudah lulus GSNI, anggota boleh menjadi DPD selama tiga tahun jika anggota langsung menyambung kuliah dan kalau tidak kuliah hanya 2 tahun menjadi DPD, itu adalah peraturan yang telah tertera. Selama masa kuliah, ia selalu berkegiatan kesana kemari dan aktif ber GSNI. Selama ia kuliah ia sering ditangkap oleh angkatan mulai dari polisi, polisi militer, TNI. Ia ditangkap selama satu bulan, 4 bulan terkadang 3 hari 3 malam. Akibatnya ia sering di skorsing oleh rektor selama 6-7 bulan. Saat itu masa perkuliahan tidak menggunakan semester tetapi tingkatan. Tingkat I ( SE 1) Tingkat II (Semester I), tingkat III (Semester II), Tingkat IV (D1), Tingkat V (S1). Pada masa kelulusan sarjana, di ijazah tertulis telah menyelesaikan studi nya dengan lulus cukup dan berhak untuk mengambil pendidikan gelar doktor. Pada masa itu, sarjana hukum hanya ada di dua Universitas yang diizinkan untuk mengambil gelar doktor yaitu UGM dan UI. Namun ia tidak ada uang untuk melanjutkan kuliah gelar doktor dan akhirnya ia mencari beasiswa. Kemudian ia mendapatkan beasiswa dari ipost, namun pada saat ia sedang menjalani ujian ia ditangkap dalam satu gerakan dituduh mengikuti PNI Ali-Surachman[6] pada tahun 1979. Pada saat ditangkap ia tidak diperiksa bahkan tidak ditanya hanya langsung ditangkap begitu saja dan ditahan selama 8 bulan. Selama masa penahanan ia hanya melakukan kegiatan biasa seperti bangun pagi, sarapan, olahraga dan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut tidak boleh dilakukan keluar dari pagar tahanan. Ia tidak merasa tertekan namun juga tidak menikmatinya.
Pada tahun 1982 ketika ia sudah lulus kuliah, ia juga sudah menjadi PNS. Namun ia mengundurkan diri, karena dipaksa untuk masuk ke Partai Golar. Ia dicalonkan menjadi anggota DPRD Se-Kota Medan dari Kopri. Akan tetapi ia tidak mau menjadi anggota DPRD, ia lebih memilih keluar dari Golkar karena menurutnya tidak sesuai dengan pemikirannya karna ia masuk untuk menjadi anggota pun karena dipaksa. Ia meras hak azasinya seperti terinjak-injak. Sehingga ia lebih memilih mengikuti LKN, bahkan ia menjadi ketua LKN Divisi Sumatera Utara, namun ia tidak aktif.




E.     Awal Mula Karir
Sejak memasuki awak kuliah ia sudah mulai banyak menulis dan tetap rajin mengirimkannya ke berbagai surat kabar. Idris pernah menuliskan cerita bersambung yang berjudul “ Sebuah Dosa Suci” di harian Sinar Harapan Jakarta. Cerita bersambung “Sebuah Dosa Suci” tersebut diterbitkan dan mendapat respon sangat bagus. Selain itu, ia juga mendapatkan kritik oleh beberapa sastrawan, mereka berkomentar bahwa tulisannya sangat bagus namun judulnya menjadi sebuah polemik karena tidak ada yang namanya Dosa yang Suci. Idris menceritakan bahwa cerita bersambung “Sebuah Dosa Suci” ini merupakan pengalaman pribadinya ketika saat awal masuk kuliah. Cerita tersebut berisi tentang pengalaman saat ayah dan adiknya yang sedang sakit sehingga ia sangat membutuhkan uang. Ketika ia sedang menarik bemo, ada seorang penumpang yang bernama ibu Simangunsong meninggalkan dompetnya di bemo Idris, di dompetnya berisi uang sebesar delapan puluh tujuh ribu rupiah, KTP, SIM, dan surat – surat lainnya. Karena keadaan lagi terdesak, ia sangat membutuhkan uang tersebut. Ia berpikir jika ia mengembalikan dompet yang berisikan uang tersebut, maka ia tidak bisa membayarkan pengobatan adiknya yang harus segera di opname. Lalu, tanpa piker panjang, ia memutuskan untuk mengambil uang tersebut. Cerita inilah yang disebut sebagai Dosa namun Suci, karena untuk menyelamatkan nyawa adiknya.
Kemudian setelah tiga bulan ia mengumpulkan uang dari hasil kerjanya menarik bemo. Uang hasil dari menarik bemo yang ia kumpulkan, ia gunakan untuk mengembalikan uang ibu tersebut. Setelah uangnya terkumpil, ia mendatangi ibu tersebut dengan niat baik untuk mengembalikan dompet beserta uang yang telah diambilnya. Ia mengambil kumpulan koran dan menuliskan surat namun sebelumnya ibu tersebut menolak surat yang diberikan karena sudah lama berlalu ibu tersebut tidak ingat lagi dengannya. Dulu saat narik bemo ia lusuh sedangkan saat menjumpai ibu tersebut dengan rapi dan memakai jaket almamater. Namun setelah melalui perdebatan panjang akhirnya ibu tersebut mau menerimanya untuk bertemu, serta menerima surat dari Idris. Tiga hari kemudian, ia mendatangi ibu itu kembali, ibu tersebut langsung menangis karena membaca suratnya dan kejujurannya. Idris mengatakan kalau ia jujur ia tak akan mendapatkan uang itu untuk biaya adiknya. Kemudian, suami dari ibu tersebut datang dan mengatakan bahwa mereka ikhlas dan menerimanya. Surat-surat ibu yang hilang sudah diurus semua jadi mereka pun menganggap masalah yang terjadi tiga bulan yang lalu telah  selesai. Saat ia ingin pulang, ia diberikan uang oleh ibu Simangunsong tersebut sebesar lima puluh ribu rupiah. Lalu, muncul idenya untuk menulis cerpen dengan judul “Rp. 50.000”. Hanya dengan pemberian lima puluh ribu tersebut mampu mengagas ide untuk membuat sebuah cerpen. Baginya, segala sesuatu cerita yang menarik didalam kehidupannya akan ia tuangkan kedalam cerita, agar cerita tersebut dapat diingat kembali serta menjadi masukkan yang membacanya. Lalu ia menulis cerpen dengan judul “Rp. 50.000” tersebut dan ia mengirimkan tulisannya di Harian Waspada.
“Sebuah Dosa Suci” merupakan hal yang sangat berkesan karena selain pengalaman pribadi karangannya juga mendapat tanggapan dari para sastrawan. Satu tahun kemudian,ia berangkat ke Jakarta mendatangi sastrawan H.B. Jassin. H.B. Jassin terkejut bahwa Idris masih berusia 18 tahun, padahal ia kira Idris sudah tua karena bahasa-bahasa yang digunakannya dianggap terlalu dewasa. Kemudian datanglah Gunawan Muhammad dan menanyakan kepadanya apa tanggapannya terhadap kritikan mereka, namun ia menjawab dengan santai dan tersenyum saja. Mereka berasumsi bahwa ia akan memberikan tanggapan atau sanggahan, namun pada nyatanya ia tidak memberikan tanggapan serius karena ia menganggap itu hanyalah pendapat orang saja.
Kemudian terbitlah Harian Tempo, kemudian ia direkrut menjadi “stranger” atau wartawan lepas. Ia mendapatkan gaji sebesar dua puluh delapan ribu rupiah perbulannya. Namun ia bertahan di Harian Tempo hanya lima bulan disebabkan karena menurutnya tidak adanya kebebasan dalam menulis berita, berita yang diinginkan harus sesuai dengan permintaan Harian Tempo. Hampir setiap ia menulis terkadang tulisannya hanya dimuat sebanyak dua paragraf saja, hal itu tidak sesuai dengan yang diingikannya karena ia sudah lelah untuk mendapatkan berita dan menuliskannya. Merasa tidak sesuai dengan pekerjaan tersebut ia pun pindah ke Harian Kartini juga sebagai wartawan pada tahun 1980an. Ia mendapatkan gaji sebanyak dua ratus ribu rupiah pertulisan dan mendapatkan gaji tujuh ribu lima ratus rupiah perbulannya. Saat bekerja di Harian Kartini ia juga telah menulis novel dan novlet. Kemudian Harian Kartini pun pecah dan ia memutuskan untuk keluar dari Harian Kartini. Hal ini disebabkan karena dari pecahnya Harian Kartini terdapat dua kubu yang memperebutkan Idris sebagai wartawannya, namun karena kedua kubu tersebut adalah teman-temannya jadi ia merasa lebih baik berhenti daripada terjadi permusuhan diantara belah pihak. Kedua belah pihak yang ingin memperebutkannya untuk menjadi wartawan yang juga sebagai temannya bernama Motinggobosi dan Massayuda. Ia lebih memilih keluar agar tidak terjadi Tarik menarik yang dapat menyebabkan perdebatan, keputusannya yang ia ambil agar tidak bermusuhan dengan temannya. Hingga saat ini mereka tetap menjalin pertemanan.
Selama masa kuliah ia juga telah menjadi wartawan lepas di Harian Analisa sambil merangkap menjadi wartawan lepas di Harian Tempo dan Harian Kartini. Setelah pindah dari Harian Kartini, ia bertemu dengan pak Krisna Murti, kemudian menawarkan diri untuk menjadi wartawan lepas di Majalah Sarinah. Pak Krisna Murti mengatakan bahwa gaji di Majalah Sarinah lebih kecil dari Harian Kartini, namun ia tidak keberatan akan hal itu dan tetap memilih untuk bekerja di majalah Sarinah.
Tidak hanya menjadi wartawan lepas di majalah Sarinah, ia juga menjadi wartawan lepas di Harian Analisa dan mendapatkan gaji sebesar dua puluh ribu rupiah perbulannya. Sudah begitu banyak hasil karya tulisannya baik berupa novel, cerita pendek maupun cerita bersambung. Dengan menulislah ia dapat menyambung hidupnya. Hasil karya novelnya ia jadikan tulisan-tulisan di pintu rumahnya yaitu judul dari novel-novel/novlet yang telah diterbitkan. Honor upah dari menulis yang ia peroleh sedikit demi sedikit digunakannya untuk membangun rumahnya. Mulai dari membeli pintu hingga jendela. Sebelumnya jendela rumahnya masih ditutupi dengan triplek. Dengan memperoleh honor dari menulis dapat memperbaiki bagian rumahnya termasuk jendela dan bagian rumah yang lainnya sehingga rumahnya dapat terbagun dengan baik. Ia menyebutkan bahwa rumahnya adalah rumah bertumbuh.
F.      Memulai Berkeluarga
Ia menikah pada tahun 1978 yaitu setahun sebelum ia lulus kuliah. Istrinya bernama RAY Sri Gantri Yuliana Herti. Istrinya juga merupakan seorang kader GSNI, namun dari Salatiga. Proses bertemu ia dengan istrinya memiliki banyak cerita yang menarik juga menyedihkan. Pertemuan ia dengan istrinya yaitu ketika ia melarikan diri dari Medan dan di tangkap di Jogja. Dia ditangkap karena pada masa perkulihannya melakukan gerakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). Ia ditangkap di Jogja selama 4 bulan. Di samping tahanan tempat ia ditahan, ada sebuah sungai yang dimana di samping sungai tersebut terdapat asrama yang merupakan tempat tinggal Sri Gantri Yuliana Herti. Ketika masa penangkapannya telah selesai dan dilepas dari tahanan, ia bertemu dengan Sri Gantri Yuliana Herti di Salatiga dan memulai perkenalan. Masa perkenalan dengan Sri Gantri Yuliana Herti hanya berlangsung selama 2 bulan. Dalam jangka 2 bulan, ia langsung menyukai Sri Gantri Yuliana Herti. Lalu tanpa pikir panjang, ia langsung membawa kabur Sri Gantri Yuliana Herti untuk menikah di Medan. Ia membawa kabur Sri Gantri Yuliana Herti ketika ia sudah lulus SMA. Namun kepergian mereka tidak direstui oleh ayah Sri Gantri Yuliana Herti. Seorang anak perempuan yang akan dibawa kabur dengan laki-laki yang hanya sebentar dikenal, membuat seorang ayah pastinya tidak mengizinkan anaknya. Akan tetapi mereka tetap melaksanakan aksi kabur mereka tersebut. Mereka kabur dari Salatiga menuju Medan dengan menaiki kapal Tampomas. Saat kabur dengan menaiki kapal Tampomas merupakan kenangan yang lucu sekaligus menyedihkan. Dimana, ketika menaiki kapal Tampomas, mereka tidak memiliki uang sehingga mereka tidur digeledak kapal. Geledak kapal dimana tempatnya yang sangat kotor. Ketika malam hari cuacanya sangat dingin, akan tetapi mereka tidur hanya beralaskan koran, bahkan jika mereka ingin berpelukan untuk menghangatkan tidak bisa dilakukan, karena pastinya malu jika dilihat oleh penumpang lain. Kenangan ini merupakan kesederhanaan didalam kehidupan keluarganya. Ia mengaku terkadanga harus membekali keperluan ruma dengan seadanya. Ia dan istrinya selalu langsung menyiapkan beras satu kaleng, kecap satu botol dan bahan pokok lainnya. Mereka mempersiapkan bahan-bahan pangan tersebut apabila nantinya tidak memiliki uang untuk membelii lauk-pauk. Dengan berjalannya pernikahan mereka, lambat laun ayah sang istri yang merupakan seorang tentara dapat merestui pernikahan mereka.
Idris Pasaribu telah memiliki 3 anak yang pertama bernama Natalius Pasaribu Marhaen, kedua Matius Pasaribu Marhaen dan yang ketiga adalah Markus Pasaribu Marhaen. Namun anaknya yang kedua sudah meninggal dikarenakan sakit kanker. Anak mereka sudah menikah termasuk yang anak kedua. Anak kedua mereka yang telah meninggal pada tahun 2016 bulan Maret, meninggalkan anak yang sekarang tinggal bersama Idris dan istrinya karena istri dari anak kedua mereka juga sudah meninggal. Jadi Idris dan istrinyalah yang merawat anak tersebut.

G.    Proses dan Pencapaian
Kehidupan seseorang yang menyukai di bidang seni dan sastra pastilah memiliki banyak pasang surutnya. Sering sekali tulisan yang telah ia buat ditolak. Alasan tulisannya ditolak karena tidak sesuai dengan harapan yang mereka inginkan. Jadi ada sebuah cerpen yang menurutnya sangat bagus, tetapi malah di tolak yaitu yang berjudul “Halimah”. Sudah pasti cerpen ini merupakan cerita kehidupan yang dialaminya. Halimah ini merupakan seorang sarinah dan ia sangat cantik. Dengan kecantikan si Halimah ia langsung jatuh cinta. Ia pun menulis surat untuk mengungkapkan isi hatinya kepada si Halimah. Ketika ia menulis surat yang dipertunjukkan kepada si Halimah, surat tersebut dibalas oleh si Halimah. Tetapi balasan surat tersebut tidak terdapat kata-kata balasan, dimana yang artinya kertas tersebut kosong hanya terdapat dibawahnya hanya ada namanya dengan tanda tangannya. Si Halimah ini merupakan teman satu kampusnya di Fakultas Hukum. Idris Pasaribu sangat berharap bahwa cerpen ini dapat dimuat. Lalu ia mencoba untuk mengirim cerpen ini ke Harian Merdeka. Ketika dikirim ke Harian Merdeka, cerpen tersebut dimuat. Karena cerpennya yang telah di muat di Harian Merdeka, lalu ia ingin memberikan cerpen tersebut kepada si Halimah. Untuk mengirimkan cerpen tersebut, ia mengirim koran tersebut lewat kantor pos ke alamat si Halimah tersebut dengan alamat di Rantau Prapat. Namun cerpen yang ia kirim melalui kantor pos tidak dibaca oleh si Halimah. Idris tidak putus asa, ia membuat cerpen kembali. Karena mereka satu kampus, jadi ia mudah memberikan cerpen tersebut. Lalu ia memberikan cerpen tersebut dikantin kampus, setelah itu barulah cerpennya dibaca oleh si Halimah. Inilah cerita kehidupannya semasa kuliah.
