Senin, 15 Januari 2018

MAKALAH TENTANG PELAKSANAAN REVOLUSI HIJAU PADA MASYARAKAT GUNUNGKIDUL TAHUN 1970-AN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau yang di masyarakat petani dikenal dengan program Bimas.[1] Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Peningkatan produksi beras padi merupakan program yang mendapat prioritas tertinggi pada Pelita I (dengan harapan dicapainya swasembada pada akhir pelita I), maka dibentuklah organisasi Bimas tingkat nasional sampai ketingkat kecamatan.[2] Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Bimas yang merupakan singkatan dari Bimbing Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan suatu sistem Penyuluhan yaitu pembimbingan petani ke arah usaha tani yang lebih baik dan lebih maju, sehingga ia mampu meningkatkan usaha taninya. Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi sertaadanya dukungan kredit dan pertanian modern. Tujuan utama dari program tersebut adalah menaikan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan, melalui penerapan paket teknologi pertanian modern.
Revolusi Hijau telah berhasil dalam penyebaran teknologi yang cocok dan cepat meningkatkan produktivitas padi pada sistem-sistem pertanian dataran rendah beririgasi.[3] Di kawasan ini pemerintah membangun berbagai prasarana guna menunjang program swasembada pangan. Akibatnya adalah muncul kesenjangan antara kawasan dataran rendah dengan kawasan dataran tinggi. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan dataran tinggi membawa akibat pula pada kelestarian dari infrastruktur penunjang Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau atau program Bimas meskipun memakan waktu yang relatif lama kurang lebih 20 tahun, telah berhasil mengubah sikap para petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, seperti pupuk kimia, obatobatan pelindung, dan bibit padi unggul.[4] Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984-1989.
Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan.
Daerah Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu bagian antara kelima Daerah Tingkat II di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dahulu daerah ini sudah dikenal sebagai daerah miskin. Kemiskinan yang terjadi di daerah ini dikarenakan oleh bentang alam yang berbukit-bukit, penuh dengan batu kapur, serta miskin sumber mata air. Keadaan ini sering disebut dengan kemiskinan alamiah. Menurut Rudolf S. Sinaga dan Benjamin White, kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang timbul akibat sumber langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi rendah.[5]
Sebagaian besar petani Gunungkidul mengusahakan tanah tegalan yang hanya mengandalkan air hujan. Sedikit sekali areal tanah pertanian yang bisa diusahakan dengan pengairan tetap. Daerah yang masih dapat diusahakan dengan pengairan adalah Pojong, Ngawen, Nglipar, Karang Mojo dan Patuk. Kelima daerah tersebut terletak di Zona Utara dan Zone ledok Wonosari (Zona Tengah) yang relatif daerah tersebut tidak mengalami kesulitan air bersih termasuk pada musim kemarau. Hal ini berbeda dengan daerah yang berada di Zona Selatan atau bisa dikenal dengan Zona Pegunungan Seribu atau Zuider Gebergton. Wilayah zona ini mempunyai ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Daerah di Zona Selatan ini keberadaan air sangat sulit. Akan tetapi masyarakat Gunung Kidul yang tinggal di Zona Selatan sebagian besar (mayoritas) bekerja sebagai petani. Mereka tetapmengolah tanah yang berbukit-bukit itu dengan keterbatasan air untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pelaksanaan Revolusi Hijau di Gunungkidul terdapat perbedaan di bandingkan daerah lain, di daerah ini pembangunan pertanian dihadapkan pada persoalan mengatasi tanah kritis. Pada awal pembangunan muncul persoalan yang rumit manghadang, antara mendahulukan pembangunan pertanian tanaman pangan yang mengutamakan peningkatan produksi tanaman pangan, berarti mangundang erosi atau mendahulukan pencegahan erosi berarti mengundang kelaparan. Dalam mengatasi permasalahan tersebut pemerintah daerah Gunungkidul sejak tahun 1969 telah berupaya menggerakan semua potensi sosial guna menunjang keberhasilan pembangunan di bidang pertanian. Untuk itu digunakan pupuk buatan serta obat-obatan pemberantas hama serta mulai juga menggunakan teknologi pertanian baru. Sebagai upaya penanggulangan erosi ditanam pohon Akasia.
Alasan-alasan diatas merupakan pangkal tolak dan pendorong dari studi ini untuk merekontruksi dan mendeskripsikan kondisi Sosial Ekonomi masyarakat Gunungkidul masa Revolusi Hijau (1970-1974) dalam perkembangan Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini diharapkan pula berguna memperkaya referensi tentang kajian sejarah sosial ekonomi di suatu daerah,khususnya di Kabupaten Gunungkidul masa Revolusi Hijau.

BAB II
PEMBAHASAN
PELAKSANAAN REVOLUSI HIJAU PADA MASYARAKAT GUNUNGKIDUL
A. Kebijakan Pemerintahan Pusat
Kebijakan pertanian merupakan kebijakan pokok Soeharto setelah upaya pemulihan ekonomi. Langkah pertama ketika ia berkuasa adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat yang bersamaan di kalangan dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan. Soeharto dengan bantuan konsultan-konsultan asing dan pakar di dalam negeri langsung mengikuti sepenuhnya metoda yang ditawarkan melalui program Revolusi Hijau.[6]
Pemerintah segera membuat kebijakan yang bertujuan membantu perkembangan pertanian rakyat yang pada gilirannya berarti memajukan kehidupan dan meningkatkan pendapatannya. Para penyuluh pertanian harus dekat dengan rakyat dan secara terus menerus berusaha memperhatikan, serta menganalisis kehidupan petani sehari-hari, selain itu mendengar dan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi petani dan bila mungkin membantu memecahkannya. Inilah fungsi politik pertanian atau kebijakan pertanian pada tingkat mikro.
