HISTORIOGRAFI GESTAPU : SIAPAKAH PELAKUNYA?
1. Lima
Skenario
Dalam konteks ini,
setidaknya dapat lima versi sebagai berikut.
1.1.
PKI sebagai Dalang
Versi ini merupakan sejarah resmi.
Menurut versi ini, yang dibangun berdasar alasan-alasan yang mudah dilihat, PKI
lah dalang peristiwa Gestapu dan menjadi satu-satunya pihak yang harus
dipersalahkan. Berdasarkan sejarah pemberontakan PKI pada tahun 1948, yang
dikenal dengan peristiwa Madiun, versi ini berpendapat bahwa PKI secara
sistematis telah membangun kekuatannya. Versi ini juga menyebutkan bahwa Pki
bukan hanya berhasil mengilfiltrasi dan mengindroktrinasi kekuatan militer pro
komunis tetapi juga berhsil mengarahkan mereka, khususnya prajurit non-perwira,
untuk memeberontak terhadap kekuasaan yang sah. Versi ini, yang dipercaya dan
diajarkan oleh tentara sebagai sejarah resmi Indonesia, diikuti oleh para
ilmuwan dan tokoh-yokoh terkemuka. Tetapi, sikap-sikap akademis terhadap PKI
dipengaruhi oleh berbagai opini yang dibentuk oleh berbagai peristiwa pada
1965-1966.
Para PKI tampaknya keliru
memperhitungkan beberapa faktor. Pertama, mereka beranggapan bahwa peristiwa
Gestapu akan meningkatkan ketegangan dan keretakan di tubuh Angkatan
Bersenjata, khususnya AD. Dalam kenyataannya ditmukan jenazah para jenderal
justru menimbulkan efek bumerang bagi PKI. Hal ini diperkuat lagi dengan
ketidakhadiran Presiden Soekarno pad upacara pemakaman para jenderal. Kedua,
tanpa pengetahuan kemiliteran yang memadai, mereka salh memperhitungkan
kekuatan batalyon-batalyon dan kompi-kompi yang terlibat dalam pertempuran yang
sesungguhnya. Para pemimpin PKI keliru menduga persaingan dan keretakan di tubuh
AD sebagi faktor yang berpotensi mendukung operasi mereka. Ketiga, para
pemimpin PKI juga keliru memperhitungkan keteguhan AD dalam menyudutkan
Soekarno ke posisi bertahan. Terakhir tidak ada diskusi pra-Gestapu tentang
kemungkinan kalah dalam permainan politik tersebut.
1.2.
Masalah Internal Angkatan Darat
Versi kedua, yang sangat berlawan
denga versi pertama, menginterpretasian bahwa kudeta dan aksi pembalasannya
merupakan masalah internal AD. Dalam terbitan 2 Oktober 1965, sehari setelah pengumuman
Oentoeng, surat kabar PKI harian rakjat menulis tajuk rencana yang isinya tidak
hanya mendukung Gestapu tetapi juga menyatakan bahwa seluruh peristiwa itu
murni sebagai masalah internal AD. Ada beberapa fakta kunci yang dianggap
mendukung versi ini. Pertama, dan yang terpenting, mereka yang diculik dan para
penculik adalah personel AD. Tidak orang sipil yang terlibat dalam peristiwa
itu. Kedua, tidak masuk akal bila PKI berjudi dengan menyingkirkan ara jenderal
melalui jalan kekerasan, sementara partai tersebut menikmati perkembangan dan
kekuasaan yang sangat menguntungkan.
Versi AD mengindektifikasi dua
biang keladi yang berotak jahat. Pertama, Letkol Oentoeng, perwira yang sewaktu
terjadi pemberontakan PKI di Madiun berjuang dipihak komunis. Kedua, Brigjen
MS. Supardjo, perwira yang dikenal sebagai simpatisan komunis dan saat peristwa
Gestapu meletus menjabat sebagai Komandan Kostrad di Kalimantan Barat. Versi
ini diperkuat pula oleh peristiwa yang berlangsung di tubuh militer pada akhir
tahun 1968. Ketika itu banyak prajurit dari sekuluh angkatan ditangkap dan
dinyatakan terlibat dalam peristiwa Gestapu.
