BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pada
permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program
pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau
yang di masyarakat petani dikenal dengan program Bimas.[1] Konsep
Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas adalah program
nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.
Peningkatan produksi beras padi merupakan program yang mendapat prioritas
tertinggi pada Pelita I (dengan harapan dicapainya swasembada pada akhir pelita
I), maka dibentuklah organisasi Bimas tingkat nasional sampai ketingkat
kecamatan.[2]
Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik
ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Bimas yang merupakan
singkatan dari Bimbing Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan
suatu sistem Penyuluhan yaitu pembimbingan petani ke arah usaha tani yang lebih
baik dan lebih maju, sehingga ia mampu meningkatkan usaha taninya. Bimas
berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut
Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi sertaadanya
dukungan kredit dan pertanian modern. Tujuan utama dari program tersebut adalah
menaikan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan,
melalui penerapan paket teknologi pertanian modern.
Revolusi
Hijau telah berhasil dalam penyebaran teknologi yang cocok dan cepat
meningkatkan produktivitas padi pada sistem-sistem pertanian dataran rendah
beririgasi.[3]
Di kawasan ini pemerintah membangun berbagai prasarana guna menunjang program
swasembada pangan. Akibatnya adalah muncul kesenjangan antara kawasan dataran
rendah dengan kawasan dataran tinggi. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap
kawasan dataran tinggi membawa akibat pula pada kelestarian dari infrastruktur
penunjang Revolusi Hijau.
Revolusi
Hijau atau program Bimas meskipun memakan waktu yang relatif lama kurang lebih
20 tahun, telah berhasil mengubah sikap para petani, khususnya para petani sub
sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi
pertanian modern, seperti pupuk kimia, obatobatan pelindung, dan bibit padi
unggul.[4] Revolusi
Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu mengantarkan
Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi
hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984-1989.
Disamping itu, Revolusi
Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan
karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki
tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara
negara di tingkat pedesaan.
Daerah
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu bagian antara kelima Daerah Tingkat
II di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dahulu daerah ini sudah dikenal sebagai
daerah miskin. Kemiskinan yang terjadi di daerah ini dikarenakan oleh bentang
alam yang berbukit-bukit, penuh dengan batu kapur, serta miskin sumber mata
air. Keadaan ini sering disebut dengan kemiskinan alamiah. Menurut Rudolf S.
Sinaga dan Benjamin White, kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang timbul
akibat sumber langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi
rendah.[5]
Sebagaian
besar petani Gunungkidul mengusahakan tanah tegalan yang hanya mengandalkan air
hujan. Sedikit sekali areal tanah pertanian yang bisa diusahakan dengan
pengairan tetap. Daerah yang masih dapat diusahakan dengan pengairan adalah
Pojong, Ngawen, Nglipar, Karang Mojo dan Patuk. Kelima daerah tersebut terletak
di Zona Utara dan Zone ledok Wonosari (Zona Tengah) yang relatif daerah
tersebut tidak mengalami kesulitan air bersih termasuk pada musim kemarau. Hal
ini berbeda dengan daerah yang berada di Zona Selatan atau bisa dikenal dengan
Zona Pegunungan Seribu atau Zuider Gebergton. Wilayah zona ini mempunyai
ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Daerah di Zona Selatan ini
keberadaan air sangat sulit. Akan tetapi masyarakat Gunung Kidul yang tinggal
di Zona Selatan sebagian besar (mayoritas) bekerja sebagai petani. Mereka tetapmengolah
tanah yang berbukit-bukit itu dengan keterbatasan air untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Pelaksanaan
Revolusi Hijau di Gunungkidul terdapat perbedaan di bandingkan daerah lain, di
daerah ini pembangunan pertanian dihadapkan pada persoalan mengatasi tanah
kritis. Pada awal pembangunan muncul persoalan yang rumit manghadang, antara
mendahulukan pembangunan pertanian tanaman pangan yang mengutamakan peningkatan
produksi tanaman pangan, berarti mangundang erosi atau mendahulukan pencegahan erosi
berarti mengundang kelaparan. Dalam mengatasi permasalahan tersebut pemerintah
daerah Gunungkidul sejak tahun 1969 telah berupaya menggerakan semua potensi
sosial guna menunjang keberhasilan pembangunan di bidang pertanian. Untuk itu
digunakan pupuk buatan serta obat-obatan pemberantas hama serta mulai juga
menggunakan teknologi pertanian baru. Sebagai upaya penanggulangan erosi
ditanam pohon Akasia.
Alasan-alasan
diatas merupakan pangkal tolak dan pendorong dari studi ini untuk merekontruksi
dan mendeskripsikan kondisi Sosial Ekonomi masyarakat Gunungkidul masa Revolusi
Hijau (1970-1974) dalam perkembangan Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini diharapkan
pula berguna memperkaya referensi tentang kajian sejarah sosial ekonomi di
suatu daerah,khususnya di Kabupaten Gunungkidul masa Revolusi Hijau.
BAB
II
PEMBAHASAN
PELAKSANAAN
REVOLUSI HIJAU PADA MASYARAKAT GUNUNGKIDUL
A. Kebijakan
Pemerintahan Pusat
Kebijakan
pertanian merupakan kebijakan pokok Soeharto setelah upaya pemulihan ekonomi.
Langkah pertama ketika ia berkuasa adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat
yang bersamaan di kalangan dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut
Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan. Soeharto dengan bantuan
konsultan-konsultan asing dan pakar di dalam negeri langsung mengikuti
sepenuhnya metoda yang ditawarkan melalui program Revolusi Hijau.[6]
Pemerintah
segera membuat kebijakan yang bertujuan membantu perkembangan pertanian rakyat
yang pada gilirannya berarti memajukan kehidupan dan meningkatkan
pendapatannya. Para penyuluh pertanian harus dekat dengan rakyat dan secara
terus menerus berusaha memperhatikan, serta menganalisis kehidupan petani
sehari-hari, selain itu mendengar dan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi
petani dan bila mungkin membantu memecahkannya. Inilah fungsi politik pertanian
atau kebijakan pertanian pada tingkat mikro.
Tingkat
makro atau tingkat nasional pemerintah melihat berbagai persoalan pertanian
dari segi ekonomi. Misalnya pemerintah membandingkan kebutuhan pangan penduduk
secara nasional dengan menghitung jumlah penduduk dan menafsirkan kebutuhan minimumnya
per tahun. Kalau jumlah kebutuhan nasional ini tidak tercukupi dari produksi
dalam negeri, maka pemerintah menyusun program peningkatan produksi dan
memperkirakan biaya yang diperlukan. Inilah yang secara umum disusun dalam
Repelita dan program-program dalam APBN sektor pertanian.[7]
Sekedar memberikan gambaran sebagai komitmen pemerintahan dalam pembangunan
pertanian, selanjutnya, akan dipaparkan rumusan-rumusan tujuan umum pembangunan
sektor pertanian dalam Repelita I 1969-1974. Tujuan umum, menaikan produksi
pangan khusunya beras, meningkatkan produksi dan diversifikasi tanaman ekspor
serta memperluas kesempatan kerja, sedangkan tujuan khususnya swasembada beras
pada akhir Pelita.[8]
Usaha-usaha
untuk mengatasi masalah beras di Indonesia memang mendapat tempat utama dalam
rencana pembangunan sejak tahun 1966.[9] Repelita
I yang mulai dilancarkan pada tahun 1969, memilih pertanian untuk meningkatkan
produksi pertanian pangan atau beras sebagai titik sentral. Pengenalan
teknologi baru yang memungkinkan untuk meningkatkan produksi beras dengan cepat
sekali. Teknologi baru ini muncul dengan wujud benih-benih unggul yang sangat
responsif terhadap pemakaian pupuk dalam arti bahwa pemakaian pupuk terhadap
benih-benih unggul tersebut menghasilkan kenaikan produksi yang tinggi sekali.
Selain itu, politik beras yang ditekankan pada kebijakan peningkatan produksi
ini dikelolah dalam program nasional yang menjadi terkenal sampai sekarang
yaitu Bimas (Bimbingan Massa), dimana presiden secara langsung memonitor perkembangan
sampai ke desa-desa. Bimas dilaksanakan melalui program Panca Usaha yaitu lima
cara untuk menaikkan produksi (bibit unggul, pengairan, pemupukan,
pemberantasan hama, dan sistem bercocok tanam yang lebih baik).[10]
Pemerintah
pada waktu itu membuka investasi asing untuk meningkatkan produksi padi.
Produsen pestisida, benih, alat pertanian, dan lain-lain berlomba masuk ke
Indonesia. Bersamaan dengan itu utang-utang asing ditawarkan untuk pembangunan
pertanian, khususnya produksi padi, dengan membuat kebijakan harga gabah yang memungkinkan
pengendalian harga yang menguntungkan petani dan tidak membebani produsen.
Pemerintah juga memperkuat infrastruktur pertanian seperti koperasi, irigasi,
pergudangan, fasilitas keuangan, transportasi, dan lain-lain melalui program
Bimbingan Massa dan Itensifikasi Massa. Petani juga mendapat insentif seperti
kepastian mendapatkan sarana produksi pertanian seperti pupuk dan benih.
Pertanian menjadi program prioritas yang dituangkan dalam Repelita I.
Bimas
yang merupakan singkatan dari Bimbingan Massal, dalam pengertian resmi dan
aslinya merupakan suatu sistem penyuluhan yaitu pembimbingan petani kearah
usaha tani yang lebih baik dan maju, sehingga ia mampu meningkatkan pendapatan
usaha taninya. Bimbingan ini dilaksanakan secara massal (untuk membedakan bimbingan
individu). Karena, pertama yang hendak dicapai adalah peningkatan produksi dan
pendapatan yang sangat besar 8-10% per tahun dan kedua, pembimbingan secara
perorangan akan sangat lambat dan mahal. Karena Bimas merupakan sistem
penyuluhan maka isinya berupa dorongan dan persuasi melalui contoh-contoh yang
dapat ditiru, baik di kebun-kebun percobaan, demonstrasi plot (dem-plot) maupun
di sawah-sawah petani maju.[11]
Istilah
bimas mulai dipakai secara resmi pertama pada tahun 1967/1968 pada saat
pemerintah ingin melaksanakan intensifikasi padi sawah seluas 1.000.000 ha
dengan menerapkan sistem panca usaha. Salah satu dari lima usaha meningkatkan
produksi padi ini adalah penggunaan bibit unggul. Karena, pada tahun 1967/1968
bibit ajaib PB 5 dan PB 8 mulia tersedia dalam jumlah yang sangat berlimpah,
maka bibit unggul inilah yang menjadi simbol pengenalan sistem Bimas.
Sebagaimana terjadi di negara-negara di Asia, bibit baru ini mampu meningkatkan
produksi rata-rata 50%,[12]
sehingga merupakan suatu kemajuan yang besar dan revolusioner. Inilah tahun
permulaan “revolusi hijau” di Indonesia pada umumnya.
Salah
satu faktor yang penting perannya dalam mendukung program Bimas adalah kredit.
Karena untuk memungkinkan efektifnya bibit unggul tersebut, harus digunakan
cukup banyak pupuk buatan dan karena pupuk ini harus dibeli dengan uang umumnya
tidak dimiliki oleh petani terutama petani kecil, maka pemerintah menyediakan kredit
yang diperlukan. Kelompok petani yang tidak memperoleh bagian kredit Bimas
dimasukan kedalam daftar petani Inmas. Areal Bimas adalah areal intensifikasi
dengan kredit BRI, sedangkan Inmas adalah areal intensifikasi di luarnya, yaitu
yang tidak memperoleh jatah kredit yang disediakan oleh pemerintah.[13]
Selanjutnya
salah satu tugas pemerintah dalam sistem ekonomi adalah mengusahakan rakyat
dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokoknya. Ditinjau dari tugas
pemerintahan berkewijiban yang demikian, maka dalam politik harga pemerintahan
berkewijiban agar harga-harga kebutuhan pokok rakyat terjangkau oleh daya beli
mereka, khususnya pada tingkat perkembangan ekonomi pada waktu itu, bagi
kelompok pendapatan yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Dalam hal
kebutuhan pokok seperti beras misalnya, pemerintah mempunyai pedoman harga
tertinggi yang dianggap wajar, sehingga pemerintah mengusahakan agar harga
tersebut tidak terlampui. Usaha untuk menetapkan harga maksimum ini dilakukan pemerintah
dengan berbagai cara, misalnya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lain yang pada
prinsipnya bertujuan sama.
Kebijakan pengadaan untuk menekan harga
sebagai ilustrasi makin banyak barang di pasaran, dengan permintaan tetap,
harga akan turun. Maka kalau pemerintah memberikan subsidi harga dengan
ilustrasinya sebagai berikut. Misalnya, kalau pertumbuhan produksi beras dalam negeri
belum secepat pertumbuhan penduduk, maka harga beras cenderung meningkat terus-menerus.
Dalam keadaan seperti itu pemerintah mengimpor beras dan menjualnya dalam
jumlah yang diperlukan di pasaran untuk menekan kembali harga beras. Keperluan
akan adanya subsidi timbul bila ternyata harga beras impor yang dibeli pemerintah
lebih tinggi daripada harga maksimum yang dianggap wajar oleh pemerintah.
Besarnya subsidi adalah sama dengan harga beras impor dalam rupiah (termasuk
ongkos angkut dan biaya-biaya lain di pelabuhan), dikurangi harga penjualan
pemerintah. Jumlah subsidi secara keseluruhan adalah besarnya subsidi per kg
dikalikan jumlahharga beras yang diimpor.
Musim tanam pada tahun 1969/1970 yaitu tahun
pertama Pelita I barulah secara resmi pemerintah mengumumkan apa yang disebut
harga dasar padi, yang ditetapkan bulan Agustus 1969. Harga dasar ini adalah
Rp.13,20 per kg padi kering lumbung kualitas madium pada tingkat petani.
Karena, dalam praktek BULOG tidak membeli beras atau padi langsung dari petani
maka harga dasar ini berlaku kedalam harga beras giling eks-penggilingan padi yaitu
Rp.36 per kg. Pada tingkat kota harga ini berlaku lebih lanjut menjadi Rp.47
per kg pada tingkat harga grosir. Sehubungan dengan ini ditetapkan pula harga
maksimum (ceiling priece) yaitu Rp.50 per kg pada tingkat eceran.[14]
Gelombang
Revolusi Hijau yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1970 an ternyata tidak
pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang relatif subur
seperti daerah persawahan tetapi juga melanda daerah-daerah lahan kering yang
secara potensial miskin. Keadaan ini sesuai dengan intruksi Menteri Pertanian
kepada Gubenur/Kepala Daerah Propinsi Seluruh Indonesia.[15]
Begitu juga di Daerah Gunungkidul yang sebagian besar tanahnya berupa lahan
kering mendapat terpaan gelombang Revolusi Hijau melalui program-program pembangunan
yang masuk ke daerah itu. Terdorong oleh masalah dilematis yakni apabila
pembangunan pertanian dilaksanakan dengan titik penekanan pada peningkatan
produksi pertanian, kerusakan tanah yang semakin parah akibat erosi tidak dapat
dihindarkan. Demikian juga, sebaliknya apabila pembangunan pertanian ditekankan
pada penanggulangan erosi berarti akan mengundang kelaparan, maka pembangunan
pedesaan di daerah ini dilakukan secara seimbang dan serasi.
B. Revolusi Hijau di
Gunungkidul
Masa
pemerintahan Orde Baru kebijakan pertanian lebih ditujukan untuk mengejar
produktivitas yang tinggi tanpa memperhatikan dampak yang muncul. Kebijakan
pertanian lebih ditujukan untuk mencapai suatu stabilitas politik melalui
kecukupan pangan dengan program Revolusi Hijaunya. Dalam konteks ini, Revolusi
Hijau dianggap sebagai jawaban terhadap upaya menciptakan stabilitas politik
sekaligus ekonomi. Pada masa Orde Baru prioritas swasembada pangan (beras)
menjadi prioritas utama. Beras dipandang sebagai produk kunci dalam
perekonomian Indonesia, karena kekurangan suplai pada harga yang wajar dapat
menjadi ancaman bagi kestabilitan politik dan ekonomi.[16]
Pemerintahan
Kabupaten Daerah Gunungkidul telah menerapkan teknologi tepat guna yang
disesuaikan dengan kondisi fisik dan sosial pada masa Revolusi Hijau. Teknologi
yang digunakan pemerintahan berkaitan dengan penggunaan pupuk buatan, perbaikan
prasarana produksi, perbaikan alat-alat produksi, penggunaan pemberantasan
hama, pengunaan obat-obatan, pemakaian bibit unggul, dan metode bercocok tanam
yang sesuai dengan kondisi alam. Adapun teknologi sosial berkaitan dengan
kelembagaan dan pranata kemasyarakatan yang dibutuhkan sebagai wahana
pemanfaatan teknologi yang berupa penempatan unit-unit produksi tani dan usaha pemanfaatan
lembaga-lembaga tradisonal seperti lembaga masyarakat desa serta lembaga gotong
royong guna menunjang pembangunan dibidang pertanian. Sejak tahun 1970-an
pemerintah Gunungkidul sudah merintis usaha pengendalian erosi melalui program
penghijauan.[17]
Pelaksanaan
Revolusi Hijau di Gunungkidul dalam menjalankannya Pemerintah daerah
Gunungkidul melakukan beberapa kebijakan, seperti penyediaan pupuk Urea.[18]
Kebutuhan akan pupuk Urea ini untuk mensukseskan program Bimas di daerah
tersebut. Selain itu, Pemerintah Gunungkidul dalam menanggulangi musim
Panceklik mengintruksikan kepada Camat dan Kepala Dinas Pertanian Gunungkidul
melakukan usaha-usaha untuk mengatasinya.[19]
Usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Gunungkidul agar masyarakatnya dianjurkan
dalam musim mareng atau musim kemarau supaya menanam tanaman pengganti gaplek
yang dapat dipanen pada akhir mareng, yaitu: cantel dan ketela rambat.
Selanjutnya, supaya menanam jenis polo kependem, misalnya: gembili, gembolo,
uwi, suweg, ganyong, garot, benguk, jenis koro-karoan, dan lain-lain. Usaha lainnya
juga menanam ketela pohon pada musim mareng di Gunung dengan cara memotong
ketela pohon yang bercabang dua atau tiga yang diperkirakan dapat dipanen pada
musim mareng 1974.
Sejak
tahun 1970-an Pemerintah Gunungkidul telah mengupayakan semua potensi sosial
dan teknologi pertanian agar masalah pembangunan di sektor pertanian dapat
tercapai dan kekurangan pangan dapat ditekan. Lembaga-lembaga baru di pedesaan
dibentuk seperti lembaga Wilayah Unit Desa (Wilud), Organisasi Petani Pemakai
Air (OPPA), kontak tani, kelompok tani, dan sebagainya. Dengan terbentuknya
lembaga-lembaga itu dan turut andil tokoh-tokoh masyarakat untuk menggerakkan
warga sangat besar.[20] Demikian
pula, dengan pemakaian teknologi pertanian, memang produksi tanaman pangan
dapat mengalami kenaikan. Tetapi, usaha untuk memaksimalkan produksi tanaman
pangan tidak cukup karena teknologi Revolusi Hijau yang diterapkan sangat
membutuhkan air mengalami kesulitan. Sedangkan, di Kabupaten Gunungkidul air
menjadi masalah utama yang sulit diperoleh terutama pada musim kemarau.
Pemerintah
Daerah Gunungkidul untuk mengusahakan akan kebutuhan air pada tahun 1973 telah
megupayakan pengadakan Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) disalah satu di
daerah yaitu Pantai Baron. Dalam laporan tersebut hasil dari pemasangan pompa
dapat menaikan air rata-rata ± 15 L/dt, penggunaan air tersebut telah
menghasilkan padi sawah jenis unggul ± 5 ha yang diperoleh ± 60 kwintal/ha
dantanaman palawija pada musim kemarau.[21] Meskipun
proyek tersebut berjalan lancar tetapi tidak semua daerah terpasang sumur pompa
mengakibatkan kebutuhan akan air di Daerah Gunungkidul secara umum masih
kekurangan. Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan air sangat tergantung pada air
telaga dan bak penampungan air hujan yang semuanya tergantung pada air hujan.
Intervensi
teknologi pertanian melalui program-program pembangunan pedesaan seperti di
atas. Selain mampu merubah kebiasaan petani dalam menggunakan alat-alat
produksi dan sarana produksi lainnya yang lebih modern juga hasil-hasil
produksi pertanian mengalami perubahan yang cukup berarti. Pengenalan padi
bibit unggul yang mempunyai batang pendek dan mudah rontok. Alat-alat produksi
pertanian tradisional yaitu ani-ani telah menggeser pengunaan dengan digunakannya
sabit yang lebih praktis dan tidak terlalu banyak menggunakan tenaga kerja.
Berkembangnya sarana irigasi dengan dibangunnya Chek-Dam dan pemasangan oncoran
sumur pompa diesel dibeberapa tempat di daerah Gunungkidul, selain mampu meningkatkan
jumlah produksi juga membawa akibat berubahnya sebagian sawah tadah hujan
menjadi sawah irigasi.[22]
Begitu juga masuknya alat penggilingan padi modern (huller) telah mengeser
pemakaian alat-alat tradisional seperti alat penumbuk padi (alu atau lesung).
Beberapa
usaha pemerintah daerah Gunungkidul untuk meningkatkan produksi masyarakat,
namun aktivitas itu yang baru dan tumbuh berkembang belum mampu untuk
menciptakan peluang-peluang yang berguna bagi masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk pedesaan. Baberapa keberhasilan petani dalam meningkatkan
produksi pangan tersebut bisa dikatakan merupakan kemajuan dalam sistem
pertanian rakyat, yang berarti juga ada perbaikan ekonomi bagi keluarga petani.
Namun, semua itu belumlah mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, khususnya
pada musim paceklik[23] lihat
gambaran (data terlampir). Di samping itu, suatu hal yang menjadi kendala
mereka dalam meningkatkan produksi pangan adalah masalah pengairan yang masih
sangat terbatas bahkan kekurangan pada musim kemarau.
Pada
musim paceklik Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memberi bantuan kepada
masyarakat Gunungkidul dengan mendatangkan makanan pengganti pangan seperti jagung.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam menanggapi kedatangan bantuan tersebut
dengan meyediakan gudang paceklik.[24]
Demikianlah usaha-usaha Pemerintah Gunungkidul dengan melakukan beberapa
kebijakan dalam mensukseskan Revolusi Hijau di Gunungkidul, serta Pemerintah
Gunungkidul juga melakukan usaha-usaha agar masyarakatnya terhindar dari bahaya
kelaparan.
Revolusi
Hijau di satu pihak telah berhasil meningkatkan produksi beras tetapi di pihak
lain telah menimbulkan pembagian keuntungan yang tidak merata dan dampak-dampak
sosial ekonomi pada masyarakat pedesaan yang timbulnya gejala statifikasi
sosial.[25]
Kesejahteraan petani
miskin dan buruh tani tak bertanah tetap mandek atau bisa diperbaiki pada
tingkat yang sangat lambat. Revolusi Hijau lebih menguntungkan petani kaya
daripada petani miskin. Karena, petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya
berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya dibandingkan petani kecil,
petani kaya dapat menanggung resiko gagal panen yang diakibatkan oleh beberapa
faktor-faktor yang tidak dikuasai petani kecil dan petani kaya dapat
memperbesar produksinya dengan cara menyewa walaupun tidak menimbulkan
akumulasi pemilikan tanah tetapi menimbulkan akumulasi penguasaan tanah.
C. Produksi Pertanian
di Gunung Kidul
Seperti
halnya daerah-daerah lain di pedesaan Jawa, masyarakat Gunungkidul sudah lama
mendasarkan penghidupannya dengan bercocok tanam atau bertani. Kondisi alam
yang kurang menguntungkan karena tandus dan berkapur bukanlah merupakan
hambatan bagi penduduknya untuk mengembangkan pertanian demi kelangsungan
hidupnya. Meskipun mereka kadang-kadang mengalami kekecewaan karena hasil yang
diperolehnya kurang baik tidak jarang juga kegagalan penen selalu menghantui
para petani. Di daerah ini ada juga tanah pertanian dengan perairan tetap
(oncoran) dibeberapa Kapanewon atau kecamatan dengan luas areal kurang dari
1.500 hektar, yaitu di Patuk 1.419 hektar, Nglipar 1.193 hektar, Semin 1.379 hektar
dan Ngawen 1.104 hektar.[26]
Namun
begitu pengairan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan pangairan untuk areal
pertanian rakyat secara umum di Daerah Gunungkidul. Hal itu menyebabkan
produktivitas tanah di daerah Gunungkidul menjadi rendah karena fasilitas yang
mendukung pertanian, seperti: irigasi yang belum memenuhi syarat bagi pertanian
hanya ada di beberapa daerah saja. Suatu sistem pertanian yang sudah lama
dikembangkan oleh para petani Gunungkidul dalam mensiasati keadaan tanahnya
yang sebagian besar tidak subur adalah dengan bercocok tanam menggunakan sistem
atau siklus mongso. Dalam sistem ini kegiatan pertanian di bagi empat tahap,
yakni mangso ketigo, mangso labuh, mangso rendheng dan mangso mareng.
Mangso
Ketigo (kemarau), antara bulan Juni sampai Agustus merupakan waktu pengolahan
tanah dan mempersiapkan lahan pertanian. Mangso Labuh, antara bulan September
sampai November saat hujan mulai turun merupakan awal masa tanam beberapa jenis
tanaman seperti ketela pohon, padigogo, jagung, jewawut, dan cantel yang ditanam
dalam satu lahan atau dikenal dengan sistem penanaman tumpang sari. Mangso
Labuh merupakan awal penanaman kacang tanah dan kedelai. PadaMangso Rendhereng
(penghujan), biasanya terjadi pada bulan Desember sampai Februari para petani
melakukan kegiatan pemeliharaan tanaman, penyiangan, dan pemberantasan hama tanaman.
Sedangkan, pada Mangso Mereng antara bulan Maret sampai Mei biasanya para
petani melakukan panen terhadap tanaman-tanaman tertentu, seperti: jagung,
cantel, padigogo danjawawut.[27]
Cara
bercocok tanam semacam itu para petani mencoba untuk fleksibel terhadap
keteraturan alam sekaligus untuk menghindari bahaya kegagalan panen. Dalam
sistem tersebut persoalan yang muncul adalah kurang bisa maksimalnya hasil
produksi pertanian (padi) karena para petani hanya memanen padi sekali dalam
setahun. Meskipun demikian disana ubi kayu dihasilkan lebih dari cukup untuk
persediaan bahan pangan masyarakat desa. Keadaan seperti itu disebabkan
ladang-ladang ubi kayu yang luas ada kalanya tidak sempat dipenen selama dua
tahun atau lebih. Bibit pun hanya diambil dari batang yang tidak dapat dimakan,
sehingga tidak mengurangi produksi pangan. Namun, harus diingat bahwa didaerah
ini boleh dikatakan tidak ada sumber-sumber pendapatan lainbagi kaum tani di
luar ladangnya.[28]
Petani
yang mengusahakan tanaman padi di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya
menggunakan sistem pola tanam tumpangsari sebagai upaya yang sering dilakukan
petani di daerah kering. Maksud penggunaan pola tanam itu adalah untuk
memperoleh produktivitas dari berbagai macam tanam dalam sekali waktu tanam
sambil menunggu panen ketela pohon yang relatif panjang usianya berkisar 7-10 bulan.[29]Sistem
tumpangsari pada umumnya menggunakan proses tanaman pada satu lahan ditanami
berbagai macam tanaman lainnya. Misalnya, padi gogo ditanam bersama dengan
tanaman lain seperti canthel dan jagung. Selain itu, ketela pohon ditanam satu
lahan dengan kacang tanah, kedelai, dan sebagainya. Kondisi ini disebabkan terbatasnya
kesempatan untuk melakukan penanaman yang sumber pengairannya sangat tergantung
pada curah hujan. Dengan demikian, kegiatan pola tanam hanya dapat berlangsung
bila musim hujan tiba, sedangkan pada musim kemarau kegiatan pola tanam tidak
dapat dilakukan.
Sistem
tumpangsari yang dilakukan oleh petani di daerah Gunungkidul mempunyai
pertimbangan komersial untung-rugi. Karena, dalam menanam tanaman yang
berlainan jenis tetapi kedudukannya sama mereka lebih cenderung mengutamakan
tanaman jenis tertentu yang hasilnya lebih produktif dan menggunakan alat-alat
produksi tertentu untuk lebih mengalokasikan sumber produksi semaksimal
mungkin. Sistem bercocok tanam seperti itu selama bertahun-tahun tidak
mengalami perubahan yang cukup berarti. Selama belum ada perubahan drastis
umpamanya dengan tersedianya air yang melimpah ruah. Sehingga, menarik petani
untuk memproduksi satu jenis tanaman yang dapat diandalkan maupun menunjang kesejahteraan
keluarganya.
Sejak
tahun 1969 perkembangan pertanian berusaha tidak menggunakan pupuk kandang
namun telah menggunakan cara-cara modern seperti penggunaan pupuk buatan dan
menerapkan teknologi Revolusi Hijau.[30] Meskipun
telah digunakan teknologi modern, tetapi produktivitas lahan pertanian sangat
terbatas karena teknologi Revolusi Hijau sangat membutuhkan air. Adapun air
yang telah diusahakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul guna mengembangkan
sumber air tanah melalui penerapan sumur pompa Diesel yang selanjutnya dikenal
dengan Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) tidak mencukupi kebutuhan air
penduduk, sehingga penduduk masih dalam taraf subsisten dan hasil yang
diperoleh baru dinikmati untuk kebutuhan minimal mereka sendiri.
Rendahnya
produktivitas pertanian juga disebabkan rendahnya intensitas penggunaan pupuk.
Petani di daerah kabupaten Gunungkidul pada umumnya sering menghadapi
kelangkaan pupuk Urea,[31]
meskipun BIMAS telah membantu untuk mengusahakan adanya pupuk tersebut.[32]
Kondisi ini disebabkan persediaan pupuk masih terbatas, sedangkan permintaan
pupuk jenis Urea itu melampui target lihat gambaran (Data Terlampir). Oleh
karena itu, persediaan pupuk terbatas maka harga dipasar bebas melonjak dratis
yaitu bisa mencapai 50% lebih.
Dengan
demikian, petani sulit mencari pupuk yang karena terbatasnya pupuk yang
tersedia dan karena mahalnya harga pupuk. Kondisi ini menyebabkan petani tidak
mampu membeli pupuk dan terpaksa hanya menggunakan pupuk kandang. Kurangnya
pengunaan pupuk itulah yang mengakibatkan kwalitas produksi rendah sehingga,
pendapatan petani juga rendah. Oleh karena, rendahnya pendapatan petani maka
petani tidak memprioritaskan untuk mengembalikan kredit Bimas, tetapi petani
lebih mementingkan untuk mencukupi kebutuhan lainnya seperti pembayaran sekolah
anaknya dan kebutuhan keluarga lainnya.
Rendahnya
produktivitas padi di Kabupaten Gunungkidul mengakibatkan hasil tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Pengembangan tanaman padi sulit
dilakukan di Kabupaten Gunungkidul karena, Pertama, sulitnya sumber air untuk
keperluan pertanian, khususnya pada musim kemarau, air yang diharapkan adalah air
hujan, sehingga musim tanam tergantung pada curah hujan. Kedua, kondisi tanah
yang dapat ditanami padi hanya 6.080 Ha berupa sawah dan tegal 84.907 Ha.[33]
Ketiga, tidak cocoknya sebagian besar tanah untuk ditanami padi kerena jenis
tanah yang berbukit bukit dan berupa tanah kapur.
Di
Daerah Kabupaten Gunungkidul walaupun daerahnya sebagian besar tidak cocok
menanam padi, biasanya disana ketela pohon dihasilkan lebih dari cukup untuk
persediaan masyarakat desa. Mekipun produktivitas padi rendah, namun hasil itu
dapat mencukupi kebutuhan minimum penduduk dan sebagian hasil itu terpaksa di
jual pada waktu panen tiba kerena, penduduk harus memenuhi kebutuhan lainnya.
Adapun ketika ketika musim paceklik tiba petani juga harus membeli kembali atau
mengganti ketela pohon sebagai makanan pokok. Untuk lebih jelasnya hasil produksi
di Daerah Gunungkidul[34]
lihatgambaran(Data Terlampir).
Satu
hal lagi yang sangat menunjang sektor pertanian rakyat di daerah Gunungkidul
adalah peternakan lembu. Hampir mayoritas petani yang cukup mampu memelihara
lembu lebih dari satu ekor yang kemudian setelah besar lembu itu dijual untuk
dijadikan modal atau untuk kepentingan lainnya. Sudah lama bahkan, daerah
Gunungkidul dikenal sebagai pemasok lembu untuk kosumsi protein hewani di daerah
DIY pada umumnya. Para petani sering kali memanfaatkan lembunya untuk membajak
sawah serta ada kalanya untuk mengela gerobak sebagai alat pengangkut
hasil-hasil produksi pertanian. Di samping fungsinya di bidang pertanian
ternak-ternak seperti di kutip oleh Soemardjan dari Robert K Merton, lembu
tersebut mempunyai fungsi tersembunyi dalam menaikan prestise sosial bagi
pemiliknya, karena dipandang sebagai lambang atau ukuran kekayaan di desa.[35]
Di kalangan petani bawah memelihara lembu adalah suatu kebanggaan tersendiri
karena jarang diantara mereka mempunyai cukup uang untuk membelinya kecuali kalau
mereka sedang mendapatkan rezeki besar.
Pada tingkat nasional
program peningkatan produksi ini berjalan lancar dan mampu menaikan produksi
beras dengan tingkat yang cukup tinggi.[36] Sehingga,
pada tahun 1970-an pemerintah bahkan menunjukkan beberapa kekhawatiran akan
terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan target produksi. Ternyata
optimisme ini kurang berdasar karena disamping angka-angka produksi masih belum
meyakinkan juga akumulasi stok beras masih belum mencapai jumlah yang menentramkan.
Dalam situasi demikian terjadilah musim kemarau yang panjang pada tahun 1970-an
yang berakibat kegagalan panen di Indonesia. Begitu juga di daerah Gunungkidul
tidak terlepas dari kegagalan panen dan musim kemarau tersebut.
Dalam
menghadapi musim kemarau khususnya Pemerintah Daerah Gunungkidul berupaya
mengatasi krisis beras tersebut dengan mengkonsumsi tanaman pengganti pangan
seperti ketala pohon. Disamping itu tidak tercapainya swasembada beras pada
akhir Repelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya.
Impor beras yang sangat besar (lebih dari dua juta ton) sehingga hampir
mencapai 30% dari seluruh beras yang diperdagangkan di pasar dunia tidak
menguntungkan Indonesia.[37] Sementara
itu timbul pula dugaan bahwa perhatian yang terlalu berlebih lebihan pada
produksi beras memang telah mengakibatkan kelesuaan produksi tanaman-tanaman
pangan lain di luar beras. Demikianlah gambaran umum pelaksanaan Revolusi Hijau
di Indonesia serta pelaksanaan Revolusi Hijau di Gunungkidul pada khususnya.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Kondisi
sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul dapat dilihat dari tata guna tanah atau
penggunaan tanah oleh petani. Penggunaan tanah oleh petani tidak hanya terbatas
pada satu macam tanah saja apabila dilihat dari letak tanahnya. Terdapat tiga
macam tanah yang dapat diusahakan oleh petani yaitu tanah perkarangan, tanah
tegalan, dan tanah lereng bukit atau lereng gunung. Gelombang Revolusi Hijau
yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1970-an ternyata tidak pilih kasih.
Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang relatif subur seperti daerah
persawahan tetapi juga melanda daerah-daerah lahan kering yang secara potensial
miskin. Begitu juga di Daerah Gunungkidul yang sebagian besar tanahnya berupa
lahan kering mendapat terpaan gelombang Revolusi Hijau melalui program-program
pembangunan yang masuk ke daerah itu. Terdorong oleh masalah dilematis yakni
apabila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan titik penekanan pada peningkatan
produksi pertanian, kerusakan tanah yang semakin parah akibat erosi tidak dapat
dihindarkan. Demikian juga, sebaliknya apabila pembangunan pertanian ditekankan
pada penanggulangan erosi berarti akan mengundang kelaparan, maka pembangunan pedesaan
di daerah ini dilakukan secara seimbang dan serasi.
Revolusi
Hijau di satu pihak telah berhasil meningkatkan produksi beras tetapi di pihak
lain telah menimbulkan pembagian keuntungan yang tidak merata dan dampak-dampak
sosial ekonomi pada masyarakat pedesaan yang timbulnya gejala statifikasi
sosial. Kesejahteraan petani miskin dan buruh tani tak bertanah tetap mandek
atau bisa diperbaiki pada tingkat yang sangat lambat. Revolusi Hijau lebih
menguntungkan petani kaya daripada petani miskin. Karena, petani kaya lebih
mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimilikinya
dibandingkan petani kecil, petani kaya dapat menanggung resiko gagal panen yang
diakibatkan oleh beberapa faktor-faktor yang tidak dikuasai petani kecil dan
petani kaya dapat memperbesar produksinya dengan cara menyewa walaupun tidak
menimbulkan akumulasi pemilikan tanah tetapi menimbulkan akumulasi penguasaan
tanah.
Rendahnya
produktivitas padi di Kabupaten Gunungkidul mengakibatkan hasil tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Pengembangan tanaman padi sulit
dilakukan di Kabupaten Gunungkidul karena, Pertama, sulitnya sumber air untuk
keperluan pertanian, khususnya pada musim kemarau, air yang diharapkan adalah
air hujan, sehingga musim tanam tergantung pada curah hujan. Kedua, kondisi
tanah yang dapat ditanami padi hanya 6.080 Ha berupa sawah dan tegal 84.907 Ha.
Ketiga, tidak cocoknya sebagian besar tanah untuk ditanami padi kerena jenis
tanah yang berbukit-bukit dan berupa tanah kapur.
Lembaga
pemilikan tanah di pedesaan Gunungkidul dibedakan menjadi dua bentuk
kepemilikan, yakni pemilikan perorangan atau individu dan pemilikan komunal
atau tanah desa. Sistem kepemilikan dan penguasaan tanah atau pelepasan hak
atas tanah kepada orang lain secara tetap dapat diakibatkan karena warisan atau
hibah dan jual beli. Penguasaan tanah dan kepemilikan tanah di pedesaan
Gunungkidul pada awal tahun 1970-an tidaklah jauh berbeda dengan daerah-daerah
lain di Jawa yakni sangat timpang. Kemungkinan besar keadaan lebih parah lagi
karena tanah yang diusahakan petani sebagian besar merupakan tanah kering yang
tandus dan tidak subur.
Kabupaten
Gunungkidul pada masa itu masyarakat pedesaannnya kebanyakan petani miskin.
Daerah-daerah miskin disebabkan oleh faktor alam dan faktor pendidikan. Kondisi
ini tidak dapat disangkal melihat jenis tanahnya yang kebanyakan berbukit-bukit
karang atau batu kapur serta banyaknya telaga dan genangan air hujan, sedangkan
pada musim kemarau penduduknya sangat kekurangan air. Penyebab kondisi
kemiskinan salah satunya karena terbatasnya sumber daya air yang dibutuhkan
penduduk untuk mandi, minum, dan pengairan sawah. Pada musim kemarau kebutuhan
akan air penduduk tidak tercukupi. Sehingga, sebagian masyarakat membeli air
atau kadang-kadang mendapatkan sumbangan air yang dialirkan melalui pompa.
Pendidikan
pada masyarakat Gunungkidul secara umum masih sangat kurang. Hal ini dapat
dilihat rendahnya tingkat pendidikan orang-orang dewasa yang ada pada masa itu
seperti umumnya masyarakat pedesaan di Indonesia. Di Kabupaten Gunungkidul
belum banyak orang memperoleh pendidikan yang cukup atau pendidikan yang
formal. Secara tradisional masyarakat Gunungkidul telah mengenal pendidikan
yang mempunyai kaitan dengan pembentukan kepribadian dan tata susila untuk
hidup berdampingan dengan orang lain sehingga tercipta suatu hubungan antawarga
yang harmonis. Pendidikan tradisional ini dimulai sejak orang masih kecil di
dalam lingkungan keluarga sebagai bentuk sosialisasi dari anak.
Karena
rendahnya tingkat pendidikan bagi anak-anak di Gunungkidul ini ternyata hal itu
sangat kompleks. Hal ini disebabkan terbatasnya fasilitas yang ada dan lebih
penting lagi tidak ada dorongan dari orang tua mereka untuk menimba ilmu dan
tidak adanya suasana untuk terselenggaranya suatu proses dan kesempatan belajar
bagi anak-anak mereka. Para orang tua tidak ingin anak-anak mereka menjadi
pandai dan berwawasan luas. Bila anak mereka sudah dapat membaca, menulis dan
berhitung secara sederhana hal itu dirasa cukup bagi para orang tua. Hal yang
sangat ditanamkan bagi arang tua adalah kelak anak-anak mereka dapat
menggantikan para orang tua untuk menjadi petani yang akan dapat mewarisi usaha
taninya setelah mereka dewasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
sejak kecil anak-anak sudah diajak untuk ikut membantu orang tua mereka di
tegalan.
Kondisi
sosial ekonomi petani diperburuk oleh beberapa faktor. Pertama, tanah menjadi
bagian-bagian kecil yang ditimbulkan oleh hak waris tanah Jawa yang cenderung
untuk meningkatkan pemusatan kepemilikan tanah di tangan tani kaya atau tuan
tanah. Kedua, faktor yang berjalan seiring dengan proses di atau adalah
meningkatnya pengangguran di daerah pedesaan yang mengakibatkan tekanan ekonomi
luar biasa dan kemelaratan di desa. Ketiga, proses monetisasi melalui
proses-proses modernisasi teknologi yang mengakibatkan petani terjerumus
kedalam pusaran hutang. Keempat, semua jenis usaha pembangunan mengakibatkan
polarisasi di desa-desa yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi
semakin miskin.
[1] Loekman Soetrisno, Pertanian Pada abad ke 21. Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,
1998, hlm 13.
[3] Ruf Francois and Frederic
lancon,” From Slash and Burn to
Replating: Green Revolution in the Indonesia Uplands”,a.b. Yoddang, Dari Sistem
Tebang Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia.
Jakarta:Salemba Empat, 2005, hlm. 4.
[6] Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa
Depan.Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 137.
[8] Ibid., hlm. 42.
[9] Arifin Hutabarat, Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta:
Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1974,hlm. 43.
[15] Surat Menteri Pertanian Kepada
Gubenur/ Kepala Daerah Propinsi seluruh Indonesia, Prihal: Pemberitaan Usaha-usaha Pembangunan. Djakarta, 26 Mei 1971.
[16] Noer Fauzi dan Khrisna Ghimire, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria: Jalan
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001,
hlm. 256.
[17] Machmoeh Effendhi, Peluang Kerja dan keadaan Ekonomi Masyarakat
Desa di Daerah kering: Kasus Gunungkidul (1969-1983).Yogyakarta: Skripsi
Fakultas Sastra UGM, 1993, hlm. 22.
[18] Surat BupatiDaerah tingkat II
Kab. Gunungkidul Kepada Kepala P.N. Pertanian Kesatuaan Pemasaran D. I.U d/a
Djl. A.M. Sangadji 19 di Yogyakarta, Prihal:
Penyediaan Pupuk UREA untuk M.H. 1971/ 1972. Wonosari, 11 Oktober 1971.
[19] Surat Bupati Kepala Daerah
Gunungkidul Kepada Camat se-Kab. Gunungkidul dan Kepala Dinas Pertanian Kab.
Gunungkidul, Prihal: Usahausaha
Menanggulangi Paceklik Th. 1973-1974. Wonosari, 1 Januari 1973.
[20] Nur Aini Setiawan, Kemiskinan di Kecamatan Rongkop : Kabupaten
Gunungkidul Periode 1970-1995. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas
sastra UGM, 1996, hlm. 34.
[21] Surat Bupati Kepala daerah
Gunungkidul Kepada Kepala Biro otonomi dan Desentralisasidaerah Istimewa
Yogyakarta, Prihal: Pemanfaatan Pompa
Pantai Baron.Wonosari, 28 November 1974.
[23] Surat Bupati Kepala Daerah
Gunungkidul Kepada S.P. Wakil Kepala Daerah D.I.Y di Yogyakarta,Prihal: Data-data Daerah Secara Rutin
Kekurangan Pangan secara Serius dan Rencana Untuk Mengatasinya. Wonosari,
31 Januari 1973.
[24] Surat Bupati Kepala Daerah
Gunungkidul Kepada S.P. Wakil Kepala Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Prihal: Penyediaan Gudang Paceklik. Wonosari,
12 februari 1973.
[26] BIRO STATISTIS DAERAH YOGYAKARTA,
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta:Bagian
I.Tahun 1973, hlm. 26.
[27] Fadjar Pratikto, Gerakan Rakya Kelaparan. Gagalnya Politik
Radikalisasi Petani. Yogyakarta: MediaPresindo, 2000,hlm 41.
[28]
Selo
Soemardjan, Perubahan Sosial di
Yogyakarta. Yogyakarta: Gdjah mada University Pess, 1991,hlm. 183 dan 188.
[31] Surat Kepala Harian Kepada Ketua
Badan Pembina Bimas D.I.Y di Yogyakarta,Prihal:
Kekurangan Pupuk.Wonosari, 22 Desember 1973.
[32] Surat Inspektur/Kepala Dinas
Pertanian dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada S.P. wakil kepala
Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Prihal:
Dropping Pupuk ke Gunungkidul.Yogyakarta, 16 Februari 1974.
[34] Biro Pusat statistik Kantor
Statistik Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten
daerah Tingkat II Gunung Kidul Dalam Angka Tahun 1980. Hasil Kerjasama
Pemerintah Daerah dan Kantor Statistik, hlm. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar