Senin, 15 Januari 2018

Resensi Buku Toean Kebun dan Petani

TOEAN KEBOEN DAN PETANI
Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria
di Sumatra Timur 1863 — 1947
Oleh: Karl J. Pelzer
85/SP/01
Alih bahasa : J. Rumbo
Disain Sampul: Natasa T.
Judul Asli : Planter and Peasant, colonial policy and the agrarian struggle in
East Sumatera 1863-1947

Penerbit : Sinar Harapan, Anggota IKAPI Jakarta, 1985
Cetakan Pertama
Dicetak oleh : CV. Muliasari
Halaman : 231
 Bab I
Keadaan Sejarah Sumatra Timur

Selama abad ke-17, ke-18, dan paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua kerajaan terpenting di Sumatra. Aceh di ujung utara dan Siak di bagian tengah pulau itu dipisahkan oleh sejumlah negara sungai kecil yang terletak di antara sungai Tamiang di utara dan sungai Barumun Panai di selatan. Negara-negara pantai timur ini yang terdiri dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Asahan, Kualu, Panai, dan Bila yang diperebutkan oleh Aceh dan Siak. Bergantian mereka mengaku berdaulat atas daerah-daerah tersebut Pada awal abad ke-17 Aceh yang pegang kekuasaan, kemudian beralih kepada Siak pada akhir abad ke-18. Pada permulaan abad ke-19 negara-negara antara Tamiang dan Barumun Panai mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Tak satu pun dari negara-negara pantai timur pernah menarik perhatian yang serius negara-negara Eropa sebelum tahun 1820.

Inggrislah yang pertama kali menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Sumatra Timur. Bagian Sumatra yang sampai saat itu tak diacuhkan, mulai menjadi penting pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang-barang ekspor Penang maupun sumber barang-barang impor, terutama lada. Dalam bulan Mei 1820, sekretaris gubernur Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang menulis surat kepada R. Ibbetson, salah seorang anggota stafnya, ’’Gubernur dalam Dewan memandang bahwa waktunya telah tiba kita berikhtiar memperoleh pengetahuan lebih luas dan mendalam tentang pelabuhan-pelabuhan dan rakyat di daerah-daerah berdekatan ini, dan bahkan untuk mengambil, beberapa keuntungan perniagaan yang tetap dari usaha ini dengan langkah-langkah yang bijaksana.”
 Dalam surat itu juga diberikan instruksi terperinci untuk mensurvai pantai timur Tamiang di utara sampai ke Jambi di selatan. Tetapi karena Ibbetson jatuh sakit, ia tidak jadi melaksanakan tugas itu. Pada tahun 1822 pemerintah Penang mengirim kapal penjelajah Mautilus di bawah pimpinan Letnan Rose dan Letnan Morseby untuk mensurvai pantai itu dan soal-soal kenavigasian pantai tersebut serta mempersiapkan serangkaian petunjuk-petunjuk pelayaran. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1823, John Anderson diperintahkan untuk melaksanakan tugas yang terpaksa ditinggalkan Ibbetson itu. Anderson meninggalkan Penang pada tanggal 9 Januari 1823 menuju Sumatra Timur dan kembali tanggal 9 April tepat tiga bulan kemudian. Anderson cocok sekali untuk tugas itu. Penguasaan bahasa Melayunya yang sangat lancar, suatu modal yang tak temilai harganya, telah sangat memudahkan hubungan-hubungan pribadinya dengan para pedagang Sumatra Timur yang secara teratur datang ke Penang. Hubungan-hubungan ini ternyata merupakan sumber-sumber informasi yang penting. Beberapa dari kenalannya juga ditemuinya selama misinya dan dalam berbagai segi turut memberikan sumbangan bagi keberhasilannya. Dibekali surat-surat kantor Gubemur untuk setiap penguasa, ia harus mengunjungi: Sultan Kejuruan Muda di Langkat, Sultan Panglima di Deli, Sri Sultan Ahmut di Bulu Cina, Sultan Besar dari Serdang,
Bendahara di Batu Bara, Yang di Pertuan Asahan, dan Sultan Siak. Anderson berlayar ke hulu-hulu sungai, daerah-daerah yang belum pemah ditempuh orang Barat Ia menghimpun informasi yang banyak sekali mengenai sebagian Sumatra yang sebelumnya benar benar
merupakan daerah tak dikenal. Perairan yang dangkal dan kurangnya keterampilan berlayar di pihak kapten kapal kicP ekspedisi Jessey memaksa Anderson membongkar sauh di lepas pantai dan menggunakan sebuah kapal kecil untuk pelayaran sungainya (hanya di Sungai Siak, kici itu dapat berlayar menuju hulu sampai di pelabuhan sungai itu sendiri). Di berbagai tempat arus sungai yang deras membuat pelayaran ke hulu dengan sampan kecil sangat berat dan lambat sehinggai Anderson lebih suka berjalan kaki melalui jalan kecil sepanjang tepi sungai dari satu kampung ke kampung lain. Anderson seminggu sampai sepuluh hari menelusuri tiap sungai yang besar, mengadakan wawancara dengan penguasa-penguasa setempat dan juga, apabila mungkin, dengan kepala-kepala terkemuka dari distrik dan desa. Laporan Anderson, yang mencakup uraian tentang perjalanannya secara terperinci dari hari ke hari dan sejarah berikut gambaran tentang Pantai Sumatra Timur antara Tanjung Intan dan Siak, adalah peristiwa penting dalam kepustakaan karena ia merupakan data pertama yang sistematis mengenai geografi, ekonomi, etnologi dan politik dari berbagai negara sepanjang pantai timur itu.

