Sabtu, 30 September 2017

REVIEW BUKU “ MEMBUKA PINTU BAGI MASA DEPAN. BIOGRAFI SARTONO KARTODIRDJO”



JUDUL BUKU                      : Membuka Pintu bagi Masa Depan. Biografi Sartono Kartodirdjo.
PENULIS                               : M. Nursam
TAHUN TERBIT                   : 2008
PENERBIT                             : PT Kompas Media Nusantara
KOTA TERBIT                      : Jakarta
HALAMAN                           : 382 hlm; 15 cm x 23 cm

Tjitrosarojo, dilahirkan sekitar tahun 1880-an, di Tasikmadu, Karanganyar, Wilayah Mangkunegara, Karesidenan Surakarta, Tasikmadu terletak di sebelah barat laut Wonogiri. Di Wonogiri, Pangeran Sambernyawa sangat populer dan menurut tradisi setempat sangat diagungkan, bahkan condong mengarah ke mitologisasi seperti keajaiban serta kekuatan magisnya, antara lain sewaktu akan menyeberang sungai yang sedang banjir, sekonyong-konyong ada batang pohon yang roboh melintang sungai sehingga dapat dipakai sebagai jembatan.
            Hasil pertanian yang paling dikenal dari daerah ini adalah ubi kayu, sehingga Wonogiri dikenal sebagai “Kota Geplek”. Ketela pohon ini juga menjadi bagian dari lambang Kabupaten Wonogiri. Wonogiri berbatasan dengan Sukohardjo dan Karanganyar di sebelah utara; Karanganyar dan Ponorogo di sebelah timur, Pacitan dan Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Yogyakarta dan Klaten di sebelah barat. Wonogiri terkenal dengan daerah historis, terdapat petilasan Pangeran Sambernyawa. Petilasan itu kini dikenal sebagai Monumen Watu Gilang di Nglaroh, Selagiri, Sendang Siwarni, kurang lebih 5 km arah ke utara Kota Wonogiri. Monumen ini kini dijadikan “wisata ritual” untuk tempat bermeditasi dan ngalab pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Tjitrosarojo berasal dari daerah Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar. Dilahirkan kira-kira ketika  Karesidenan Surakarta dijabat oleh A.J Spaan (1884-1890), saat dua raja Jawa yang berkedudukan di Surakarta telah kehilangan kekuasaan ekonomi politik dan sudah menjadi bawahan Raja Belanda dan harus memberi hormat kepadanya.
Telah dibukanya juga sekolah-sekolah untuk inlander, anak-anak pribumi secara lebih luas. Berkat usaha kaum liberal inilah, Tjitrosarojo mengecap pendidikan sekolah tingkat dasar zaman kolonial. Setelah menempuh pendidikan sekolah ongko loro, oleh kakak iparnya yang menjadi abdi dalem di Kasunanan, ia diikutkan magang abdi dalem di Kasunanan, tetapi tidak bertahan lama.
Dengan bermodalkan ijazah satu-satunya yang dimilikinya, ia kemudian diterima menjadi pegawai pemerintah kolonial pada pos dan telekomunikasi, PTT. Dalam hal ini, Tjitrosarojo bernasib baik mendapatkan kesempatan bersekolah dan akhirnya diterima menjadi pegawai pemerintah kolonial. Sekitar tahun 1911, ia menikah dengan seorang putri Jawa, Sutiya. Dari silsilahnya, Sutiya asli Wonogiri. Leluhur Sutiya dari garis laki-laki pernah ada yang menjadi punggawa Keraton Kartasura (Amangkurat IV). Silsilah Sutiya dari garis ibu, turun-temurun adalah putra dari petinggi di Wonogiri. Namanya Mangunprajoko. Keluarga dari pihak ibu, merupakan cikal-bakal, orang pertama yang membuka daerah, dan tinggal serta memimpin di Wonogiri.
Dilihat dari besar gaji yang diterimanya sebagai pegawai negeri, gaji Tjitrosarojo memang di bawah gaji kepala sekolah HIS dan dokter di Wonogiri, maupun gaji sepupunya, Raden Ngabei Reksosarojo, yang menjadi Mantri Hutan Donoloyo, Wonomarto. Tetapi, Sutiya sang istri mempunyai pekerjaan tambahan dengan membatik dari pagi sampai siang, disamping dua bagian rumahnya disewakan, yang berada di sisi kiri dan kanan. Keluarga Tjitrosarojo hanya menempati rumah joglo miliknya yang menjadi rumah utama, bagian tengah.
Setelah agak lama menunggu, lima tahun pada tanggal 15 Februari 1921, Sutiya melahirkan anaknya yang ketiga, laki-laki diberi nama: Sartono. Kelahiran Sartono hampir bersamaan dengan aksi gerakan Tunggal Budi (Jawadipa) di Distrik Baturetno awal 1921.
Rumah Tjitrosarojo menghadap ke utara. Di sebelah timur rumahnya, ada pohon beringin besar, dan di bawah pohon beringin itu terdapat sendang, mata air. Sendang ini pun dikeramatkan. Sendang ini biasa ditaruh kemenyan dan sesaji lainnya. Di sendang kulon ini lahir banyak cerita yang bersifat gaib, supranatural, di luar kemampuan akal manusia. Setiap tahun masyarakt melakukan nyadran, sebagai siklus peringatan dalam penanggalan Jawa yang jatuh pada bulan Ruwah. Pada bulan ini, orang banyak berkumpul, berdoa bersama, mengunjungi makam leluhur, membersihkan dan menabur bunga, membakar kemenyan, melaksanakan kenduri dengan “ingkung ayam” dan berbagai sayuran.
Adanya upacara tingkeban, upacar perempuan mengandung putra pertama kali pada bulan ke-7. Peristiwa penting lainnya dalam siklus hidup seseorang adalah khitanan bagi anak laki-laki ketika berusia 10-15 tahun dan anak perempuan 1-10 tahun. Khusus ketika khitanan anak laki-laki, biasanya dipentaskan wayang kulit.
Sebagai orang Jawa, ruang sosial budaya Tjitrosarojo dan Sutiya seperti kebanyakan pribadi/manusia Jawa lainnya, adalah abangan/kejawen. Penataan atas perilaku dan hidup manusia Jawa meliputi semua bidang kehidupan, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Maka di dalam kehidupan manusia, termasuk bahasanya ikut ditata dan diciptakan sesuai dengan ide. Itulah sebabnya, bahasa Jawa pun mengenal aspek lahir dan batin. Sebagai ekspresi dan realisasi pandangan hidup, maka bahasa Jawa menjadi simbol atas filsafat masyarakatnya.
Pemahaman agama bagi orang Jawa adalah bahwa semua agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, Agama ageming aji, menurut ungkapan Wedatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sikretis (bersifat momot, atau memuat), di mana setiap agama diterima dengan sikap terbuka dan tidak memperdulikan benar salahnya agama tersebut. Berkaitan dengan sikap hidup orang Jawa yaitu, sikap feodalistik, sikap keagamaan, dan sikap fatalistik. Sikap feodalisme tak lain ialah salah satu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan.
Menurut adat Jawa, setelah bayi lahir dalam beberapa saat, sang ibu turun dari tempat tidur lalu berdiri dan berjalan-jalan. Hal ini dilakukan oleh sang ibu dengan maksud agar darah segera mengalir kembali secepatnya dan dengan demikian dia akan segera kembali menjadi bersih lagi. Mempersiapkan santapan ritual bagi bayi itu, babaron. Lalu dimulailah selama lima hari lima malam perjamuan terus-menerus, serta dengan menyanyikan tembang semalam suntuk yang memuncak pada santapan ritual yang besar dan jamuan pada hari kelima.
Ritual yang dilakukan untuk menyambut kelahiran Sartono adalah pertunjukan wayang, pertunjukan wayang juga dilakukan ketika Sartono berusia satu tahun. Sartono kecil, oleh Sutiya, sang ibu – dan mbah-nya, dalam setiap harinya, mejelang tidurnya- tampaknya dinyanyikan tembang-tembang Jawa klasik; sebuiah kekayaan dari karya-karya kesusasteraan klasik Jawa Kuno yang dihasilkan peradaban Jawa yang mengajarkan tentang banyak hal tentang kisah-kisah para leluhur dengan segala kearifannya.
Usia Sartono kurang lebih setahun, Sartono dibawa ke Candi Prambanan dengan naik kereta, Tjitrosarajo bersama rombongan keluarganya, sang jabang bayi pun dibawa ke Candi yang didirikan pada zaman Prabu Baka ini. Tjitrosarojo ia mempunyai apresiasi terhadap sastra, khususnya sastra Jawa. Ia membaca berbagai macam syair. Ia juga membeli Volksalmanak, Amanat Rakyat yang terbit setahun sekali. Almanak dimaksudkan sebagai buku pintar yang memuat pengetahuan yang sering diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sartono mendapatkan pendidikan informal dalam keluarga dan lingkungannya dalam atmosfir budaya abangan. Pendidikan anak-anak Jawa secara tradisional dipengaruhi oleh aspek-aspek etik dan religius wayang. Bahwa dunia wayang adalah dunia yang sangat dekat dengan kehidupannya.
Kebiasaan Tjitrosarojo jika sedang berada dirumah-pada malam hari, sehabis makan malam, di ruang tengah rumahnya, keluarga Tjitrosarojo berkumpul santai. Pada saat-saat itu, sang ayah yang mempunyai siter(biasanya)- dan siteran- bermain siter disertai dengan macapat(membaca), karya sastra Jawa dalam bentuk puisi.
Memasuki usia sekolah, anak-anak Tjitrosarojo dimasukkan ke sekolah Hollands Indische School (HIS) yang ada di Wonogiri. Ketika Sartono berusia enam tahun, 1927, ia mulai memasuki pendidikan formal di Hollands Indische School (HIS) Wonogiri. Oleh karena di Wonogiri sudah ada sekolah Belanda, HIS, banyak keluarga Tjitrosarojo dan Sutiya yang menitipkan anak-anak keluarganya di rumahnya.
Sewaktu kecil, kegemaran Sartono bersama teman-teman sebayanya adalah adu ayam, oleh karena di rumah, orang tuanya memilik banyak ayam. Di sekolah, Sartono tampaknya termasuk murid yang pintar. Sejak kecil, Sartono dikenal sebagai murid yang “kutu buku”. Sejak kelas 3 di HIS, mata Sartono sudah mulai sakit dan harus memakai kaca mata, mungkin karena terlalu banyak membaca.
Saat liburan kelas 3, Sartono diajak berlibur ke Mendut, dari Solo Sartono naik kereta api dan turun di Muntilan. Dari Muntilan disambung naik dokar sampai Mendut. Suatu perjalanan yang mengesankan namun ia belum mempunyai pandangan yang lebih jauh soal Borobudur sebagai salah satu bukti peradaban manusia yang sangat tinggi dan salah satu bangunan yang dilestarikan UNESCO sabagai warisan dunia.
Sejak awal, Sartono bercita-cita menjadi guru, disebabkan pengaruh dari guru-gurunya semasa di HIS Wonogiri. Sebagai anak yang berada dalam astmosfer budaya abangan, Sartono pun tidak bisa melepaskan dirinya dari ritual budaya lingkungannya. Dalam masyarakat Wonogiri ketika-itu bahkan sampai sekarang- nyadran merupakan tradisi tahunan yang di lakukan masyarakat. Sartono pernah ambil bagian, ikut dalam ritual nyadran. Nyadran merupakan siklus penanggalan Jawa yang jatuh pada bulan Ruwah, dengan mengunjungi makam leluhur, membersihkan dan menabur bunga.
Pada saat Sartono kelas VI HIS, kuartal II, ia pindah sekolah dari Wonogiri ke Surakarta, tepatnya Agustus 1932. Pada saat di Surakarta, ibu Sartono menderita penyakit kandungan. Di rahimnya terdapat kanker dan sudah berobat ke mana-mana tetapi belum bisa sembuh. Di temani sang suami, Sutiya sudah berusaha berobat ke mana-mana, termasuk ke rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik R.M. Panji Sosrokartono (1877-1952). Setelah tujuh bulan di Surakarta, Maret 1933, Ibu Sartono dioperasi di rumah sakit Surakarta. Akhirnya ibu Sutiya, Ibu Sartono meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda. Ia meninggalkan 3 orang anak dan suami.
Perpindahan Sartono dari Wonogiri ke Surakarta adalah membuka cakrwala baru. Dalam ruang sosial dan kebudayaan yang baru, Sartono mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat dan modern, baik didapatkan dari lingkungan tempat tinggalnya maupun di sekolah yang tentu punya guru-guru dan murid-murid Belanda. Setelah lulus HIS, 1934, ia melanjutkan sekolahnya ke MULO. Di MULO, bacaan Sartono lebih banyak dan persentuhannya dengan budaya Barat melebihi masa di HIS. Ia sudah mulai membaca karya-karya sastra Eropa, novel, dan drama. Salah satu novel yang diingatnya adalah roman Belanda, De Opstandegen, Pembangkangan. Kebiasaan menulis Sartono terus berlanjut di MULO. Di sini, ia menulis soal batik. Dapat dipastikan bahwa tulisan ini mendapat inspirasi dari ibunya, yang pekerjaannya membatik selama hidupnya.
Sartono pun melakukan kegiatan ekstra di sekolahnya seperti kepanduan. Dua tahun setalah Sutiya, ibunda Sartono meninggal dunia, 1935, Tjitrosarojo menikah lagi dengan keluarganya yang di Semarang, Siti Tartijen.
Sewaktu di MULO Surakarta, ia mondok pada guru agama. Ia belajar agama, kataketik. Pada tahun 1936, Sartono pindah sekolah dari MULO ke Hollands Inlandshe Kweekschool (HIK) di Muntilan. Kedekatan Sartono dengan kehidupan orang-orang suci, santo, dipengaruhi dari kedekatannya dengan kedua kakak perempuannya.
Secara administratif, Muntilan menjadi bagian dari wilayah Karesidenan Magelang, Muntilan merupakan dataran yang banyak ditanami tembakau. Di Muntilan, Sartono masuk di HIK Kolese Xaverius, sekolah yang dirintis van Lith. Van Lith datang ke Hindia Belanda pada tahun 1896 bersama dengan Romo Hoevenaars, dan seorang romo lain dan langsung bertugas di Maluku. Tetapi tugas pertamanya oleh Romo van Lith dianggap gagal sehingga pada tahun 1899 dia mulai merintis Kolese Xaverius dengan konsep sekolah dan asrama. Ketika Sartono mulai masuk di HIK Kolese Xaverius Muntilan, Romo van Lith sudah meninggal sepuluh tahun sebelumnya. Tetapi suasana dan pola mengajar tetap dipertahankan. Sartono menginjakkan kakinya di kompleks Kolese Xaverius pada salah satu hari di tahun 1936. Sartono bergaul dan dari pergaulan itu, ia mendapat berbagai pengetahuan tentang berbagai daerah dan budaya asal siswa-siswa di Kolese Xaverius. Sebagai penghuni dan siswa di Kolese Xaverius, Sartono pun mengalami pengajaran dan pendidikan yang diajarkan di sekolah ini, ia mengenal dan mengikuti berbagai pementasan yang di lakukan sekolah dan asrama, oleh karena semua muridnya ikut bermain: bola, bas, dan berbagai macam alat musik.
Kebiasaan Sartono menulis selama di Muntilan terus berlanjut. Berkat bacaan yang sudah semakin luas dan berkembang, ia pun mulai berani mengirim tulisan-tulisannya ke Majalah Pristo, yang berkedudukan di Maastricht, sebuah kota kecil di pinggiran Belanda. Tulisan yang dikirimnya dalam bahasa Belanda dan diantara tulisan yang dimuat adalah: “Solo 200 Tahun” dan “Candi Borobudur”. Sama seperti tulisannya waktu di Surakarta, “Batik”, dua tema dari tulisannya ini, Solo dan Borobudur, adalah hal yang dekat dengan kehidupannya. Proses kehidupan yang dijalani Sartoni di sini perlu mendapat perhatian serius karena- menurut penulis-periode ini merupakan titik kisar dalam proses pembentukan kepribadian dan intelektual Sartono sebagai calon bruder. Sartono mulai menjalani kehidupan religius secara disiplin dan ketat, di samping aspel religius, aspek intelektual pun mendapat perhatian yang seimbang.
Sejak September 1939, di Eropa terjadi perang yang dalam sejarah modern dikenal sebagai awal Perang Dunia II. Perang ini ditandai dengan penyerbuan tentara Jerman ke Polandia. Kemampuan Jepang menghancurkan Pearl Harbor – meski hanya sementara membuka peluang bagi Jepang untuk melakukan hasrat ekspansionnya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang ketika itu masih di bawah jajahan Belanda.
Tujuh bulan sebelum Jepang menduduki Jawa, Sartono menamatkan HIK di Kolese Xaverius, Muntilan, tepatnya Agustus 1941, setelah belajar lima tahun. Sesudah novisiat mula – mula novisiat berlangsung dua tahun novis mengucapkan kaul sementara dan sesudah tiga tahun berprasetia untuk seumur hidup dan disebut bruder (brother). Tetapi Sartono tidak melanjutkannya karena terkait dengan kondisi keluarganya, ayahnya yang sedang sakit – sakitan.
Sartono memilih menjadi guru, bukan karena pertimbangan sendiri tetapi dari pembimbing. Maka ia lantas ke Salatiga, dibenum jadi guru HIS swasta. November 1941. Profesi guru dipilih didasarkan pada motivasi untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Sartono akhirnya memulai karirnya sebagai guru di Sekolah Schakel di Muntilan. Di Schakel Muntilan, Sartono hanya mengajar selama kurang lebih tiga bulan, lalu pindah ke Salatiga. Kurang lebih sebulan berada di Salatiga, pecah Perang Pasifik. Suasana sudah mulai tidak normal. Tujuan utama Jepang di Indonesia adalah mentusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang.
Untuk lebih mempercepat perwujudan dari kebijakan Jepang, berbagai tindakan diambil mulai dari yang halus sampai yang kasar. Sebagaimana dicatat Kurasawa, pendidikan sekolah, terutama sekolah dasar, merupakan wilayah yang banyak dimanfaatkan oleh pemerintah militer Jepang sebagai sarana untuk mengindoktrinasi massa. Latihan militer dan pelajaran moral merupakan dua pelajaran khas yang paling penting di dalam pendidikan sekolah di Jepang semasa perang ketika itu.
Beberapa teman sebaya Sartono di Salatiga waktu ada kesempatan masuk menjadi Peta, mereka berusaha masuk Peta pada awal revolusi banyak pemuda sebayanya yang masuk tentara RI. Sartono tidak ikut, disamping karena kendala mata, ia juga tidak terlalu tertarik dengan birokrasi dan ketentaraan di mana yang diharuskan lebih banyak latihan – latihan fisik. Pada awal Jepang, sekolah swasta, di mana Sartono mengajar, tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Para guru hidup dari uang sekolah Sartono hanya mendapatkan sedikit karena ia belum berkeluarga.
Pada bulan September 1942, setelah menderita sakit ayah Sartono meninggal dunia, meninggalkan tiga orang anak dari istri peratama (ibunya meninggal 8 tahun sebelumnya)  dan satu istri dengan (kedua) dengan dua orang anak yang masih kecil. Pada saat ayahnya meninggal, Sartono sudah berusia 21 tahun dan sudah menjadi guru dan sudah ada pendapatan. Praktis sejak ayahnya meninggl, Sartono membantu kedua adiknya lebih dari masa sebelumnya yang hanya membantu sedikit karena ayahnya masih hidup. Inilah masa yang disebut Sartono masa – masa terberat.
Ketika ayah Sartono meninggal, Asrtono ditawari menggantikan ayahnya untuk bekerja di postel Surakarta. Sartono juga suatu kali mendapatkan kesempatan untuk kerja di kepolisian tetapi ia tidak tertarik. Sartono memang mengakui bahwa ia agak pasif, dalam arti jika orang mau aktif dalam masa Jepang fisiknya harus kuat. Pada tahun 1943, Sartono mendapat tawaran untuk pindah mengajar ke SMP Surakarta, meski mendapat tawaran gaji yang lebih tinggi Sartono tetap di Salatiga. Ketika itu Sartono boleh dikatakan menjadi tokoh sekaligus yang menancapkan tonggak pendidikan di Salatiga.
Pada tahun 1944 – 1945, Perang Pasifik sudah mulai berbalik arah. Sekutu dengan kekuatan penuhnya mulai memperlihatkan kemampuannya mengimbangi kekuatan Jepang dan semakin lama menunjukkan kemenangannya. Berita pemboman sekutu dan menyerahnya Jepang tersebar di kalangan elite pergerakan ketika itu.akhirnya Jepang  menyerah tanpa syarat pada Indonesia, dan Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sartono termasuk diantara sekian banyak pemuda disebuah kota kecil di Jawa Tengh yang menyambut revolusi dengan semangat dan kegairahan baru. Di awal proklamasi, banyak terjadi pertempuran antara tentara Jepang dan badan atau laskar setempat. Situasi diatas membuat banyak warga Kota Semarang dan dan sekitarnya mengungsi ke Salatiga yang sat itu merupakan tempat yang aman. Salah seorang gadis Semarang mengungsi ke Salatiga ketika itu, kelak akan menjadi istri sartono.
Semangat dan usaha Sartono untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, universitas. Yogyakarta sebagai “ibu Kota Revolusi” ketika itu belum mempunyai universitas yang bisa dijadikan “sumur ilmu pengetahuan”. Universitas Gajah Mada baru diresmikan, tetapi universitas ini belum memadai dari segi fasilitas dan tidak adanya buku – buku yang menjadi penunjang utama.
Di Jakarta Sartonodan keluarganya tinggal beberapa hari disebuah kamar kecildi Jalan Kramat Raya 48, sebelum pindah ke Jalan Gunung Sahari 88, kompleks sekolah Van Lith. di kompleks ini pun, sartono dan keluarganya tinggal di sebuah kamar yang sedikit lebih besar dibandingkan sengan sebelumnya. Di tempat inilah Sartono merintis obsesinya. Sambil menunggu kuliah, Sartono menempuh kursus kepangkatan guru, Hoofd Acte (HA). Hal ini dilakukan untuk mningkatkan keterampilandan kemampuannya sebagai guru.
Setelah mendapatkan HA, mulai oktober 1950, Sartono terdaftar sebagai mahasiswa Geschiedenis Richting (Jurusan Sejarah), Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sartono kuliah di jurusan Sejarah UI  saat Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya lima tahun sebelumnya dan kemerdekaan dari Belanda belum cukup setahun didapatkan. “Sejarah Indonesia” ketika itu belum ada, yang ada adalah sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarawan Belanda, J.C Van Leur, menyebutkan bahwa subyek pelaku dalam sejarah Indonesia adalah orang Belanda dalam menyelenggarakan aktivitasnya di Indonesia. Sejarah semacam itu sering disebut sejarah Indonesia versi Belanda, jadi bersifat Belandasentris.
Selama kuliah, Sartono tetap mengajar SMP Negeri Gunung Sahari dan di SMA Santa Ursula. Hal itu dilakukan agar dapur “tetao berasap”. Bagaimanapun, Sartono telah memliki keluarga. