Senin, 15 Januari 2018

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : HISTORIOGRAFI GESTAPU : SIAPAKAH PELAKUNYA?

                      HISTORIOGRAFI GESTAPU : SIAPAKAH PELAKUNYA?
1.      Lima Skenario
Dalam konteks ini, setidaknya dapat lima versi sebagai berikut.
1.1. PKI sebagai Dalang
                      Versi ini merupakan sejarah resmi. Menurut versi ini, yang dibangun berdasar alasan-alasan yang mudah dilihat, PKI lah dalang peristiwa Gestapu dan menjadi satu-satunya pihak yang harus dipersalahkan. Berdasarkan sejarah pemberontakan PKI pada tahun 1948, yang dikenal dengan peristiwa Madiun, versi ini berpendapat bahwa PKI secara sistematis telah membangun kekuatannya. Versi ini juga menyebutkan bahwa Pki bukan hanya berhasil mengilfiltrasi dan mengindroktrinasi kekuatan militer pro komunis tetapi juga berhsil mengarahkan mereka, khususnya prajurit non-perwira, untuk memeberontak terhadap kekuasaan yang sah. Versi ini, yang dipercaya dan diajarkan oleh tentara sebagai sejarah resmi Indonesia, diikuti oleh para ilmuwan dan tokoh-yokoh terkemuka. Tetapi, sikap-sikap akademis terhadap PKI dipengaruhi oleh berbagai opini yang dibentuk oleh berbagai peristiwa pada 1965-1966.
            Para PKI tampaknya keliru memperhitungkan beberapa faktor. Pertama, mereka beranggapan bahwa peristiwa Gestapu akan meningkatkan ketegangan dan keretakan di tubuh Angkatan Bersenjata, khususnya AD. Dalam kenyataannya ditmukan jenazah para jenderal justru menimbulkan efek bumerang bagi PKI. Hal ini diperkuat lagi dengan ketidakhadiran Presiden Soekarno pad upacara pemakaman para jenderal. Kedua, tanpa pengetahuan kemiliteran yang memadai, mereka salh memperhitungkan kekuatan batalyon-batalyon dan kompi-kompi yang terlibat dalam pertempuran yang sesungguhnya. Para pemimpin PKI keliru menduga persaingan dan keretakan di tubuh AD sebagi faktor yang berpotensi mendukung operasi mereka. Ketiga, para pemimpin PKI juga keliru memperhitungkan keteguhan AD dalam menyudutkan Soekarno ke posisi bertahan. Terakhir tidak ada diskusi pra-Gestapu tentang kemungkinan kalah dalam permainan politik tersebut.

1.2. Masalah Internal Angkatan Darat
            Versi kedua, yang sangat berlawan denga versi pertama, menginterpretasian bahwa kudeta dan aksi pembalasannya merupakan masalah internal AD. Dalam terbitan 2 Oktober 1965, sehari setelah pengumuman Oentoeng, surat kabar PKI harian rakjat menulis tajuk rencana yang isinya tidak hanya mendukung Gestapu tetapi juga menyatakan bahwa seluruh peristiwa itu murni sebagai masalah internal AD. Ada beberapa fakta kunci yang dianggap mendukung versi ini. Pertama, dan yang terpenting, mereka yang diculik dan para penculik adalah personel AD. Tidak orang sipil yang terlibat dalam peristiwa itu. Kedua, tidak masuk akal bila PKI berjudi dengan menyingkirkan ara jenderal melalui jalan kekerasan, sementara partai tersebut menikmati perkembangan dan kekuasaan yang sangat menguntungkan.
            Versi AD mengindektifikasi dua biang keladi yang berotak jahat. Pertama, Letkol Oentoeng, perwira yang sewaktu terjadi pemberontakan PKI di Madiun berjuang dipihak komunis. Kedua, Brigjen MS. Supardjo, perwira yang dikenal sebagai simpatisan komunis dan saat peristwa Gestapu meletus menjabat sebagai Komandan Kostrad di Kalimantan Barat. Versi ini diperkuat pula oleh peristiwa yang berlangsung di tubuh militer pada akhir tahun 1968. Ketika itu banyak prajurit dari sekuluh angkatan ditangkap dan dinyatakan terlibat dalam peristiwa Gestapu.
            Menurut versi ini, bukti yang diajukan dalam sidang-sidang Mahmillub, khususnya kesaksian para pewira yang terlibat, tidak membuktikan bahwa percobaan kudeta tersebut didalang oleh PKI. Menaruh hati pada gerakan yang tertuju melawan pemimpin A
1.3. Soekarno yang Bertanggungjawab
            Berdasarkan laporan interogasi yang mendalam terhadap Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno, Anthony Dake mengajukan tesis bahwa Presiden Soekarno sendiri yang menyusun skenario peristiwa Gestapu. Meskipun tidak digubris oleh para akademis, tesis ini dipercaya oleh banyak kalangan, termasuk militer.
            Ketika gerakan yang dipimpin Oentoeng mulai beraksi, dan pada malam itu Soekarno diberitahui melalui surat oleh Oentoeng, Soekarno tampaknya memutuskan untuk tidak melibatkan diri hingga situasi menjadi jelas. Jadi, Soekarno tidak terlalu menyadari keterlibatannya. Keterangan Widjanarko menunjukkan Soekarno cenderung menaruh hati pada gerakan yang tertuju melawan pemimpin AD. Tetapi bukti ini tidak cukup untuk mendukung kesimpulan Anthony Dake bahwa Soekarno mendalangi peristiwa Gestapu.
1.4. Soeharto di balik Gestapu
             Versi ini percaya bahwa Soeharto lah yang sesungguhnya berada di balik rencana kudeta. Ada beberapa fakta yang berkaitan dengan perannya. Soeharto adalah jenderal paling penting yang tidak  tercantum dalam daftar nama yang harus diculik. Selain itu Soeharto menguasai pasukan yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggagalkan percobaan kudeta. WF. Wertheim, sarjana terkemuka yang menganut versi ini, mengatakan bahwa Soeharto mungkin memang telah bersekutu dengan komplotan tersebut. Dalam teori ini, Sam mungkin adalah agen Soeharto yang menyusun ke dalam PKI ketimbang orang PKI yang menjadi informan AD. WF. Wertheim menunjukkan bahwa Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira penting AD yang terlibat dalam peristiwa Gestapu.
            Spekulasi mengenai peran Soeharto dalam rencana dan pelaksaan peristiwa Gestapu muncul ketika ia membuat cerita yang tidak konsisten mengenai perjumpaannya dengan Latief. Dalam versi ini tidak ada bukti lain yang mendukung selain perjumpaan singkat Soeharto dengan Latief di rumah sakit dan hubungan masa lalunya dengan beberapa “perwira progresif” dari Jawa Tengah.
1.5. Jaringan Intelijen dan CIA
            Versi ini menyatakan, jeringan intelijen AD sendiri lah yang memprakarsai, baik atas usaha sendiri maupun atas bantuan agen-agen intelijen asing, khususnya Amerika Serikat dan China. Dengan menggunakan dua transkip persidangan  Njono dan Oentoeng, Coen Holtzappel, yang mengembangkan madzhab ini, menyimpulkan PKI maupun pemimpinnya, Aidit, tidak pernah membuat perjanjian politik apapun dengan gerakana tersebut atau dengan anggota dan pemipin gerakan.
            Versi ini menyimpulkan taidak ada bukti konkret dan independen yang menunjukkan bahwa adanya hubungan rahasia antara Aidit dengan gerakan tersebut.
2.      Studi-studi tentang Peristiwa Gestapu
            Periode 1964-1966 merupakan tahun-tahun yang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Hal ini bisa dimengerti karena studi atas periode itu dihalangi oleh berbagai faktor, mulai dari langka sumber-sumber yang berkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, hingga alasan politik. Lebih dari itu, hampir seluruh studi terfokus pada peristiwa Gestapu di pentas konflik nasional, atau pada derajat keterlibatan PKI dan Presiden Soekarno maupun posisi Soeharto yang tidak jelas. Studi-studi tersebut tidak mengulas dampak yang segera ditimbulkan oleh Gestapu yaitu, pembunuhan massal.
            Pada tahun 1966, setahun setelah meletusnya peristiwa Gestapu, MPRS mensahkan suatu ketetapan yang melarang studi dan penyebaran segala bentuk ajaran marxisme-leninisme- dan karena itu juga PKI- kecuali untuk keperluan akademis, yang akan diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
            Seperti yang diharapkan, pembaca Fakta-fakta Sekitar Peristiwa Gestapu akan mendapatkan kesan yang kuat tentang siapa yang jahat dan siapa yang baik. Sebagai alat propaganda, buku ini tampaknya berhasil. Meski demikian, seri terbitan  buku ini diragukan berpengaruh efektif pada masyarakat, karena terutama ditujukan untuk militer dan diedarkan secara terbatas. Pesan yang ingin disampaikan oleh buku ini, yang baru akan jelas menjelang bagian akhir (dengan “bau” propaganda yang kuat), yakni :
1.      Peristiwa Gestapu bukan merupakan  persoalan internal AD.
2.      Peristiwa Gestapu merupakan “aksi petualangan” yang dilakukan oleh beberapa perwira menengah yang berada di bawah pengaruh PKI melalui Biro Khususnya, perpanjangan tangan PKI di tubuh Angkatan Bersenjata.
3.      PKI yang memprakarsai kudeta melalui para pewira yang berada di bawah pengaruhnya itu.
4.      PKI meperlihatkan sifat jahatnyadengan mengulangi peristiwa Madiun 1948.
Keempat tesis tersebut kemudian diikuti oleh beberapa karya “versi resmi” lainnya, seperti karya Notosusanto.
            Tesis utama Cornell Paper adalah bahwa kudeta sebenarnya merupakan konflik internal AD. Tesis ini “secara akademis” asli tetapi secara politis tidak, sebab cenderung mengarah pada pandangan beberapa politisi kiri.
            Pada tahun 1967 Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menerbitkan sebuah studi yang akhirnya menjadi (satu-satunya) versi resmi peristiwa Gestapu. karya ini jelas dimaksudkan untuk menyanggah argumen yang dilontarkan oleh Cornell Paper.
            Setelah dua penerbit tersebut, Cornell dan Nugroho, banyak studi yang diterbitkan pada periode tahun 1967 hingga tahun 1971. Setelah itu tidak banyak mengenai peristiwa Gestapu, tetapi lebih banyak tentang Orde brau.
            Arti penting Cornell Paper, dan studi-studi lanjutan yang mengikuti kecenderungan karya ini, dapat dilihat betapa seriusnya Pemerintah Indonesia menanggapinya. Pada tahun 1975 pemerintah menugaskan sekelompok akademis untuk mempelajari dan menanggapi secara objektif karya-karya peneliti asing tentang kudeta tersebut.
            Sementara itu, pada tahun 1976 beredar luas salinan laporan CIA yang sudah dibuka (dideklafikasi). Laporan ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu tentang kudeta itu sendiri, gerakan para tokoh kunci hingga mereka ditangkap atau kehilangan kekuasaannya, seperti Soekarno, rencana kudeta, dan ulasan tertang berbagai peristiwa Gestapu. Laporan ini di maksudkan “agar fakta-fakta berbicar sendiri”. Dua kesimpulan terpenting dari laporan ini  tersefokus pada peran PKI dan Soekarnio dalam peristiwa Gestapu.
            Selain beberapa kerya yang telah disebut, tidak ada studi yang komprehensip di tinggkat daerah. Karena perhatian terpusat lebih  pada tingkat nasional, maka studi-studi tersebut juga memfokuskan analisisnya pada konflik politik dan mencoba mencari alasan-alasan politik di balik tindakan-tindakan politik. Cornel Paper, sejauh ini, merupakan satu-satunya studi yang mencoba menjelaskan ikatan kultural sebagai dasar tindakan politik.
3.      Sumber-sumber dan penelitian
            Beberapa dekade setelah Peristiwa Gestapu terjadi, masih sedikit yang dapat diceritakan tentang peristiwa itu, apalagi tentang pembantaian massal packa kudeta. Ada beberapa kendala yang bermain di sini, termasuk emosi dan politik. Melalui ketetapan MPRS (TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966), ajaran maximsme-leninisme, PKI, dan seluruh topik yang berkaitan dengan Peristiwa Gestapu dilarang untuk dipelajari. tetapi, Tap MPRS ini memuat ketentuan bahwa studi ilmiah diijinkan, yang akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
            Di luar Indonesia, cukup banyak bahan yang tersedia bagi penelitian. Bahan-bahan ini tedapat di berbagai tempat dan terbuka untuk diteliti seracara cermat. Pada awal tahun 1970-an, Letjen Ali Murtopo meminta kepada para penulis Corrnell Paper untuk merevisi karya mereka. Para penulis itu menjawab, sebagai ilmuwan mereka tidak apat mengubah pandang mereka tanpa memiliki bukti-bukti baru. Berdasarkan alasan ini, serta alasan-alasan lain yang tidak jelas AD mengirim beberapa salinan dan bahan-bahan asli tentang peristiwa Gestapu.
           
            Penelitian lapangan studi ini berlangsung dalam kondisi seperti yang dilukiskan. Berbagai metode penelitian diterapkan, mulai dari penelitian kepustakaan hingga pencarian berbagai dokumen yang tersimpan di gudang publik gula (PG) yang sudah tak terurus, mulai dari menafsirkan karya-karya skunder yang ada hingga sejarah lisan. Mengingat penelitian lapangan yang dilakukan bersifat khusus, studi ini terutama menyadarkan diri pada metode sejarah lisan.
            Untuk menghndari kecemasan informan, digunakan tema sejarah lokal secara luas dan tidak semat-mata fokus pada pembunuhan massal. Strategi ini terbukti bermanfaat dalam dua hal. Pertama, memudahkan akses untuk memperolh ijin dan menjangkau sumber-sumber resmi. Kedua, memberi rel sejarah ke masa lalu.
            Tahan yang paling sulit dalam sejarah lisan ini adalah mencari anggota militer dan mereka yang selamat dari pembantaian. Tahap yang sama sulitnya adalah menemukan survivor, anggota PKI yang lolos dari pembantaian.
            Selain bahan-bahan sejarah lisan, peneliti ini juga memanfaatkan berbagai dokumen yang terdapat di berbagai gudang PG setempat, atau dokumen pribadi tokoh setempat, bila tersedia. Sebagian informan dalam dokumen tersebut diteria begitu saja, sebab tidak ada alasan untuk memperlakukannya secra kritis.
4.      Pembantaian Massal: Rekonstruksi Sejarah yang Hilang
            Satu tahun berlangsungnya pembantaian massal 1965-1966, merupakan tahun terlupakan, bukan hanya dalam sejarah Indonesia tetapi juga dalam sejarah dunia, tentang kekejaman yang luar biasa, pembasmian, pembantaian yang sistematis, dan jenis-jenis pembunuhan massal lainnya. Selain kendala-kendala penelitian sebagaimana telah dilukiskan, Brackman mengemukakan beberapa faktor yang mengurangi perhatian terhadap topik ini. Fantasi, fabel, dan mitos sangat berpengaruh dalam masyarakat Melayu; faktor yang menambah kesulitan. Selain karena suburnya imajinasi rata-rata orang melayu, sangat sulit memperkirakan besarnya jumlah korban pembantaian atas alasan-alasan lain. Hampir tidak ada bukti berupa foto.
            Dalam situasi ilmiah di mana kerja lapangan sulit dilakukan dan dokumen-dokumen tertulis sangat jarang, tidak ada peneliti yang berani mengambil resiko untuk melakukan studi tentang pembantaian tersebut. Tetapi, pada tahun 1990, Robert Cribb menerbitkan “the Indonesian killingh of 1965-1966”. Buku ini, yang merupakan kumpulan artikel, dokumen, dan laporan saksi mata, menjadi karya pertama yang berhubungan dengan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di daerah.
            Meskipun kya detail daerah, karya Cribb mengandung kesalahan fatal yang bisa megarah pada analisis yang salah. Salah satu contoh yang mencolok adalah dalam mengidentifikasi hierarki komando militer.
            Tetapi, terlepas dari kelemahan-kelemahaannya, studi Cribb merupakan yang pertama dalam melihat situasi daerah serta menerapkan pendekatan non-elite. Usaha ini, setidaknya, untuk sementara, menutupi kesenjangan antara potret nasional dan daerah.
            Dalam situasi ilmiah seperti ini, pada tahun 1985-1987, Geoffrey Robinson melakukan penelitian lapangan yang pertama kali tentang kekerasan di Bali. Rentang waktu yang dicakup meliputi satu abad, tetapi bagian terpenting studi ini adalah eriode pembunuhan 1965-1966. Studi ini dipertahankannya sebagai disertai Ph.D. di Cornell University pada tahun 1922, dan kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul “the dark side of paradise: political violence in Bali”. Beberapa bagian dari studi ini diterbitkan dalam berbagai publikasi lain, sebelum dan sesudah penerbitan buku tersebut, dan semuanya hampir tanpa revisi.
            Dengan kerangka struktural tersebut Robinson mengulas pembantaian 1965-1966. Tetapi karena data-data sangat jarang, ia menyandarkan diri terutama pada sumer-sumber sekunder. Robinson mengakui banyak orang Bali yang takut berbicara atau nenulis tentang kudeta dan peristiwa berdarah sesudahnya, sehingga sumber-sumbernya, tak terelakkan lagi, jatuh dalam kategori “menurut si ini dan menurut si itu”.
            Jika pembunuhan tersebut merupakan operasi militer, studi ini tidak menelusuri prosedur dan tokoh-tokoh yang menjalankan operasi. Juga yang tidak memadai adalah deskripsi dan analisis mengenai land reform dan aksi-aksi sepihak yang terjadi sebelum pembantaian.
            Ketika Robinson melakukan studi, dalam waktu yang bersamaan, Iwan Gardono sodjatmiko meneliti persoalan yang serupa. Studi yang bertitik tolak dari diskursus sosiologis. Kedua sarjana tersebut melakukan studi yang serupa tapi tidak saling memanfaatkan diantara keduanya.
            Sebaliknya, melalui studi yang khas sosiologis, Sudjatmiko menyajikan sebuah gambaran kompratif tentang Jawa Timur dan Bali. Kemudian dengan memilih masing-masing tiga daerah di Jawa Timur dan Bali ia menjelaskan sebab-sebab konflik dan dampak kebijakan penghancuran PKI serta pembasmian terhadap pengikutnya setelah Peristiwa Gestapu. Sekalipun modelnya kuat, studi Sudjatmiko mengandung beberapa kekurangan, baik metodologis maupun teoretis.

            Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, karya Geoffrey Robinson dan Iwan Sudjatmiko tentang pembunuhan massal dan penghancuran PKI di Bali, bagaimana pun juga, telah memberi beberapa penjelasan mengenai historiografi pembunuhan pasca Gestapu. Meskipun demikian, kudua studi ini tetap belum bisa menujukkan hubungan antara pentas politik nasional dan drama yang mengerikan di tingkat daerah. Jadi, studi ini dimaksudkan untuk menutup lubang-lubang historiogrfi yang ditinggalkan oleh berbagai karya yang telah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...