Kependudukan
Peta-peta bahasa suku Sumatra memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan memisahkan Batak Karo dan Batak Simalungun dari ‘perairan Selat Malaka. Akan tetapi, pada waktu kunjungan Anderson, daerah pemukiman Batak Karo dan Batak Simalungun lebih mendekat ke pantai, membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit daripada yang dilukiskan pada peta-peta bahasa yang modern. Anderson menemukan bahwa hanya kampung-kampung pada bagian sungai-sungai yang lebih ke hilir itulah yang dihuni oleh masyarakat-masyarakat Islam yang berbahasa Melayu.
Selama masa penelitiannya, Anderson menggunakan banyak sekali waktunya untuk masalah jumlah penduduk, dan akhimya memperkirakan bahwa daerah-daerah antara Tanjung Intan dan Siak dihuni oleh kira-kira 350.000 jiwa.

Pertanian
Pada waktu kunjungan Anderson itu langkat deli dan Serdang sedang mengalami panen besar hasil lada, tetapi karena rakyat Asahan baru saja mulai menanam lada, adalah terlalu dini untuk mengatakan apakah tanah di Asahan cocok untuk penanaman lada meskipun lada merupakan komuditi ekspor yang sudah lama di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, tampaknya lada di Sumatera Timur adalah tanaman yang relatif baru.
Lama sebelum lada diperkenalkan, petani-petani ladang di Sumatra Timur telah melakukan pembukaan dan membakar hutan-hutan lama atau belukar-belukar baru selama musim kering untuk dijadikan perladangan padi selama musim hujan berikutnya. Kemudian ladang-
ladang ini pada tahun kedua dan mungkin juga pada tahun ketiga digunakan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayur, tebu dan pisang, sementara ladang baru selalu dibuka untuk menghasilkan padi. Ketika penanaman lada diperkenalkan, petani-petani ladang hutan
itu memadukannya ke dalam sistem pertanian tradisional mereka. Setelah selesai panen padi, mereka akan memancangkan tongkat-tongkat ke dalam tanah pada jarak-jarak yang diukur dengan cermat sebagai penyanggah batang-batang lada. Sementara batang-batang lada
masih muda, penanaman padi yang kedua, atau lebih sering, sayur-sayur, jagung, atau tembakau dilakukan di tengah-tengah tanaman lada itu.
Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau di Deli sangat penting, karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Inilah yang ia katakan: Tembakau ditanam oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Batak. Mereka menaburkan bibit-bibit di persemaian kecil, dan kemudian mencabut dan menanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira dua kubit. Dalam tempo empat bulan ia telah masak.

