Sabtu, 30 September 2017

Review : SEPANJANG JALAN KENANGAN: MAKNA DAN PEREBUTAN SIMBOL NAMA JALAN DI KOTA SURABAYA (KAPITA SELEKTA)



SEPANJANG JALAN KENANGAN: MAKNA DAN PEREBUTAN SIMBOL NAMA JALAN DI KOTA SURABAYA

Sarkawi B. Husain
Mengusik Kenangan: Pendahuluan
            Upaya untuk mengahapus nama jalan Raya Darmo di Surabaya dan menggantinya dengan nama lain bukan sekali saja terjadi. Pada tahun 1961, berdasarkan keputusan walikota, kepala daerah Kotapradja Surabaya tertanggal 13 Maret 1961, Jalan Raya Darmo diubah menjadi Jalan Patrice Lumumba, namun hanya bertahan selama lima bulan. Karena pada Agustus 1961, Tritunggal Kotapradja Surabaya mengeluarkan keputusan dan pengumuman yang memandang perlu untuk mengembalikan nama Jalan Patrice Lumumba menjadi semula, yakni Jalan Raya Darmo. Usia nama jalan yang sangat singkat ini disebakan oleh banyaknya protes warga yang dengan alasan tertentu tetap menginginkan nama Darmo tetap dipertahankan. Hal ini merefleksikan betapa simbol kata, khususnya nama jalan menjadi salah satu ajang untuk berlangsungnya kompetisi antara berbagai kepentingan politik.
            Terjadi lagi menjelang hati jadi Kota Surabaya yang ke-708 pada tanggal 31 Mei 2001, dimana berbagai surat kabar yang terbit dikota ini diramaikan oleh komentar yang berisi penolakan atas rencana Pemerintah kota untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Seokarno-Hatta.
            Dari pihak pemerintah beralasan bahwa rencana perubahan ini adalah untuk menghargai jasa Seokarno-Hatta sebagai proklamator (pahlawan nasional). Dimana, Kota Surabaya mungkin satu-satunya kota besar yang tidak menjadikan Seokarno-Hatta sebagai salah satu nama fasilitas publik. Sedangkan, alasan masyarakat yang menolak perubahan nama jalan tersebut juga berdasarkan pada alasan historis.
            Dengan demikian, perebutan simbol antar negara dengan masyarakat yang menggunakan alasan sejarah pun tidak terhindarkan. Seperti yang diketahui, sejak zaman Kolonial hingga saat ini, Darmo merupakan jalan dan kawasan yang sangat penting dan strategis. Pada zaman Belanda, jalan ini diberi nama Darmo Boulevard dan kawsan sekitarnya yang luasnya hampir 230 hektar merupakan tempat perumahan elite tempo dulu.


Proses Pergantian dan Pemberian Nama Jalan
            Pada masa pemerintahan Belanda, proses penamaan jalan-jalan di Kota Surabaya diatur dalam “ Verordening regelende het geven van namen aan strate, wegwn, pleinen en dergelijke voor het publiek toegankelijke plaatsen, andere dan die door den Gemeenteraad zijn vastgesteld”yang ditetapkan pada tanggal 1 Februari 1918, dimana aturan ini tidak memperkenankan kepada masyarakat untuk memberi nama-nama jalan selain yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
            Pada tahun 1955, Pemerintah Kota Besar Surabaya menetapkan Peraturan Daerah No.22 tahun 1955 tentang Pemberian Nama Jalan, akan tetapi ketentuan-ketentuannya sama dengan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda pada 1918. Dua puluh tahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 3 Juli 1975, Peraturan Daerah (Perda) 1955 itu dicabut dan DPRD Kota Madya Surabaya mengeluarkan Perda tentang Pemberian Nama-nama Jalan, tempat rekreasi, taman, dan tempat serupa untuk umum.

Jaringan Jalan dan Karakteristiknya
Kontrol Atas Memori Kolektif: Nama Jalan di Era Belanda
            Dari semua kota di Hindia Belanda, Surabaya adalah kota yang pembangunan dan jalannua paling tidak teratur. Hal ini disebabkan pembangunan dan jalan yang mengikuti alur sungai yang berkelok-kelok di tengah kota, yaitu Kali Surabaya dan cabangnya Kali Pegirian. Salah satu konsekuensi pembangunan kota yang mengikuti alur sungai ini adalah terkonsentrasinya perkampungan-perkampungan penduduk di tepi sungai.
            Selain sungai, terdapat juga jalan besar dan terpenting yang memanjang dari pelabuhan ke Simpang. Jalan ini memanjang sebelah barat dan sejajar dengan Kalimas. Disinilah terdapat gedung-gedung yang bagus. Selain Balai Kota yang terletak kurang lebih di tengah-tengah kota lama di tepi Kalimas, disebelah utaranya masih terdapat berbagi bangunan seperti Gereja Protestan, gedung senjata, sekolah, galangan kapal, dan lain-lain.
            Sampai dengan tahun 1900-an jalan di Surabaya dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pola jalan yang tidak direncanakan dan timbul sebagai akibat kegiatan ekonomi serta hubungan sosial penduduknya. Walaupun Undang-undang wilayah sudah tidak berlaku lagi setelah tahun 1920-an, bekas-bekas pembagian wilayah masih terlihat dengan jelas. Pola jalan kedua, adalah yang terletak di daerah bagian selatan kota yang merupakan daeraj perumahan dan pemukiman baru. Jaringan jalan di kawasan ini sengaja direncanakan untuk keperluan perumahan orang-orang Eropa. Sampai tahun 1900-an pola jalan yang sengaja direncanakan di Kota Surabaya baru ada di daerah yang disebut sebagai daerah T. Pola jalan yang ketiga, adalah daerah yang menghubungkan Surabaya Utara (yang tumbuh menjadi kawasan perkantoran dan perdagangan) dan Surabaya Selatan (daerah perumahan).
            Salah satu hal yang menarik berkaitan dengan pemberian nama jalan pada masa pemerintah Belanda adalah dipertahankannya sebagian besar nama-nama lokal yang mungkin sudah ada sejak abad ke-19. Nama jalan pada tahun 1940, hanya terdapat ±21% atau 236 nama jalan yang berbahasa Belanda, selebihnya memakai nama lokal seperti Blim-bing-straat, Dinojo, Dononegoro, Djagalan, Gembong, Kaliasin dan lain-lain.

Mengahpus Ingatan Lama dan Membangun Ingatan Baru: Era Jepang dan Republik
            Pendudukan Jepang yang secara resmi menduduki Surabaya pada 8 Maret 1942 dan menyusul pendudukannya yang begitu cepat, ada dua prioritas kebijakan yang dilakukannya, yakni menghapus pengaruh Barat di kalangan rakyat dan memobilisasi rakyat demi kemenangannya. Dibanding merubah nama jalan, Jepang lebih tertarik untuk memobilisasi massa demi kelangsungan kekuasaannya, baik dengan cara kekerasan maupun dengan cara yang lebih simpatik. Hanya ada satu-satunya nama jalan yang diganti oleh Jepang yakni adalah Jalan Prambanan menjadi Jalan Kenpatai.
            Beberapa tahun setelah Indonesai merdeka (1949), penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran. Kecenderungan mengganti nama jalan berbahasa Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran. Kecenderungan mengganti nama jalan tanpa memperhatikan sejarah dan ciri khas suatu tempat berlangsung pada masa DPR-GR.
            Penghapusan ini dilakukan karena nama jalan merupakan salah satu symbol yang menyimpan kenangan kolektif. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan semua kenangan itu dianggap perlu dihapus. Nama-nama jalan menjadi semacam kenyataan sosial kolektif. Himpunan nama jalan perkotaan memadukan ruang dan waktu, nama jalan adalah waktu yang membeku di dalam kota. Nama-nama jalan yang berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang Indonesia, tetapi kenagan orang Belanda. Sebuah kenangan yang dipaksakan, yang sedikit sekali relavansinya bagi orang Indonesia yang menggap masa kolonial sebagai semata-mata masa penghinaan oleh Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...