TOEAN
KEBOEN DAN PETANI
Politik
Kolonial dan Perjuangan Agraria
di
Sumatra Timur 1863 — 1947
Oleh:
Karl J. Pelzer
85/SP/01
Alih
bahasa : J. Rumbo
Disain
Sampul: Natasa T.
Judul
Asli : Planter and Peasant, colonial policy and the agrarian struggle in
East
Sumatera 1863-1947
Penerbit
: Sinar Harapan, Anggota IKAPI Jakarta, 1985
Cetakan
Pertama
Dicetak
oleh : CV. Muliasari
Halaman : 231
Bab
I
Keadaan
Sejarah Sumatra Timur
Selama
abad ke-17, ke-18, dan paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua
kerajaan terpenting di Sumatra. Aceh di ujung utara dan Siak di bagian tengah
pulau itu dipisahkan oleh sejumlah negara sungai kecil yang terletak di antara
sungai Tamiang di utara dan sungai Barumun Panai di selatan. Negara-negara
pantai timur ini yang terdiri dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara,
Asahan, Kualu, Panai, dan Bila yang diperebutkan oleh Aceh dan Siak. Bergantian
mereka mengaku berdaulat atas daerah-daerah tersebut Pada awal abad ke-17 Aceh
yang pegang kekuasaan, kemudian beralih kepada Siak pada akhir abad ke-18. Pada
permulaan abad ke-19 negara-negara antara Tamiang dan Barumun Panai mengakui
Sultan Siak sebagai raja mereka. Tak satu pun dari negara-negara pantai timur pernah
menarik perhatian yang serius negara-negara Eropa sebelum tahun 1820.
Inggrislah
yang pertama kali menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Sumatra
Timur. Bagian Sumatra yang sampai saat itu tak diacuhkan, mulai menjadi penting
pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang-barang ekspor Penang maupun
sumber barang-barang impor, terutama lada. Dalam bulan Mei 1820, sekretaris gubernur
Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang menulis surat kepada R. Ibbetson,
salah seorang anggota stafnya, ’’Gubernur dalam Dewan memandang bahwa waktunya
telah tiba kita berikhtiar memperoleh pengetahuan lebih luas dan mendalam
tentang pelabuhan-pelabuhan dan rakyat di daerah-daerah berdekatan ini, dan
bahkan untuk mengambil, beberapa keuntungan perniagaan yang tetap dari usaha
ini dengan langkah-langkah yang bijaksana.”
Dalam surat itu juga diberikan instruksi
terperinci untuk mensurvai pantai timur Tamiang di utara sampai ke Jambi di
selatan. Tetapi karena Ibbetson jatuh sakit, ia tidak jadi melaksanakan tugas
itu. Pada tahun 1822 pemerintah Penang mengirim kapal penjelajah Mautilus di
bawah pimpinan Letnan Rose dan Letnan Morseby untuk mensurvai pantai itu dan
soal-soal kenavigasian pantai tersebut serta mempersiapkan serangkaian
petunjuk-petunjuk pelayaran. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1823, John Anderson
diperintahkan untuk melaksanakan tugas yang terpaksa ditinggalkan Ibbetson itu.
Anderson meninggalkan Penang pada tanggal 9 Januari 1823 menuju Sumatra Timur
dan kembali tanggal 9 April tepat tiga bulan kemudian. Anderson cocok sekali
untuk tugas itu. Penguasaan bahasa Melayunya yang sangat lancar, suatu modal
yang tak temilai harganya, telah sangat memudahkan hubungan-hubungan pribadinya
dengan para pedagang Sumatra Timur yang secara teratur datang ke Penang. Hubungan-hubungan
ini ternyata merupakan sumber-sumber informasi yang penting. Beberapa dari
kenalannya juga ditemuinya selama misinya dan dalam berbagai segi turut
memberikan sumbangan bagi keberhasilannya. Dibekali surat-surat kantor Gubemur
untuk setiap penguasa, ia harus mengunjungi: Sultan Kejuruan Muda di Langkat,
Sultan Panglima di Deli, Sri Sultan Ahmut di Bulu Cina, Sultan Besar dari
Serdang,
Bendahara
di Batu Bara, Yang di Pertuan Asahan, dan Sultan Siak. Anderson berlayar ke
hulu-hulu sungai, daerah-daerah yang belum pemah ditempuh orang Barat Ia
menghimpun informasi yang banyak sekali mengenai sebagian Sumatra yang
sebelumnya benar benar
merupakan
daerah tak dikenal. Perairan yang dangkal dan kurangnya keterampilan
berlayar di pihak kapten kapal kicP ekspedisi Jessey memaksa Anderson membongkar
sauh di lepas pantai dan menggunakan sebuah kapal kecil untuk pelayaran
sungainya (hanya di Sungai Siak, kici itu dapat berlayar menuju hulu sampai di
pelabuhan sungai itu sendiri). Di berbagai tempat arus sungai yang deras membuat
pelayaran ke hulu dengan sampan kecil sangat berat dan lambat sehinggai
Anderson lebih suka berjalan kaki melalui jalan kecil sepanjang tepi sungai
dari satu kampung ke kampung lain. Anderson seminggu sampai sepuluh hari
menelusuri tiap sungai yang besar, mengadakan wawancara dengan
penguasa-penguasa setempat dan juga, apabila mungkin, dengan kepala-kepala
terkemuka dari distrik dan desa. Laporan Anderson, yang mencakup uraian tentang
perjalanannya secara terperinci dari hari ke hari dan sejarah berikut gambaran
tentang Pantai Sumatra Timur antara Tanjung Intan dan
Siak, adalah peristiwa penting dalam kepustakaan karena ia merupakan data
pertama yang sistematis mengenai geografi, ekonomi, etnologi dan politik dari
berbagai negara sepanjang pantai timur itu.