Organisasi Politik
Anderson mendapat keterangan dari para pemuka Siak yang telah terlibat dalam perang di Asahan, Deli dan kerajaan-kerajaan lain yang ditaklukkan oleh Siak bahwa mereka belum memasuki daerah pedalaman kerajaan-kerajaan kecil ini sejauh yang sudah dilakukan Anderson. Para pemuka kerajaan-kerajaan Sumatra Timur yang ditemui Anderson di Siak telah datang ke sana untuk. membantu mendirikan sebuah monumen di atas kuburan almarhum raja. Sang raja menuntut jasa-jasa feodal ini dari mereka sebagai jajahan Siak.
Adalah merupakan kebiasaan bagi semua kerajaan sampai sejauh Langkat yang sungguh-sungguh atau hanya namanya saja menjadi jajahan Siak, untuk mengirim sekali dalam tiga tahun, sejumlah perahu dan tenaga manusia ke Siak, untuk memperbaiki kubu pertahanan, dan untuk melakukan kerja bakti yang mungkin diperlukan. Setelah empat atau lima bulan, jika keadaan tidak mendesak, mereka dalam keadaan menderita boleh pulang. Mereka tidak menerima suatu apa pun, malahan mereka terpaksa mencari sendiri makanan dan sebagainya. Para pemuka ini menyatakan keluh kesahnya itu kepada saya karena mereka terpisah berbulan-bulan lamanya dari keluarga dan rumah mereka. Mengenai Tamiang, Anderson melaporkan bahwa penguasanya sepenuhnya mengakui sultan Aceh, meskipun penguasa Siak telah menaklukkan Tamiang beberapa tahun sebelumnya dan masih menyatakan berdaulat atas negara itu.

Perjanjian London
Perjanjian Inggris-Belanda di London, ditandatangani tanggal 17 Maret 1824 belum satu tahun setelah Anderson kembali dari Sumatra memudarkan semua harapan para pejabat dan para pedagang Penang yang semula berhasrat mendirikan pusat-pusat pemasaran barang
di Langkat, Deli, Serdang atau negara-negara lainnya sepanjang pantai timur Sumatra. Tujuan peijanjian ini adalah untuk mengakhiri persaingan Inggris-Belanda di Asia Tenggara. Berdasarkan perianiian ini Inggris menyerahkan Bengkulu, begitu juga seluruh milik Perusahaan Hindia Timur lainnya di Sumatra kepada Belanda dan mereka berjanji tidak akan mendirikan suatu pemukiman di pulau itu atau menandatangani suatu perjanjian dengan siapa pun di antara penguasa-penguasa di pulau itu. Sebagai gantinya Belanda menyerahkan Malaka beserta kantor-kantor dagang Belanda di India kepada Britania Raya dan berjanji tidak akan mendirikan perusahaan apapun di Semenanjung Malaya dan tidak mengikat perjajian apa pun dengan penguasa mana pun di daerah itu. Hal ini menciptakan dua wilayah pengaruh yang dipisahkan oleh Selat Malaka. Menyangkut pemiagaan, perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda akan menghentikan praktek monopoli perdagangan di Nusantara.
Kedua pihak lebih lanjut akan saling memberikan pelayanan antarbangsa yang paling menyenangkan di daerah Malaka (Straits Settlement), Kepulauan Hindia Timur, India dan Sri Langka. Pasal-pasal teritorial terbukti lebih efektif daripada ketentuan ketentuan perniagaan. Pemisahan yang jelas dalam dua wilayah kepentingan itu benar-benar melenyapkan salah satu penyebab utama ketegangan. Namun selama beberapa puluh tahun kalangan-kalangan pedagang Inggris di Penang dan Singapura menuduh Belanda telah gagal memenuhi secara ketat ketentuan-ketentuan perjanjian itu. Kepada Belanda diberikan kebebasan di Sumatra, kecuali di Aceh dan daerah-daerah taklukannya, sedangkan Belanda mengakui kemerdekaan Aceh.

 Bab II
Keadaan Geografis Sumatra Timur


Letak dan Luas
Dibatasi oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis ditenggara dan Selat Malaka di timur laut, luas Sumatra Timur dewasa ini meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Tetapi dari tahun 1873 sampai 1941, selama saat terjadinya perubahan bentuk ekonomi secara drastis yang menjadi tujuan penelitian ini, daerah Bengkalis dikelola sebagai bagian dari Sumatra Timur,sehingga menjadikan ’’pantai timur” yang terkenal itu suatu daerah administratif seluas 94.583 kilometer persegi atau kira-kira 20% dari luas seluruh wilayah pulau itu.11 Sampai 1887 kota Bengkalis telah menjadi markas pemerintahan Belanda untuk seluruh pantai timur, dan sejak 1887 itu kedudukan pemerintah dipindahkan ke kota baru Medan di jantung daerah onderneming yang sedang mekar.