Idris Pasaribu juga memiliki nama yang unik untuk setiap tulisannya yaitu “Ris Pasha”(nama pena). Nama tersebut selalu ada di setiap tulisannya. Nama ini sering muncul di majalah-majalah wanita seperti, Sarinah, Femina, Kartini dll.
Sekarang Idris Pasaribu masih aktif di LKN, namun ia juga bekerja di Harian Analisa bagian Redaktor Budaya dan juga wakil ketua KSI (Komunitas Sastra Indonesia) Pusat di Jakarta. Sekarang Idris Pasaribu tidak tinggal lagi di Deli Tua akan tetapi tinggal di Perumahan Villa Palem Kencana Blok XY, Jl. Pinang Mas 10 No. 11. Tidak hanya bekerja sebagai Redaktor Budaya di Harian Analisa, Idris Pasaribu tetap melanjutkan bidang yang digelutinya yaitu seni dan sastra. Sehingga ia merupakan pendiri Teater Anak Negeri (TAN) yang didirikan pada tahun 1997 yang bertempat di Taman Budaya. Teater Anak Negeri tidak hanya didirikan Idris Pasaribu saja, akan tetapi dengan kawan-kawannya yaitu: Hafiz Tahadi, Dra. Cut Mutia Mutriyola, Aisyah Basyar, Drs. Mangatas Pasaribu.
Di Teater Anak Negeri ini lebih berfokus kepada seni teater, mereka sangat aktif dan sering mementaskan film-film dokumenter. Anggota-anggota yang ada didalam Teater Anak Negeri juga sama seperti yanga da di KSI (Komunitas Sastra Indonesia). Tidak hanya menjadi sastrawan, tetapi mereka mampu melakoni cerita sehingga menjadi film-film dokumenter. Sudah banyak karya yang sudah dihasilkan.
 Aktifitasnya yang intens di dunia sastra nasional semakin meningkat karena saat ia menjadi Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Medan. Memasuki usianya yang bagi kebanyakan orang digunakan bersantai, Idris Pasaribu masih terus bergelut dengan impiannya. Selain menggarap film Amang Pasinuan, dia masih mempersiapkan novel. Jika ingin menjumpai Idris Pasaribu, tidak ada kesulitan untuk bertemu dengannya. Ia mudah ditemui di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) persis “Di Bawah Pohon Asam” setiap Sabtu pukul 15.00 WIB. Ini merupakan tempat Idris dan para muridnya berdiskusi dan menularkan pengalaman yang dimilikinya.
Sudah banyak sekali hasil karya buku yang telah ditulis oleh Idris Pasaribu. Seperti novel “Acek Botak” dan “Pincalang” pada tahun 2014. Tidak hanya ini saja, novelnya yang berjudul “Nikah (Lagi)” yang telah diterbitkan oleh Kilangit Kencana. Novel “Nikah (Lagi)” merupakan satu dari sekian banyak karyanya yang disimpan selama ini. Masih banyak naskah novel lain yang disimpan oleh Idris Pasaribu menunggu, hingga ada penerbit buku yang bersedia menerbitkannya. Semoga penungguan itu membawa hasil. Masyarakat yang membacanya pun bisa menikmati karya-karya dari sastrawan cum jurnalis yang berproses kreatif di Sumatera Utara ini.
Karya novel yang ditulis oleh sastrawan memiliki sisi idealis, tetapi hidup dan kehidupan acap harus mengabaikan nilai-nilai ideal tersebut. Buku-buku sastra karya penulis dalam negeri, dinilai tidak memiliki daya jual. Penilaian itu tidak selalu benar. Akan tetapi situasi mengatakan bahwa kebenaran saat ini. Usaha menerbitkan buku karya sastrawan kita menjad spekulatif bagi para penertbit. Persentase kegagalan di pasar mencapai 60% sampai 80%, sehingga jarang penerbit yang mau berspekulasi.
