Judul Buku : KOELI KONTRAK TEMPO DOELOE
Dengan Derita dan Kemarahannya cetakan ke-II
Pengarang : H. MUHAMMAD SAID
Penerbit : PT. PRAKARSA ABADI PRESS MEDAN
Tahun Terbit : 1990
Jumlah Halaman : 193 halaman
BAB I
LATAR BELAKANG
Sejak 1786 Pulau Pinang berhasil
dikuasai Inggris menyusul pada tahun 1819 Raffles berhasil mencuri pulau
Singapura dari Sultan Riau yang menyebabkan wilayah Selat Malaka semakin
menonjol. Sejak saat itu pula Inggris merasa perlu untuk memenangkan persaingan
dengan Belanda di kawasan ini. Untuk itu, pada tahun 1822 Gubernur Inggris
menugaskan sekretarisnya yaitu John Anderson untuk mengadakan peninjauan
langsung ke pantai timur Pulau Sumatera. Hasil peninjauannya lalu dilaporkan kepada
atasannya kembali dan juga tersiar dalam bentuk buku.
Wilayah yang ia kunjungi meliputi
kesultanan Deli, Serdang, Langkat, Batu Bara dan wilayah lainnya di kawasan
Pantai Timur Sumatera. Hasil dari peninjauannya meliputi jenis-jenis tanaman
yang ditanam di wilayah Pantai Timur Sumatera, kampung-kampung, kondisi
permukiman penduduk, peternakan, jumlah penduduk, kondisi kesultanan, keadaan
sosial ekonomi bahkan hal-hal yang terkait dengan pemimpin wilayah itu yaitu
mengenai Sultan-sultan yang terdapat di wilayah itu.
Pada tahun 1854 Aceh mendatangkan
pameran bendera ke wilayah Sumatera Timur dengan hasil Deli, Serdang, dan
Langkat meneguhkan pengakuan mereka di bawah pertuanan Aceh. Namun Nafsu
Belanda yang ingin menguasai seluruh Sumatera membuat timbulnya ketegangan
antara Aceh dengan Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1857 diadakan
perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Namun, pada 1 Februari 1858
Belanda melakukan kecurangan dengan membuat suatu perjanjian politik dengan
Siak yang berisi bahwa Siak mengakui kedaulatan Belanda dan bahwa termasuk
menjadi wilayah Siak adalah kerajaan-kerajaan di pantai barat laut Siak, yakni
Panai, Bilah, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut,
Perbaungan, Deli, Langkat, dan Tamiang.
Sejak saat itu hubungan antara Belanda dan Aceh semakin buruk.
Untuk merealisasikan perjanjian
politik antara Siak dengan Belanda, maka dibentuklah suatu panitia yang pada
Agustus 1682 menghantarkan seorang Residen Riau yaitu Elisa Netscher untuk
memainkan pameran bendera agar terlaksananya penjajahan Belanda di Sumatera
Utara dan Aceh. Wilayah pertama yang dikunjungi untuk ditaklukan adalah Panai
dan Bilah, lalu Serdang, Deli, Langkat. Perjanjian politik yang ditandatangani
oleh Sultan dengan Belanda pada tanggal 22 Agustus 1862 secara formil hanya
menentukan pengakuan Sultan “mengikut
pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gouvernement Hindia Nederland”.
Tidak
seperti Sultan lainnya, Sultan Deli baru mengakui kedaulatan Belanda pada saat
diperbaharui perjanjian politik tersebut yaitu pada tanggal 2 Juni 1907.
Sedangkan Sultan Serdang hingga Oktober 1865 tidak menggubris kedaulatan
Belanda. Sesudah pasukan pendaratan Belanda tampil dalam jumlah besar, barulah
Sultan Basyarudin mengulangi mencecahkan tanda tangan dan mengakui kedaulatan
Belanda.
Pada
tahun-tahun berikutnya masih terjadi persaingan dan perebutan kekuasaan antara
Inggris dan Belanda. Sejak keberangkatannya pertama kali ke Sumatera Timur
yaitu pada Tahun 1862 tak lupa pula Netscher mengumpulkan data mengenai
perkembangan ekonomi di wilayah itu.
BAB II
MINAT PENANAM MODAL ASING KE DELI
Kedatangan
peminat-peminat Belanda ke Deli tidak terlepas dari peran seorang Syaid
Abdullah Ibnu Umar Bilsagih. Ia adalah kelahiran Surabaya yang berniaga antar
pulau dengan menggunakan kapalnya sendiri, di mana ia juga menjadi nahkodanya.
Pada suatu waktu kapalnya karam, sehingga ia pun berkelana dan terdampar di
Deli. Di sini ia dapat mendekatin Sultan Deli. Sultan Deli yang menyukai
kepribadian Abdullah, ia pun dinikahkan oleh Sultan dengan adik perempuannya.
Dan ia juga dipercayain oleh sultan untuk menjadi penasehat Sultan. Banyak
sekali jasanya dalam menasehatin Sultan supaya ber-belanda saja.
Sultan
pun tertarik atas nasehan Abdullah, dan menugaskan ia untuk berangkat ke Jawa.
Setibanya Abdullah di Jakarta dengan cepat ia berhasil membangkitkan animo para
penguasa Belanda untuk menanamkan modalnya di pertembakauan di Deli. Maka pada
tahun 1863 seorang Belanda bernama Jacobus Nienhuys bersama firman J.F van
leeuwen pergi ke Deli dan tiba di Deli pada tanggal 7 Juli 1863. Setibanya di
Deli, Sultan menyambut mereka dengan sangat baik. Mereka diberi Sultan tanah
konsesi untuk penanaman tembakau seluas 4000 bau yang letaknya di tepi Sungai
Deli. Konsensi ini diberikan selama 20 tahun. selain itu Sultan juga memberikan
Jacobus Nienhuys konsensi tanah yang mana selama lima tahun pertama dia
dibebaskan dari membayar pajak dan
sesudah itu baru dikenakan biaya sewa $ 200 gulden/ tahun.