Peta Alam
Sumatra Timur membentang mulai dari titik batas di puncak-puncak barisan bukit (yang dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga barisan Bukit Simanuk-manuk dan dari sana berangsur-angsur menurun, menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran-dataran rendah dan rawa-rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan, membagi Sumatra dalam keseluruhan panjangnya dengan 1.650 kilometer. Dilihat dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat daripada ke pantai timur pulau Sumatra, sistem Bukit Barisan itu-mengarah dari barat laut ke tenggara, begitu pun arah letak pulau itu secara keseluruhan. Kenyataan ini diabaikan dalam pemakaian istilah-istilah umum utara-selatan-barat-timur terhadap pulau itu.

Bab III
Nienhuys Dan Para Perintis Onderneming

Di antara penumpang kapal Josephine ketika ia membongkar sauh di kuala sungai Deli pada tanggal 6 Juli 1863 terdapat Jacobus Nienhysdan wakil-wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen Co., para pemilik kapal itu. Peranan perusahaan tembakau Belanda dari Surabaya itu berakhir kira-kira tiga minggu kemudian dengan kembalinya kapal Josephine ke Jawa, tetapi bagi Jacobus Nienhuys ini adalah suatu hari bersejarah, baik dalam hidupnya maupun dalam perkembangan Sumatra Timur. Di atas kapal itu terdapat juga pangeran Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih, pangeran pengangkatan sendiri, yang menceritakan bahwa tembakau bermutu tinggi dapat ditanam di Medan dengan jumlah besar. Cerita itu telah membawa pihak yang berminat ke sana.
Pada tanggal 27 September 1861 Nienhuys, seorang pengusaha onderneming Belanda yang masih muda, telah diberi kuasa oleh perusahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium, sebuah asosiasi yang dibentuk kurang dari seminggu sebelumnya oleh empat pedagang Rotterdam yang berminat memperoleh perkebunan tembakau di Jawa. Perintah-perintah yang diberikan kepada Nienhuys adalah untuk memilih sebuah perkebunan kecil seluas 75 sampai 150 hektar dalam suatu daerah yang mempunyai jalan masuk dengan mudah ke pelabuhan dan masih mempunyai daerah sisa bagi kemungkinan perluasan masa mendatang dan dengan penduduk yang mengerti penanaman tembakau. Perkebunan seperti itu ternyata sangat sukar ditemukan dan Nienhuys dalam tahun 1862 hanya mampu membeli tembakau sekedar lebih banyak bagi para majikannya. Pada tahun berikutnya, atas desakan Konsorsium itu, Nienhuys telahmenyewa perkebunan ’’Tempeh” dekat Lumajang di keresidenan Besuki di Jawa Timur. Tetapi setelah beberapa minggu, ia mengangkat seorang manajer untuk perkebunan itu dan memutuskan untuk meneruskan kembali mencari lahan tembakau yang cocok2). Pada saat ini perusahaan dagang Surabaya, J.F. van Leeuwen & Co., sahabat sahabat dagang dari P. van den Arend, mengundang Nienhuys menemui pangeran Said Abdullah dengan maksud untuk mendengarkan ceritanya yang menyala-nyala bahwa Deli adalah suatu daerah penghasil tembakau yang potensial.
Pengiriman tembakau dalam jumlah kecil yang pertama oleh Nienhuys tiba di Rotterdam dalam bulan Maret 1864, dan van den Arend yang sangat terkesan dengan contoh yang dapat dihasilkan Deli ini,segera menulis kepada Nienhuys, menambah kredit baru sejumlah 5.000 pound dan menyarankan agar seluruh tenaganya dicurahkan untuk pengembangan lebih lanjut proyek percontohan itu. Tetapi ketegangan dalam hubungan antara Nienhuys dan kantomya di Negeri Belanda telah nampak dalam surat-surat timbal-balik yang berjalan dengan lambat. Nenhuys yang tidak mempedulikan sikap hati-hati van den Arend terhadap kekurangan sumber-sumber modal, terus mengirim laporan-laporan perdagangan garamnya dan rencana-rencananya untuk menanam kopi dan cokelat dalam usaha bersama dengan Sultan Deli. Dari Rotterdam datang surat-surat dalam mana van den Arend terus mengingatkan bahwa keinginan Konsorsium itu hanyalah dalam perdagangan tembakau. Ketika panen tembakau tahun 1864 terbukti mengecewakan, Nienhuys dengan terang-terangan meminta sumbangan dana yang besar, atau suatu persetujuan untuk mengizinkannya mengambil alih perkebunan Deli dari para majikannya di Rotterdam. Konsorsium itu enggan menyediakan dana yang diminta dan pada waktu yang sama memberitahukan Nienhuys bahwa perusahaan dagang Prancis-Swiss Matthieu and Co. di Singapura telah diberikan wewenang untuk membayar 25 gulden per pikul untuk tembakau vane diserahkan di Singapura.
 Bab IV
Pertumbuhan Sumatra Timur:
Pengusaha Onderneming
Dan Petani, Kependudukan Dan Perhubungan

Pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, kekeliruan pendapat yang terdahulu ini terungkap. Percobaanpercobaan memperlihatkan bahwa tembakau gulung dengan mutu yang baik dapat dihasilkan di atas lahan kosong yang pemah ditumbuhi alang-alang dan rumput-rumput lainnya, meskipun warnanya aeak lebih muda daripada tembakau yang berasal tanah hutan. Tetapi panen yang lebih baik dari tembakau bermutu tinggi masih dapat dihasilkan di atas lahan yang sudah dibiarkan kosong di bawah semak-semak atau hutan belukar selama suatu masa tidak kurang dari tuiuh atau delapan tahun. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu masa-masa kosong lebih lama sampai 12 tahun atau lebih, akan lebih disukai Tetapi dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah terutama masalah luas tanah perkebunan bersangkutan.
Sekarang kembali ke tahun masa tanam pada suatu onderneming tembakau. Sementara persiapan lahan masih berjalan, tempat-tempat pembibitan telah dipersiapkan dan bibit tembakau telah disemaikan dalam tanah selang-seling beberapa hari, supaya sesuai dengan waktu pada saat bibit-bibit yang sudah tumbuh itu dipindahkan dan ditanam kembali. Masa tanam bibit diulur sampai dua bulan. Pemindahan bibit-bibit dari tempat-tempat persemaian ke kebun tanah rendah berlangsung setelah 40 sampai 50 hari, dan setelah 45 sampai 55 hari di perkebunan tanah tinggi yang suhunya di malam hari sangat rendah Sementara bibit berada di tempat-tempat persemaian, dan kemudian apabila sudah dipindahkan ke kebun, kewaspadaan terbesar harus dijalankan untuk melindungi tembakau terhadap penyakit pes turn buhan dan pes binatang, karena daun yang berbintik atau berluhana diapkir sebagai pembungkus cerutu.
Pada masa-masa permulaan, seperti telah disebutkan terdahulu, para pengusaha onderneming memetik semua daun sekaligus, tetapi kemudian mengubahnya dengan sistem memetik secara berangsur, dua atau tiga lembar pada satu waktu, mulai dengan apa yang dinamakan daun-daun tanah (empat sampai enam)4) dan, akhirnya, daun-daun puncak (tiga atau empat). Panen daun tembakau mulai kira-kira 44 sampai 50 hari setelah penanamannya di kebun-kebun tanah rendah; di perkebunan-perkebunan tanah tinggi tanaman-tanaman itu memerlukan beberapa hari lebih lama. Meskipun metode panen yang memetik daun secara berangsur itu lebih mahal daripada memotong sekaligus seluruh tanaman, namun metode ini memberikan keuntungan yang besar karena hasil panennya lebih tinggi. Keuntungan yang lebih itu diperoleh dalam jumlah daun; kehilangan berat selama proses pengeringan lebih kecil; setiap daun dipanen hanya pada saatnya yang tepat; daun-daun mengering lebih cepat apabila ditangani sendiri-sendiri, yang berarti bahwa lama pengeringan dapat dicapai hampir dua minggu lebih cepat daripada jika semua daun yang dipetik sekaligus digantungkan di gudang akhirnya, pembuntalan daun-daun itu berlangsung pada tingkat yang lebih cepat, karena daun-daun dari golongan yang sama tetap terkumpul jadi satu.
Dalam pola ini, sebagaimana ia berkembang setelah kira-kira tahun 1890, pihak pengusaha onderneminglah yang seluruhnya menguasai lahan itu. Dialah yang menentukan cara penggunaan dan jumlah penggunaan, jenis panenan yang akan ditananam, dan caranya harus menanam. Meskipun seorang petani menghendakinya, ia tidak akan diizinkan untuk mengalihkan lahan tembakau menjadi persawahan air. Para petani harus mentaati pengusaha onderneming itu dan akhirnya dalam beberapa tahun tertentu, si tani terpaksa menanam panen pangannya bermil-mil jauhnya dari kampungnya. Ini berarti penderitaan berjalan kaki hilir-mudik antara kampung dan jaluran setiap hari selama minggu-minggu yang sibuk ketika ladang itu memerlukan perhatian karena penanaman, penyiangan, penjagaan, atau panen. Lahan satu-satunya yang sepenuhnya berada di bawah hak penguasaan si petani adalah lahannya sendiri di lingkungan kampungnya; tetapi di bawah hukum waris yang berlaku, tanah-tanah kampung itu selama puluhan tahun telah dibagi-bagi berulang kali sehingga bidang-bidang tanah itu telah menjadi sangat kecil. Ini adalah petunjuk yang jelas tentang perkembangan tekanan penduduk yang semakin bertambah di lingkungan kampung-kampung itu.