Tingkat makro atau tingkat nasional pemerintah melihat berbagai persoalan pertanian dari segi ekonomi. Misalnya pemerintah membandingkan kebutuhan pangan penduduk secara nasional dengan menghitung jumlah penduduk dan menafsirkan kebutuhan minimumnya per tahun. Kalau jumlah kebutuhan nasional ini tidak tercukupi dari produksi dalam negeri, maka pemerintah menyusun program peningkatan produksi dan memperkirakan biaya yang diperlukan. Inilah yang secara umum disusun dalam Repelita dan program-program dalam APBN sektor pertanian.[7] Sekedar memberikan gambaran sebagai komitmen pemerintahan dalam pembangunan pertanian, selanjutnya, akan dipaparkan rumusan-rumusan tujuan umum pembangunan sektor pertanian dalam Repelita I 1969-1974. Tujuan umum, menaikan produksi pangan khusunya beras, meningkatkan produksi dan diversifikasi tanaman ekspor serta memperluas kesempatan kerja, sedangkan tujuan khususnya swasembada beras pada akhir Pelita.[8]
Usaha-usaha untuk mengatasi masalah beras di Indonesia memang mendapat tempat utama dalam rencana pembangunan sejak tahun 1966.[9] Repelita I yang mulai dilancarkan pada tahun 1969, memilih pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian pangan atau beras sebagai titik sentral. Pengenalan teknologi baru yang memungkinkan untuk meningkatkan produksi beras dengan cepat sekali. Teknologi baru ini muncul dengan wujud benih-benih unggul yang sangat responsif terhadap pemakaian pupuk dalam arti bahwa pemakaian pupuk terhadap benih-benih unggul tersebut menghasilkan kenaikan produksi yang tinggi sekali. Selain itu, politik beras yang ditekankan pada kebijakan peningkatan produksi ini dikelolah dalam program nasional yang menjadi terkenal sampai sekarang yaitu Bimas (Bimbingan Massa), dimana presiden secara langsung memonitor perkembangan sampai ke desa-desa. Bimas dilaksanakan melalui program Panca Usaha yaitu lima cara untuk menaikkan produksi (bibit unggul, pengairan, pemupukan, pemberantasan hama, dan sistem bercocok tanam yang lebih baik).[10]
Pemerintah pada waktu itu membuka investasi asing untuk meningkatkan produksi padi. Produsen pestisida, benih, alat pertanian, dan lain-lain berlomba masuk ke Indonesia. Bersamaan dengan itu utang-utang asing ditawarkan untuk pembangunan pertanian, khususnya produksi padi, dengan membuat kebijakan harga gabah yang memungkinkan pengendalian harga yang menguntungkan petani dan tidak membebani produsen. Pemerintah juga memperkuat infrastruktur pertanian seperti koperasi, irigasi, pergudangan, fasilitas keuangan, transportasi, dan lain-lain melalui program Bimbingan Massa dan Itensifikasi Massa. Petani juga mendapat insentif seperti kepastian mendapatkan sarana produksi pertanian seperti pupuk dan benih. Pertanian menjadi program prioritas yang dituangkan dalam Repelita I.
Bimas yang merupakan singkatan dari Bimbingan Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan suatu sistem penyuluhan yaitu pembimbingan petani kearah usaha tani yang lebih baik dan maju, sehingga ia mampu meningkatkan pendapatan usaha taninya. Bimbingan ini dilaksanakan secara massal (untuk membedakan bimbingan individu). Karena, pertama yang hendak dicapai adalah peningkatan produksi dan pendapatan yang sangat besar 8-10% per tahun dan kedua, pembimbingan secara perorangan akan sangat lambat dan mahal. Karena Bimas merupakan sistem penyuluhan maka isinya berupa dorongan dan persuasi melalui contoh-contoh yang dapat ditiru, baik di kebun-kebun percobaan, demonstrasi plot (dem-plot) maupun di sawah-sawah petani maju.[11]
Istilah bimas mulai dipakai secara resmi pertama pada tahun 1967/1968 pada saat pemerintah ingin melaksanakan intensifikasi padi sawah seluas 1.000.000 ha dengan menerapkan sistem panca usaha. Salah satu dari lima usaha meningkatkan produksi padi ini adalah penggunaan bibit unggul. Karena, pada tahun 1967/1968 bibit ajaib PB 5 dan PB 8 mulia tersedia dalam jumlah yang sangat berlimpah, maka bibit unggul inilah yang menjadi simbol pengenalan sistem Bimas. Sebagaimana terjadi di negara-negara di Asia, bibit baru ini mampu meningkatkan produksi rata-rata 50%,[12] sehingga merupakan suatu kemajuan yang besar dan revolusioner. Inilah tahun permulaan “revolusi hijau” di Indonesia pada umumnya.


Salah satu faktor yang penting perannya dalam mendukung program Bimas adalah kredit. Karena untuk memungkinkan efektifnya bibit unggul tersebut, harus digunakan cukup banyak pupuk buatan dan karena pupuk ini harus dibeli dengan uang umumnya tidak dimiliki oleh petani terutama petani kecil, maka pemerintah menyediakan kredit yang diperlukan. Kelompok petani yang tidak memperoleh bagian kredit Bimas dimasukan kedalam daftar petani Inmas. Areal Bimas adalah areal intensifikasi dengan kredit BRI, sedangkan Inmas adalah areal intensifikasi di luarnya, yaitu yang tidak memperoleh jatah kredit yang disediakan oleh pemerintah.[13]
Selanjutnya salah satu tugas pemerintah dalam sistem ekonomi adalah mengusahakan rakyat dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokoknya. Ditinjau dari tugas pemerintahan berkewijiban yang demikian, maka dalam politik harga pemerintahan berkewijiban agar harga-harga kebutuhan pokok rakyat terjangkau oleh daya beli mereka, khususnya pada tingkat perkembangan ekonomi pada waktu itu, bagi kelompok pendapatan yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Dalam hal kebutuhan pokok seperti beras misalnya, pemerintah mempunyai pedoman harga tertinggi yang dianggap wajar, sehingga pemerintah mengusahakan agar harga tersebut tidak terlampui. Usaha untuk menetapkan harga maksimum ini dilakukan pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lain yang pada prinsipnya bertujuan sama.