Tidak terbantahkan, ketika penerbit Kakilangit Kencana yang dikelola oleh Syarifuddin Azhar (sastrawan) menerbitkan Acek Botak telah mendongkrak nama penerbit Kakilangit Kencana sebagai pemegang label mayor di negeri. Meskipun tidak sedasyat nama penerbit yang menerbitkan karya-karya terjemahan, setidaknya Kakilangit Kencana punya tempat khusus sebagai penerbit yang berjibaku mengangkat sastra nasional.
Bahwa nama Idris Pasaribu sebagai sastrawan semakin diperhitungkan kalangan kritikus nasional, ketika buku Acek Botak diterbitkan menjadi buku. Inilah yang menyebabkan novel-novel yang diterbitkan Kakilangit Kencana mampu mengangkay dan memajukan dunia sastra. Bahwa novel Acek Botak ini merupakan novel yag mengandung nilai sejarah Tionghoa di Sumatera Utara. Berkisah tentang nasib peranakan Tionghoa. Satu dari sekian banyak komunitas yang membangun Sumatera Utara. Sebelumnya hanya ditemukan dalam penelitian-penelitian ilmiah para antropolog dan sejarawan. Imajinasi dalam sastra telah memperkarya tafsir terhadap objek penelitian tersebut.
“Acek Botak” bisa disebut merupakan satu dari sedikit buku sastra di negeri ini yang mengangkat kultur masyarakat Tionghoa di negeri ini. Bahwa novel yang telah ia tulis menyinggung sejarah dan antropologi. Kakilangit Kencana sebagai penertbit, memiliki andil besar untuk itu. Andil yang tak terbantahkan, karena novel-novel lain yang diterbitkan Kakilangit Kencana ternyata mampu menampilka sisi lain dari kehidupan masyarakat di negeri ini. “Acek Botak” juga memberikan andil kepada Kakilangit Kencana, karena namanya menjadi terangkat di kalangan pembaca yang menyukai sejarah.
Di dalam novel Pincalang, yang berkisah tentang manusia perahu. Novel ini menyebabkan pembaca menjadi paham akan kultur komunitas yang senatiasa hidup mengandalkan laut. Kini semakin sulit menemukan komunitas manusia laut tersebut, karena peradaban menuntut mereka untuk memutuskan menetap di lokasi yang tetap. Setidaknya novel “Pincalang” memberitahu kepada pembaca, terdapat sisi lain yang pernah hidup di sekitar kita. Tidak hanya ini saja, ia juga menulis novel yang berjudul “Mangalva 1940-1943”.
Sastra adalah bukti kemapuan sastrawan. Bukan saja untuk menyajikan informasi yang pernah ada sebagai bahan permenungan, juga mengajak pembaca mengukuhkan ikatan batin dengan nasib orang yang ada dalam bacaannya. Bahwa seorang Idris Pasaribu mampu menjadi sastrawan mempunyai langgam yang sesuai dengan kultur yang membentuknya. Dengan banyak menulis dapat menorehkan pengetahuan juga didalamnya dan menjadi sesuatu kemasan yang menarik untuk dibaca dikalangan masyarakat. Tidak hanya di suguhkan oleh cerita yang menarik tetapi tetap menyinggung kesejarahan. Melalui komunitas sastra yang ia kelola sekarang, Idris berniat menciptakan para penulis-penulis muda yang lebih besar dari dirinya. Ratusan penulis dibina dan digodok untuk menggantikan dirinya, agar adanya penerus sastrawan.

DAFTAR PERTANYAAN
1.      Dimana dan kapan bapak dilahirkan?
2.      Siapakah orang tua dari bapak ?
3.      Apakah pekerjaan orang tua bapak?
4.      Bagaimana kehidupan bapak ketika kanak – kanak hingga remaja?
5.      Bagaimana mulanya bapak ikut bergabung dalam organisasi?
6.      Kenapa bapak memilih ikut organisasi tersebut?
7.      Bagaimana proses kehidupan bapak dalam berorganisasi?
8.      Apa saja pencapaian bapak dalam berorganisasi?
9.      Apakah manfaat dari bapak mengikuti organisasi?
10.  Bagaimana bapak bisa menyukai dunia seni dan sastra?
11.  Seberapa fokus bapak menekuni dunia seni dan sastra?
12.  Bagaimana awalnya bapak mulai membuat tulisan?
13.  Siapa saja yang menginspirasi bapak dalam membuat tulisan?
14.  Apa saja pencapaian bapak dalam membuat tulisan?
15.  Apakah ada pengaruh dari orang tua dengan bidang yang bapak pilih?
16.  Bagaimana tanggapan orang tua bapak ketika bapak ikut organisasi dan menekuni bidang seni di masa remaja?
17.  Siapa saja yang membimbing bapak ketika bapak aktif menjadi anggota di LKN?
18.  Apakah bapak mengalami jatuh bangun dalam mengikuti seluruh organisasi ?
19.  Apakah ada pengalaman yang unik selama bapak membuat tulisan?
20.  Bagaimana mulanya bapak menjadi seorang wartawan di usia muda?
21.  Kenapa bapak bisa memilih jurusan hukum di Universitas Sumatera Utara sebagai fokus studi bapak?
22.  Bagaimana kehidupan bapak selama masa kuliah?
23.  Apakah bapak tetap menjadi wartawan semasa kuliah?
24.  Apakah semasa kuliah bapak masih aktif berorganisasi?
25.  Bagaimana kehidupan berorganisasi bapak semasa kuliah?
26.  Bagaiamana bisa bapak masuk ke penjara?
27.  Apa saja karya bapak yang telah di muat di surat kabar?
28.  Apa saja karya bapak yang terkenal atau yang paling berkesan ?
29.  Bagaimana kehidupan bapak setelah menyelasaikan kuliah?
30.  Bagaimana kehidupan bapak dengan keluarga bapak?
31.  Apakah bapak masih aktif di dunia seni dan sastra sampai sekarang?
32.  Apa kegiatan bapak sekarang ?
33.  Bagaimana bapak bisa menjadi salah satu pendiri teater anak negeri?
34.  Apa saja pencapaian besar yang dihasilkan teater anak negri?
35.  Apa pekerjaan bapak sekarang?















[1] Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan pada tahun 1927. Digawangi oleh tokoh-tokoh besar seperti Ir. Seokarno, Dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Sartono SH, Budiarto SH, dan Dr. Samsi. PNI tumbuh dan berkembang menjadi salah satu partai politik yang berpengaruh pada saat itu. Dengan berhaluan nasional, PNI termasuk mampu berkembang dengan pesat karena semua golongan dirangkul untuk bergabung dan bersatu.
[2] Sekolah Rakyat merupakan sekolah yang berdiri pada masa penjajahan Jepang atau yang lebih dikenal dengan nama Jepangnya Kokumin Gakko. Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Rakyat berubah menjadi Sekolah Dasar pada tanggal 13 Maret 1946.
[3] Gerakan Siswa Nasional Indonesia merupakan sebuah organisasi yang pro terhadap Ir. Seokarno. Tujuan didirikannya GSNI yaitu sebagai tempat siswa bekarya, bekarya yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila. Organisasi kesiswaan ini lahir pada 2 Januari 1959 pada sejarahnya merupakan gabungan Gerakan Siswa Nasional dan Ikatan Pelajar Nasional Indonesia.
[4] Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan kata lain, LKN merupakan “Onderbouw” PNI. Lembaga ini dibentuk pada tahun 1959 di Jakarta, yang diketuai oleh Sitor Situmorang (1959 – 1965).
[5] Marhaenisme merupakan ideologi ajaran Bung Karno secara keseluruhan. Didalam marhaenisme terkandung alur pemikiran yang konsisten, suatu ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan kapitalisme, kolonialisme/imperialism serta feodalisme dalam rangka membangun masyarakat adil-makmur dan bebas dari segala penindasan serta pemerasan.
[6] Pada tahun 1965, PNI pecah menjadi dua, yang dikenal dengan PNI Ali Surachman dan PNI Osa Usep. PNI Ali Surachman di bawah pimpinan Ali Sastroarnidjojo dan Surachman, sedangkan PNI Osa Usep di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...