Pertumbuhan Industri Teh, Kelapa Sawit, dan Serat

Teh pertama ditanam di sebidang tanah percobaan di Onderneming Rimbun di Deli Hulu dalam tahun 1898, tetapi proyek tersebut nampaknya tidak memberi harapan dan karena itu tidak diteruskan. Seorang onderneming Swis, A. Ris, layak menerima penghargaan karena ia telah membuktikan kemungkinan komersial penanaman teh di Sumatra Timur. Antara tahun 1910 dan 1920, modal Jerman dan Inggris telah mengembangkan onderneming-onderneming teh di sekeliling Pematang Siantar. Kepentingan-kepentingan Inggris diwakili oleh Rubber Plantation Inestment Trust” , yang telah memperoleh daerah-daerah konsensi yang luas dari raja-raja Simalungun, terutama dari Raja Pematang Siantar dan Raja Tanah Jawa.10) Handels-Vereeniging Amsterdam mengikuti contoh para pengusaha onderneming teh Jerman dan Inggris dan memulai pengembangan beberapa perkebunan teh yang besar setelah tahun 1918. Pencaplokan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun dalam tahun 1907 telah merintis jalan bagi perluasan pertanian onderneming ke tanah-tanah pegunungan Simalungun.
Kira-kira pada waktu yang sama ketika tanaman teh menjadi tanaman penghasilan yang baru bagi onderneming, percobaan-percobaan komersial yang pertama dibuat dengan kelapa sawit Para perintis onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K Schadt, yang menanam pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya, Tanah Itam Ulu, dan pengusaha onderneming Belgia, Adrien Hallet, yang menanam kelapa sawit di Onderneming Pulau Raja di Asahan. Sebelum tahun 1911, pohon-pohon kelapa sawit ditanam semata-mata hanya sebagai pohon-pohon hiasan di perkebunan-perkebunan. Semua palem-palem hiasan ini, yang sangat cocok dengan iklim Sumatra Timur, adalah keturunan dari empat jenis pohon palem yang telah diterima Kebun Raya Bogor dalam tahun 1848.U) Sangat mengherankan bahwa para pengusaha onderneming tembakau, yang sangat berputusasa dalam tahun 1880-an dalam menemukan suatu jenis tanaman yang cocok untuk mengalihkan lahan-lahan tembakau yang mereka tinggalkan, telah mengabaikan kesempatan yang diberikan oleh kelapa sawit ini. Namun sangat menarik untuk dicatat bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit dimulai hampir serentak di Afrika Barat dan Sumatra. Sebelum itu, minyak kelapa sawit dan biji-biji kelapa sawit yang sampai di Eropa semuanya berasal dari perkebunan-perkebunan rakyat di Afrika Barat.

Bab V
Politik Agraria: Usul-usul Pembaharuan dan
Dampaknya Terhadap Masyarakat

Peraturan Pemerintah (Regeerings Reglement, RR) 1854, Traktat 1858 dengan Kesultanan Siak, dan perjanjian-perjanjian politik 1862 dengan daerah-daerah taklukan Siak dan perjanjian tahun-tahun berikutnya membuka jalan bagi para pengusaha onderneming itu. Para raja menerima kewajiban untuk mendorong pengembangan ondememing-ondememing, dengan ketentuan bahwa Sultan Siak tidak diizinkan menyewakan tanah pertanian kepada orang-orang bukan Indonesia tanpa persetujuan lebih dahulu pejabat-pejabat pusat di Batavia sedangkan daerah-daerah taklukan Siak hanya memerlukan persetujuan Residen Riau. Sampai tahun 1873, Siak dan daerah-daerah taklu kannya berada di bawah wewenang Residen Riau. Dalam tahun itu Siak dan daerah-daerah taklukannya berpisah menjadi Keresidenan Pantai Timur Sumatra dengan kota Bengkalis di Pulau Bengkalis sebagai tempat kedudukan residen. Akhirnya dalam tahun 1887 tiga tahun setelah Sultan Siak melepaskan segala tuntutan politiknva terhadap kerajaan-kerajaan kecil Sumatra Timur, kantor Residen Sumatera Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan, ibu kota baru yang berkembang dengan pesat di persimpangan sungai Deli di Babura.

Kontrak-kontrak tanah Tanah sebelum 1877
Selama 10 sampai 15 tahun pertama banyak sekali percobaan dan improvisasi berlangsung di Sumatra Timur. Setiap orang harus belajar melalui percobaan dan kesalahan - para penguasa, para taklukan dan rakyat mereka, administratur-administratur Belanda dan para pengusaha onderneming itu. Pejabat-pejabat Belanda membutuhkan beberapa tahun untuk menentukan perbatasan kerajaan-kerajaan kecil itu dan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan wilayah sengketa yang timbul pada saat tanah menjadi sumber penghasilan bagi para raja dan dengan demikian menjadi lebih tinggi nilainya daripada sebelumnya. Selanjutnya perundingan-perundingan tentang kontrak yang menuju pada pemberian konsesi-konsesi tanah menjadi suatu pengalaman baru bagi raja-raja itu. Kerajaan Deli adalah wilayah yang paling mula bagi pengusahapengusaha onderneming yang pertama. Penasa kerajaan kecil inilah yang memberikan konsesi-konsesi pertanian yang pertama. Perlu diketahui bahwa pada waktu Nienhuys tiba di Labuan, Sultan Deli hanya mempunyai hubungan yang sangat terbatas dengan staf pegawai Hindia Belanda dan mengetahui lianya sedikit atau tidak sama sekali
tentang politik agraria yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
Oleh karena belum ada contoh, tidaklah mengherankan bahwa kontrak-kontrak konsesi itu yang ditulis selama 12 tahun pertama sangatberbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lainlain untuk 70 atau 75 tahun. Kontrak-kontrak pertama memberikan konsesi-konsesi bebas sewa; sebaliknya sultan menganggap bea ekspordan impor sebagai imbalan yang layak, atau ia mengutip pajak kepala tahunan per buruh yang dipekerjakan. Sebuah kontrak yang ditandatangani tahun 1870 menyatakan pungutan sewa bukan dikenakan pada seluruh konsesi melainkan hanya pada tanah yang benar benar ditanami. Mengenai luasnya konsesi, tidak jelas pada kontrak-kontrak awal karena batas-batas tanah tidak disurvai sebelum penandatanganan kontrak-kontrak itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku, sultan memberikan pengusaha onderneming hak untuk membuka dan menanami tanah kosong. Karena penghasilan sultan tergantung kepada luas tanah yang dikembangkan oleh pengusaha onderneming, maka kontrak-kontrak itu memerinci luas tanah yang harus dibuka dalam jangka waktu lima tahun. Perincian ini bermaksud untuk mencegah pembatalan konsesi kecuali untuk jumlah luas yang benar-benar ditanami. Kontrak Mabar-Deli Tua tertanggal 11 Juni 1870, ditandatangani oleh Sultan Deli dan Maskapai Deli, menyepakati pembukaan 2.000 bau dalam waktu lima tahun. Tidak dipenuhinya syarat ini akan membuat kontrak itu tidak berlaku lagi kecuali untuk tanah yang benar-benar dibuka. Sebaliknya, pemenuhan syarat tersebut memberikan kepada onderneming hak lima tahun lagi untuk membuka tanah tambahan dalam konsesi yang sama. Pada akhir jangka lima tahun kedua Maskapai Deli telah memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami.

Kesimpulan
BUKU Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria sepintas merupakan sejarah perkembangan perkebunan besar pada masa kolonial Belanda di Sumatera Timur. Tetapi nilai intelektual (intellectual value) buku ini berubah apabila pembaca mengaitkannya dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk membangun perkebunan baruserta problem sosial-budaya yang timbul di daerah-daerah yang terkena program itu.

Seperti halnya pemerintah saat ini, pemerintah kolonial Belanda juga melihat perkebunan merupakan sumber penghasil devisa yang potensial. Berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan politik ekonomi maupun agraria telah diciptakan pemerintah kolonial untuk menunjang keberhasilan usaha perkebunan itu. Ditinjau dari segi ekonomi regional, pengembangan perkebunan besar di Sumatera Timur membawa dampak positif.

Infrastruktur baru, seperti jalan kereta api, yang juga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat pribumi dibangun. Tetapi seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan politik itu bersumber pada persoalan agraria, yakni perkosaan hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka.

Mereka, para petani itu, harus menghadapi aliansi tiga kekuatan, yakni Sultan, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun berusaha mempertahankan tanah mereka. Tercatat dalam hal ini pemberontakan petani Batak Karo terhadap keputusan sepihak Sultan Deli untuk menyewakan tanah mereka pada perkebunan.

Para petani Batak Karo mengajukan tiga persyaratan untuk mengizinkan tanah mereka disewa perkebunan. Syarat itu adalah tetap cukup tanah dalam pemilikan mereka untuk perladangan huma, pohon-pohon buah mereka dan harta benda lainnya tetap dihormati, dan mereka tidak akan dicegah oleh orang-orang Eropa itu untuk menggarap kebun-kebun ladang baru dan ladang-ladang padi (halaman 95).

Problem agraria yang dihadapi pemerintah kolonial dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Timur juga dihadapi pemerintah Indonesia pada saat ini. Pengembangan program PIR sering terhambat, karena terdampar pada persoalan perolehan tanah. Sama seperti pada masa kolonial, penduduk masih melihat bahwa tiada ada tanah kosong di daerahnya. Karena itu, mereka sering mengajukan tuntutan ganti rugi bagi tanah yang terkena proyek. Sementara itu, pemerintah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi.

Sebagai alternatifnya pemerintah menjadikan bekas pemilik lahan itu sebagai peserta proyek PIR. Tetapi alternatif ini pun masih sering belum memuaskan petani setempat, sehingga problem agraria itu belum dapat diselesaikan secara tuntas. Problem agraria lain yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah bagaimana menghadapi petani peladang. Pada masa kolonial, pemilik perkebunan telah mendesak pemerintah Belanda untuk mengarahkan mereka itu menjadi petani tetap. Alasannya, pertanian perladangan "sangat mengganggu" kesuburan tanah. Tetapi, sebenarnya, pemilik perkebunan menganggap para peladang itu saingan mereka dalam memperoleh tanah, karena usaha tani peladangan adalah suatu usaha tani yang ekstensif.

"Konflik" seperti ini masih juga terjadi dalam proyek PIR, yang ingin dikembangkan pemerintah di Kalimantan. Seperti halnya pemerintah kolonial, pemerintah Indonesia juga menghadapi kesulitan mengarahkan petani peladang menjadi petani tetap. Ini disebabkan oleh kondisi agronomi setempat membuat sistem pertanian perladangan menjadi sistem pertanian yang paling cocok di daerah itu. Dalam program PIR, pemerintah Indonesia telah mengikutkan pula bekas petani peladang.

Tetapi problem akan muncul lagi apabila lahan pangan, yang tidak cukup luas dari ukuran petani peladang, yang disediakan proyek PIR menurun kesuburannya. Apabila ini terjadi, food security bekas petani peladang akan terganggu. Ketakutan akan terganggunya food security inilah, menurut saya, yang melatarbelakangi rasa tidak senang petani Karo di Sumatera Timurpada masa kolonial terhadap perkebunan. Dan asumsi ini ternyata benar.

Menurut Pelzer banyaknya tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur mengalami problem pangan (halaman 143). Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat operasionalnya aparat pemerintah kolonial banyak juga yang peka terhadap problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan.

Pelzer menyebutkan beberapa kasus tentang pejabat kolonial setempat yang menentang kebijaksanaan resmi pihak perkebunan yang dianggap merugikan petani setempat. Anehnya, pemerintah kolonial di Batavia membiarkan pejabat yang melindungi hak petani itu. Sementara itu, pemerintah kolonial di Batavia juga sering mengadakan komisi-komisi pencari fakta, apabila terjadi suatu peristiwa penting di daerah perkebunan atau ada laporan tentang kebijaksanaan perkebunan yang merugikan petani. Adanya komisi-komisi ini, yang rekomendasinya sering digunakan pemerintah untuk mengubah kebijaksanaan, dan kepekaan pejabat daerah terhadap problem petani dapat mencegah keresahan sosial di daerah perkebunan berkembang menjadi gerakan sosial yang mengakibatkan destabilisasi politik. Loekman Soetrisno



1 komentar:

  1. Ini bukan resensi, juga bukan ringkasan yang baik, tapi sekedar cuplikan buku.

    BalasHapus

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...