 Kebijakan pengadaan untuk menekan harga sebagai ilustrasi makin banyak barang di pasaran, dengan permintaan tetap, harga akan turun. Maka kalau pemerintah memberikan subsidi harga dengan ilustrasinya sebagai berikut. Misalnya, kalau pertumbuhan produksi beras dalam negeri belum secepat pertumbuhan penduduk, maka harga beras cenderung meningkat terus-menerus. Dalam keadaan seperti itu pemerintah mengimpor beras dan menjualnya dalam jumlah yang diperlukan di pasaran untuk menekan kembali harga beras. Keperluan akan adanya subsidi timbul bila ternyata harga beras impor yang dibeli pemerintah lebih tinggi daripada harga maksimum yang dianggap wajar oleh pemerintah. Besarnya subsidi adalah sama dengan harga beras impor dalam rupiah (termasuk ongkos angkut dan biaya-biaya lain di pelabuhan), dikurangi harga penjualan pemerintah. Jumlah subsidi secara keseluruhan adalah besarnya subsidi per kg dikalikan jumlahharga beras yang diimpor.
 Musim tanam pada tahun 1969/1970 yaitu tahun pertama Pelita I barulah secara resmi pemerintah mengumumkan apa yang disebut harga dasar padi, yang ditetapkan bulan Agustus 1969. Harga dasar ini adalah Rp.13,20 per kg padi kering lumbung kualitas madium pada tingkat petani. Karena, dalam praktek BULOG tidak membeli beras atau padi langsung dari petani maka harga dasar ini berlaku kedalam harga beras giling eks-penggilingan padi yaitu Rp.36 per kg. Pada tingkat kota harga ini berlaku lebih lanjut menjadi Rp.47 per kg pada tingkat harga grosir. Sehubungan dengan ini ditetapkan pula harga maksimum (ceiling priece) yaitu Rp.50 per kg pada tingkat eceran.[14]

Gelombang Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1970 an ternyata tidak pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang relatif subur seperti daerah persawahan tetapi juga melanda daerah-daerah lahan kering yang secara potensial miskin. Keadaan ini sesuai dengan intruksi Menteri Pertanian kepada Gubenur/Kepala Daerah Propinsi Seluruh Indonesia.[15] Begitu juga di Daerah Gunungkidul yang sebagian besar tanahnya berupa lahan kering mendapat terpaan gelombang Revolusi Hijau melalui program-program pembangunan yang masuk ke daerah itu. Terdorong oleh masalah dilematis yakni apabila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan titik penekanan pada peningkatan produksi pertanian, kerusakan tanah yang semakin parah akibat erosi tidak dapat dihindarkan. Demikian juga, sebaliknya apabila pembangunan pertanian ditekankan pada penanggulangan erosi berarti akan mengundang kelaparan, maka pembangunan pedesaan di daerah ini dilakukan secara seimbang dan serasi.
B. Revolusi Hijau di Gunungkidul
Masa pemerintahan Orde Baru kebijakan pertanian lebih ditujukan untuk mengejar produktivitas yang tinggi tanpa memperhatikan dampak yang muncul. Kebijakan pertanian lebih ditujukan untuk mencapai suatu stabilitas politik melalui kecukupan pangan dengan program Revolusi Hijaunya. Dalam konteks ini, Revolusi Hijau dianggap sebagai jawaban terhadap upaya menciptakan stabilitas politik sekaligus ekonomi. Pada masa Orde Baru prioritas swasembada pangan (beras) menjadi prioritas utama. Beras dipandang sebagai produk kunci dalam perekonomian Indonesia, karena kekurangan suplai pada harga yang wajar dapat menjadi ancaman bagi kestabilitan politik dan ekonomi.[16]
Pemerintahan Kabupaten Daerah Gunungkidul telah menerapkan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan sosial pada masa Revolusi Hijau. Teknologi yang digunakan pemerintahan berkaitan dengan penggunaan pupuk buatan, perbaikan prasarana produksi, perbaikan alat-alat produksi, penggunaan pemberantasan hama, pengunaan obat-obatan, pemakaian bibit unggul, dan metode bercocok tanam yang sesuai dengan kondisi alam. Adapun teknologi sosial berkaitan dengan kelembagaan dan pranata kemasyarakatan yang dibutuhkan sebagai wahana pemanfaatan teknologi yang berupa penempatan unit-unit produksi tani dan usaha pemanfaatan lembaga-lembaga tradisonal seperti lembaga masyarakat desa serta lembaga gotong royong guna menunjang pembangunan dibidang pertanian. Sejak tahun 1970-an pemerintah Gunungkidul sudah merintis usaha pengendalian erosi melalui program penghijauan.[17]

Pelaksanaan Revolusi Hijau di Gunungkidul dalam menjalankannya Pemerintah daerah Gunungkidul melakukan beberapa kebijakan, seperti penyediaan pupuk Urea.[18] Kebutuhan akan pupuk Urea ini untuk mensukseskan program Bimas di daerah tersebut. Selain itu, Pemerintah Gunungkidul dalam menanggulangi musim Panceklik mengintruksikan kepada Camat dan Kepala Dinas Pertanian Gunungkidul melakukan usaha-usaha untuk mengatasinya.[19] Usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Gunungkidul agar masyarakatnya dianjurkan dalam musim mareng atau musim kemarau supaya menanam tanaman pengganti gaplek yang dapat dipanen pada akhir mareng, yaitu: cantel dan ketela rambat. Selanjutnya, supaya menanam jenis polo kependem, misalnya: gembili, gembolo, uwi, suweg, ganyong, garot, benguk, jenis koro-karoan, dan lain-lain. Usaha lainnya juga menanam ketela pohon pada musim mareng di Gunung dengan cara memotong ketela pohon yang bercabang dua atau tiga yang diperkirakan dapat dipanen pada musim mareng 1974.
Sejak tahun 1970-an Pemerintah Gunungkidul telah mengupayakan semua potensi sosial dan teknologi pertanian agar masalah pembangunan di sektor pertanian dapat tercapai dan kekurangan pangan dapat ditekan. Lembaga-lembaga baru di pedesaan dibentuk seperti lembaga Wilayah Unit Desa (Wilud), Organisasi Petani Pemakai Air (OPPA), kontak tani, kelompok tani, dan sebagainya. Dengan terbentuknya lembaga-lembaga itu dan turut andil tokoh-tokoh masyarakat untuk menggerakkan warga sangat besar.[20] Demikian pula, dengan pemakaian teknologi pertanian, memang produksi tanaman pangan dapat mengalami kenaikan. Tetapi, usaha untuk memaksimalkan produksi tanaman pangan tidak cukup karena teknologi Revolusi Hijau yang diterapkan sangat membutuhkan air mengalami kesulitan. Sedangkan, di Kabupaten Gunungkidul air menjadi masalah utama yang sulit diperoleh terutama pada musim kemarau.
Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk mengusahakan akan kebutuhan air pada tahun 1973 telah megupayakan pengadakan Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) disalah satu di daerah yaitu Pantai Baron. Dalam laporan tersebut hasil dari pemasangan pompa dapat menaikan air rata-rata ± 15 L/dt, penggunaan air tersebut telah menghasilkan padi sawah jenis unggul ± 5 ha yang diperoleh ± 60 kwintal/ha dantanaman palawija pada musim kemarau.[21] Meskipun proyek tersebut berjalan lancar tetapi tidak semua daerah terpasang sumur pompa mengakibatkan kebutuhan akan air di Daerah Gunungkidul secara umum masih kekurangan. Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan air sangat tergantung pada air telaga dan bak penampungan air hujan yang semuanya tergantung pada air hujan.


Intervensi teknologi pertanian melalui program-program pembangunan pedesaan seperti di atas. Selain mampu merubah kebiasaan petani dalam menggunakan alat-alat produksi dan sarana produksi lainnya yang lebih modern juga hasil-hasil produksi pertanian mengalami perubahan yang cukup berarti. Pengenalan padi bibit unggul yang mempunyai batang pendek dan mudah rontok. Alat-alat produksi pertanian tradisional yaitu ani-ani telah menggeser pengunaan dengan digunakannya sabit yang lebih praktis dan tidak terlalu banyak menggunakan tenaga kerja. Berkembangnya sarana irigasi dengan dibangunnya Chek-Dam dan pemasangan oncoran sumur pompa diesel dibeberapa tempat di daerah Gunungkidul, selain mampu meningkatkan jumlah produksi juga membawa akibat berubahnya sebagian sawah tadah hujan menjadi sawah irigasi.[22] Begitu juga masuknya alat penggilingan padi modern (huller) telah mengeser pemakaian alat-alat tradisional seperti alat penumbuk padi (alu atau lesung).
Beberapa usaha pemerintah daerah Gunungkidul untuk meningkatkan produksi masyarakat, namun aktivitas itu yang baru dan tumbuh berkembang belum mampu untuk menciptakan peluang-peluang yang berguna bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan. Baberapa keberhasilan petani dalam meningkatkan produksi pangan tersebut bisa dikatakan merupakan kemajuan dalam sistem pertanian rakyat, yang berarti juga ada perbaikan ekonomi bagi keluarga petani. Namun, semua itu belumlah mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, khususnya pada musim paceklik[23] lihat gambaran (data terlampir). Di samping itu, suatu hal yang menjadi kendala mereka dalam meningkatkan produksi pangan adalah masalah pengairan yang masih sangat terbatas bahkan kekurangan pada musim kemarau.
Pada musim paceklik Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memberi bantuan kepada masyarakat Gunungkidul dengan mendatangkan makanan pengganti pangan seperti jagung. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam menanggapi kedatangan bantuan tersebut dengan meyediakan gudang paceklik.[24] Demikianlah usaha-usaha Pemerintah Gunungkidul dengan melakukan beberapa kebijakan dalam mensukseskan Revolusi Hijau di Gunungkidul, serta Pemerintah Gunungkidul juga melakukan usaha-usaha agar masyarakatnya terhindar dari bahaya kelaparan.
Revolusi Hijau di satu pihak telah berhasil meningkatkan produksi beras tetapi di pihak lain telah menimbulkan pembagian keuntungan yang tidak merata dan dampak-dampak sosial ekonomi pada masyarakat pedesaan yang timbulnya gejala statifikasi sosial.[25]
Kesejahteraan petani miskin dan buruh tani tak bertanah tetap mandek atau bisa diperbaiki pada tingkat yang sangat lambat. Revolusi Hijau lebih menguntungkan petani kaya daripada petani miskin. Karena, petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya dibandingkan petani kecil, petani kaya dapat menanggung resiko gagal panen yang diakibatkan oleh beberapa faktor-faktor yang tidak dikuasai petani kecil dan petani kaya dapat memperbesar produksinya dengan cara menyewa walaupun tidak menimbulkan akumulasi pemilikan tanah tetapi menimbulkan akumulasi penguasaan tanah.
C. Produksi Pertanian di Gunung Kidul
Seperti halnya daerah-daerah lain di pedesaan Jawa, masyarakat Gunungkidul sudah lama mendasarkan penghidupannya dengan bercocok tanam atau bertani. Kondisi alam yang kurang menguntungkan karena tandus dan berkapur bukanlah merupakan hambatan bagi penduduknya untuk mengembangkan pertanian demi kelangsungan hidupnya. Meskipun mereka kadang-kadang mengalami kekecewaan karena hasil yang diperolehnya kurang baik tidak jarang juga kegagalan penen selalu menghantui para petani. Di daerah ini ada juga tanah pertanian dengan perairan tetap (oncoran) dibeberapa Kapanewon atau kecamatan dengan luas areal kurang dari 1.500 hektar, yaitu di Patuk 1.419 hektar, Nglipar 1.193 hektar, Semin 1.379 hektar dan Ngawen 1.104 hektar.[26]
Namun begitu pengairan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan pangairan untuk areal pertanian rakyat secara umum di Daerah Gunungkidul. Hal itu menyebabkan produktivitas tanah di daerah Gunungkidul menjadi rendah karena fasilitas yang mendukung pertanian, seperti: irigasi yang belum memenuhi syarat bagi pertanian hanya ada di beberapa daerah saja. Suatu sistem pertanian yang sudah lama dikembangkan oleh para petani Gunungkidul dalam mensiasati keadaan tanahnya yang sebagian besar tidak subur adalah dengan bercocok tanam menggunakan sistem atau siklus mongso. Dalam sistem ini kegiatan pertanian di bagi empat tahap, yakni mangso ketigo, mangso labuh, mangso rendheng dan mangso mareng.
Mangso Ketigo (kemarau), antara bulan Juni sampai Agustus merupakan waktu pengolahan tanah dan mempersiapkan lahan pertanian. Mangso Labuh, antara bulan September sampai November saat hujan mulai turun merupakan awal masa tanam beberapa jenis tanaman seperti ketela pohon, padigogo, jagung, jewawut, dan cantel yang ditanam dalam satu lahan atau dikenal dengan sistem penanaman tumpang sari. Mangso Labuh merupakan awal penanaman kacang tanah dan kedelai. PadaMangso Rendhereng (penghujan), biasanya terjadi pada bulan Desember sampai Februari para petani melakukan kegiatan pemeliharaan tanaman, penyiangan, dan pemberantasan hama tanaman. Sedangkan, pada Mangso Mereng antara bulan Maret sampai Mei biasanya para petani melakukan panen terhadap tanaman-tanaman tertentu, seperti: jagung, cantel, padigogo danjawawut.[27]

Cara bercocok tanam semacam itu para petani mencoba untuk fleksibel terhadap keteraturan alam sekaligus untuk menghindari bahaya kegagalan panen. Dalam sistem tersebut persoalan yang muncul adalah kurang bisa maksimalnya hasil produksi pertanian (padi) karena para petani hanya memanen padi sekali dalam setahun. Meskipun demikian disana ubi kayu dihasilkan lebih dari cukup untuk persediaan bahan pangan masyarakat desa. Keadaan seperti itu disebabkan ladang-ladang ubi kayu yang luas ada kalanya tidak sempat dipenen selama dua tahun atau lebih. Bibit pun hanya diambil dari batang yang tidak dapat dimakan, sehingga tidak mengurangi produksi pangan. Namun, harus diingat bahwa didaerah ini boleh dikatakan tidak ada sumber-sumber pendapatan lainbagi kaum tani di luar ladangnya.[28]
Petani yang mengusahakan tanaman padi di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya menggunakan sistem pola tanam tumpangsari sebagai upaya yang sering dilakukan petani di daerah kering. Maksud penggunaan pola tanam itu adalah untuk memperoleh produktivitas dari berbagai macam tanam dalam sekali waktu tanam sambil menunggu panen ketela pohon yang relatif panjang usianya berkisar 7-10 bulan.[29]Sistem tumpangsari pada umumnya menggunakan proses tanaman pada satu lahan ditanami berbagai macam tanaman lainnya. Misalnya, padi gogo ditanam bersama dengan tanaman lain seperti canthel dan jagung. Selain itu, ketela pohon ditanam satu lahan dengan kacang tanah, kedelai, dan sebagainya. Kondisi ini disebabkan terbatasnya kesempatan untuk melakukan penanaman yang sumber pengairannya sangat tergantung pada curah hujan. Dengan demikian, kegiatan pola tanam hanya dapat berlangsung bila musim hujan tiba, sedangkan pada musim kemarau kegiatan pola tanam tidak dapat dilakukan.
Sistem tumpangsari yang dilakukan oleh petani di daerah Gunungkidul mempunyai pertimbangan komersial untung-rugi. Karena, dalam menanam tanaman yang berlainan jenis tetapi kedudukannya sama mereka lebih cenderung mengutamakan tanaman jenis tertentu yang hasilnya lebih produktif dan menggunakan alat-alat produksi tertentu untuk lebih mengalokasikan sumber produksi semaksimal mungkin. Sistem bercocok tanam seperti itu selama bertahun-tahun tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Selama belum ada perubahan drastis umpamanya dengan tersedianya air yang melimpah ruah. Sehingga, menarik petani untuk memproduksi satu jenis tanaman yang dapat diandalkan maupun menunjang kesejahteraan keluarganya.
Sejak tahun 1969 perkembangan pertanian berusaha tidak menggunakan pupuk kandang namun telah menggunakan cara-cara modern seperti penggunaan pupuk buatan dan menerapkan teknologi Revolusi Hijau.[30] Meskipun telah digunakan teknologi modern, tetapi produktivitas lahan pertanian sangat terbatas karena teknologi Revolusi Hijau sangat membutuhkan air. Adapun air yang telah diusahakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul guna mengembangkan sumber air tanah melalui penerapan sumur pompa Diesel yang selanjutnya dikenal dengan Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) tidak mencukupi kebutuhan air penduduk, sehingga penduduk masih dalam taraf subsisten dan hasil yang diperoleh baru dinikmati untuk kebutuhan minimal mereka sendiri.
Rendahnya produktivitas pertanian juga disebabkan rendahnya intensitas penggunaan pupuk. Petani di daerah kabupaten Gunungkidul pada umumnya sering menghadapi kelangkaan pupuk Urea,[31] meskipun BIMAS telah membantu untuk mengusahakan adanya pupuk tersebut.[32] Kondisi ini disebabkan persediaan pupuk masih terbatas, sedangkan permintaan pupuk jenis Urea itu melampui target lihat gambaran (Data Terlampir). Oleh karena itu, persediaan pupuk terbatas maka harga dipasar bebas melonjak dratis yaitu bisa mencapai 50% lebih.
Dengan demikian, petani sulit mencari pupuk yang karena terbatasnya pupuk yang tersedia dan karena mahalnya harga pupuk. Kondisi ini menyebabkan petani tidak mampu membeli pupuk dan terpaksa hanya menggunakan pupuk kandang. Kurangnya pengunaan pupuk itulah yang mengakibatkan kwalitas produksi rendah sehingga, pendapatan petani juga rendah. Oleh karena, rendahnya pendapatan petani maka petani tidak memprioritaskan untuk mengembalikan kredit Bimas, tetapi petani lebih mementingkan untuk mencukupi kebutuhan lainnya seperti pembayaran sekolah anaknya dan kebutuhan keluarga lainnya.
Rendahnya produktivitas padi di Kabupaten Gunungkidul mengakibatkan hasil tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Pengembangan tanaman padi sulit dilakukan di Kabupaten Gunungkidul karena, Pertama, sulitnya sumber air untuk keperluan pertanian, khususnya pada musim kemarau, air yang diharapkan adalah air hujan, sehingga musim tanam tergantung pada curah hujan. Kedua, kondisi tanah yang dapat ditanami padi hanya 6.080 Ha berupa sawah dan tegal 84.907 Ha.[33] Ketiga, tidak cocoknya sebagian besar tanah untuk ditanami padi kerena jenis tanah yang berbukit bukit dan berupa tanah kapur.
Di Daerah Kabupaten Gunungkidul walaupun daerahnya sebagian besar tidak cocok menanam padi, biasanya disana ketela pohon dihasilkan lebih dari cukup untuk persediaan masyarakat desa. Mekipun produktivitas padi rendah, namun hasil itu dapat mencukupi kebutuhan minimum penduduk dan sebagian hasil itu terpaksa di jual pada waktu panen tiba kerena, penduduk harus memenuhi kebutuhan lainnya. Adapun ketika ketika musim paceklik tiba petani juga harus membeli kembali atau mengganti ketela pohon sebagai makanan pokok. Untuk lebih jelasnya hasil produksi di Daerah Gunungkidul[34] lihatgambaran(Data Terlampir).

Satu hal lagi yang sangat menunjang sektor pertanian rakyat di daerah Gunungkidul adalah peternakan lembu. Hampir mayoritas petani yang cukup mampu memelihara lembu lebih dari satu ekor yang kemudian setelah besar lembu itu dijual untuk dijadikan modal atau untuk kepentingan lainnya. Sudah lama bahkan, daerah Gunungkidul dikenal sebagai pemasok lembu untuk kosumsi protein hewani di daerah DIY pada umumnya. Para petani sering kali memanfaatkan lembunya untuk membajak sawah serta ada kalanya untuk mengela gerobak sebagai alat pengangkut hasil-hasil produksi pertanian. Di samping fungsinya di bidang pertanian ternak-ternak seperti di kutip oleh Soemardjan dari Robert K Merton, lembu tersebut mempunyai fungsi tersembunyi dalam menaikan prestise sosial bagi pemiliknya, karena dipandang sebagai lambang atau ukuran kekayaan di desa.[35] Di kalangan petani bawah memelihara lembu adalah suatu kebanggaan tersendiri karena jarang diantara mereka mempunyai cukup uang untuk membelinya kecuali kalau mereka sedang mendapatkan rezeki besar.
Pada tingkat nasional program peningkatan produksi ini berjalan lancar dan mampu menaikan produksi beras dengan tingkat yang cukup tinggi.[36] Sehingga, pada tahun 1970-an pemerintah bahkan menunjukkan beberapa kekhawatiran akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan target produksi. Ternyata optimisme ini kurang berdasar karena disamping angka-angka produksi masih belum meyakinkan juga akumulasi stok beras masih belum mencapai jumlah yang menentramkan. Dalam situasi demikian terjadilah musim kemarau yang panjang pada tahun 1970-an yang berakibat kegagalan panen di Indonesia. Begitu juga di daerah Gunungkidul tidak terlepas dari kegagalan panen dan musim kemarau tersebut.
Dalam menghadapi musim kemarau khususnya Pemerintah Daerah Gunungkidul berupaya mengatasi krisis beras tersebut dengan mengkonsumsi tanaman pengganti pangan seperti ketala pohon. Disamping itu tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Repelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Impor beras yang sangat besar (lebih dari dua juta ton) sehingga hampir mencapai 30% dari seluruh beras yang diperdagangkan di pasar dunia tidak menguntungkan Indonesia.[37] Sementara itu timbul pula dugaan bahwa perhatian yang terlalu berlebih lebihan pada produksi beras memang telah mengakibatkan kelesuaan produksi tanaman-tanaman pangan lain di luar beras. Demikianlah gambaran umum pelaksanaan Revolusi Hijau di Indonesia serta pelaksanaan Revolusi Hijau di Gunungkidul pada khususnya.




BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul dapat dilihat dari tata guna tanah atau penggunaan tanah oleh petani. Penggunaan tanah oleh petani tidak hanya terbatas pada satu macam tanah saja apabila dilihat dari letak tanahnya. Terdapat tiga macam tanah yang dapat diusahakan oleh petani yaitu tanah perkarangan, tanah tegalan, dan tanah lereng bukit atau lereng gunung. Gelombang Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1970-an ternyata tidak pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang relatif subur seperti daerah persawahan tetapi juga melanda daerah-daerah lahan kering yang secara potensial miskin. Begitu juga di Daerah Gunungkidul yang sebagian besar tanahnya berupa lahan kering mendapat terpaan gelombang Revolusi Hijau melalui program-program pembangunan yang masuk ke daerah itu. Terdorong oleh masalah dilematis yakni apabila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan titik penekanan pada peningkatan produksi pertanian, kerusakan tanah yang semakin parah akibat erosi tidak dapat dihindarkan. Demikian juga, sebaliknya apabila pembangunan pertanian ditekankan pada penanggulangan erosi berarti akan mengundang kelaparan, maka pembangunan pedesaan di daerah ini dilakukan secara seimbang dan serasi.
Revolusi Hijau di satu pihak telah berhasil meningkatkan produksi beras tetapi di pihak lain telah menimbulkan pembagian keuntungan yang tidak merata dan dampak-dampak sosial ekonomi pada masyarakat pedesaan yang timbulnya gejala statifikasi sosial. Kesejahteraan petani miskin dan buruh tani tak bertanah tetap mandek atau bisa diperbaiki pada tingkat yang sangat lambat. Revolusi Hijau lebih menguntungkan petani kaya daripada petani miskin. Karena, petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya dibandingkan petani kecil, petani kaya dapat menanggung resiko gagal panen yang diakibatkan oleh beberapa faktor-faktor yang tidak dikuasai petani kecil dan petani kaya dapat memperbesar produksinya dengan cara menyewa walaupun tidak menimbulkan akumulasi pemilikan tanah tetapi menimbulkan akumulasi penguasaan tanah.
Rendahnya produktivitas padi di Kabupaten Gunungkidul mengakibatkan hasil tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Pengembangan tanaman padi sulit dilakukan di Kabupaten Gunungkidul karena, Pertama, sulitnya sumber air untuk keperluan pertanian, khususnya pada musim kemarau, air yang diharapkan adalah air hujan, sehingga musim tanam tergantung pada curah hujan. Kedua, kondisi tanah yang dapat ditanami padi hanya 6.080 Ha berupa sawah dan tegal 84.907 Ha. Ketiga, tidak cocoknya sebagian besar tanah untuk ditanami padi kerena jenis tanah yang berbukit-bukit dan berupa tanah kapur.
Lembaga pemilikan tanah di pedesaan Gunungkidul dibedakan menjadi dua bentuk kepemilikan, yakni pemilikan perorangan atau individu dan pemilikan komunal atau tanah desa. Sistem kepemilikan dan penguasaan tanah atau pelepasan hak atas tanah kepada orang lain secara tetap dapat diakibatkan karena warisan atau hibah dan jual beli. Penguasaan tanah dan kepemilikan tanah di pedesaan Gunungkidul pada awal tahun 1970-an tidaklah jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa yakni sangat timpang. Kemungkinan besar keadaan lebih parah lagi karena tanah yang diusahakan petani sebagian besar merupakan tanah kering yang tandus dan tidak subur.
Kabupaten Gunungkidul pada masa itu masyarakat pedesaannnya kebanyakan petani miskin. Daerah-daerah miskin disebabkan oleh faktor alam dan faktor pendidikan. Kondisi ini tidak dapat disangkal melihat jenis tanahnya yang kebanyakan berbukit-bukit karang atau batu kapur serta banyaknya telaga dan genangan air hujan, sedangkan pada musim kemarau penduduknya sangat kekurangan air. Penyebab kondisi kemiskinan salah satunya karena terbatasnya sumber daya air yang dibutuhkan penduduk untuk mandi, minum, dan pengairan sawah. Pada musim kemarau kebutuhan akan air penduduk tidak tercukupi. Sehingga, sebagian masyarakat membeli air atau kadang-kadang mendapatkan sumbangan air yang dialirkan melalui pompa.
Pendidikan pada masyarakat Gunungkidul secara umum masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat rendahnya tingkat pendidikan orang-orang dewasa yang ada pada masa itu seperti umumnya masyarakat pedesaan di Indonesia. Di Kabupaten Gunungkidul belum banyak orang memperoleh pendidikan yang cukup atau pendidikan yang formal. Secara tradisional masyarakat Gunungkidul telah mengenal pendidikan yang mempunyai kaitan dengan pembentukan kepribadian dan tata susila untuk hidup berdampingan dengan orang lain sehingga tercipta suatu hubungan antawarga yang harmonis. Pendidikan tradisional ini dimulai sejak orang masih kecil di dalam lingkungan keluarga sebagai bentuk sosialisasi dari anak.
Karena rendahnya tingkat pendidikan bagi anak-anak di Gunungkidul ini ternyata hal itu sangat kompleks. Hal ini disebabkan terbatasnya fasilitas yang ada dan lebih penting lagi tidak ada dorongan dari orang tua mereka untuk menimba ilmu dan tidak adanya suasana untuk terselenggaranya suatu proses dan kesempatan belajar bagi anak-anak mereka. Para orang tua tidak ingin anak-anak mereka menjadi pandai dan berwawasan luas. Bila anak mereka sudah dapat membaca, menulis dan berhitung secara sederhana hal itu dirasa cukup bagi para orang tua. Hal yang sangat ditanamkan bagi arang tua adalah kelak anak-anak mereka dapat menggantikan para orang tua untuk menjadi petani yang akan dapat mewarisi usaha taninya setelah mereka dewasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sejak kecil anak-anak sudah diajak untuk ikut membantu orang tua mereka di tegalan.
Kondisi sosial ekonomi petani diperburuk oleh beberapa faktor. Pertama, tanah menjadi bagian-bagian kecil yang ditimbulkan oleh hak waris tanah Jawa yang cenderung untuk meningkatkan pemusatan kepemilikan tanah di tangan tani kaya atau tuan tanah. Kedua, faktor yang berjalan seiring dengan proses di atau adalah meningkatnya pengangguran di daerah pedesaan yang mengakibatkan tekanan ekonomi luar biasa dan kemelaratan di desa. Ketiga, proses monetisasi melalui proses-proses modernisasi teknologi yang mengakibatkan petani terjerumus kedalam pusaran hutang. Keempat, semua jenis usaha pembangunan mengakibatkan polarisasi di desa-desa yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.



[1] Loekman Soetrisno, Pertanian Pada abad ke 21. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hlm 13.
[2] Mubyarto, Politik Pertaniaan dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 135.
[3] Ruf Francois and Frederic lancon,” From Slash and Burn to Replating: Green Revolution in the Indonesia Uplands”,a.b. Yoddang, Dari Sistem Tebang Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Jakarta:Salemba Empat, 2005, hlm. 4.
[4] Loekman Soetrisno, op. cit.,hlm. 13-14.
[5] Dalam Bambang Tri Cahyo, Masalah Petani Gurem. Yogyakarta: Liberty, 1983, hlm. 2.
[6] Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan.Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 137.
[7] Mubyarto, Politik Pertaniaan dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar Harapan,1984, hlm. 41.
[8] Ibid., hlm. 42.
[9] Arifin Hutabarat, Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1974,hlm. 43.

[10] Mubyarto,op.cit,hlm. 73.
[11] Ibid., hlm. 133.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 135.
[14] Ibid., hlm. 146.
[15] Surat Menteri Pertanian Kepada Gubenur/ Kepala Daerah Propinsi seluruh Indonesia, Prihal: Pemberitaan Usaha-usaha Pembangunan. Djakarta, 26 Mei 1971.
[16] Noer Fauzi dan Khrisna Ghimire, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001, hlm. 256.
[17] Machmoeh Effendhi, Peluang Kerja dan keadaan Ekonomi Masyarakat Desa di Daerah kering: Kasus Gunungkidul (1969-1983).Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra UGM, 1993, hlm. 22.
[18] Surat BupatiDaerah tingkat II Kab. Gunungkidul Kepada Kepala P.N. Pertanian Kesatuaan Pemasaran D. I.U d/a Djl. A.M. Sangadji 19 di Yogyakarta, Prihal: Penyediaan Pupuk UREA untuk M.H. 1971/ 1972. Wonosari, 11 Oktober 1971.
[19] Surat Bupati Kepala Daerah Gunungkidul Kepada Camat se-Kab. Gunungkidul dan Kepala Dinas Pertanian Kab. Gunungkidul, Prihal: Usahausaha Menanggulangi Paceklik Th. 1973-1974. Wonosari, 1 Januari 1973.
[20] Nur Aini Setiawan, Kemiskinan di Kecamatan Rongkop : Kabupaten Gunungkidul Periode 1970-1995. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas sastra UGM, 1996, hlm. 34.
[21] Surat Bupati Kepala daerah Gunungkidul Kepada Kepala Biro otonomi dan Desentralisasidaerah Istimewa Yogyakarta, Prihal: Pemanfaatan Pompa Pantai Baron.Wonosari, 28 November 1974.
[22] Machmoeh Effendhi,loc.cit.
[23] Surat Bupati Kepala Daerah Gunungkidul Kepada S.P. Wakil Kepala Daerah D.I.Y di Yogyakarta,Prihal: Data-data Daerah Secara Rutin Kekurangan Pangan secara Serius dan Rencana Untuk Mengatasinya. Wonosari, 31 Januari 1973.
[24] Surat Bupati Kepala Daerah Gunungkidul Kepada S.P. Wakil Kepala Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Prihal: Penyediaan Gudang Paceklik. Wonosari, 12 februari 1973.
[25] Mubyarto,op. cit.,hlm. 150.

[26] BIRO STATISTIS DAERAH YOGYAKARTA, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta:Bagian I.Tahun 1973, hlm. 26.
[27] Fadjar Pratikto, Gerakan Rakya Kelaparan. Gagalnya Politik Radikalisasi Petani. Yogyakarta: MediaPresindo, 2000,hlm 41.
[28] Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gdjah mada University Pess, 1991,hlm. 183 dan 188.
[29] Nur Aini Setiawan,op.cit.,hlm. 37
[30] Ibid, hlm. 54
[31] Surat Kepala Harian Kepada Ketua Badan Pembina Bimas D.I.Y di Yogyakarta,Prihal: Kekurangan Pupuk.Wonosari, 22 Desember 1973.
[32] Surat Inspektur/Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada S.P. wakil kepala Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Prihal: Dropping Pupuk ke Gunungkidul.Yogyakarta, 16 Februari 1974.
[33] Biro Statistik DIY,op. cit.,hlm. 26.
[34] Biro Pusat statistik Kantor Statistik Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten daerah Tingkat II Gunung Kidul Dalam Angka Tahun 1980. Hasil Kerjasama Pemerintah Daerah dan Kantor Statistik, hlm. 115.
[35] SeloSoemardjan,op. cit.,hal 197.
[36] Mubyarto,op. cit.,hlm. 73
[37] Ibid.,hlm. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...