Senin, 15 Januari 2018

Resensi Buku KOELI KONTRAK TEMPO DOELOE Dengan Derita dan Kemarahannya cetakan ke-II


Judul Buku                  :  KOELI KONTRAK TEMPO DOELOE 
   Dengan Derita dan Kemarahannya cetakan ke-II
Pengarang                   :  H. MUHAMMAD SAID
Penerbit                       :  PT. PRAKARSA ABADI PRESS MEDAN
Tahun Terbit                : 1990
Jumlah Halaman          : 193 halaman

BAB I

LATAR BELAKANG

            Sejak 1786 Pulau Pinang berhasil dikuasai Inggris menyusul pada tahun 1819 Raffles berhasil mencuri pulau Singapura dari Sultan Riau yang menyebabkan wilayah Selat Malaka semakin menonjol. Sejak saat itu pula Inggris merasa perlu untuk memenangkan persaingan dengan Belanda di kawasan ini. Untuk itu, pada tahun 1822 Gubernur Inggris menugaskan sekretarisnya yaitu John Anderson untuk mengadakan peninjauan langsung ke pantai timur Pulau Sumatera. Hasil peninjauannya lalu dilaporkan kepada atasannya kembali dan juga tersiar dalam bentuk buku.
            Wilayah yang ia kunjungi meliputi kesultanan Deli, Serdang, Langkat, Batu Bara dan wilayah lainnya di kawasan Pantai Timur Sumatera. Hasil dari peninjauannya meliputi jenis-jenis tanaman yang ditanam di wilayah Pantai Timur Sumatera, kampung-kampung, kondisi permukiman penduduk, peternakan, jumlah penduduk, kondisi kesultanan, keadaan sosial ekonomi bahkan hal-hal yang terkait dengan pemimpin wilayah itu yaitu mengenai Sultan-sultan yang terdapat di wilayah itu.
            Pada tahun 1854 Aceh mendatangkan pameran bendera ke wilayah Sumatera Timur dengan hasil Deli, Serdang, dan Langkat meneguhkan pengakuan mereka di bawah pertuanan Aceh. Namun Nafsu Belanda yang ingin menguasai seluruh Sumatera membuat timbulnya ketegangan antara Aceh dengan Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1857 diadakan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Namun, pada 1 Februari 1858 Belanda melakukan kecurangan dengan membuat suatu perjanjian politik dengan Siak yang berisi bahwa Siak mengakui kedaulatan Belanda dan bahwa termasuk menjadi wilayah Siak adalah kerajaan-kerajaan di pantai barat laut Siak, yakni Panai, Bilah, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut, Perbaungan, Deli, Langkat, dan Tamiang.  Sejak saat itu hubungan antara Belanda dan Aceh semakin buruk.
            Untuk merealisasikan perjanjian politik antara Siak dengan Belanda, maka dibentuklah suatu panitia yang pada Agustus 1682 menghantarkan seorang Residen Riau yaitu Elisa Netscher untuk memainkan pameran bendera agar terlaksananya penjajahan Belanda di Sumatera Utara dan Aceh. Wilayah pertama yang dikunjungi untuk ditaklukan adalah Panai dan Bilah, lalu Serdang, Deli, Langkat. Perjanjian politik yang ditandatangani oleh Sultan dengan Belanda pada tanggal 22 Agustus 1862 secara formil hanya menentukan pengakuan Sultan “mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gouvernement Hindia Nederland”.
Tidak seperti Sultan lainnya, Sultan Deli baru mengakui kedaulatan Belanda pada saat diperbaharui perjanjian politik tersebut yaitu pada tanggal 2 Juni 1907. Sedangkan Sultan Serdang hingga Oktober 1865 tidak menggubris kedaulatan Belanda. Sesudah pasukan pendaratan Belanda tampil dalam jumlah besar, barulah Sultan Basyarudin mengulangi mencecahkan tanda tangan dan mengakui kedaulatan Belanda.
Pada tahun-tahun berikutnya masih terjadi persaingan dan perebutan kekuasaan antara Inggris dan Belanda. Sejak keberangkatannya pertama kali ke Sumatera Timur yaitu pada Tahun 1862 tak lupa pula Netscher mengumpulkan data mengenai perkembangan ekonomi di wilayah itu.


BAB II
MINAT PENANAM MODAL ASING KE DELI

Kedatangan peminat-peminat Belanda ke Deli tidak terlepas dari peran seorang Syaid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih. Ia adalah kelahiran Surabaya yang berniaga antar pulau dengan menggunakan kapalnya sendiri, di mana ia juga menjadi nahkodanya. Pada suatu waktu kapalnya karam, sehingga ia pun berkelana dan terdampar di Deli. Di sini ia dapat mendekatin Sultan Deli. Sultan Deli yang menyukai kepribadian Abdullah, ia pun dinikahkan oleh Sultan dengan adik perempuannya. Dan ia juga dipercayain oleh sultan untuk menjadi penasehat Sultan. Banyak sekali jasanya dalam menasehatin Sultan supaya ber-belanda saja.
Sultan pun tertarik atas nasehan Abdullah, dan menugaskan ia untuk berangkat ke Jawa. Setibanya Abdullah di Jakarta dengan cepat ia berhasil membangkitkan animo para penguasa Belanda untuk menanamkan modalnya di pertembakauan di Deli. Maka pada tahun 1863 seorang Belanda bernama Jacobus Nienhuys bersama firman J.F van leeuwen pergi ke Deli dan tiba di Deli pada tanggal 7 Juli 1863. Setibanya di Deli, Sultan menyambut mereka dengan sangat baik. Mereka diberi Sultan tanah konsesi untuk penanaman tembakau seluas 4000 bau yang letaknya di tepi Sungai Deli. Konsensi ini diberikan selama 20 tahun. selain itu Sultan juga memberikan Jacobus Nienhuys konsensi tanah yang mana selama lima tahun pertama dia dibebaskan  dari membayar pajak dan sesudah itu baru dikenakan biaya sewa $ 200 gulden/ tahun.
Nienhuys pun mencoba membukan perkebun tembakau pertamanya namun dalam usahanya ini ia mengalami kegagalan dan mengalami kerugian yang sangat besar, Nienhuys belum mampu memenuhi jumlah tembakau yang diminta oleh Pieter van den Arend (perusahaan yang membiayai usaha Nienhuys) ia hanya mendapatkan 50 bal tembakau yang dikirim ke Rotterdam. Produksi pertama ini menghasilkan uang bagi usaha Nienhuys dengan harga 48 sen per 1/2 kilo tembakau. Pada penanaman berikutnya Nienhuys mencoba menggunakan sistem borong seperti di jawa  dengan uang pajar (pembayaran di muka). Meskipun sistem pemborong menerima bayaran di muka, tetapi Nienhuys tidak mendapatkan jaminan dari situ, ia hanya mendapatkan beberapa ribu batang tembakau dari hasil panennya dan itu tidak cukup untuk memenutupi modal yang sudah ia keluarkan.
Kegagalan Nienhuys dalam sistem borongan yang ia terapkan, Nienhuys membuka lagi kebun pecobaan di atas sebidang tanah yang ia sewa.di kebun percobaan itu ia sangat membutuhkan banyak tenaga kerja. Tetapi para petani Melayu dan Batak menolak untuk bekerja di kebun tembakau miliknya. Maka ia pun mendatangkan pekerja dari luar Sumatera Timur  yakni Penang  ia bekerja sama dengan Haji asal Jawa yang menyanggupin membawa serta calon pekerja kebun Tembakau Deli. Tetapi hasil panen dari sistem borong haji asal jawa tidak memuaskan, Ia pun memutuskan kotrak dengan pak Haji.
Pada tahun 1865 Nienhuys menyewa sebuah rumah orang Melayu di Martubung, di Pinggiran Sungai Deli. Ia pun mendatangkan 88 kuli Cina dari Penang dan 23 kuli melayu (buruh harian). Pada akhir musim panen di Tahun 1865 kebun Nienhuys menghasilkan 189 bal tembakau dalam mutu terbaik dan laku di pelelangan di Rotterdam 149 sen per ½ kilogramnya. Tetapi usaha ini tetap dianggap gagal oleh Pieter van den Arend dan memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan Nienhuys. Kemudian untuk terus menanam tembakau di deli Nienhuys mencari investor lain yang mau menanamkan modalnya di perkebunan tembakau Deli. Dan ia punberhasil mendapat dukungan dari G.C Clemen dan P.W Janssen dengan permulaan f 10.000. sepulangnya Nienhuys dari Negeri belanda, ia pun berhasil mendapatkan konsensi tanah selama 99 tahun yang terletak antara sungai Deli hingga Deli Tua. Pada tahun 1868 keuntungan yang diperoleh Nienhuys mencapai 100 % dan ditahun 1869 mencapai 200%. Hal ini lah dapat meyakinkan Bank Naderlandsche Handel Maatschappij di belanda utuk memberi modal untuk penanamn tembakau di Deli yang memiliki mutu Tinggi. Karena keberhasilan Nienhuys dalam penanaman tembakau maka di tahun 1869 Nienhuys dengan dua orang rekatnya mendirikan perusahan yang dikenal dengan nama Deli Maatschappji. Dan dengan semakin maju dan ramainya Deli  maka banyak perusahaan perusahaan lain yang ingin menanamkan modalnya di Deli.
  Untuk merekrutan kuli pihak Belanda menggunakan jasa Broker (Makelar). Broker-broker itu dalam merekrut kuli tidak dengan cara penyaringan, malah sebaliknya mereka melakukan dengan cara menipu. Misanya calon kuli awalnya diajak untuk pergi menonton wayang tetapi setibanya di tepi pantai calon kuli di Dorang  masuk ke kapal dan lain lain.

BAB III
KONSENSI MEMPERCEPAT MELETUSNYA PEMBERONTAKAN SUNGGAL 1872

Luasnya tanah yang diberikan Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang kemudian pindah kepada Deli My yang meliputin daerah Mabar, Pulau Berayan, Gelugur, Kesawan, Sukaraja, Sungai mati, Kampung Baru dan Deli Tua dan terus bertambah luasnya dari tahun ketahun dan di dalam akte konsensi tidak ada dijelaskan atau ditekankan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi kampong atau perladangan tidak turut menjadi tanah konsensi. Hal ini lah yang memicu pemberontakan yang dilakukan oleh Datuk kecil yang kita kenal dengan Perang sunggal.
Dalam laporan Residen Netscher di Riau sudah tercatat sebanyak 20 buah perkebunan dikonsensikan oleh sultan yang bersangkutan ketika mencapai tahun 1871  mengkonsensika tanahnya seluas 17.000 bau, dan itu tidak terhitung dari 3000 bau tanah yang belum di tanamin tembakau.
Tahun 1870 sultan deli mengkonsensikan sebidang tanah yang luas di Sunggal, padahal tanah itu yang kemudian dikenal “ Onderneming Rotterdam” sudah ditempati oleh rakyat petani setempat. Tetapi Sultan tidak memperdulikan hal itu ia tetap mengkonsensikan tanah itu, bahkan ia memaksa kepada Sri Raja yang masih muda dan belum sah di nobatkan sebagai perwakilan Datuk Kecil atas dirinya untuk memegang fungsi datuk Sunggal supaya menetujuin pemberian konsensi itu.
Datuk kecil yang melihat begitu baiknya hubungan Belanda dengan Sultan Mahmud yang begitu keterlaluan, maka datuk kecil pun melakukan protes dan dengan dukungan dari pak tani pemilik sah tanah-tanah yang di konsensikan itu menghimpun kekuatan dalam merealisasikan sikap yang mereka pertahankan.
Seorang Datuk lain, yakni Datuk Jalil, saudara dari datuk Kecil, yang tinggal dalam wilayah Langkat (tapi dalam persengketaan batas dengan Sultan Deli), sudah menarik diri ke pedalaman karena tidak setuju  atas politik Pangeran yang merangkul Belanda.
Dengan sikap anti-Belanda dan anti-Sultan yang sama, maka tiga datuk (Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan anaknya SulungBarat) mengumpulakan kekuatan massa rakyat Batak Karo untuk melakukan Pemberontakan. Praktek kekuatan bersenjata yang dapat mereka kumpulkan berkisar 500 prajurit dari golongan Melayu dan 1000 golongan Karo. Pemberontakan yang dilakuakn para Datuk ini dikenal dengan Nama Perang sunggal yang terjadi pada tanggal 14 Mei s/d 6 November 1872.  
            Dalam perang itu, Datuk kecil menderita luka dan sudah tidak bisa untuk di bawah pindah-pindah. Dikarenakan keadaan ini mereka pun menerima tawaran Belanda untuk melakuakan berunding untuk mengakhiri perang. Namun, mereka ditipu karena untuk menyelesaikan perundingan itu mereka terlebih dahulu menemuin Residen di Labuhan. Dan ketika tiba di Labuhan mereka ditipu lagi bahwa untuk mengakhiri perang hanya dapat ditentuka oleh GG di Jakarta. Disana mereka di jatuhi hukuman yakni di asingkan di Cilacap.
Adapun Kerugian yang di alami Belanda adalah: tewannya 20 orang Belanda dan 2 oarang pribumi. 3 perwira, 37 bawahan Belanda, 44 Pribumi mengalami luka-luka. Sementara dari pihak A.L. 1 matros tewas, 1 perwira dan 1 matros luka luka. Sedangkan daftar yang dirawat Angkatan Darat yakni 51 Eropah, 18Pribumi, A.L. 25 Eropah, dan 1 pribumi. Di tanggal 6 juli samapai 6 November: 281 Eropah dan 226 pribumi. Dilihat angka-angka ini jelas bahwa perlawanan mereka cukup hebat, walaupun akhirnya harus dicatat, bahwa mereka berada dalam pihak Kalah.     

BAB IV
NEGARA DALAM NEGARA DI PERKEBUNAN

Pada tahun 1872 sudah terdapat 13 buah perkebunan tembakau yang telah beroprasi di Deli, yang berada di langkat dan di serdang. Di karnakan semakin majunya perkebunan-perkebunan tembakau mengakibatkan semakin banyaknya pendatang-pendatang ke Deli. Dimana pada tahun 1872 tercatat sudah jumlah orang eropa yang bekerja di Deli sebanyak 75 orang, jumlah kuli Tionghoa mencapai 4000 orang, orang India (Keling) dan pribumi dari jawa berkisaran ratusan saja. Tahun 1872 British membuka lin antara Kalkuta dan Singapura, dalam perjalanan itu di singgahinya Deli, Siak dan Riau. Lalulintas ini mempelancar kegiatan dagang tenaga tenaga pekerja dari India.
Semakin banyaknya tenaga kerja yang ada dan semakin meningkatnya kegiatan perkebunan, hal itu menimbulkan berbagai peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat Perkebunan. Seperti terdapat kuli-kuli dari semenanjung yang sudah diberi uang muka mala malas bekerja ada pula yang lari kembali ke Simenanjung. Itu semua menimbulkan factor yang tentu perlu diatasi oleh tuan kebun, peristiwa itu belum termasuk peristiwa perkelahian antar kuli.
Perkara perkara yang terjadi baik itu karna lari, tidak kuat bekerja, perkelahian dan sebagainya membuat mereka yang bersangkutan harus diadili. Para tuan kebun berat hati untuk mengirim mereka yang terkena perkara ke mahkamah Sultan untuk diadili. Karena untuk mengadilin mereka memakan waktu dan biaya, perkara mereka juga tidak langsung mendapatkan keputusan.
Sementara ada beberapa dasar pemikiran perkebunan yang mengharuskan semua kuli harus ada di kebun dan berkerja untuk meningkatkan produksi Tembakau. Apapun yang terjadi diluar kebun mereka tidak boleh keluar dari kebun itu, mereka harus bersifat tidak acuh atas apa yang terjadi. Atas dasar pemikiran ini, effektif sekali bagi tuan-tuan kebun atas wewenang yang diberikan Sultan Mahmud bahwa tuan-tuan kebun boleh mengadili sendiri  dan menghakim kuli-kuli perkebunan. 
Perkara “Negara dalam Negara” itu sudah berjalan sejak Nienhuys dan tuan-tuan kebun menganggap itu sebagai “fasilitas”, maka sudah menjadi kebiasaan oleh tuan-tuan kebun untuk memukuli para kuli yang melakukan kesalahan, setelah para kuli yang bersalah dihukum dengan cara dipukul dan ditendang setelah itu mereka dipaksa lagi untuk bekerja.
Tetapi keadaan “Negara dalam Negara” tidak berjalan lama, karna di tahun 1871 pemerintahan tinggi di Den Haag telah meminta keterangan pada Gubernur Jenderal Belanda mengenai adanya peristiwa di luar hukum Deli, yakni orang Belanda yang menjadi hakim sendiri. Hal itu tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa di perkebunan (yang tinggal di wilayah sultan) adalah warga pemerintahan Hindia Belanda, bukan rakyat Sultan. Di manapun di dalam wilayah Hindia belanda Undang – Undang (hukum) Belanda berlaku terhadap warga Belanda. Karna fungsi menjadi hakim sendiri tidak ada dimanapun dibawah kekuasan Belanda. Di tahun yang sama Kontrolir Deli di perintahkan oleh atasanya agar tuan tuan kebun tidak boleh lagi melakukan hakim sendiri. Dan semua perkara apapun itu harus disampaikan kepada Kontrolir dan di serahkan kepada Sultan untuk di adilin di Mahkamahnya. 

BAB V
APA ITU “POENALE SANCTIE” 

           
Pada tahun 1872 lahir pasal 2 dari No.27 Algemeen Politie Strafreglement voor Inlanders yang diprakarsai oleh Mr.T.H Kinderen yaitu sebuah ketentuan yang berisi hukuman terhadap kaum buruh perkebunan yang mengikat tenaganya sebagai pemakan gaji tanpa sesuatu sebab dan izin majikan, telah enggan bekerja atau meninggalkan pekerjaannya.
            Pasal 2 No. 27 APSI inilah yang merupakan benih yang segera tumbuh dan membelenggu buruh di perkebunan dengan ancaman dihukum badan. Namun, peraturan tersebut masih dirasa kurang berat oleh para majikan perkebunan. Peraturan ini dianggap merugikan pihak perkebunan karena pihak majikan merasa para kuli tidak akan takut melakukan pelanggaran sebab hukuman penjara yang diberikan tidak lebih menyedihkan dibanding dengan bekerja di kebun. Pada akhirnya peraturan ini sudah dianggap salah pasang dan dicabut pada tahun 1877 dan sebagai gantinya peraturan tersebut dimasukkan ke dalam kitab Hukum Pidana Hindia Belanda khusus untuk bumiputera yang ditempatkan pada pasal 328 A. Bunyinya: “Dihukum dengan hukuman dari sebulan sampai enam bulan atas barangsiapa yang dengan maksud merugikan majikan, bila sudah menerima panjar untuk bekerja tidak melakukan pekerjaan yang telah ditentukan padanya.” Peraturan ini pun masih dirasa hambar oleh pihak majikan perkebunan.
            Oleh karenanya, pada tahun 1880 terbitlah peraturan perburuhan yang baru. Peraturan  tersebut dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada bulan Juli 1880 dan dikenal dengan “Koelie Ordonantie” dan orang-orang yang terikat dalam Ordonansi Koeli itu dikenal dengan sebutan “Kuli Kontrak”. Koeli Ordonanntie adalah peraturan tentang kuli yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pihak pengusaha dan pekerja. Di dalam peraturan perburuhan ini banyak terdapat pasal-pasal secara tersurat yang menentukan kewajiban timbal balik, buruh dengan majikan. Jadi bukan sekedar kewajiban buruh saja. Namun, pada prakteknya ketentuan itu secara langsung ditujukan kepada pihak kuli.
Ordonansi ini juga menentukan ancaman hukuman bagi siapa yang melanggar peraturan. Hukuman itu berupa hukuman badan maupun denda bagi kuli atau majikan yang melanggar peraturan dalam kontrak kerja. Hukuman badan adalah berupa kurungan (penjara) dalam jangka waktu tertentu. Namun pada praktiknya, hukuman pukul dan tendanglah yang sering diberikan pada kuli yang melanggar peraturan kerja.
Karena adanya ketentuan (Sanksi) hukuman badan bagi kaum pekerja yang melanggar ketentuan tersebut, itulah sebabnya Koeli Ordonanntie ini diberi julukan atau alias dengan nama Poenale Sanctie, artinya syarat yang bisa berakibat hukuman bila dilanggar atau sanksi pidana bagi buruh yang melanggar kontrak.
BAB VI
“DARI JAJAHAN KITA”  

Sejak Nienhuys diberikan izin oleh Sultan membuka perkebunan maka mulai saat itu segala macam penganiayaan dan praktek kekerasaan terhadap kuli sudah dilakukan, hal ini semakin menjadi kebiasaan bagi pihak majikan sejak pendatang dari luar Sumatera Timur terutama Jawa turut dipekerjakan.    
Ketika dikeluarkan ordonansi kuli pada tahun 1880, yang berisi tentang hak dan kewajiban kuli dan majikan, peraturan tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada pengurangan hukuman bagi sang kuli. Sebaliknya, peraturan itu dianggap oleh para majikan telah menjadi jalan resmi untuk semakin bertindak semena-mena terhadap para kuli..
Salah satu faktor penting mengapa Poenale Sanctie itu semakin kuat adalah karena peranan pers. Pada tahun 1885 terbit surat kabar Deli Courant dengan tujuan mempertahankan kepentingan investasi Belanda di tanah jajahan khususnya Sumatera Timur. dilihat dari tujuannya maka sama artinya dengan mempertahankan Poenale Sanctie, sebab mempertahankan Poenale Sanctie sama dengan mempertahankan investasi. Berita tentang praktek penganiayaan tidak pernah dimuat di dalam Koran tersebut, sebaliknya jika kuli lari atau melanggar peraturan kerja, maka akan mendapat kolom di samping berita-berita biasa.
Pada tahun 1895 terbit sebuah Koran Belanda ke 2 yaitu De Ooskust yang juga memuat berita-berita tembakau. Namun tidak bertahan lama. Selanjutnya pada tahun 1898 lahir De Sumatra Post dengan pimpinan redaksi yaitu Mr. Van den Brand seorang sarjana ahli hukum.
Dalam tahun 1902, seorang anggota Balai Rendah Belanda dari parpol sosialis, Ir.H.H. Van Kol mengadakan peninjauan ke Indonesia dan semua hasilnya dimuat dalam sebuah buku yang berjudul Uit Onze Kolonien (Dari Jajahan Kita)  yang terbit pada tahun 1903. Dalam bukunya, ia mengungkap tentang penganiayaan terhadap kuli. Sebelum menuliskan tentang keburukan di perkebunan di Deli, ia telah mengutip bahan-bahan dari brosur yang diterbitkan oleh Dr.J.A.C.Tschudnowsky yang tersiar di tahun 1898.
Van Kol dalam bukunya mengungkap apa-apa saja yang telah dilakukan pihak majikan seperti misalnya ada administrator yang menyiksa kuli hingga menyebabkan luka ditengkuknya dan harus berjalan mondar-mandir di depan rumah administrator, ada pula wanita didera di pantatnya yang terbuka. Ia juga menuliskan tentang tapak tanah perkebunan tembakau dan keuntungan dari produksi tembakau. Ia pun menuliskan tentang gaji yang diterima pihak kuli hingga menyebabkan kuli perempuan banyak yang menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhannya serta menuliskan mengenai penyakit-penyakit yang diderita para kuli dan pelayanan kesehatan.












VII
“BERJUTA-JUTA DARI DELI”

Mr. Van Brand, pemimpin redaksi De Sumatera Post yang kemudian menjalankan profesi Pengacara di samping terjun ke masyarakat, pada tahun 1902 megambil bagian turut dalam diskusi yang sengaja diadakan oleh organisasi Belanda “De Indische Bond” Cabang Medan, untuk suatu topik yang terus hangat yaitu Poenale Sanctie. Ini adalah kali pertama Poenale Sanctie dibicarakan di tanah Poenale Sanctie.
Di dalam diskusi itu turut hadir Ir.H.H. Van Kol sehingga suasananya cukup membangkitkan perhatian. Yang membuka topik adalah orang Belanda yang bernama De Coningh, Koresponden harian Java Bode Jakarta untuk Medan. Sebagai pembangkang telah ditentukan seorang Belanda lain bernama Lefebre yang tampil mempertahankan Poenale Sanctie.
Dalam kesempatan ini, Mr.Van den Brand mengemukakan empat pokok pikiran, pertama dari segi tis, Ordonansi Kuli tidak dapat dipertahankan. Dengan dipasangkannya ketentuan hukum tidak bebas kepada kebebasan hak sipil seseorang warga, maka jelas bentuknya suatu pembudakan. Kedua, apabila Ordonansi Kuli dihapuskan ia dapat diganti oleh perundang-undangan perburuhan yang bebas. Tidak perlu dipersoalkan apakah karenanya ada pihak yang dirugikan.
Ketiga, perkembangan yang terjadi kini telah membuat majikan sebagai manusia diberikan hak milik untuk apa yang tidak dapat dimilikinya dari sesamanya manusia. Dan hal itu menimbulkan sebab rusaknya rasa saling menghargai yang harus ada antara majikan dan buruh, dan sekaligus menjurus pada hancurnya budi yang ada dalam setiap manusia. Keempat, Ordonansi Kuli adalah bertentangan dengan dasar-dasar ke-Kristenan.
Empat pokok pikiran itu adalah sari kandungan brosur Mr. Van den Brand dan sudah diterbitkan tahun 1903 di Amsterdam dengan judul De Millioenen Uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Adapun makna dari “berjuta-juta” dari Deli itu dapat dilihat dari dua tafsiran. Pertama, kekayaan yang melimpah ruah disalurkan dari Deli hasil pemerasan keringat darah kaum buruh yang tersiksa. Kedua, berjuta-juta kisah derita, pengalaman pahit aum buruh.
Pada bagian permulaan brosur itu ungkapannya ditujukan pada betapa tidak mungkinnya keadilan dicapai dengan suasana dan kondisi tanah Deli akibat perlakuan keji dan kejam terhadap kuli kontrak. Mr. Van den Brand juga mempersaksikan betaoa sukarnya perkara-perkara akan sampai ke meja parket. Hal ini terjadi karena adanya pagar tebal yang memustahilkan perbuatan-perbuatan kejam pihak majikan akan terdengar.
Van den Brand mengungkapkan bagaimana menonjolnya pengaruh kepala-kepala bangsa Tionghoa yang diberi hak monopoli penjualan candu, pajak gadai, dan perjudian, bahkan juga monopoli rumah-rumah persundalan. Van den Brand juga mengungkapkan mengenai kesewenang-wenangan di mana tuan-tuan kebun harus dilayani kepuasan seksnya.
Singkatnya, Van den Brand adalah salah satu tokoh yang harus diakui usahanya dalam upaya menghancurkan Poenale Sanctie. Dapat dicatat bahwa hingga 1921 Van den Brand masih memperjuangkan mati-matian hapusnya Poenale Sanctie. Mr. Van den Brand menjadi anggota Dewan Rakyat yang diangkat oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 17 Mei 1921. Ia meninggal dunia di Bogor tanggal 5 Desember 1921.

VIII
SIMPANG-SIUR PIKIRAN KALANGAN BELANDA

Menanggapi tentang hal-hal yang dibongkar oleh Van den Brand di dalam brosurnya maka, pemerintah Hindia Belanda di Jakarta menugaskan seorang Opsir untuk membuktikan semua kebenaran yang dibeberkan oleh Van den Brand tersebut. Ternyata dalam masalah ini para negarawan Belanda rupanya mengharapkan supaya skandal-skandal yang dibongkar oleh Van den Brand ditutup saja. Namun, untuk memuaskan keinginan pihak oposisi di Balai Rendah diumumkanlah juga hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah perlu pemerintah mengadakan inspeksi perburuhan, perlu perbaikan kepolisian, dan perlu diadakan pengadilan dewan hakim di Medan.
Mengenai perbaikan kepolisian dan pembentukan dewan hakim, pemerintah Hindia Belanda masih belum mau melakukannya. Namun, dibentuklah badan inspeksi perburuhan dan yang menjadi pejabat pertama sementara adalah B.Hoetink. Tak beberapa lama B.Hoetink melaporkan bahwa administratur-administratur perkebunan seharusnya jangan main pukul tendang, sebab hal demikian akan banyak ditiru oleh bawahannya yaitu asisten dan tandil. Untuk itu Hoetink menganjurkan agar tuan-tuan kebun tak perlu membawa tongkat jika pergi ke kebun. Namun, hal ini mendapat sanggahan dari pihak perkebunan, mereka beralasan bahwa tongkat yang mereka bawa selain untuk melawan binatang-binatang seperti ular yang tiba-tiba saja bisa menyerang  adalah untuk menunjukkan kewibawaan sebagai tuan kebun.
Sejak perburuhan di wilayah Hindia Belanda diberi kekuatan hukum atau yang biasa disebut dengan Ordonasi Kuli hingga terbentuknya Dewan Rakyat di tahun 1918, beberapa kali mengalami perubahan. Hinggga pada tahun 1909 pengadilan Raad Van Justitie yang baru di Medan menilai bahwa kalimat-kalimat dalam perjanjian kerja paksa itu ada yang tidak sesuai dengan pasal-pasal Ordonasi Kuli. Untuk itu timbullah prakarsa kalau-kalau Ordonasi Kuli tersebut dapat diperbaharui secara menyeluruh. Maka, pada tahun 1915 lahirlah Ordonasi Kuli yang baru. Walaupun dalam kenyataannya Ordonasi Kuli yang baru tidak jauh berbeda dari yang lama. Kuli diwajibkan bekerja berat, tidak boleh malas dan lari, kalau malas dan lari bisa dihukum badan. Adapun sedikit perbedaannya terletak pada tidak diberlakukannya menghukum (Poenale Sanctie) di dalam perkebunan-perkebunan Sumatera Timur.
 Selain itu, merajalelanya penipuan yang dilakukan oleh werek untuk merekrut tenaga kerja baru dirasa sangat merugikan. Bahwa selain yang bodoh, banyak juga tertipu orang yang pandai baca tulis bahkan bersekolah sudahlah umum diketahui. Mengenai hal ini Tideman mengungkapkan pada masa ia bertugas di Pematang Siantar. Seorang rekannya pamong Belanda di Jawa berkirim surat padanya supaya menolong mencari anak berumur 12 tahun yang tertipu oleh tukang werek, lalu diangkut ke Deli menjadi kuli kontrak dan diketahui sedang berada di dalam sebuah perkebunan dalam daerah Tideman bertugas. Yang ternyata orang itu bukan anak-anak lagi, tapi sudah 18 tahun. Ia tadinya jurutulis sebuah pabrik sebuah di Jawa dan Putera seorang Assisten Wedana. 
Sealain sistem perekrutan yang dirasa merugikan kuli, perlakuan tuan-tuan kebun kepada kulinya juga dirasa semena-mena. Bahwa ada seorang kuli yang disangka mencuri kambing, karena ia tidak mengaku dan untuk memeras pengakuannya ia dijemur sepanjang hari dalam panas terik di depan kantor Administratur. Setelah itu kuli tersebut diserahkan kepada seorang tukang Tionghoa (pemilik kambing) untuk diadilinya sendiri. Tidak heran jika kemarahan dari pihak kuli timbul akibat derita mereka, hingga para kuli tersebut berani melakukan penyerangan terhadap asisten-asisten perkebunan.

IX
PERS INDONESIA DAN PERGERAKAN LAWAN PEONALE SANCTIE

Pada tahun 1902 di Medan terbit surat kabar pertama berbahasa Indonesia bernama “Pertja Timor” yang dipimpin oleh Mangaraja Salamboewe. Surat kabar ini diterbitkan 2 kali seminggu, namun surat kabar tersebut nampaknya tidak mengungkit soal Poenale Sanctie. Hingga tahun 1906 hukum pers yang berlaku di Indonesia masih tidak mengenal adanya kebebasan menyatakan pendapat dan bersuara. Hingga pada tahun 1910 terbit sebuah surat kabar di Medan yang bernama “Pewarta Deli”, yang pada tanggal 18 Desember 1912 membicarakan soal Poenale Sanctie. Karangan itu diberi judul “Nasibnya Koeli Contract di Soematera Timoer” yang ditulis oleh seorang pengarang bertanda “Omega”.
Boedi Oetomo, sesuai dengan pemberitaan “Pewarta Deli” pada tanggal 7 Agustus 1912 sudah terbentuk di Binjai dengan ketuanya Raden Roeslan. Lalu pada bulan Desember tahun itu juga, diketahui bahwa Dr.Soetomo membentuk cabang Boedi Oetomo di kota Lubuk Pakam dengan beliau sendiri sebagai ketuanya. Lalu pada bulan Mei 1913 Dr. Soetomo membentuk Boedi Oetomo cabang Deli dengan beliau sendiri juga sebagai ketuanya. Selama Dr. Soetomo di Deli tidak pernah kedengaran suatu perjuangannya menentang Poenale Sanctie. Lalu ketika beliau tiba di Jakarta, Dr. Soetomo mengungkapkan pendapatnya mengenai peraturan yang merugikan kuli. Lalu pernyataan ini disiarkan oleh “Java Bode”. Perhatian “Java Bode terhadap pidato Dr. Soetomo yang menyinggung nasib Koeli Kontrak di Deli ternyata cukup besar. Laporan yang dimuat dalam surat kabar itu cukup panjang.
Tanggal 17 Februari 1918 pergerakan Syarikat Islam cabang Medan yang mengambil tempat di Oranje Bioskop mengadakan suatu rapat umum. Dalam rapat tersebut hadir sebanyak 700 anggota pergerakan, termasuk utusan pengurus cabang-cabang lain di Sumatera Timur, juga pers dari perkumpulan. Pada saat itupun sebagai tamu hadir wakil-wakil pihak majikan perkebunan. Mohammad Samin yang bertindak sebagai pembicara inti, selaku Komisaris Syarikat Islam Wilayah Sumatera Timur membawakan topik soal “Poenale Sanctie”.setelah pidato itu, Syarikat Islam memutuskan untuk mengambil alih resolusi rapat umum itu yang isinya mengutuk Poenale Sanctie disamping beberapa bagian lain. Dalam bulan Mei itu juga ketika diadakan kongres Syarikat Islam di Surabaya, Samin mengajukan keputusan SI Medan untuk didukung dan diteguhkan. Pada rapat kongres tanggal 11 Mei 1918 10 usul Samin tersebut diterima baik oleh kongres.
Lalu pada tanggal 13 Februari 1919 berlangsung suatu musyawarah wilayah-I Sumatera Timur yang bertempat di Tebing Tinggi. Dari pengurus besar hadir Abdoel Moeis, yang ketika itu menjadi dewan rakyat. Yang menarik perhatian pers Belanda ketika Moeis menginjakkan kakinya di Deli adalah sikap Syarikat Islam yang sesungguhnya terhadap “Poenale Sanctie”. Di lembaga itu diungkapkan bahwa Sumatera Timur yang dipimpin oleh Mohammad Samin menyatakan tidak lagi menentang “Poenale Sanctie’. Sehubungan dengan pernyataan bahwa Syarikat Islam Medan memutuskan untuk meneruskan “Poenale Sanctie” ternyata diungkapkan oleh H.Ketner melalui surat terbuka di “Sumatera Post”. Ternyata dari berita “Sumatera Post” 2 November 1918 tersebut Samin (Syarikat Islam) melangsungkan pertemuan dengan tokoh-tokoh dari “Soera Djawa” (Boedi Oetomo). Hasil pertemuan mereka menghilangkan keraguan-keraguan tentang sikap pemimpin Syarikat Islam bahkan Boedi Otomo mengenai “Poenale Sanctie”.
Selain itu ada Tan Malaka yang menaruh perhatian kepada “Poenale Sanctie” yang diketahui dari tulisan-tulisannya yangantara lain tersiar dalam “Sumatra Post” 19 Juli 1920 dengan nama samaran “Pontjo Dirjo”. Tapi ketika ditanya ia tidak mengaku menjadi penulis tersebut. Lalu sekitar tahun 1920/1921 bahwa menentang “Poenale Sanctie” sudah bukan hal yang dianggap jahat. Bahkan dalam kalangan Belanda sendiri sudah dianggap “loyo” hal ini dikarenakan kenapa pemimpin-pemimpin pers Indonesia tidak bangkit menentang secara terbuka.



X
DEWAN RAKYAT SEBAGAI STEMPEL KARET

Ketika Dewan Rakyat dibentuk dan mulai bersidang di bulan Mei 1918, jumlah anggotanya hanya 49 orang, termasuk ketuanya yang diangkat. Sebagian dingkat dan sebagian dipilih oleh lembaga-lembaga lokal. Setelah bersepakat dengan Raad van Indie (Dewan Hindia) harus ada sebanyak 8 anggota terdiri dari pribumi. Anggota pribumi dari Sumatera Timur waktu itu belum ada. Dan anggota Belanda yang terdahulu dari Sumatera Timur ialah H.Ketner, tuan maskapai-maskapai perkebunan H.A.P.M. di Kisaran. Menurut satatusnya dan dalam kenyataannya lembaga Dewan Rakyat tidak mempunyai wewenang legislatif. Ia hanya sekedar memberikan pikiran-pikiran, baik atas prakarsa maupun jika diminta oleh Gouverneur Generaal. Demikian pula usul-usul yang progresif yang mungkin ada dari mayoritas Belanda sendiripun, seperti gagasan menghapuskan Poenale Sanctie, akan bisa saja tersamping, kalau Gouverneur General tidak mau.
            Walaupun demikian, adanya lembaga ini minimal sudah dapat membangkitkan “selera bicara” bagi mereka yang ingin mengadakan pembaruan-pembaruan. Anggota pertama yang mengemukakan pendapatnya adalah Ch.G.Cramer, seorang insinyur pekerjaan umum. Beliau menanggapi keterangan Direktur Justisi, Scheur yang mengatakan bahwa pada dasarnya sudah ditetapkan dan kepada semua pihak yang berkepentingan diberitahukan, bahwa dalam sedikit tahun Poenale Sanctie mesti sudah dihapus. Bagaimanapun pihak majikan akan mempertahankannya.
            Menjelang siding akhir tahun , tegasnya tanggal 26 November 1918, oleh anggota Teuku Tjhi Mohammad Thayeb telah diambil prakarsa mengajukan usul bahwa Ordonasi Kuli dirubah dan diperbaiki, usul ini kemudian didukung oleh 5 penandatangan lainnya. Walaupun tidak menuntut penghapusan Poenale Sanctie sekaligus, namun paling sedikit isinya mengandung unsur meniadakan sarat hukum badan itu. Namun, nampaknya usul-usul tersebut tidak terdengar serta tidak mendapatkan tempat. Maka tidak heran jika usul tersebut seperti sedang kesasar dalam rimba dan itu sebabnya Dewan Rakyat dapat disebut tidak lebih dari suatu Stempel karet belaka.
            Keinginan para anggota anti Poenale Sanctie untuk berbicara dalam lembaga Dewan Rakyat itu adalah dengan suatu harapan kalau-kalau mereka bisa menyelipkan sedikit kelonggaran pasal-pasal yang ditentukan, dengan mengadakan amandemen (perbaikan teks) disana sini. Tapi nyatanya pihak pendukung Poenale Sanctie luar biasa besar dalam Dewan Rakyat ketika itu. Sehingga betapapun nyaringnya suara dan kerasnya desakan, akhirnya ketika dipungut suara, pihak  progresif mengalami kegagalan.







XI
ANIAYA DAN “SELFDEFENCE”

Tanah di Sumatera Timur tidak hanya dikonsesikan kepada pemodal Eropa dan Amerika, tapi juga pada orang Jepang. Salah satu konsesi yang diterima bangsa ini di Sumatera Timur ialah di Pulau Mandi, di hulu Asahan. Tidak pernah terdengar suatu hal dari perkebunan ini, karena untuk bisa masuk ke sana tidak sembarangan orang. Hingga pada tahun 1926 terdengar kabar dari seorang buruh pelarian bahwasannya seorang Wakil Administratur bernama Kozo melakukan aniaya kepada beberapa buruhnya, selain menyiksa badan juga memaksa siksaannya supaya memakan najis kuda dan najis Jepang tersebut, serta menyapu muka sendiri dengan benda kotor tersebut. Akibat perbuatannya tersebut pada tanggal 19 Oktober 1926 Kozo disidangkan di pengadilan Raad van Justisi Medan dan diajukanlah 12 macam tuntutan pidana terhadap Kozo. Semua tuduhan tersebut dipungkiri oleh Kozo, tapi penunut hukum menyatakan dan menunjuk atas fakta-fakta serta memberikan uraian atas jelasnya sehingga menekankan bahwa semua tuduhan terbukti.
Penuntut hukum menyinggung juga akibat Poenale Sanctie itu sendiri.  Menurut penuntut hukum, Poenale Sanctie itu rupanya tidak dipergunakan di Poelau Mandi, ternyata yang dilakukan oleh Kozo adalah ‘hakim sendiri”. Hakim menjatuhkan hukuman 2,1/2 tahun penjara, potong tahanan dan dipikulkan membayar ongkos perkara. Akibat dari hal itu perkebunan Pulau Mandi dipecat dari anggota A.V.R.O.S. untuk itu beberapa maaskapai perkebunan menyampaikan surat edaran kepada petugas-petugasnya supaya jangan melakukan pemukulan, sebab bisa diberhentikan.
Mengenai pembalasan yang dilakukan pihak buruh kepada tuannya ternyata sejak tahun-tahun permulaan Poenale Sanctie sudah terjadi kasus, hal ini merupakan akibat dari kekejaman oknum-oknum tuan kebun. Banyak berita dalam surat kabar yang menyatakan bahwa segi-segi negatif pendatang Tionghoa antara lain perampokan, pembakaran, pembajakan, dan sebagainya, dikesankan sebagai bawaan imigran dari Pinang akibat tidak disaring. Tapi lama kelamaan akibat sebenarnya bukan demikian, melainkan akibat dari pihak tuan kebun yang terbiasa main pukul tendang.
Tak jarang banyak kuli yang melakukan penyerangan terhadap tuan-tuan kebun, ketika diadakan larangan koeli-koeli kontrak tidak boleh memakai pisau belati, dan ini dipatuhi, penyerangan terhadap tuan-tuan kebun masih berlangsung juga. Sebab-sebab yang menjadi dasarnya tidak lain adalah akibat kekejaman tuan-tuan kebun itu sendiri. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...