Menurut versi ini, bukti yang
diajukan dalam sidang-sidang Mahmillub, khususnya kesaksian para pewira yang
terlibat, tidak membuktikan bahwa percobaan kudeta tersebut didalang oleh PKI.
Menaruh hati pada gerakan yang tertuju melawan pemimpin A
1.3.
Soekarno yang Bertanggungjawab
Berdasarkan laporan interogasi yang
mendalam terhadap Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno, Anthony Dake
mengajukan tesis bahwa Presiden Soekarno sendiri yang menyusun skenario
peristiwa Gestapu. Meskipun tidak digubris oleh para akademis, tesis ini
dipercaya oleh banyak kalangan, termasuk militer.
Ketika gerakan yang dipimpin
Oentoeng mulai beraksi, dan pada malam itu Soekarno diberitahui melalui surat
oleh Oentoeng, Soekarno tampaknya memutuskan untuk tidak melibatkan diri hingga
situasi menjadi jelas. Jadi, Soekarno tidak terlalu menyadari keterlibatannya.
Keterangan Widjanarko menunjukkan Soekarno cenderung menaruh hati pada gerakan
yang tertuju melawan pemimpin AD. Tetapi bukti ini tidak cukup untuk mendukung
kesimpulan Anthony Dake bahwa Soekarno mendalangi peristiwa Gestapu.
1.4.
Soeharto di balik Gestapu
Versi ini percaya bahwa Soeharto lah yang
sesungguhnya berada di balik rencana kudeta. Ada beberapa fakta yang berkaitan
dengan perannya. Soeharto adalah jenderal paling penting yang tidak tercantum dalam daftar nama yang harus
diculik. Selain itu Soeharto menguasai pasukan yang sebenarnya dapat digunakan
untuk menggagalkan percobaan kudeta. WF. Wertheim, sarjana terkemuka yang
menganut versi ini, mengatakan bahwa Soeharto mungkin memang telah bersekutu
dengan komplotan tersebut. Dalam teori ini, Sam mungkin adalah agen Soeharto
yang menyusun ke dalam PKI ketimbang orang PKI yang menjadi informan AD. WF.
Wertheim menunjukkan bahwa Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira
penting AD yang terlibat dalam peristiwa Gestapu.
Spekulasi mengenai peran Soeharto
dalam rencana dan pelaksaan peristiwa Gestapu muncul ketika ia membuat cerita
yang tidak konsisten mengenai perjumpaannya dengan Latief. Dalam versi ini
tidak ada bukti lain yang mendukung selain perjumpaan singkat Soeharto dengan
Latief di rumah sakit dan hubungan masa lalunya dengan beberapa “perwira
progresif” dari Jawa Tengah.
1.5.
Jaringan Intelijen dan CIA
Versi ini menyatakan, jeringan
intelijen AD sendiri lah yang memprakarsai, baik atas usaha sendiri maupun atas
bantuan agen-agen intelijen asing, khususnya Amerika Serikat dan China. Dengan
menggunakan dua transkip persidangan
Njono dan Oentoeng, Coen Holtzappel, yang mengembangkan madzhab ini,
menyimpulkan PKI maupun pemimpinnya, Aidit, tidak pernah membuat perjanjian
politik apapun dengan gerakana tersebut atau dengan anggota dan pemipin
gerakan.
Versi ini menyimpulkan taidak ada
bukti konkret dan independen yang menunjukkan bahwa adanya hubungan rahasia antara
Aidit dengan gerakan tersebut.
2. Studi-studi
tentang Peristiwa Gestapu
Periode 1964-1966 merupakan
tahun-tahun yang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Hal ini bisa dimengerti
karena studi atas periode itu dihalangi oleh berbagai faktor, mulai dari langka
sumber-sumber yang berkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun
tersebut, hingga alasan politik. Lebih dari itu, hampir seluruh studi terfokus
pada peristiwa Gestapu di pentas konflik nasional, atau pada derajat
keterlibatan PKI dan Presiden Soekarno maupun posisi Soeharto yang tidak jelas.
Studi-studi tersebut tidak mengulas dampak yang segera ditimbulkan oleh Gestapu
yaitu, pembunuhan massal.
Pada tahun 1966, setahun setelah
meletusnya peristiwa Gestapu, MPRS mensahkan suatu ketetapan yang melarang
studi dan penyebaran segala bentuk ajaran marxisme-leninisme- dan karena itu
juga PKI- kecuali untuk keperluan akademis, yang akan diatur lebih lanjut oleh
undang-undang.
Seperti yang diharapkan, pembaca
Fakta-fakta Sekitar Peristiwa Gestapu akan mendapatkan kesan yang kuat tentang
siapa yang jahat dan siapa yang baik. Sebagai alat propaganda, buku ini
tampaknya berhasil. Meski demikian, seri terbitan buku ini diragukan berpengaruh efektif pada
masyarakat, karena terutama ditujukan untuk militer dan diedarkan secara
terbatas. Pesan yang ingin disampaikan oleh buku ini, yang baru akan jelas
menjelang bagian akhir (dengan “bau” propaganda yang kuat), yakni :
1. Peristiwa
Gestapu bukan merupakan persoalan
internal AD.
2. Peristiwa
Gestapu merupakan “aksi petualangan” yang dilakukan oleh beberapa perwira
menengah yang berada di bawah pengaruh PKI melalui Biro Khususnya, perpanjangan
tangan PKI di tubuh Angkatan Bersenjata.
3. PKI
yang memprakarsai kudeta melalui para pewira yang berada di bawah pengaruhnya
itu.
4. PKI
meperlihatkan sifat jahatnyadengan mengulangi peristiwa Madiun 1948.
Keempat
tesis tersebut kemudian diikuti oleh beberapa karya “versi resmi” lainnya,
seperti karya Notosusanto.
Tesis utama Cornell Paper adalah
bahwa kudeta sebenarnya merupakan konflik internal AD. Tesis ini “secara
akademis” asli tetapi secara politis tidak, sebab cenderung mengarah pada
pandangan beberapa politisi kiri.
Pada tahun 1967 Nugroho Notosusanto
dan Ismail Saleh menerbitkan sebuah studi yang akhirnya menjadi (satu-satunya)
versi resmi peristiwa Gestapu. karya ini jelas dimaksudkan untuk menyanggah
argumen yang dilontarkan oleh Cornell Paper.
Setelah dua penerbit tersebut,
Cornell dan Nugroho, banyak studi yang diterbitkan pada periode tahun 1967
hingga tahun 1971. Setelah itu tidak banyak mengenai peristiwa Gestapu, tetapi
lebih banyak tentang Orde brau.
Arti penting Cornell Paper, dan
studi-studi lanjutan yang mengikuti kecenderungan karya ini, dapat dilihat
betapa seriusnya Pemerintah Indonesia menanggapinya. Pada tahun 1975 pemerintah
menugaskan sekelompok akademis untuk mempelajari dan menanggapi secara objektif
karya-karya peneliti asing tentang kudeta tersebut.
Sementara itu, pada tahun 1976
beredar luas salinan laporan CIA yang sudah dibuka (dideklafikasi). Laporan ini
dibagi menjadi empat bagian, yaitu tentang kudeta itu sendiri, gerakan para
tokoh kunci hingga mereka ditangkap atau kehilangan kekuasaannya, seperti
Soekarno, rencana kudeta, dan ulasan tertang berbagai peristiwa Gestapu.
Laporan ini di maksudkan “agar fakta-fakta berbicar sendiri”. Dua kesimpulan
terpenting dari laporan ini tersefokus
pada peran PKI dan Soekarnio dalam peristiwa Gestapu.
Selain beberapa kerya yang telah
disebut, tidak ada studi yang komprehensip di tinggkat daerah. Karena perhatian
terpusat lebih pada tingkat nasional,
maka studi-studi tersebut juga memfokuskan analisisnya pada konflik politik dan
mencoba mencari alasan-alasan politik di balik tindakan-tindakan politik.
Cornel Paper, sejauh ini, merupakan satu-satunya studi yang mencoba menjelaskan
ikatan kultural sebagai dasar tindakan politik.
3. Sumber-sumber
dan penelitian
Beberapa dekade setelah Peristiwa
Gestapu terjadi, masih sedikit yang dapat diceritakan tentang peristiwa itu,
apalagi tentang pembantaian massal packa kudeta. Ada beberapa kendala yang
bermain di sini, termasuk emosi dan politik. Melalui ketetapan MPRS (TAP MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966), ajaran maximsme-leninisme, PKI, dan seluruh topik yang
berkaitan dengan Peristiwa Gestapu dilarang untuk dipelajari. tetapi, Tap MPRS
ini memuat ketentuan bahwa studi ilmiah diijinkan, yang akan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.
Di luar Indonesia, cukup banyak
bahan yang tersedia bagi penelitian. Bahan-bahan ini tedapat di berbagai tempat
dan terbuka untuk diteliti seracara cermat. Pada awal tahun 1970-an, Letjen Ali
Murtopo meminta kepada para penulis Corrnell Paper untuk merevisi karya mereka.
Para penulis itu menjawab, sebagai ilmuwan mereka tidak apat mengubah pandang
mereka tanpa memiliki bukti-bukti baru. Berdasarkan alasan ini, serta
alasan-alasan lain yang tidak jelas AD mengirim beberapa salinan dan
bahan-bahan asli tentang peristiwa Gestapu.
Penelitian lapangan studi ini
berlangsung dalam kondisi seperti yang dilukiskan. Berbagai metode penelitian
diterapkan, mulai dari penelitian kepustakaan hingga pencarian berbagai dokumen
yang tersimpan di gudang publik gula (PG) yang sudah tak terurus, mulai dari
menafsirkan karya-karya skunder yang ada hingga sejarah lisan. Mengingat
penelitian lapangan yang dilakukan bersifat khusus, studi ini terutama
menyadarkan diri pada metode sejarah lisan.
Untuk menghndari kecemasan informan,
digunakan tema sejarah lokal secara luas dan tidak semat-mata fokus pada
pembunuhan massal. Strategi ini terbukti bermanfaat dalam dua hal. Pertama,
memudahkan akses untuk memperolh ijin dan menjangkau sumber-sumber resmi.
Kedua, memberi rel sejarah ke masa lalu.
Tahan yang paling sulit dalam
sejarah lisan ini adalah mencari anggota militer dan mereka yang selamat dari
pembantaian. Tahap yang sama sulitnya adalah menemukan survivor, anggota PKI
yang lolos dari pembantaian.
Selain bahan-bahan sejarah lisan,
peneliti ini juga memanfaatkan berbagai dokumen yang terdapat di berbagai
gudang PG setempat, atau dokumen pribadi tokoh setempat, bila tersedia.
Sebagian informan dalam dokumen tersebut diteria begitu saja, sebab tidak ada
alasan untuk memperlakukannya secra kritis.
4. Pembantaian
Massal: Rekonstruksi Sejarah yang Hilang
Satu tahun berlangsungnya
pembantaian massal 1965-1966, merupakan tahun terlupakan, bukan hanya dalam
sejarah Indonesia tetapi juga dalam sejarah dunia, tentang kekejaman yang luar
biasa, pembasmian, pembantaian yang sistematis, dan jenis-jenis pembunuhan
massal lainnya. Selain kendala-kendala penelitian sebagaimana telah dilukiskan,
Brackman mengemukakan beberapa faktor yang mengurangi perhatian terhadap topik
ini. Fantasi, fabel, dan mitos sangat berpengaruh dalam masyarakat Melayu;
faktor yang menambah kesulitan. Selain karena suburnya imajinasi rata-rata
orang melayu, sangat sulit memperkirakan besarnya jumlah korban pembantaian
atas alasan-alasan lain. Hampir tidak ada bukti berupa foto.
Dalam situasi ilmiah di mana kerja
lapangan sulit dilakukan dan dokumen-dokumen tertulis sangat jarang, tidak ada
peneliti yang berani mengambil resiko untuk melakukan studi tentang pembantaian
tersebut. Tetapi, pada tahun 1990, Robert Cribb menerbitkan “the Indonesian
killingh of 1965-1966”. Buku ini, yang merupakan kumpulan artikel, dokumen, dan
laporan saksi mata, menjadi karya pertama yang berhubungan dengan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di daerah.
Meskipun kya detail daerah, karya
Cribb mengandung kesalahan fatal yang bisa megarah pada analisis yang salah.
Salah satu contoh yang mencolok adalah dalam mengidentifikasi hierarki komando
militer.
Tetapi, terlepas dari
kelemahan-kelemahaannya, studi Cribb merupakan yang pertama dalam melihat
situasi daerah serta menerapkan pendekatan non-elite. Usaha ini, setidaknya,
untuk sementara, menutupi kesenjangan antara potret nasional dan daerah.
Dalam situasi ilmiah seperti ini,
pada tahun 1985-1987, Geoffrey Robinson melakukan penelitian lapangan yang
pertama kali tentang kekerasan di Bali. Rentang waktu yang dicakup meliputi
satu abad, tetapi bagian terpenting studi ini adalah eriode pembunuhan
1965-1966. Studi ini dipertahankannya sebagai disertai Ph.D. di Cornell
University pada tahun 1922, dan kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul
“the dark side of paradise: political violence in Bali”. Beberapa bagian dari
studi ini diterbitkan dalam berbagai publikasi lain, sebelum dan sesudah
penerbitan buku tersebut, dan semuanya hampir tanpa revisi.
Dengan kerangka struktural tersebut
Robinson mengulas pembantaian 1965-1966. Tetapi karena data-data sangat jarang,
ia menyandarkan diri terutama pada sumer-sumber sekunder. Robinson mengakui
banyak orang Bali yang takut berbicara atau nenulis tentang kudeta dan
peristiwa berdarah sesudahnya, sehingga sumber-sumbernya, tak terelakkan lagi,
jatuh dalam kategori “menurut si ini dan menurut si itu”.
Jika pembunuhan tersebut merupakan
operasi militer, studi ini tidak menelusuri prosedur dan tokoh-tokoh yang
menjalankan operasi. Juga yang tidak memadai adalah deskripsi dan analisis
mengenai land reform dan aksi-aksi sepihak yang terjadi sebelum pembantaian.
Ketika Robinson melakukan studi,
dalam waktu yang bersamaan, Iwan Gardono sodjatmiko meneliti persoalan yang
serupa. Studi yang bertitik tolak dari diskursus sosiologis. Kedua sarjana
tersebut melakukan studi yang serupa tapi tidak saling memanfaatkan diantara
keduanya.
Sebaliknya, melalui studi yang khas
sosiologis, Sudjatmiko menyajikan sebuah gambaran kompratif tentang Jawa Timur
dan Bali. Kemudian dengan memilih masing-masing tiga daerah di Jawa Timur dan
Bali ia menjelaskan sebab-sebab konflik dan dampak kebijakan penghancuran PKI
serta pembasmian terhadap pengikutnya setelah Peristiwa Gestapu. Sekalipun
modelnya kuat, studi Sudjatmiko mengandung beberapa kekurangan, baik
metodologis maupun teoretis.
Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, karya Geoffrey Robinson dan Iwan Sudjatmiko tentang pembunuhan
massal dan penghancuran PKI di Bali, bagaimana pun juga, telah memberi beberapa
penjelasan mengenai historiografi pembunuhan pasca Gestapu. Meskipun demikian,
kudua studi ini tetap belum bisa menujukkan hubungan antara pentas politik
nasional dan drama yang mengerikan di tingkat daerah. Jadi, studi ini
dimaksudkan untuk menutup lubang-lubang historiogrfi yang ditinggalkan oleh
berbagai karya yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar