BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gerakan
sosial, lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas
terhadap suatu kondisi atau keadaaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi,
dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan yang matang. Menurut
Sartono Kartodirjo, gerakan sosial adalah gerakan perjuagan yang dilakukan oleh
golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama
dan kultural oleh kelompok penekan termasuk itu penguasa atau Negara. Inilah
termasuk dalam gerakan seperti kaum petani dan buruh.
Pemerintah kolonial
Hindia Belanda, terusir dengan masuknya bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia.
Organisasi-organisasi pedesaan secara langsung dihubungkan dengan kepentingan
perang dalam pengertian politik, ekonomi dan sosial budaya. Untuk tujuan ini,
pemerintah pendudukan Jepang memperkenalkan lembaga-lembaga sosial baru kepada
masyarakat Indonesia, khususnya kepada penduduk desa.
Kebijakan
mobilisasi massa oleh pemerintah penduduk Jepang juga dilakukan dalam rangka
memperlancar pelaksanaan politik perang di wilayah penduduk untuk mendukung
upaya Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Upaya pemerintah
penduduk Jepang ini ialah bagaimana
untuk menarik simpati rakyat, dan mengindoktrinasi, mereka sehingga menjadi
lebih bersimpati dan mendukung upaya Jepang untuk memobilisasi rakyat Indonesia
menuju kesesuaian pandangan tentang “cita-cita menuju lingkungan kemakmuran
Asia Timur Raya”.
Kerangka
kebijakan politik perang pemerintah pendudukan Jepang, telah memberikan
beberapa implikasi positif, seperti di bidang pendidikan, mengingat pada masa
akhir pemerintah colonial Belanda, sebagian besar sekolah yang ada di tutup.
Namun, ketika pendudukan Jepang masuk, sekolah-sekolah dibuka kembali, dan
bendera Merah Putih dikibarkan, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya
diperdengarkan. Selain implikasi positif, pemerintah pendudukan Jepang juga mengandung
implikasi negative dan merugikan rakyat Indonesia, terutama bagi rakyat di
pedesaan, yang terdiri dari petani. Kebijakan yang sangat merugikan dan membawa
penderitaan itu ialah diterapkannya sistem “ politik beras” atau wajib serah
padi secara paksa terhadap petani di desa, yang bertujuan untuk kepentingan
logistic bala tentara pendudukan Jepang dalam menghadapi Perang Asia Timur
Raya, sebagaimana yang terjadi di desa Unra Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
pada tahun 1943. Faktor-faktor inilah yang memicu terjadinya perlawanan rakyat
di pedesaan, terutama di daerah-daerah lumbung beras, seperti yang terjadi di
daerah Desa Unra.
Selain faktor
“wajib serah padi” yang menjadi faktor lain dalam memicu terjadinya
pemberontakan petani ialah, perubahan struktur otoritas tradisional di
pedesaan. Selama pemerintahan pendudukan Jepang, hubungan antara pemerintahan
lokal, seperti kepala desa, lurah, dengan rakyatnya semakin melemah. Tidak lagi
terjadi hubungan “melindungi dan dilindungi”, tetapi justru yang terjadi adalah
para kepala desa atau lurah dijadikan wakil pemerintah pendudukan Jepang.
Maka dengan ini
pemakalah mengambil judul mengenai tentang “ Pemberontakan Petani Unra tahun 1943: Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan
Pada Massa Pendudukan Jepang”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor
apa saja yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan petani Unra di Sulawesi
Selatan pada tahun 1943 ?
2. Bagaimana
jalannya peristiwa dan peran tokoh petani dalam pemberontakan petani Unra di
Sulawesi Selatan pada tahun 1943 ?
3. Bagaimana
dampak pemberontakan petani Unra terhadap situasi kehidupan rakyat Unra pada
tahun 1943 ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Mendeskripsikan
faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan petani Unra sebagai gerakan
sosial di Sulawesi Selatan pada tahun 1943.
2. Mengkaji
dan menelusuri proses dan jalannya peristiwa serta peran para tokoh petani
dalam pemberontakan petani Unra di Sulawesi Selatan pada tahun 1943.
3. Menguraikan
dampak pemberontakan petani Unra terhadap situasi kehidupan rakyat Unra pada
tahun 1943.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor Penyebab
Terjadinya Pemberontakan Petani Unra
Desa Unra yang terletak di bagian
utara Kabupaten Bone, masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Awangpone.
Letaknya 15 kilometer dari ibukota Kabupaten Bone, 185 kilometer dari Makassar,
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini berpenduduk sekitar 7000 Jiwa.
Kata
Unra berasal dari kata “Unrainna Bone” yang artinya “benang pada jarum”. Jarum
yang dimaksud adalah Bone, sedangkan yang dimakasud benang adalah Unra sendiri;
sehingga antara Unra dan Bone tidak dapatt dipisahkan.
Rakyat
Unra hidup dari bertani. Hal ini karena faktor geografis yang mendukung, yakni
terdiri dari tanah persawahan yang subur dan luas. Dengan keadaan fisik dan
kondisi daerah yang demikian itulah, Unra sangat menarik bagi pemerintah
pendudukan Jepang untuk memobilisasi rakyat yang terdiri dari petani untuk
memenuhi ambisi politiknya dalam hal pengumpulan padi atau beras.
Adanya
faktor penghasilan penduduk yang rendah, dan panen yang gagal sebagai akibat
dari musim kemarau yang panjang, atau cuaca hujan yang menyebabkan banjir dan
rusaknya hasil panen telah membawa efek yang gawat pada kelangsungan hidup
penduduk Unra, yang terdiri dari kaum petani. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau di daerah daerah yang demikian timbul pemberontakan dan
perlawanan terhadap pemerintah jajahan. Dalam kategori inilah, ketika
pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di Sulawesi Selatan, Unra yang waktu itu
gagal panen, karena musim kemarau yang panjang, dipaksa oleh pemerintah untuk
menyetor hasil padinya, melalui elite
penguasa lokal. Akibat tekanan hidup yang mencekik leher ini, terjadilah
keresahan sosial yang berujung pada pemberontakan.
Selain
faktor ekologis, juga secara geografis letak Unra yang terpencil dalam wilayah
kekuasaan kerajaan Bone, mungkin merupakan faktor lain yang dapat menjelaskan
tradisi-tradisi mereka, sebagai masyarakat dengan watak yang keras, dan
pembangkang. Apalagi ketika pemerintah kerajaan Bone tidak lagi memperhatikan
rakyat Unra, karena adanya intervensi pemerintah pendudukan Jepang sebagai
penguasa pusat, rakyat Unra justru menjadi lebih menderita karean hanya
menjadi pelayan pemerintah dalam
memenuhi kepentinganya. Ini patut menjadi perhatian, sekaligus berkaitan dengan
kecenderungan untuk memberontak.
Relung
ekologis yang khas, yang ditempati oleh kaum petani menyebabkan mereka sangat
rawan terhadap resiko, subtensi, yang mengakibatkan runtuhnya kedaulatan pangan
petani. Petani Unra yang senantiasa hanya tergantung pada belas kasihan hujan,
meskipun sawah menghampar luas, telah mengalami krisis subsistensi, yang
disebabkan kemarau panjang, sehingga banyak penduduk Unra yang hanya
mengkonsumsi bonggol pisang.
Kondisi
subsistensi pada masa paceklik, sebagaimana yang terjadi di Unra pada masa
pedudukan Jepang, telah menyebabkam rakyat sangat sulit memenuhi kebutuhan
pangannya, ditambah dengan adanya kewajiban secara paksa untuk menyetor beras
kepada pemerintah sebanyak 500 liter tiap rumah tangga petani.
2.2 Jalannya Peristiwa dan Peran Tokoh
Petani Dalam Pemberontakan Petani Unra
A.
Insiden di Rumah Ibanna sebagai Prolog
Pada tahun 1943, diawali dengan
sebuah insiden di rumah Ibanna, tepatnya 10 September 1943. Ibanna adalah salah
seorang petani penduduk Unra yang belum menyetor semua tunggakan yang
diwajibkan oleh pemerintah kepad setiap penduduk Unra. Hal ini disebabkan
karena yang bersangkutan tidak mampu lagi menumbuk padi karena usianya telah
lanjut, sehingga tidak dapat memenuhi keinginan pemerintah. Waktu itu, Ibanna
masih mendapat konsesi dari utusan“onderdistrik” Jaling. Yang dimaksud “onderdistrik” dalam
tulisan ini ialah daerahkecamatan. Jadi, yang dimaksud utusan onderdistrik Jaling
ialah utusan atau wakil pemerintah kecamatan yang berjanji suatu saat akan
kembali lagi untuk menagih tunggakan setoran padinya. Tiga hari sebelum
pemberontakan berkecamuk, kepala onderdistrik Jaling Andi Mannuhung dan para
pengawalnya mendatangi lagi rumah Ibanna untuk mengambil beras. Tetapi, Andi
Mannuhung bersama pengawalnya kecewa, sebab mereka hanya mendapatkan tiga bakul
kecil beras yang sudah ditumbuk, sehingga utusan tersebut langsung naik ke
loteng rumah (Bugis: rakkiang) untuk mengambil padi.
Menurut saksi mata, sebelum mereka mengambil padi, terlebih
dahulu mereka membuka bubungan rumah Ibanna (Bugis: timpa’ laja) sebelah
selatan, agar mudah mengambil padi yang ada di atas loteng. Kemudian, padi-padi
itu diambil, dan dibuang ke tanah. Kejadian ini disaksikan sendiri oleh Ibanna,
yang langsung melaporkannya kepada salah seorang keluarganya yang bernama
Ipagga, dan berkata “tegapo melomate”, yang artinya” di mana lagi kau akan
mati”. Mendengar perkataan seperti itu, Ipagga kemudian pergi ke tempat
kejadian; akan tetapi, kedatangannya membuat suasana semakin panas, dan dia
sendiri menjadi sasaran
kemarahan
Andi Mannuhung dan para pengawalnya. Salah seorang pengawal, yakni Andi Dambu,
langsung memukul Ipagga dengan pedang. Diperlakukan seperti itu, Ipagga
melakukan perlawanan, tetapi tidak berdaya, dan ditangkap.
Berita terkini tentang insiden
tersebut segera tersebar Desa Unra, dan
perkampungan-perkampungan di sekitarnya. Tidak lama berselang, sejumlah penduduk datang dan berteriak
dalam bahasa Bugis, “lappessangngi’ annyarang’na, artinya: lepaskan
kudanya. Yang dimaksud di sini ialah kuda-kuda yang dikendarai oleh Andi
Mannuhung beserta pengawalnya, supaya
mereka tidak dapat
melarikan diri. Di
antara para penduduk yang datang
ke tempat kejadian,
ialah Hajji Temmale, seorang
tokoh masyarakat Unra
yang juga menjabat sebagai
Sekretaris Desa atau
jurutulis desa (Bugis: Sariang). Berkat bantuan Hajji Temmale,
rombongan Andi Mannuhung
dapat meninggalkan tempat
kejadian tanpa menimbulkan korban jiwa.
B. Aksi Protes di Rumah Sullewatang Unra (Kepala Desa Unra) dan
Situasi Politik yang Memanas.
Pada malam harinya,
setelah terjadinya insiden
di rumah Ibanna, rakyat Unra
berkumpul di sekitar rumah Ibanna, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai Andi
Mannuhung beserta pengawalnya datang untuk mengambil kembali padi yang
telah dibuang dari
loteng rumah Ibanna, sehingga padi-padi itu berserakan di
tanah. Untuk itu, penduduk secara bersama-sama
mendatangi rumah Guru Imante
untuk meminta pertimbangan tentang apa yang
harus dilakukan dalam
mengahadapi pemerintah yang
semakin memberatkan penderitaan rakyat. Menurut
seorang informan, Guru
Imante hanya memberikan saran
kepada penduduk Unra, agar pergi ke perbatasan
desa antara Unra
dan Jaling, dan
juga disarankan agar semua penduduk membuka baju, serta sarungnya,
sehingga hanya memakai celana kolor saja (Bugis: sulara’ pappuru). Maksudnya
adalah agar Andi Mannuhung beserta pengawalnya
tidak berani lagi kembali; atau siap dihadang di
perbatasan desa. Setelah itu,
banyak penduduk siap
siaga di perbatasan
desa, untuk menunggu kedatangan Andi Mannuhung beserta pengawalnya, namun
sampai menjelang pagi
yang ditunggu tidak muncul, sehingga penduduk kembali ke rumah masing-masing. Paginya,
penduduk Unra dibawah pimpinan
Guru Imante bersepakat
untuk mendatangi rumah kepala desa Unra Andi Satinja, untuk
melakukan aksi protes,
sehubungan dengan tindakan aparat pemerintah terhadap rakyat
Unra. Aksi ini terjadi pada 21 September 1943. Tujuan utama aksi ini ialah untuk menangkap Andi
Dambu yang telah
memukul Ipagga pada waktu
insiden di rumah
Ibanna.
Namun, tujuan
itu tidak tercapai,
karena Andi Dambu
tidak berada di tempat
itu. Oleh sebab
itu, penduduk Unra semakin marah, dan beteriak-teriak
memanggil orang-orang yang ada
di dalam rumah
kepala desa Unra, namun tidak ada yang menanggapi.
Akhirnya, sebagian penduduk berinisiatif masuk
ke dalam rumah,
namun dicegah oleh Hajji
Temmale, yang sedang
berada di halaman rumah,
bersama Kulasse, dan
Mejje. Suasana yang tegang itu,
hampir mencapai puncaknya, seandainya
tidak dicegah oleh Hajji
Temmale. Dalam kesempatan itu,
Hajji Temmale menyampaikan
pidato singkat, bahwa” tindakan
aparat desa yang
telah melakukan pemaksaan penyetoran padi terhadap rakyat kepada
pemerintah Jepang, akan segera diatasi”, dan ia juga menyampaikan nasihat
kepada Tipu, menantunya ”sadarlah
kamu itu adalah
menantu saya, dan
juga keponakanku, kalau ingin membunuh salah seorang dari mereka, lebih
baik kau membunuh saya”. Inilah yang kemudian dalam analisis
peristiwa sejarah
pemberontakan petani Unra,
menyebabkan Hajji Temmale dicap
sebagai orang yang melindungi aparat yang
berlaku kejam terhadap
rakyat. Hajji Temmale kemudian mendapatkan hukuman adat dikucilkan dari penduduk Unra, setelah
pemerintah pendudukan Jepang menyerah
dan tidak berkuasa
lagi Setelah menyampaikan
himbauan, dan ajakannya kepada penduduk
Unra, Guru Imante
kemudian berpaling kepada Sullewatang Unra (Kepala Desa Unra). Andi
Satinja, dan Sullewatang Jaling, Andi Mannuhung untuk bertemu besok pagi di
alun-alun Abbolang’Nge, sebagai
penentu siapa yang
laki-laki, dan siapa
yang berada di pihak yang benar.
Sullewatang Unra, Andi
Satinja yang merasa keselamatan dirinya
terancam, memutuskan untuk menyingkir ke
rumah orang tuanya
di desa Jaling. Tujuannya untuk
meminta perlindungan dari
ayahnya Andi Mannuhung, dan pemerintah Jepang. Jadi, antara Kepala Desa
Unra (Sullewatang Unra) Andi Satinja, dan Andi Mannuhung ada hubungan antara
anak dan Bapak. Andi Satinja adalah anak Andi Mannuhung. Kepergian Andi Satinja
ke Jaling, di kawal oleh Hajji Temmale, Dullah,
dan Mejje. Kepergian
mereka tidak diketahui oleh penduduk desa Unra.
Sesampainya di desa Jaling, Dullah
dan Mejje, diperintahkan
oleh Hajji Temmale untuk kembali ke Unra untuk
mengantisipasi situasi dan kondisi,
serta segala kemungkinan
yang terjadi. Sementara itu,
Hajji Temmale, dan
Andi Satinja berangkat ke
Watampone, ibukota pemerintahan Bone, untuk
melaporkan kepada kepolisian
dan urusan pemerintahan, yaitu
Arung Ponceng Andi
Abdullah, bahwa situasi keamanan semakin panas di Unra. Pada waktu itu
juga, Arung Ponceng Andi Abdullah, beserta pengawalnya satu
regu kepolisian bersenjata
api berangkat ke Unra.
Di antara rombongan
Arung Ponceng, terdapat Andi
Patarai selaku Mantri
Polisi, Marsuki, Andi Ukkase, Tume Daeng Pawawo, Beddu, Nara, Pabittei,
dan Sangka, masing-masing
sebagai polisi. Rombongan itu
tidak langsung menuju desa Unra, tetapi mereka
singgah dahulu di
rumah kepala desa
Jaling untuk beristirahat. Pada dini hari, Rabu, 22 September 1943, baru
rombongan tersebut berangkat menuju desa Unra. Dalam
rombongan ini, kepala
desa Jaling (Sulleawatang Jaling)
Andi Mannuhung turut
serta. Dalam perjalanan, Hajji Temmale bersama kepala desa Unra Andi
Satinja, tidak langsung menuju desa Unra, tetapi keduanya
menuju desa Cempa
untuk menemui Mado Cempa
(Kepala Kampung) Cempa.
Tujuannya adalah untuk meminta
bantuan, karena Mado
Cempa diduga berpihak kepadanya,
dan kepada pemerintah pusat pendudukan
Jepang di Watampone.
Namun, maksud mereka sia-sia,
karena orang yang
akan ditemuinya tidak berada
di tempat.
C. Persiapan Pemberontakan.
Kedatangan Arung Ponceng, yang juga
anggota “adat tujuh” (ade’ pitu’e), yang
menangani masalah keamanan
dan urusan pemerintahan di Bone,
tidak diketahui oleh penduduk Unra. Mereka hanya mengetahui, bahwa Hajji
Temmale bersama Andi Satinja berangkat ke Watampone untuk melaporkan bahwa
rakyat Unra akan
mengadakan pemberontakan.
Sejak itulah Guru
Mante beserta seluruh penduduk
Unra yang bergabung
dengannya siap-siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Hal ini
mengingatkan mereka pada
ramalan Guru Mante, bahwa suatu saat akan datang kegelapan beberapa hari
lamanya. Pada waktu
itu, bulan tidak menunjukkan cahayanya,
yang menandakan sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti desa
Unra. Sementara itu, Guru
Mante sejak sore
harinya telah mencoba mengontak
beberapa sahabatnya, juga murid-muridnya,
beserta seluruh penduduk,
untuk membicarakan
langkah-langkah yang harus
diambil dalam menghadapi situasi yang akan terjadi, termasuk persiapan
pemberontakan. Oleh karena itu, pada malam harinya, Rabu
23 September 1943,
segera dilakukan pertemuan kilat
di rumah Itipu,
untuk menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi. Dalam pertemuan ini, banyak murid,
dan sahabat Guru
Mante yang datang dari
luar desa Unra,
seperti dari desa
Ulaweng, desa Kacimpang, dan
desa Maroanging, dengan
maksud bergabung dengan penduduk Unra dalam satu gerakan pemberontakan melawan
pemerintah pendudukan Jepang di
bawah pimpinan Guru Mante.
D. Pemberontakan di Mulai.
Tepat pada
Kamis, 23 September 1943,
bertepatan dengan 8 Syawal 1364 H, atau
seminggu setelah hari
Raya Idul Fitri,
Arung Ponceng beserta rombongan
tiba di Unra
untuk mengadakan
pemeriksaan sesuai laporan
yang diterimanya. Pertama diperiksa
adalah rumah-rumah penduduk,
namun rata-rata rumah penduduk sudah pada kosong ditinggalkan penghuninya.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana persiapan
penduduk untuk melakukan
pemberontakan, dan menghadapi kekuatan
militer Jepang. Selain
itu, juga untuk mengetahui
di mana rakyat
dan pimpinan memusatkan pertemuan-pertemuannya dalam menyusun
kekuatan. Para petani
berprinsip bahwa lebih baik
mati berdarah daripada
mati kelaparan. Manusia tidak akan mati sebelum ajal tiba. Setelah mendengar,
bahwa rakyat Unra
memusatkan kekuatannya di alun-alun
Abbolang’Nge di bawah pimpinan Guru
Mante, aparat kepolisian
dan utusan pemerintah menuju
ke tempat itu.
Suasana makin mencekam, dan dua
kekuatan berhadap-hadapan, yakni kekuatan rakyat Unra dan kekuatan aparat
kepolisian. Sebelum terjadi
kontak senjata di
antara kedua belah pihak,
datanglah Arung Awangpone
Andi Pananrangi ke tempat
kejadian. Kedatangan Andi
Pananrangi adalah untuk menjadi
penengah; agar rakyat
Unra mengurungkan niatnya untuk
memberontak.
Dalam kesempatan itu, beliau menyampaikan himbauan dalam
bahasa Bugis, ”talingekko iko maneng rak’yatku, engkaka
mai, nasaba adecengeng’mu maelo ritakko”, yang
artinya: sadarlah wahai
rakyatku, bahwa
kedatanganku kemari hanyalah
untuk kebaikanmu semua. Namun,
nasihat atau himbauan
itu tidak mempan lagi. Rakyat
diperintahkan untuk meletakkan senjatanya secara sukarela, yang
berupa badik, pedang, dan keris, serta
tombak. Namun, imbauan
itu tidak diindahkan oleh rakyat.
Seketika itu juga, muncul Andi Mannuhung,
menerobos ke tengah-tengah
kerumunan penduduk; dan berkata
“berikan saya jalan, saya
mau melihat tampang orang
yang pernah menantang
saya (maksudnya adalah Guru
Mante), kalau dia
laki-laki seperti yang pernah
diucapkannya, maka saya
siap sekarang untuk menghadapinya”. Selanjutnya,
Andi Mannuhung berkata kepada
anaknya Andi Dambu “mana
orangnya”? Andi Dambu
kemudian menunjuk Ikepo, dan
langsung menendangnya. Orang
ini diberi gelar Ikepo, karena
kakinya pincang sebelah.
Melihat perlakuan Andi
Mannuhung terhadap Ikepo, rakyat kemudian serentak melakukan
serangan terhadap aparat kepolisian beserta
rombongan pemerintah yang datang,
di bawah pimpinan
komando Guru Mante. Terjadilah pertempuran
antara kedua belah
pihak, sehingga korbanpun berjatuhan. Menyadari situasi yang tidak
menguntungkan itu, Arung Awangpone dan Arung Ponceng bermaksud
melarikan diri dari
arena pertempuran, namun karena
sudah terkepung oleh pemberontak, mereka terjepit dalam arena
pertempuran. Malang tak dapat
ditolak, untung tak
dapat diraih, mautpun menjemput
Arung Ponceng Andi
Abdullah, yang tewas dalam
pertempuran itu, disusul
kemudian oleh kepala desa Unra Andi Satinja, Kepala desa Jaling
Andi Mannuhung, dan anaknya sendiri
Andi Dambu, yang tewas
secara bersama-sama. Para
pemberontak belum puas sampai di situ, dan mereka terus melakukan
perlawanan secara gencar
terhadap aparat kepolisian pemerintah. Hanya sebagian kecil
saja dari pihak polisi dan wakil pemerintah
yang tersisa dan
melarikan diri dari kejaran. Menjelang dhuhur,
pertempuran berakhir, dengan kemenangan di pihak pemberontak.
Tetapi, kemenangan itu, dirasakan oleh
pemberontak hanya bersifat sementara, karena mereka menyadari,
bahwa pasti akan datang serangan balik
dari pihak pemerintah,
karena banyaknya wakil pemerintah
dan aparat polisi
yang tewas dalam pertempuran
itu.
Perlu diuraikan
di sini bahwa, berdasarkan data
yang diperoleh, dalam pertempuran antara
pemberontak dengan pihak
aparat kepolisian dan wakil pemerintah di Abbolang’Nge, telah tewas beberapa
orang, di antaranya:
Arung Ponceng Andi Abdullah,
Sullewatang Jaling (kepala desa Jaling) Andi
Mannuhung, Andi Dambu
(anak Andi Mannuhung), Komandan
Polisi Marzuki, Tume Daeng Pawawo,
dan Sullewatang Unra
(Kepala Desa Unra) Andi Satinja, yang kesemuanya dari
unsur pemerintah. Selanjutnya,
terjadi situasi yang
tidak menentu pasca meletusnya peristiwa
pertempuran di Abbolang’Nge, karena tersebar
berita, bahwa akan
datang pasukan tentara Jepang
dari Watampone untuk
melakukan penangkapan, dan serangan militer terhadap penduduk Unra,
untuk mencari pemimpin pemberontak. Berita ini disampaikan oleh
Hajji Kulasse, yang
menyarankan agar semua penduduk
Unra menyingkir ke
luar desa, untuk menghindari
serangan balik tentara
Jepang. Namun, rakyat memilih untuk tetap bertahan, dan siap menghadapi
segala kemungkinan terburuk. Berita
mengenai meletusnya pemberontakan
petani Unra, sampai kepada Raja Bone di Watampone, yang segera memerintahkan
aparat kerajaan, yang
dikawal oleh pasukan Jepang
untuk segera menuju
desa Unra. Sementara itu,
pihak pemberontak dibawah
pimpinan Guru Mante memusatkan
kekuatan penuh dalam persiapan menghadapi
kekuatan tentara Jepang
yang diperkirakan segera tiba. Tepat keesokan harinya, pada 24 september
1943, rombongan aparat pemerintah dan tentara
Jepang tiba di
Unra, dan langsung
menuju ke tempat
konsentrasi kekuatan pemberontak
di Abbolang’Nge. Melihat
pemberontak dalam keadaan siap
tempur, tentara Jepang
melepaskan tembakan peringatan,
agar para pemberontak menyerah. Namun, hal itu tidak membuat para pemberontak
menghentikan perlawanannya, bahkan justeru
mereka bergerak maju secara
serentak menyerang tentara
Jepang. Pada saat itulah
pemimpin pemberontak Guru
Mante, dan beberapa pemberontak
lainnya gugur di
arena pertempuran. Jadi, Guru
Mante; baru tewas
setelah pasukan Jepang didatangkan
dari Watampone. Sebelumnya, ketika
pecah pertempuran di Abbolang’Nge, tidak ada satupun anggota
pemberontak yang tewas. Dengan gugurnya pemimpin pemberontak Guru Mante,
pimpinan kemudian diambil
alih oleh Itipu. Itipu sebagai pemimpin baru
pemberontak tidak lama setelah kejadian itu, ditangkap oleh tentara pendudukan
Jepang, dan dibawa ke
Watampone, selanjutnya dibawa
ke Makassar; dan dipenjarakan oleh
pemerintah pendudukan Jepang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, sampai
pemerintah Jepang meninggalkan Indonesia; dan
setelah Indonesia merdeka,
Itipu tidak diketahui di
mana keberadaannya.
2.3 Dampak Pemberontakan Petani Unra
Terhadap Situasi Kehidupan Rakyat Unra.
Tewasnya pemimpin pemberontak (Guru
Mante) mengejutkan semua orang, baik anak buahnya sendiri, maupun rakyat Unra
yang turut dalam pemberontakan. Hal ini dikarenakan umum sudah mengetahui,
bahwa Guru Mante mengajarkan tarekat “awaraningeng”atau ilmu kekebalan, dan
mereka tidak yakin bahwa ia tewas tertembus peluru. Akhirnya, seiring dengan
waktu, tidak ada lagi pemimpin yang karismatis seperti Guru Mante, dan berakhirlah
pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Unra. Namun, perlu
juga diuraikan bahwa, ketika terjadi pemberontakan di
Unra pada 23 September 1943, ada beberapa orang murid
Guru Mante dari kampung Kacimpang Desa Ulaweng yang ikut serta membantu petani
Unra dalam pemberontakan. Banyak rakyat
Unra yang melarikan
diri bersama Mappe dari Desa
Ulaweng, dan di
sanalah mereka menyusun kekuatan baru
untuk mengadakan perlawanan
yang lebih terorganisir. Namun,
belum sempat mereka menyusun kekuatan,
gerakan mereka sudah
diketahui oleh Jepang. Berdasarkan
data yang diperoleh,
dalam upaya penangkapan para
pemberontak, telah ditangkap kurang lebih 300 orang. Mereka yang ditangkap terdiri
dari Hajji Temmale, yaitu Sekretaris Desa Unra, dengan tuduhan tidak mampu
mengatasi atau mencegah terjadinya
pemberontakan. Hal inilah
barangkali yang menjadi pertimbangan,
mengapa ia ditangkap
dan dimasukkan ke penjara
hingga tewas. Penangkapan massal, dan
penyiksaan oleh tentara
Jepang, mengakibatkan terjadinya eksodus rakyat Unra ke luar desa untuk
menghindari penangkapan. Para pemberontak yang
ditangkap, pasca pemberontakan ialah: Dullah, Mappiare, Hajji
Temmale (meninggal di dalam penjara), sedangkan Itipu, Pagga, Bennu, Massi, dan Ikepo,
tidak diketahui nasibnya
sampai sekarang. Untuk
menghindari penangkapan, banyak rakyat Unra yang merantau
ke negeri seberang,
seperti Malaysia, Sumatera, Kendari,
Pomalaa, Brunai, dan Tawao.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertama, dari aspek historis, meskipun gerakan petani yang terjadi
di Sulawesi Selatan, yang tidak sebanyak yang pernah terjadi di Pulau Jawa dan
daerah lainnya dalam sejarah, telah terbukti bahwa kasus gerakan petani adalah
merupakan kasus yang umum terjadi diberbagai tempat, disebabkan adanya
eksploitasi ekonomi, sumber daya alam, dan tenaga kerja, serta tekanan-tekanan
dari pihak kekuasaan atau Negara. Kasus Unra ini telah membuka tabir sejarah
sosial di Sulawesi Selatan bahwa, dalam upaya melepaskan belenggu dari
penjajahan Jepang, para petani di Sulawesi Selatan telah menunjukkan
kecenderungan memberontak. Namun, untuk membangun tulisan ini, masih perlu
penelitian lebih lanjut untuk memperkuat analisis teoritisnya berdasarkan
kajian-kajian akademis.
Kedua, dari aspek gerakan sosial petani yang bersifat
kontemporer sekarang ini, terjadi perubahan paradigma dan orientasi yang
membedakannya dengan gerakan sosial petani tradisional. Oleh karena itu, kajian
mengenai gerakan sosial petani sekarang ini harus ditujukan untuk melihat bahwa
kebanyakan kasus gerakan petani yang muncul akhir-akhir ini tidak hanya
melibatkan petani saja, seperti yang pernah terjadi pada masa kolonial Belanda
dan Jepang, tetapi melibatkan juga dari berbagai latar profesi, etnis, dan
agama. Hal ini menunjukkan, bahwa gerakan sosial petani telah mengalami
penguatan. Mereka telah memiliki basis kuat dalam proses mengusung isu-isu yang
diperjuangkan dan dalam proses pengorganisasian gerakan. Pengusungan isu
gerakan petani, sebagai bagian dari perlawanan terhadap neokapitalisme dan
neoliberalisme di bidang pertanahan, merupakan kontribusi kalangan kelas
menengah baru dalam mendukung gerakan petani. Hal ini tidak pernah terjadi
sebelumnya sepanjang sejarah, sejak zaman kolonial hingga masa Orde baru, dan
hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Ketiga, meskipun gerakan sosial petani telah memiliki basis
penguatan dalam mengusung isu-isu yang diperjuangkannya, seperti dalam “Serikat
Petani Pasundan” (SPP), “Serikat Petani Sumatera Utara” (SPSU), “Perhimpunan
Masyarakat Tani Aceh” ,dan serikat-serikat yang lainnya, selama kebijakan
pemerintah mengenai regulasi pertanahan tidak berpihak kepada kepentingan
rakyat, selama itu pula
gerakan sosial petani
dan aksi-aksi pemberontakan akan terus
berlangsung sepanjang sejarah.
DAFTAR BACAAN
Aprianto, T.C.
(2008). Wajah Prakarsa Partisipatif: Dinamika Gagasan
Reforma Agraria, dan
gerakan Sosial di Indonesia
Paasca 1998. Jurnal Ilmu
Sosial, dan Ilmu Politik.
Kamaruddin,
Syamsu A. PEMBERONTAKAN PETANI UNRA 1943
(Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan
Jepang). Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Veteran Republik Indonesia.
Saya Asli orang Unra. Bapak dan Ibu sy keduanya orang Unra. Uraian sejarahnya menarik. Akhirnya paham mengapa kakek kami bertebaran.Ada yang menetap di Jambi, Malaysia dan lain-lain.
BalasHapus