Nienhuys
pun mencoba membukan perkebun tembakau pertamanya namun dalam usahanya ini ia
mengalami kegagalan dan mengalami kerugian yang sangat besar, Nienhuys belum
mampu memenuhi jumlah tembakau yang diminta oleh Pieter van den Arend
(perusahaan yang membiayai usaha Nienhuys) ia hanya mendapatkan 50 bal tembakau
yang dikirim ke Rotterdam. Produksi pertama ini menghasilkan uang bagi usaha
Nienhuys dengan harga 48 sen per 1/2 kilo tembakau. Pada penanaman berikutnya
Nienhuys mencoba menggunakan sistem borong seperti di jawa dengan uang pajar (pembayaran di muka).
Meskipun sistem pemborong menerima bayaran di muka, tetapi Nienhuys tidak
mendapatkan jaminan dari situ, ia hanya mendapatkan beberapa ribu batang
tembakau dari hasil panennya dan itu tidak cukup untuk memenutupi modal yang
sudah ia keluarkan.
Kegagalan
Nienhuys dalam sistem borongan yang ia terapkan, Nienhuys membuka lagi kebun
pecobaan di atas sebidang tanah yang ia sewa.di kebun percobaan itu ia sangat
membutuhkan banyak tenaga kerja. Tetapi para petani Melayu dan Batak menolak
untuk bekerja di kebun tembakau miliknya. Maka ia pun mendatangkan pekerja dari
luar Sumatera Timur yakni Penang ia bekerja sama dengan Haji asal Jawa yang
menyanggupin membawa serta calon pekerja kebun Tembakau Deli. Tetapi hasil
panen dari sistem borong haji asal jawa tidak memuaskan, Ia pun memutuskan
kotrak dengan pak Haji.
Pada
tahun 1865 Nienhuys menyewa sebuah rumah orang Melayu di Martubung, di
Pinggiran Sungai Deli. Ia pun mendatangkan 88 kuli Cina dari Penang dan 23 kuli
melayu (buruh harian). Pada akhir musim panen di Tahun 1865 kebun Nienhuys
menghasilkan 189 bal tembakau dalam mutu terbaik dan laku di pelelangan di
Rotterdam 149 sen per ½ kilogramnya. Tetapi usaha ini tetap dianggap gagal oleh
Pieter van den Arend dan memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan
Nienhuys. Kemudian untuk terus menanam tembakau di deli Nienhuys mencari
investor lain yang mau menanamkan modalnya di perkebunan tembakau Deli. Dan ia
punberhasil mendapat dukungan dari G.C Clemen dan P.W Janssen dengan permulaan
f 10.000. sepulangnya Nienhuys dari Negeri belanda, ia pun berhasil mendapatkan
konsensi tanah selama 99 tahun yang terletak antara sungai Deli hingga Deli
Tua. Pada tahun 1868 keuntungan yang diperoleh Nienhuys mencapai 100 % dan
ditahun 1869 mencapai 200%. Hal ini lah dapat meyakinkan Bank Naderlandsche
Handel Maatschappij di belanda utuk memberi modal untuk penanamn tembakau di
Deli yang memiliki mutu Tinggi. Karena keberhasilan Nienhuys dalam penanaman
tembakau maka di tahun 1869 Nienhuys dengan dua orang rekatnya mendirikan
perusahan yang dikenal dengan nama Deli Maatschappji. Dan dengan semakin maju
dan ramainya Deli maka banyak perusahaan
perusahaan lain yang ingin menanamkan modalnya di Deli.
Untuk merekrutan kuli pihak Belanda
menggunakan jasa Broker (Makelar). Broker-broker itu dalam merekrut kuli tidak
dengan cara penyaringan, malah sebaliknya mereka melakukan dengan cara menipu.
Misanya calon kuli awalnya diajak untuk pergi menonton wayang tetapi setibanya
di tepi pantai calon kuli di Dorang masuk
ke kapal dan lain lain.
BAB III
KONSENSI MEMPERCEPAT MELETUSNYA
PEMBERONTAKAN SUNGGAL 1872
Luasnya
tanah yang diberikan Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang kemudian pindah kepada
Deli My yang meliputin daerah Mabar, Pulau Berayan, Gelugur, Kesawan, Sukaraja,
Sungai mati, Kampung Baru dan Deli Tua dan terus bertambah luasnya dari tahun
ketahun dan di dalam akte konsensi tidak ada dijelaskan atau ditekankan bahwa
tanah-tanah yang sudah menjadi kampong atau perladangan tidak turut menjadi
tanah konsensi. Hal ini lah yang memicu pemberontakan yang dilakukan oleh Datuk
kecil yang kita kenal dengan Perang sunggal.
Dalam
laporan Residen Netscher di Riau sudah tercatat sebanyak 20 buah perkebunan
dikonsensikan oleh sultan yang bersangkutan ketika mencapai tahun 1871 mengkonsensika tanahnya seluas 17.000 bau,
dan itu tidak terhitung dari 3000 bau tanah yang belum di tanamin tembakau.