Kependudukan
Peta-peta
bahasa suku Sumatra memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang
berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan memisahkan Batak Karo dan
Batak Simalungun dari ‘perairan Selat Malaka. Akan tetapi, pada waktu kunjungan
Anderson, daerah pemukiman Batak Karo dan Batak Simalungun lebih mendekat ke
pantai, membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit daripada yang dilukiskan
pada peta-peta bahasa yang modern. Anderson menemukan bahwa hanya
kampung-kampung pada bagian sungai-sungai yang lebih ke hilir itulah yang
dihuni oleh masyarakat-masyarakat Islam yang berbahasa Melayu.
Selama
masa penelitiannya, Anderson menggunakan banyak sekali waktunya untuk masalah
jumlah penduduk, dan akhimya memperkirakan bahwa daerah-daerah antara Tanjung
Intan dan Siak dihuni oleh kira-kira 350.000 jiwa.
Pertanian
Pada
waktu kunjungan Anderson itu langkat deli dan Serdang sedang mengalami panen
besar hasil lada, tetapi karena rakyat Asahan baru saja mulai menanam lada,
adalah terlalu dini untuk mengatakan apakah tanah di Asahan cocok untuk
penanaman lada meskipun lada merupakan komuditi ekspor yang sudah lama di Aceh,
Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, tampaknya lada di Sumatera Timur adalah
tanaman yang relatif baru.
Lama
sebelum lada diperkenalkan, petani-petani ladang di Sumatra Timur telah
melakukan pembukaan dan membakar hutan-hutan lama atau belukar-belukar baru
selama musim kering untuk dijadikan perladangan padi selama musim hujan
berikutnya. Kemudian ladang-
ladang
ini pada tahun kedua dan mungkin juga pada tahun ketiga digunakan untuk menanam
umbi-umbian, sayur-sayur, tebu dan pisang, sementara ladang baru selalu dibuka
untuk menghasilkan padi. Ketika penanaman lada diperkenalkan, petani-petani
ladang hutan
itu
memadukannya ke dalam sistem pertanian tradisional mereka. Setelah selesai
panen padi, mereka akan memancangkan tongkat-tongkat ke dalam tanah pada
jarak-jarak yang diukur dengan cermat sebagai penyanggah batang-batang lada.
Sementara batang-batang lada
masih
muda, penanaman padi yang kedua, atau lebih sering, sayur-sayur, jagung, atau
tembakau dilakukan di tengah-tengah tanaman lada itu.
Pengamatan
Anderson mengenai penanaman tembakau di Deli sangat penting, karena tanaman
inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Inilah yang ia
katakan: Tembakau ditanam oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Batak. Mereka
menaburkan bibit-bibit di persemaian kecil, dan kemudian mencabut dan
menanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira dua kubit. Dalam
tempo empat bulan ia telah masak.
Organisasi Politik
Anderson
mendapat keterangan dari para pemuka Siak yang telah terlibat dalam perang di
Asahan, Deli dan kerajaan-kerajaan lain yang ditaklukkan oleh Siak bahwa mereka
belum memasuki daerah pedalaman kerajaan-kerajaan kecil ini sejauh yang sudah
dilakukan Anderson. Para pemuka kerajaan-kerajaan Sumatra Timur yang ditemui
Anderson di Siak telah datang ke sana untuk. membantu mendirikan sebuah monumen di atas kuburan almarhum raja. Sang raja menuntut jasa-jasa feodal ini dari
mereka sebagai jajahan Siak.
Adalah merupakan kebiasaan bagi semua kerajaan
sampai sejauh Langkat yang sungguh-sungguh atau hanya namanya saja menjadi
jajahan Siak, untuk mengirim sekali dalam tiga tahun, sejumlah perahu dan
tenaga manusia ke Siak, untuk memperbaiki kubu pertahanan, dan untuk melakukan kerja
bakti yang mungkin diperlukan. Setelah empat atau lima bulan, jika keadaan
tidak mendesak, mereka dalam keadaan menderita boleh pulang. Mereka tidak
menerima suatu apa pun, malahan mereka terpaksa mencari sendiri makanan dan
sebagainya. Para pemuka ini menyatakan keluh kesahnya itu kepada saya karena
mereka terpisah berbulan-bulan lamanya dari keluarga dan rumah mereka. Mengenai
Tamiang, Anderson melaporkan bahwa penguasanya sepenuhnya mengakui sultan Aceh,
meskipun penguasa Siak telah menaklukkan
Tamiang beberapa tahun sebelumnya dan masih menyatakan berdaulat atas negara itu.
Perjanjian London
Perjanjian
Inggris-Belanda di London, ditandatangani tanggal 17 Maret 1824 belum satu
tahun setelah Anderson kembali dari Sumatra memudarkan semua harapan para
pejabat dan para pedagang Penang yang semula berhasrat mendirikan pusat-pusat
pemasaran barang
di
Langkat, Deli, Serdang atau negara-negara lainnya sepanjang pantai timur
Sumatra. Tujuan peijanjian ini adalah untuk mengakhiri persaingan
Inggris-Belanda di Asia Tenggara. Berdasarkan perianiian ini Inggris
menyerahkan Bengkulu, begitu juga seluruh milik Perusahaan
Hindia Timur lainnya di Sumatra kepada Belanda dan mereka berjanji tidak akan mendirikan
suatu pemukiman di pulau itu atau menandatangani suatu perjanjian dengan siapa
pun di antara penguasa-penguasa di pulau itu. Sebagai gantinya Belanda
menyerahkan Malaka
beserta kantor-kantor dagang Belanda di India kepada Britania Raya dan berjanji
tidak akan mendirikan perusahaan apapun di Semenanjung Malaya dan tidak
mengikat perjajian apa pun dengan penguasa mana pun di daerah itu. Hal ini
menciptakan dua wilayah
pengaruh yang dipisahkan oleh Selat Malaka. Menyangkut pemiagaan, perjanjian
itu menetapkan bahwa Belanda akan menghentikan praktek monopoli perdagangan di
Nusantara.
Kedua
pihak lebih lanjut akan saling memberikan pelayanan antarbangsa yang paling
menyenangkan di daerah Malaka (Straits Settlement), Kepulauan Hindia Timur,
India dan Sri Langka. Pasal-pasal teritorial terbukti lebih efektif daripada
ketentuan ketentuan perniagaan. Pemisahan yang jelas dalam dua wilayah
kepentingan itu benar-benar melenyapkan salah satu penyebab utama ketegangan.
Namun selama beberapa puluh tahun kalangan-kalangan pedagang
Inggris di Penang dan Singapura menuduh Belanda telah gagal memenuhi secara
ketat ketentuan-ketentuan perjanjian itu. Kepada Belanda diberikan kebebasan di
Sumatra, kecuali di Aceh dan daerah-daerah taklukannya, sedangkan Belanda
mengakui kemerdekaan Aceh.
Bab
II
Keadaan
Geografis Sumatra Timur
Letak dan Luas
Dibatasi
oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis ditenggara dan Selat
Malaka di timur laut, luas Sumatra Timur dewasa ini meliputi 31.715 kilometer
persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Tetapi dari tahun 1873 sampai
1941, selama saat terjadinya perubahan bentuk ekonomi secara drastis yang
menjadi tujuan penelitian ini,
daerah Bengkalis dikelola sebagai bagian dari Sumatra Timur,sehingga menjadikan
’’pantai timur” yang terkenal itu suatu daerah administratif seluas 94.583
kilometer persegi atau kira-kira 20% dari luas seluruh wilayah pulau itu.11
Sampai 1887 kota Bengkalis telah menjadi markas pemerintahan Belanda untuk
seluruh pantai timur, dan sejak 1887 itu kedudukan pemerintah dipindahkan ke
kota baru Medan di jantung daerah onderneming yang sedang mekar.
Peta Alam
Sumatra
Timur membentang mulai dari titik batas di puncak-puncak barisan bukit (yang
dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga barisan Bukit Simanuk-manuk dan dari
sana berangsur-angsur menurun, menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke
dataran-dataran rendah
dan rawa-rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah
bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara
sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan, membagi Sumatra dalam
keseluruhan panjangnya dengan 1.650
kilometer. Dilihat dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat
daripada ke pantai timur pulau Sumatra, sistem Bukit Barisan itu-mengarah dari
barat laut ke tenggara, begitu pun arah letak pulau itu secara keseluruhan.
Kenyataan ini diabaikan dalam pemakaian istilah-istilah umum
utara-selatan-barat-timur terhadap pulau itu.
Bab
III
Nienhuys
Dan Para Perintis Onderneming
Di
antara penumpang kapal Josephine ketika ia membongkar sauh di kuala
sungai Deli pada tanggal 6 Juli 1863 terdapat Jacobus Nienhysdan wakil-wakil
perusahaan dagang J.F. van Leeuwen Co., para pemilik kapal itu. Peranan
perusahaan tembakau Belanda dari Surabaya itu
berakhir kira-kira tiga minggu kemudian dengan kembalinya kapal Josephine ke
Jawa, tetapi bagi Jacobus Nienhuys ini adalah suatu hari bersejarah, baik dalam
hidupnya maupun dalam perkembangan Sumatra Timur. Di atas kapal itu terdapat
juga pangeran Said Abdullah Ibnu
Umar Bilsagih, pangeran pengangkatan sendiri, yang menceritakan bahwa tembakau
bermutu tinggi dapat ditanam di Medan dengan jumlah besar. Cerita itu telah
membawa pihak yang berminat ke sana.
Pada
tanggal 27 September 1861 Nienhuys, seorang pengusaha onderneming Belanda yang
masih muda, telah diberi kuasa oleh perusahaan dagang Pieter van den Arend
& Consortium, sebuah asosiasi yang dibentuk kurang dari seminggu sebelumnya
oleh empat pedagang Rotterdam
yang berminat memperoleh perkebunan tembakau di Jawa. Perintah-perintah yang
diberikan kepada Nienhuys adalah untuk memilih sebuah perkebunan kecil seluas
75 sampai 150 hektar dalam suatu daerah yang mempunyai jalan masuk dengan mudah
ke pelabuhan dan masih mempunyai daerah sisa bagi kemungkinan perluasan masa
mendatang dan dengan penduduk yang mengerti penanaman tembakau. Perkebunan
seperti itu ternyata sangat sukar ditemukan dan Nienhuys dalam tahun 1862 hanya
mampu membeli tembakau sekedar lebih banyak bagi para majikannya. Pada tahun
berikutnya, atas desakan Konsorsium itu, Nienhuys telahmenyewa perkebunan
’’Tempeh” dekat Lumajang di keresidenan Besuki di Jawa Timur. Tetapi setelah
beberapa minggu, ia mengangkat seorang manajer untuk perkebunan itu dan
memutuskan untuk meneruskan kembali mencari lahan tembakau yang cocok2). Pada
saat ini
perusahaan dagang Surabaya, J.F. van Leeuwen & Co., sahabat sahabat dagang
dari P. van den Arend, mengundang Nienhuys menemui pangeran Said Abdullah
dengan maksud untuk mendengarkan ceritanya yang menyala-nyala bahwa Deli adalah
suatu daerah penghasil tembakau yang potensial.
Pengiriman
tembakau dalam jumlah kecil yang pertama oleh Nienhuys tiba di Rotterdam dalam
bulan Maret 1864, dan van den Arend yang sangat terkesan dengan contoh yang
dapat dihasilkan Deli ini,segera menulis kepada Nienhuys, menambah kredit baru
sejumlah 5.000 pound dan menyarankan agar seluruh tenaganya dicurahkan untuk pengembangan
lebih lanjut proyek percontohan itu. Tetapi ketegangan dalam hubungan antara
Nienhuys dan kantomya di Negeri Belanda telah nampak dalam surat-surat
timbal-balik yang berjalan dengan lambat. Nenhuys yang tidak
mempedulikan sikap hati-hati van den Arend terhadap kekurangan sumber-sumber
modal, terus mengirim laporan-laporan perdagangan garamnya dan
rencana-rencananya untuk menanam kopi dan cokelat dalam usaha bersama dengan
Sultan Deli. Dari Rotterdam datang surat-surat dalam mana van den Arend terus
mengingatkan bahwa keinginan Konsorsium itu hanyalah dalam perdagangan tembakau.
Ketika panen tembakau tahun 1864 terbukti mengecewakan, Nienhuys dengan
terang-terangan meminta sumbangan dana yang besar, atau suatu persetujuan untuk
mengizinkannya mengambil alih perkebunan Deli dari para majikannya di
Rotterdam. Konsorsium itu enggan menyediakan dana yang diminta dan pada waktu
yang sama memberitahukan Nienhuys bahwa perusahaan
dagang Prancis-Swiss Matthieu and Co. di Singapura telah diberikan wewenang
untuk membayar 25 gulden per pikul untuk tembakau vane diserahkan di Singapura.
Bab
IV
Pertumbuhan
Sumatra Timur:
Pengusaha
Onderneming
Dan
Petani, Kependudukan Dan Perhubungan
Pada
akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, kekeliruan pendapat yang terdahulu
ini terungkap. Percobaanpercobaan memperlihatkan bahwa tembakau gulung dengan
mutu yang baik dapat dihasilkan di atas lahan kosong yang pemah ditumbuhi alang-alang
dan rumput-rumput lainnya, meskipun warnanya aeak lebih muda daripada tembakau
yang berasal tanah hutan. Tetapi panen yang lebih baik dari tembakau bermutu
tinggi masih dapat dihasilkan di
atas lahan yang sudah dibiarkan kosong di bawah semak-semak atau hutan belukar
selama suatu masa tidak kurang dari tuiuh atau delapan tahun. Bahkan dalam
keadaan-keadaan tertentu masa-masa kosong lebih lama sampai 12 tahun atau
lebih, akan lebih disukai Tetapi dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah
terutama masalah luas tanah perkebunan bersangkutan.
Sekarang
kembali ke tahun masa tanam pada suatu onderneming tembakau. Sementara
persiapan lahan masih berjalan, tempat-tempat pembibitan telah dipersiapkan dan
bibit tembakau telah disemaikan dalam tanah selang-seling beberapa hari, supaya
sesuai dengan waktu pada saat bibit-bibit yang sudah tumbuh itu dipindahkan dan
ditanam kembali. Masa tanam bibit diulur sampai dua bulan. Pemindahan
bibit-bibit dari tempat-tempat persemaian ke kebun tanah rendah berlangsung
setelah 40 sampai 50 hari, dan setelah 45 sampai 55 hari di perkebunan tanah
tinggi yang suhunya di malam hari sangat rendah Sementara bibit berada di
tempat-tempat persemaian, dan kemudian apabila sudah dipindahkan ke kebun, kewaspadaan
terbesar harus dijalankan untuk melindungi tembakau terhadap penyakit pes turn buhan
dan pes binatang, karena daun yang berbintik atau berluhana diapkir sebagai pembungkus
cerutu.
Pada
masa-masa permulaan, seperti telah disebutkan terdahulu, para pengusaha
onderneming memetik semua daun sekaligus, tetapi kemudian mengubahnya dengan
sistem memetik secara berangsur, dua atau tiga lembar pada satu waktu, mulai
dengan apa yang dinamakan daun-daun
tanah (empat sampai enam)4) dan, akhirnya, daun-daun puncak (tiga atau empat).
Panen daun tembakau mulai kira-kira 44 sampai 50 hari setelah penanamannya di
kebun-kebun tanah rendah; di perkebunan-perkebunan tanah tinggi tanaman-tanaman
itu memerlukan beberapa hari lebih lama. Meskipun metode panen yang memetik daun
secara berangsur itu lebih mahal daripada memotong sekaligus seluruh tanaman,
namun metode ini memberikan keuntungan yang besar karena hasil panennya lebih
tinggi. Keuntungan yang lebih itu diperoleh dalam jumlah daun; kehilangan berat
selama proses pengeringan lebih kecil; setiap daun dipanen hanya pada saatnya yang
tepat; daun-daun mengering lebih cepat apabila ditangani sendiri-sendiri, yang
berarti bahwa lama pengeringan dapat dicapai hampir dua
minggu lebih cepat daripada jika semua daun yang dipetik sekaligus digantungkan
di gudang akhirnya, pembuntalan daun-daun itu berlangsung pada tingkat yang
lebih cepat, karena daun-daun dari golongan yang sama tetap terkumpul jadi
satu.
Dalam
pola ini, sebagaimana ia berkembang setelah kira-kira tahun 1890, pihak
pengusaha onderneminglah yang seluruhnya menguasai lahan itu. Dialah yang
menentukan cara penggunaan dan jumlah penggunaan, jenis panenan yang akan
ditananam, dan caranya harus menanam.
Meskipun seorang petani menghendakinya, ia tidak akan diizinkan untuk
mengalihkan lahan tembakau menjadi persawahan air. Para petani harus mentaati
pengusaha onderneming itu dan akhirnya dalam beberapa tahun tertentu, si tani
terpaksa menanam panen
pangannya bermil-mil jauhnya dari kampungnya. Ini berarti penderitaan berjalan
kaki hilir-mudik antara kampung dan jaluran setiap hari selama minggu-minggu
yang sibuk ketika ladang itu memerlukan perhatian karena penanaman, penyiangan,
penjagaan, atau panen. Lahan satu-satunya yang sepenuhnya berada di bawah hak penguasaan
si petani adalah lahannya sendiri di lingkungan kampungnya; tetapi di bawah
hukum waris yang berlaku, tanah-tanah kampung itu selama puluhan tahun telah
dibagi-bagi berulang kali sehingga bidang-bidang tanah itu telah menjadi sangat
kecil. Ini adalah petunjuk yang jelas tentang perkembangan tekanan penduduk
yang semakin bertambah di lingkungan kampung-kampung itu.
Pertumbuhan Industri Teh, Kelapa
Sawit, dan Serat
Teh
pertama ditanam di sebidang tanah percobaan di Onderneming Rimbun di Deli Hulu
dalam tahun 1898, tetapi proyek tersebut nampaknya tidak memberi harapan dan
karena itu tidak diteruskan. Seorang onderneming Swis, A. Ris, layak menerima
penghargaan karena ia telah membuktikan kemungkinan komersial penanaman teh di
Sumatra Timur. Antara tahun 1910 dan 1920, modal Jerman dan Inggris telah
mengembangkan onderneming-onderneming teh di sekeliling Pematang Siantar.
Kepentingan-kepentingan Inggris diwakili oleh Rubber Plantation Inestment
Trust” , yang telah memperoleh daerah-daerah konsensi yang luas dari raja-raja
Simalungun, terutama dari Raja Pematang Siantar dan Raja Tanah Jawa.10)
Handels-Vereeniging Amsterdam mengikuti contoh para pengusaha onderneming teh
Jerman dan Inggris dan memulai pengembangan beberapa perkebunan teh yang besar
setelah tahun 1918. Pencaplokan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun dalam tahun
1907 telah merintis jalan bagi perluasan pertanian onderneming ke tanah-tanah
pegunungan Simalungun.
Kira-kira
pada waktu yang sama ketika tanaman teh menjadi tanaman penghasilan yang baru
bagi onderneming, percobaan-percobaan komersial yang pertama dibuat dengan
kelapa sawit Para perintis onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari
Jerman, K Schadt, yang
menanam pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya, Tanah Itam Ulu, dan
pengusaha onderneming Belgia, Adrien Hallet, yang menanam kelapa sawit di
Onderneming Pulau Raja di Asahan. Sebelum tahun 1911, pohon-pohon kelapa sawit
ditanam semata-mata hanya sebagai pohon-pohon hiasan di perkebunan-perkebunan.
Semua palem-palem hiasan ini, yang sangat cocok dengan iklim Sumatra Timur, adalah
keturunan dari empat jenis pohon palem yang telah diterima Kebun Raya Bogor
dalam tahun 1848.U) Sangat mengherankan bahwa
para pengusaha onderneming tembakau, yang sangat berputusasa dalam tahun
1880-an dalam menemukan suatu jenis tanaman yang cocok untuk mengalihkan
lahan-lahan tembakau yang mereka tinggalkan, telah mengabaikan kesempatan yang
diberikan oleh kelapa sawit ini. Namun sangat menarik untuk dicatat bahwa
perkebunan-perkebunan kelapa
sawit dimulai hampir serentak di Afrika Barat dan Sumatra. Sebelum itu, minyak
kelapa sawit dan biji-biji kelapa sawit yang sampai di Eropa semuanya berasal
dari perkebunan-perkebunan rakyat di Afrika Barat.
Bab
V
Politik
Agraria: Usul-usul Pembaharuan dan
Dampaknya
Terhadap Masyarakat
Peraturan
Pemerintah (Regeerings Reglement, RR) 1854, Traktat 1858 dengan
Kesultanan Siak, dan perjanjian-perjanjian politik 1862 dengan daerah-daerah
taklukan Siak dan perjanjian tahun-tahun
berikutnya membuka jalan bagi para pengusaha onderneming itu. Para raja
menerima kewajiban untuk mendorong pengembangan ondememing-ondememing, dengan
ketentuan bahwa Sultan Siak tidak diizinkan menyewakan tanah pertanian kepada
orang-orang bukan Indonesia tanpa persetujuan lebih dahulu pejabat-pejabat
pusat di Batavia sedangkan
daerah-daerah taklukan Siak hanya memerlukan persetujuan Residen Riau. Sampai
tahun 1873, Siak dan daerah-daerah taklu kannya berada di bawah wewenang
Residen Riau. Dalam tahun itu Siak dan daerah-daerah
taklukannya berpisah menjadi
Keresidenan Pantai Timur Sumatra dengan kota Bengkalis di Pulau
Bengkalis sebagai tempat kedudukan residen. Akhirnya dalam tahun 1887 tiga tahun
setelah Sultan Siak melepaskan segala tuntutan politiknva terhadap
kerajaan-kerajaan kecil Sumatra
Timur, kantor Residen Sumatera
Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan, ibu kota baru yang berkembang dengan
pesat di persimpangan sungai Deli di Babura.
Kontrak-kontrak
tanah Tanah sebelum
1877
Selama 10 sampai 15 tahun pertama banyak sekali percobaan dan improvisasi berlangsung di Sumatra Timur. Setiap orang harus
belajar melalui percobaan dan kesalahan - para penguasa, para taklukan dan
rakyat mereka, administratur-administratur Belanda dan para pengusaha
onderneming itu. Pejabat-pejabat Belanda membutuhkan beberapa tahun untuk
menentukan perbatasan kerajaan-kerajaan kecil itu dan untuk menyelesaikan
tuntutan-tuntutan wilayah sengketa yang timbul pada saat tanah menjadi sumber
penghasilan bagi para raja dan dengan demikian menjadi lebih tinggi nilainya
daripada sebelumnya. Selanjutnya perundingan-perundingan tentang kontrak yang
menuju pada pemberian konsesi-konsesi tanah menjadi suatu pengalaman baru bagi
raja-raja itu. Kerajaan Deli adalah wilayah yang paling mula bagi
pengusahapengusaha onderneming yang pertama. Penasa kerajaan kecil inilah yang
memberikan konsesi-konsesi pertanian yang pertama. Perlu diketahui bahwa pada
waktu Nienhuys tiba di Labuan, Sultan Deli hanya mempunyai hubungan
yang sangat terbatas dengan staf pegawai Hindia Belanda dan mengetahui lianya sedikit atau tidak sama sekali
tentang
politik agraria yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
Oleh
karena belum ada contoh, tidaklah mengherankan bahwa kontrak-kontrak konsesi
itu yang ditulis selama 12 tahun pertama sangatberbeda-beda. Beberapa konsesi
berlaku untuk 99 tahun, yang lainlain untuk 70 atau 75 tahun. Kontrak-kontrak
pertama memberikan konsesi-konsesi
bebas sewa; sebaliknya sultan menganggap bea ekspordan impor sebagai imbalan
yang layak, atau ia mengutip pajak kepala tahunan per buruh yang dipekerjakan.
Sebuah kontrak yang ditandatangani tahun 1870 menyatakan pungutan sewa bukan
dikenakan pada
seluruh konsesi melainkan hanya pada tanah yang benar benar ditanami. Mengenai
luasnya konsesi, tidak jelas pada kontrak-kontrak awal karena batas-batas tanah
tidak disurvai sebelum penandatanganan kontrak-kontrak itu. Sesuai dengan hukum
yang berlaku, sultan memberikan pengusaha onderneming hak untuk membuka dan
menanami tanah kosong. Karena penghasilan sultan tergantung kepada luas
tanah yang dikembangkan oleh pengusaha onderneming, maka kontrak-kontrak itu
memerinci luas tanah yang harus dibuka dalam jangka waktu lima tahun. Perincian
ini bermaksud untuk mencegah pembatalan konsesi kecuali untuk jumlah luas yang
benar-benar ditanami. Kontrak Mabar-Deli Tua tertanggal 11 Juni 1870,
ditandatangani oleh Sultan Deli dan Maskapai Deli, menyepakati pembukaan 2.000
bau dalam waktu lima tahun. Tidak dipenuhinya syarat ini akan membuat kontrak
itu tidak berlaku lagi kecuali untuk tanah yang benar-benar dibuka. Sebaliknya,
pemenuhan syarat tersebut memberikan kepada onderneming hak lima tahun lagi
untuk membuka tanah tambahan dalam konsesi yang sama. Pada akhir jangka lima
tahun kedua Maskapai Deli telah memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah
yang sudah dibuka dan ditanami.
Kesimpulan
BUKU Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria sepintas merupakan sejarah perkembangan perkebunan besar pada
masa kolonial Belanda di Sumatera
Timur. Tetapi nilai intelektual (intellectual value) buku ini berubah
apabila pembaca mengaitkannya
dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk membangun perkebunan baruserta problem sosial-budaya yang timbul di
daerah-daerah yang terkena program itu.
Seperti halnya
pemerintah saat ini, pemerintah kolonial Belanda juga melihat perkebunan
merupakan sumber penghasil devisa yang potensial. Berbagai kebijaksanaan yang
berkaitan dengan politik ekonomi maupun agraria telah diciptakan pemerintah
kolonial untuk menunjang keberhasilan usaha perkebunan itu. Ditinjau dari segi
ekonomi regional, pengembangan perkebunan besar di Sumatera Timur membawa
dampak positif.
Infrastruktur baru,
seperti jalan kereta api, yang juga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi
masyarakat pribumi dibangun. Tetapi seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan
di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan
politik itu bersumber pada persoalan
agraria, yakni perkosaan
hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik
perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap
petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi
ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka.
Mereka, para petani itu,
harus menghadapi aliansi tiga
kekuatan, yakni Sultan,
pemerintah kolonial, dan pemilik
perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun
berusaha mempertahankan tanah mereka. Tercatat dalam hal ini pemberontakan petani Batak Karo terhadap
keputusan sepihak Sultan Deli untuk menyewakan tanah mereka pada perkebunan.
Para petani Batak Karo mengajukan tiga persyaratan untuk mengizinkan tanah mereka disewa perkebunan. Syarat itu
adalah tetap cukup tanah dalam
pemilikan mereka untuk perladangan huma, pohon-pohon buah mereka dan harta benda lainnya tetap dihormati, dan mereka tidak akan dicegah oleh orang-orang
Eropa itu untuk menggarap kebun-kebun ladang baru dan
ladang-ladang padi (halaman
95).
Problem agraria yang
dihadapi pemerintah kolonial dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Timur
juga dihadapi pemerintah Indonesia pada saat ini. Pengembangan program PIR
sering terhambat, karena terdampar pada persoalan perolehan tanah. Sama seperti
pada masa kolonial, penduduk masih melihat bahwa tiada ada tanah kosong di
daerahnya. Karena itu, mereka sering mengajukan tuntutan ganti rugi bagi tanah
yang terkena proyek. Sementara itu, pemerintah memutuskan untuk tidak membayar
ganti rugi.
Sebagai alternatifnya
pemerintah menjadikan bekas pemilik lahan itu sebagai peserta proyek PIR. Tetapi alternatif ini pun
masih sering belum memuaskan petani setempat, sehingga problem agraria itu
belum dapat diselesaikan secara tuntas. Problem agraria lain yang dihadapi
pemerintah Indonesia adalah bagaimana menghadapi petani peladang. Pada masa
kolonial, pemilik perkebunan telah mendesak pemerintah Belanda untuk
mengarahkan mereka itu menjadi petani tetap. Alasannya, pertanian perladangan
"sangat mengganggu" kesuburan tanah. Tetapi, sebenarnya, pemilik
perkebunan menganggap para peladang itu saingan mereka dalam memperoleh tanah,
karena usaha tani peladangan adalah suatu usaha tani yang ekstensif.
"Konflik"
seperti ini masih juga terjadi dalam proyek PIR, yang ingin dikembangkan
pemerintah di Kalimantan. Seperti halnya pemerintah kolonial, pemerintah
Indonesia juga menghadapi kesulitan mengarahkan petani peladang menjadi petani
tetap. Ini disebabkan oleh kondisi agronomi setempat membuat sistem pertanian
perladangan menjadi sistem pertanian yang paling cocok di daerah itu. Dalam
program PIR, pemerintah Indonesia telah mengikutkan pula bekas petani peladang.
Tetapi problem akan
muncul lagi apabila lahan pangan, yang tidak cukup luas dari ukuran petani
peladang, yang disediakan proyek
PIR menurun kesuburannya. Apabila ini terjadi, food security bekas
petani peladang akan terganggu. Ketakutan akan terganggunya food security
inilah, menurut saya, yang melatarbelakangi rasa tidak senang petani Karo di Sumatera Timurpada masa kolonial
terhadap perkebunan. Dan asumsi ini ternyata benar.
Menurut Pelzer banyaknya
tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur
mengalami problem pangan (halaman
143). Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan
perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan
perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat
operasionalnya aparat pemerintah kolonial banyak juga yang peka terhadap
problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik
agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas
mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan.
Pelzer menyebutkan
beberapa kasus tentang pejabat kolonial setempat yang menentang kebijaksanaan
resmi pihak perkebunan yang dianggap merugikan petani setempat. Anehnya,
pemerintah kolonial di Batavia membiarkan pejabat yang melindungi hak petani
itu. Sementara itu, pemerintah kolonial di Batavia juga sering mengadakan
komisi-komisi pencari fakta, apabila terjadi suatu peristiwa penting di daerah
perkebunan atau ada laporan tentang kebijaksanaan perkebunan yang merugikan
petani. Adanya komisi-komisi ini, yang rekomendasinya sering digunakan
pemerintah untuk mengubah kebijaksanaan, dan kepekaan pejabat daerah terhadap
problem petani dapat mencegah keresahan sosial di daerah perkebunan berkembang
menjadi gerakan sosial yang mengakibatkan destabilisasi politik. Loekman
Soetrisno
Ini bukan resensi, juga bukan ringkasan yang baik, tapi sekedar cuplikan buku.
BalasHapus