Tahun
1870 sultan deli mengkonsensikan sebidang tanah yang luas di Sunggal, padahal
tanah itu yang kemudian dikenal “ Onderneming Rotterdam” sudah ditempati oleh
rakyat petani setempat. Tetapi Sultan tidak memperdulikan hal itu ia tetap
mengkonsensikan tanah itu, bahkan ia memaksa kepada Sri Raja yang masih muda
dan belum sah di nobatkan sebagai perwakilan Datuk Kecil atas dirinya untuk
memegang fungsi datuk Sunggal supaya menetujuin pemberian konsensi itu.
Datuk
kecil yang melihat begitu baiknya hubungan Belanda dengan Sultan Mahmud yang
begitu keterlaluan, maka datuk kecil pun melakukan protes dan dengan dukungan
dari pak tani pemilik sah tanah-tanah yang di konsensikan itu menghimpun
kekuatan dalam merealisasikan sikap yang mereka pertahankan.
Seorang
Datuk lain, yakni Datuk Jalil, saudara dari datuk Kecil, yang tinggal dalam
wilayah Langkat (tapi dalam persengketaan batas dengan Sultan Deli), sudah
menarik diri ke pedalaman karena tidak setuju
atas politik Pangeran yang merangkul Belanda.
Dengan
sikap anti-Belanda dan anti-Sultan yang sama, maka tiga datuk (Datuk Kecil,
Datuk Jalil, dan anaknya SulungBarat) mengumpulakan kekuatan massa rakyat Batak
Karo untuk melakukan Pemberontakan. Praktek kekuatan bersenjata yang dapat
mereka kumpulkan berkisar 500 prajurit dari golongan Melayu dan 1000 golongan
Karo. Pemberontakan yang dilakuakn para Datuk ini dikenal dengan Nama Perang
sunggal yang terjadi pada tanggal 14 Mei s/d 6 November 1872.
Dalam perang itu, Datuk kecil
menderita luka dan sudah tidak bisa untuk di bawah pindah-pindah. Dikarenakan
keadaan ini mereka pun menerima tawaran Belanda untuk melakuakan berunding
untuk mengakhiri perang. Namun, mereka ditipu karena untuk menyelesaikan
perundingan itu mereka terlebih dahulu menemuin Residen di Labuhan. Dan ketika
tiba di Labuhan mereka ditipu lagi bahwa untuk mengakhiri perang hanya dapat
ditentuka oleh GG di Jakarta. Disana mereka di jatuhi hukuman yakni di asingkan
di Cilacap.
Adapun
Kerugian yang di alami Belanda adalah: tewannya 20 orang Belanda dan 2 oarang
pribumi. 3 perwira, 37 bawahan Belanda, 44 Pribumi mengalami luka-luka. Sementara
dari pihak A.L. 1 matros tewas, 1 perwira dan 1 matros luka luka. Sedangkan
daftar yang dirawat Angkatan Darat yakni 51 Eropah, 18Pribumi, A.L. 25 Eropah,
dan 1 pribumi. Di tanggal 6 juli samapai 6 November: 281 Eropah dan 226
pribumi. Dilihat angka-angka ini jelas bahwa perlawanan mereka cukup hebat,
walaupun akhirnya harus dicatat, bahwa mereka berada dalam pihak Kalah.
BAB IV
NEGARA DALAM NEGARA DI PERKEBUNAN
Pada
tahun 1872 sudah terdapat 13 buah perkebunan tembakau yang telah beroprasi di
Deli, yang berada di langkat dan di serdang. Di karnakan semakin majunya
perkebunan-perkebunan tembakau mengakibatkan semakin banyaknya
pendatang-pendatang ke Deli. Dimana pada tahun 1872 tercatat sudah jumlah orang
eropa yang bekerja di Deli sebanyak 75 orang, jumlah kuli Tionghoa mencapai
4000 orang, orang India (Keling) dan pribumi dari jawa berkisaran ratusan saja.
Tahun 1872 British membuka lin antara Kalkuta dan Singapura, dalam perjalanan
itu di singgahinya Deli, Siak dan Riau. Lalulintas ini mempelancar kegiatan
dagang tenaga tenaga pekerja dari India.
Semakin
banyaknya tenaga kerja yang ada dan semakin meningkatnya kegiatan perkebunan,
hal itu menimbulkan berbagai peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat
Perkebunan. Seperti terdapat kuli-kuli dari semenanjung yang sudah diberi uang
muka mala malas bekerja ada pula yang lari kembali ke Simenanjung. Itu semua
menimbulkan factor yang tentu perlu diatasi oleh tuan kebun, peristiwa itu
belum termasuk peristiwa perkelahian antar kuli.
Perkara
perkara yang terjadi baik itu karna lari, tidak kuat bekerja, perkelahian dan
sebagainya membuat mereka yang bersangkutan harus diadili. Para tuan kebun
berat hati untuk mengirim mereka yang terkena perkara ke mahkamah Sultan untuk
diadili. Karena untuk mengadilin mereka memakan waktu dan biaya, perkara mereka
juga tidak langsung mendapatkan keputusan.
Sementara
ada beberapa dasar pemikiran perkebunan yang mengharuskan semua kuli harus ada
di kebun dan berkerja untuk meningkatkan produksi Tembakau. Apapun yang terjadi
diluar kebun mereka tidak boleh keluar dari kebun itu, mereka harus bersifat
tidak acuh atas apa yang terjadi. Atas dasar pemikiran ini, effektif sekali
bagi tuan-tuan kebun atas wewenang yang diberikan Sultan Mahmud bahwa tuan-tuan
kebun boleh mengadili sendiri dan
menghakim kuli-kuli perkebunan.
Perkara
“Negara dalam Negara” itu sudah berjalan sejak Nienhuys dan tuan-tuan kebun
menganggap itu sebagai “fasilitas”, maka sudah menjadi kebiasaan oleh tuan-tuan
kebun untuk memukuli para kuli yang melakukan kesalahan, setelah para kuli yang
bersalah dihukum dengan cara dipukul dan ditendang setelah itu mereka dipaksa
lagi untuk bekerja.
Tetapi
keadaan “Negara dalam Negara” tidak berjalan lama, karna di tahun 1871
pemerintahan tinggi di Den Haag telah meminta keterangan pada Gubernur Jenderal
Belanda mengenai adanya peristiwa di luar hukum Deli, yakni orang Belanda yang
menjadi hakim sendiri. Hal itu tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa di
perkebunan (yang tinggal di wilayah sultan) adalah warga pemerintahan Hindia
Belanda, bukan rakyat Sultan. Di manapun di dalam wilayah Hindia belanda Undang
– Undang (hukum) Belanda berlaku terhadap warga Belanda. Karna fungsi menjadi
hakim sendiri tidak ada dimanapun dibawah kekuasan Belanda. Di tahun yang sama
Kontrolir Deli di perintahkan oleh atasanya agar tuan tuan kebun tidak boleh
lagi melakukan hakim sendiri. Dan semua perkara apapun itu harus disampaikan
kepada Kontrolir dan di serahkan kepada Sultan untuk di adilin di
Mahkamahnya.
BAB V
APA ITU “POENALE SANCTIE”
Pada
tahun 1872 lahir pasal 2 dari No.27 Algemeen Politie Strafreglement voor
Inlanders yang diprakarsai oleh Mr.T.H Kinderen yaitu sebuah ketentuan yang berisi
hukuman terhadap kaum buruh perkebunan yang mengikat tenaganya sebagai pemakan
gaji tanpa sesuatu sebab dan izin majikan, telah enggan bekerja atau
meninggalkan pekerjaannya.
Pasal 2 No. 27 APSI inilah yang
merupakan benih yang segera tumbuh dan membelenggu buruh di perkebunan dengan
ancaman dihukum badan. Namun, peraturan tersebut masih dirasa kurang berat oleh
para majikan perkebunan. Peraturan ini dianggap merugikan pihak perkebunan
karena pihak majikan merasa para kuli tidak akan takut melakukan pelanggaran
sebab hukuman penjara yang diberikan tidak lebih menyedihkan dibanding dengan
bekerja di kebun. Pada akhirnya peraturan ini sudah dianggap salah pasang dan
dicabut pada tahun 1877 dan sebagai gantinya peraturan tersebut dimasukkan ke
dalam kitab Hukum Pidana Hindia Belanda khusus untuk bumiputera yang
ditempatkan pada pasal 328 A. Bunyinya: “Dihukum dengan hukuman dari sebulan
sampai enam bulan atas barangsiapa yang dengan maksud merugikan majikan, bila
sudah menerima panjar untuk bekerja tidak melakukan pekerjaan yang telah
ditentukan padanya.” Peraturan ini pun masih dirasa hambar oleh pihak majikan
perkebunan.
Oleh karenanya, pada tahun 1880
terbitlah peraturan perburuhan yang baru. Peraturan tersebut dikeluarkan pemerintah Hindia
Belanda pada bulan Juli 1880 dan dikenal dengan “Koelie Ordonantie” dan orang-orang yang terikat dalam Ordonansi
Koeli itu dikenal dengan sebutan “Kuli Kontrak”. Koeli Ordonanntie adalah peraturan tentang kuli yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban pihak pengusaha dan pekerja. Di dalam peraturan
perburuhan ini banyak terdapat pasal-pasal secara tersurat yang menentukan
kewajiban timbal balik, buruh dengan majikan. Jadi bukan sekedar kewajiban
buruh saja. Namun, pada prakteknya ketentuan itu secara langsung ditujukan kepada
pihak kuli.
Ordonansi
ini juga menentukan ancaman hukuman bagi siapa yang melanggar peraturan.
Hukuman itu berupa hukuman badan maupun denda bagi kuli atau majikan yang
melanggar peraturan dalam kontrak kerja. Hukuman badan adalah berupa kurungan
(penjara) dalam jangka waktu tertentu. Namun pada praktiknya, hukuman pukul dan
tendanglah yang sering diberikan pada kuli yang melanggar peraturan kerja.
Karena
adanya ketentuan (Sanksi) hukuman badan bagi kaum pekerja yang melanggar
ketentuan tersebut, itulah sebabnya Koeli
Ordonanntie ini diberi julukan atau alias dengan nama Poenale Sanctie, artinya syarat yang bisa berakibat hukuman bila
dilanggar atau sanksi pidana bagi buruh yang melanggar kontrak.
BAB VI
“DARI JAJAHAN KITA”
Sejak
Nienhuys diberikan izin oleh Sultan membuka perkebunan maka mulai saat itu
segala macam penganiayaan dan praktek kekerasaan terhadap kuli sudah dilakukan,
hal ini semakin menjadi kebiasaan bagi pihak majikan sejak pendatang dari luar
Sumatera Timur terutama Jawa turut dipekerjakan.
Ketika
dikeluarkan ordonansi kuli pada tahun 1880, yang berisi tentang hak dan
kewajiban kuli dan majikan, peraturan tersebut sama sekali tidak berpengaruh
pada pengurangan hukuman bagi sang kuli. Sebaliknya, peraturan itu dianggap
oleh para majikan telah menjadi jalan resmi untuk semakin bertindak semena-mena
terhadap para kuli..
Salah
satu faktor penting mengapa Poenale Sanctie itu semakin kuat adalah karena
peranan pers. Pada tahun 1885 terbit surat kabar Deli Courant dengan tujuan
mempertahankan kepentingan investasi Belanda di tanah jajahan khususnya
Sumatera Timur. dilihat dari tujuannya maka sama artinya dengan mempertahankan
Poenale Sanctie, sebab mempertahankan Poenale Sanctie sama dengan
mempertahankan investasi. Berita tentang praktek penganiayaan tidak pernah
dimuat di dalam Koran tersebut, sebaliknya jika kuli lari atau melanggar
peraturan kerja, maka akan mendapat kolom di samping berita-berita biasa.
Pada
tahun 1895 terbit sebuah Koran Belanda ke 2 yaitu De Ooskust yang juga memuat
berita-berita tembakau. Namun tidak bertahan lama. Selanjutnya pada tahun 1898
lahir De Sumatra Post dengan pimpinan redaksi yaitu Mr. Van den Brand seorang
sarjana ahli hukum.
Dalam
tahun 1902, seorang anggota Balai Rendah Belanda dari parpol sosialis, Ir.H.H.
Van Kol mengadakan peninjauan ke Indonesia dan semua hasilnya dimuat dalam
sebuah buku yang berjudul Uit Onze Kolonien (Dari Jajahan Kita) yang terbit pada tahun 1903. Dalam bukunya,
ia mengungkap tentang penganiayaan terhadap kuli. Sebelum menuliskan tentang
keburukan di perkebunan di Deli, ia telah mengutip bahan-bahan dari brosur yang
diterbitkan oleh Dr.J.A.C.Tschudnowsky yang tersiar di tahun 1898.
Van
Kol dalam bukunya mengungkap apa-apa saja yang telah dilakukan pihak majikan seperti
misalnya ada administrator yang menyiksa kuli hingga menyebabkan luka
ditengkuknya dan harus berjalan mondar-mandir di depan rumah administrator, ada
pula wanita didera di pantatnya yang terbuka. Ia juga menuliskan tentang tapak
tanah perkebunan tembakau dan keuntungan dari produksi tembakau. Ia pun
menuliskan tentang gaji yang diterima pihak kuli hingga menyebabkan kuli
perempuan banyak yang menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhannya serta
menuliskan mengenai penyakit-penyakit yang diderita para kuli dan pelayanan
kesehatan.
VII
“BERJUTA-JUTA
DARI DELI”
Mr.
Van Brand, pemimpin redaksi De Sumatera Post yang kemudian menjalankan profesi
Pengacara di samping terjun ke masyarakat, pada tahun 1902 megambil bagian
turut dalam diskusi yang sengaja diadakan oleh organisasi Belanda “De Indische
Bond” Cabang Medan, untuk suatu topik yang terus hangat yaitu Poenale Sanctie. Ini adalah kali
pertama Poenale Sanctie dibicarakan di tanah Poenale Sanctie.
Di
dalam diskusi itu turut hadir Ir.H.H. Van Kol sehingga suasananya cukup
membangkitkan perhatian. Yang membuka topik adalah orang Belanda yang bernama
De Coningh, Koresponden harian Java Bode Jakarta untuk Medan. Sebagai
pembangkang telah ditentukan seorang Belanda lain bernama Lefebre yang tampil
mempertahankan Poenale Sanctie.
Dalam
kesempatan ini, Mr.Van den Brand mengemukakan empat pokok pikiran, pertama dari segi tis, Ordonansi Kuli
tidak dapat dipertahankan. Dengan dipasangkannya ketentuan hukum tidak bebas
kepada kebebasan hak sipil seseorang warga, maka jelas bentuknya suatu
pembudakan. Kedua, apabila Ordonansi Kuli
dihapuskan ia dapat diganti oleh perundang-undangan perburuhan yang bebas.
Tidak perlu dipersoalkan apakah karenanya ada pihak yang dirugikan.
Ketiga,
perkembangan yang terjadi kini telah membuat majikan sebagai manusia diberikan
hak milik untuk apa yang tidak dapat dimilikinya dari sesamanya manusia. Dan
hal itu menimbulkan sebab rusaknya rasa saling menghargai yang harus ada antara
majikan dan buruh, dan sekaligus menjurus pada hancurnya budi yang ada dalam
setiap manusia. Keempat, Ordonansi
Kuli adalah bertentangan dengan dasar-dasar ke-Kristenan.
Empat
pokok pikiran itu adalah sari kandungan brosur Mr. Van den Brand dan sudah
diterbitkan tahun 1903 di Amsterdam dengan judul De Millioenen Uit Deli
(Berjuta-juta dari Deli). Adapun makna dari “berjuta-juta” dari Deli itu dapat
dilihat dari dua tafsiran. Pertama, kekayaan
yang melimpah ruah disalurkan dari Deli hasil pemerasan keringat darah kaum
buruh yang tersiksa. Kedua,
berjuta-juta kisah derita, pengalaman pahit aum buruh.
Pada
bagian permulaan brosur itu ungkapannya ditujukan pada betapa tidak mungkinnya
keadilan dicapai dengan suasana dan kondisi tanah Deli akibat perlakuan keji
dan kejam terhadap kuli kontrak. Mr. Van den Brand juga mempersaksikan betaoa
sukarnya perkara-perkara akan sampai ke meja parket. Hal ini terjadi karena
adanya pagar tebal yang memustahilkan perbuatan-perbuatan kejam pihak majikan
akan terdengar.
Van
den Brand mengungkapkan bagaimana menonjolnya pengaruh kepala-kepala bangsa
Tionghoa yang diberi hak monopoli penjualan candu, pajak gadai, dan perjudian,
bahkan juga monopoli rumah-rumah persundalan. Van den Brand juga mengungkapkan
mengenai kesewenang-wenangan di mana tuan-tuan kebun harus dilayani kepuasan
seksnya.
Singkatnya,
Van den Brand adalah salah satu tokoh yang harus diakui usahanya dalam upaya
menghancurkan Poenale Sanctie. Dapat dicatat bahwa hingga 1921 Van den Brand
masih memperjuangkan mati-matian hapusnya Poenale Sanctie. Mr. Van den Brand
menjadi anggota Dewan Rakyat yang diangkat oleh Gubernur Jenderal pada tanggal
17 Mei 1921. Ia meninggal dunia di Bogor tanggal 5 Desember 1921.
VIII
SIMPANG-SIUR PIKIRAN KALANGAN BELANDA
Menanggapi
tentang hal-hal yang dibongkar oleh Van den Brand di dalam brosurnya maka,
pemerintah Hindia Belanda di Jakarta menugaskan seorang Opsir untuk membuktikan
semua kebenaran yang dibeberkan oleh Van den Brand tersebut. Ternyata dalam
masalah ini para negarawan Belanda rupanya mengharapkan supaya skandal-skandal
yang dibongkar oleh Van den Brand ditutup saja. Namun, untuk memuaskan
keinginan pihak oposisi di Balai Rendah diumumkanlah juga hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah perlu
pemerintah mengadakan inspeksi perburuhan, perlu perbaikan kepolisian, dan
perlu diadakan pengadilan dewan hakim di Medan.
Mengenai
perbaikan kepolisian dan pembentukan dewan hakim, pemerintah Hindia Belanda
masih belum mau melakukannya. Namun, dibentuklah badan inspeksi perburuhan dan
yang menjadi pejabat pertama sementara adalah B.Hoetink. Tak beberapa lama
B.Hoetink melaporkan bahwa administratur-administratur perkebunan seharusnya
jangan main pukul tendang, sebab hal demikian akan banyak ditiru oleh
bawahannya yaitu asisten dan tandil. Untuk itu Hoetink menganjurkan agar
tuan-tuan kebun tak perlu membawa tongkat jika pergi ke kebun. Namun, hal ini
mendapat sanggahan dari pihak perkebunan, mereka beralasan bahwa tongkat yang
mereka bawa selain untuk melawan binatang-binatang seperti ular yang tiba-tiba
saja bisa menyerang adalah untuk menunjukkan
kewibawaan sebagai tuan kebun.
Sejak
perburuhan di wilayah Hindia Belanda diberi kekuatan hukum atau yang biasa
disebut dengan Ordonasi Kuli hingga terbentuknya Dewan Rakyat di tahun 1918,
beberapa kali mengalami perubahan. Hinggga pada tahun 1909 pengadilan Raad Van
Justitie yang baru di Medan menilai bahwa kalimat-kalimat dalam perjanjian
kerja paksa itu ada yang tidak sesuai dengan pasal-pasal Ordonasi Kuli. Untuk
itu timbullah prakarsa kalau-kalau Ordonasi Kuli tersebut dapat diperbaharui
secara menyeluruh. Maka, pada tahun 1915 lahirlah Ordonasi Kuli yang baru.
Walaupun dalam kenyataannya Ordonasi Kuli yang baru tidak jauh berbeda dari
yang lama. Kuli diwajibkan bekerja berat, tidak boleh malas dan lari, kalau
malas dan lari bisa dihukum badan. Adapun sedikit perbedaannya terletak pada
tidak diberlakukannya menghukum (Poenale Sanctie) di dalam
perkebunan-perkebunan Sumatera Timur.
Selain itu, merajalelanya penipuan yang
dilakukan oleh werek untuk merekrut tenaga kerja baru dirasa sangat merugikan.
Bahwa selain yang bodoh, banyak juga tertipu orang yang pandai baca tulis
bahkan bersekolah sudahlah umum diketahui. Mengenai hal ini Tideman
mengungkapkan pada masa ia bertugas di Pematang Siantar. Seorang rekannya
pamong Belanda di Jawa berkirim surat padanya supaya menolong mencari anak
berumur 12 tahun yang tertipu oleh tukang werek, lalu diangkut ke Deli menjadi
kuli kontrak dan diketahui sedang berada di dalam sebuah perkebunan dalam
daerah Tideman bertugas. Yang ternyata orang itu bukan anak-anak lagi, tapi
sudah 18 tahun. Ia tadinya jurutulis sebuah pabrik sebuah di Jawa dan Putera
seorang Assisten Wedana.
Sealain
sistem perekrutan yang dirasa merugikan kuli, perlakuan tuan-tuan kebun kepada
kulinya juga dirasa semena-mena. Bahwa ada seorang kuli yang disangka mencuri
kambing, karena ia tidak mengaku dan untuk memeras pengakuannya ia dijemur
sepanjang hari dalam panas terik di depan kantor Administratur. Setelah itu
kuli tersebut diserahkan kepada seorang tukang Tionghoa (pemilik kambing) untuk
diadilinya sendiri. Tidak heran jika kemarahan dari pihak kuli timbul akibat
derita mereka, hingga para kuli tersebut berani melakukan penyerangan terhadap
asisten-asisten perkebunan.
IX
PERS INDONESIA DAN PERGERAKAN LAWAN
PEONALE SANCTIE
Pada
tahun 1902 di Medan terbit surat kabar pertama berbahasa Indonesia bernama
“Pertja Timor” yang dipimpin oleh Mangaraja Salamboewe. Surat kabar ini
diterbitkan 2 kali seminggu, namun surat kabar tersebut nampaknya tidak
mengungkit soal Poenale Sanctie. Hingga tahun 1906 hukum pers yang berlaku di
Indonesia masih tidak mengenal adanya kebebasan menyatakan pendapat dan
bersuara. Hingga pada tahun 1910 terbit sebuah surat kabar di Medan yang
bernama “Pewarta Deli”, yang pada tanggal 18 Desember 1912 membicarakan soal
Poenale Sanctie. Karangan itu diberi judul “Nasibnya Koeli Contract di
Soematera Timoer” yang ditulis oleh seorang pengarang bertanda “Omega”.
Boedi
Oetomo, sesuai dengan pemberitaan “Pewarta Deli” pada tanggal 7 Agustus 1912
sudah terbentuk di Binjai dengan ketuanya Raden Roeslan. Lalu pada bulan
Desember tahun itu juga, diketahui bahwa Dr.Soetomo membentuk cabang Boedi
Oetomo di kota Lubuk Pakam dengan beliau sendiri sebagai ketuanya. Lalu pada
bulan Mei 1913 Dr. Soetomo membentuk Boedi Oetomo cabang Deli dengan beliau
sendiri juga sebagai ketuanya. Selama Dr. Soetomo di Deli tidak pernah
kedengaran suatu perjuangannya menentang Poenale Sanctie. Lalu ketika beliau
tiba di Jakarta, Dr. Soetomo mengungkapkan pendapatnya mengenai peraturan yang
merugikan kuli. Lalu pernyataan ini disiarkan oleh “Java Bode”. Perhatian “Java
Bode terhadap pidato Dr. Soetomo yang menyinggung nasib Koeli Kontrak di Deli
ternyata cukup besar. Laporan yang dimuat dalam surat kabar itu cukup panjang.
Tanggal
17 Februari 1918 pergerakan Syarikat Islam cabang Medan yang mengambil tempat
di Oranje Bioskop mengadakan suatu rapat umum. Dalam rapat tersebut hadir
sebanyak 700 anggota pergerakan, termasuk utusan pengurus cabang-cabang lain di
Sumatera Timur, juga pers dari perkumpulan. Pada saat itupun sebagai tamu hadir
wakil-wakil pihak majikan perkebunan. Mohammad Samin yang bertindak sebagai
pembicara inti, selaku Komisaris Syarikat Islam Wilayah Sumatera Timur
membawakan topik soal “Poenale Sanctie”.setelah pidato itu, Syarikat Islam
memutuskan untuk mengambil alih resolusi rapat umum itu yang isinya mengutuk
Poenale Sanctie disamping beberapa bagian lain. Dalam bulan Mei itu juga ketika
diadakan kongres Syarikat Islam di Surabaya, Samin mengajukan keputusan SI
Medan untuk didukung dan diteguhkan. Pada rapat kongres tanggal 11 Mei 1918 10
usul Samin tersebut diterima baik oleh kongres.
Lalu
pada tanggal 13 Februari 1919 berlangsung suatu musyawarah wilayah-I Sumatera
Timur yang bertempat di Tebing Tinggi. Dari pengurus besar hadir Abdoel Moeis,
yang ketika itu menjadi dewan rakyat. Yang menarik perhatian pers Belanda
ketika Moeis menginjakkan kakinya di Deli adalah sikap Syarikat Islam yang
sesungguhnya terhadap “Poenale Sanctie”. Di lembaga itu diungkapkan bahwa
Sumatera Timur yang dipimpin oleh Mohammad Samin menyatakan tidak lagi
menentang “Poenale Sanctie’. Sehubungan dengan pernyataan bahwa Syarikat Islam
Medan memutuskan untuk meneruskan “Poenale Sanctie” ternyata diungkapkan oleh
H.Ketner melalui surat terbuka di “Sumatera Post”. Ternyata dari berita
“Sumatera Post” 2 November 1918 tersebut Samin (Syarikat Islam) melangsungkan
pertemuan dengan tokoh-tokoh dari “Soera Djawa” (Boedi Oetomo). Hasil pertemuan
mereka menghilangkan keraguan-keraguan tentang sikap pemimpin Syarikat Islam
bahkan Boedi Otomo mengenai “Poenale Sanctie”.
Selain
itu ada Tan Malaka yang menaruh perhatian kepada “Poenale Sanctie” yang
diketahui dari tulisan-tulisannya yangantara lain tersiar dalam “Sumatra Post”
19 Juli 1920 dengan nama samaran “Pontjo Dirjo”. Tapi ketika ditanya ia tidak
mengaku menjadi penulis tersebut. Lalu sekitar tahun 1920/1921 bahwa menentang
“Poenale Sanctie” sudah bukan hal yang dianggap jahat. Bahkan dalam kalangan
Belanda sendiri sudah dianggap “loyo” hal ini dikarenakan kenapa pemimpin-pemimpin
pers Indonesia tidak bangkit menentang secara terbuka.
X
DEWAN RAKYAT SEBAGAI STEMPEL KARET
Ketika
Dewan Rakyat dibentuk dan mulai bersidang di bulan Mei 1918, jumlah anggotanya
hanya 49 orang, termasuk ketuanya yang diangkat. Sebagian dingkat dan sebagian
dipilih oleh lembaga-lembaga lokal. Setelah bersepakat dengan Raad van Indie
(Dewan Hindia) harus ada sebanyak 8 anggota terdiri dari pribumi. Anggota
pribumi dari Sumatera Timur waktu itu belum ada. Dan anggota Belanda yang
terdahulu dari Sumatera Timur ialah H.Ketner, tuan maskapai-maskapai perkebunan
H.A.P.M. di Kisaran. Menurut satatusnya dan dalam kenyataannya lembaga Dewan
Rakyat tidak mempunyai wewenang legislatif. Ia hanya sekedar memberikan
pikiran-pikiran, baik atas prakarsa maupun jika diminta oleh Gouverneur Generaal.
Demikian pula usul-usul yang progresif yang mungkin ada dari mayoritas Belanda
sendiripun, seperti gagasan menghapuskan Poenale Sanctie, akan bisa saja
tersamping, kalau Gouverneur General tidak mau.
Walaupun demikian, adanya lembaga
ini minimal sudah dapat membangkitkan “selera bicara” bagi mereka yang ingin
mengadakan pembaruan-pembaruan. Anggota pertama yang mengemukakan pendapatnya
adalah Ch.G.Cramer, seorang insinyur pekerjaan umum. Beliau menanggapi keterangan
Direktur Justisi, Scheur yang mengatakan bahwa pada dasarnya sudah ditetapkan
dan kepada semua pihak yang berkepentingan diberitahukan, bahwa dalam sedikit
tahun Poenale Sanctie mesti sudah dihapus. Bagaimanapun pihak majikan akan
mempertahankannya.
Menjelang siding akhir tahun ,
tegasnya tanggal 26 November 1918, oleh anggota Teuku Tjhi Mohammad Thayeb telah diambil prakarsa mengajukan usul
bahwa Ordonasi Kuli dirubah dan diperbaiki, usul ini kemudian didukung oleh 5
penandatangan lainnya. Walaupun tidak menuntut penghapusan Poenale Sanctie
sekaligus, namun paling sedikit isinya mengandung unsur meniadakan sarat hukum
badan itu. Namun, nampaknya usul-usul tersebut tidak terdengar serta tidak
mendapatkan tempat. Maka tidak heran jika usul tersebut seperti sedang kesasar
dalam rimba dan itu sebabnya Dewan Rakyat dapat disebut tidak lebih dari suatu
Stempel karet belaka.
Keinginan para anggota anti Poenale
Sanctie untuk berbicara dalam lembaga Dewan Rakyat itu adalah dengan suatu
harapan kalau-kalau mereka bisa menyelipkan sedikit kelonggaran pasal-pasal
yang ditentukan, dengan mengadakan amandemen (perbaikan teks) disana sini. Tapi
nyatanya pihak pendukung Poenale Sanctie luar biasa besar dalam Dewan Rakyat
ketika itu. Sehingga betapapun nyaringnya suara dan kerasnya desakan, akhirnya
ketika dipungut suara, pihak progresif
mengalami kegagalan.
XI
ANIAYA DAN “SELFDEFENCE”
Tanah
di Sumatera Timur tidak hanya dikonsesikan kepada pemodal Eropa dan Amerika,
tapi juga pada orang Jepang. Salah satu konsesi yang diterima bangsa ini di
Sumatera Timur ialah di Pulau Mandi, di hulu Asahan. Tidak pernah terdengar
suatu hal dari perkebunan ini, karena untuk bisa masuk ke sana tidak
sembarangan orang. Hingga pada tahun 1926 terdengar kabar dari seorang buruh
pelarian bahwasannya seorang Wakil Administratur bernama Kozo melakukan aniaya
kepada beberapa buruhnya, selain menyiksa badan juga memaksa siksaannya supaya
memakan najis kuda dan najis Jepang tersebut, serta menyapu muka sendiri dengan
benda kotor tersebut. Akibat perbuatannya tersebut pada tanggal 19 Oktober 1926
Kozo disidangkan di pengadilan Raad van Justisi Medan dan diajukanlah 12 macam
tuntutan pidana terhadap Kozo. Semua tuduhan tersebut dipungkiri oleh Kozo,
tapi penunut hukum menyatakan dan menunjuk atas fakta-fakta serta memberikan
uraian atas jelasnya sehingga menekankan bahwa semua tuduhan terbukti.
Penuntut
hukum menyinggung juga akibat Poenale Sanctie itu sendiri. Menurut penuntut hukum, Poenale Sanctie itu
rupanya tidak dipergunakan di Poelau Mandi, ternyata yang dilakukan oleh Kozo
adalah ‘hakim sendiri”. Hakim menjatuhkan hukuman 2,1/2 tahun penjara, potong
tahanan dan dipikulkan membayar ongkos perkara. Akibat dari hal itu perkebunan
Pulau Mandi dipecat dari anggota A.V.R.O.S. untuk itu beberapa maaskapai
perkebunan menyampaikan surat edaran kepada petugas-petugasnya supaya jangan
melakukan pemukulan, sebab bisa diberhentikan.
Mengenai
pembalasan yang dilakukan pihak buruh kepada tuannya ternyata sejak tahun-tahun
permulaan Poenale Sanctie sudah terjadi kasus, hal ini merupakan akibat dari
kekejaman oknum-oknum tuan kebun. Banyak berita dalam surat kabar yang menyatakan
bahwa segi-segi negatif pendatang Tionghoa antara lain perampokan, pembakaran,
pembajakan, dan sebagainya, dikesankan sebagai bawaan imigran dari Pinang
akibat tidak disaring. Tapi lama kelamaan akibat sebenarnya bukan demikian,
melainkan akibat dari pihak tuan kebun yang terbiasa main pukul tendang.
Tak
jarang banyak kuli yang melakukan penyerangan terhadap tuan-tuan kebun, ketika
diadakan larangan koeli-koeli kontrak tidak boleh memakai pisau belati, dan ini
dipatuhi, penyerangan terhadap tuan-tuan kebun masih berlangsung juga.
Sebab-sebab yang menjadi dasarnya tidak lain adalah akibat kekejaman tuan-tuan
kebun itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar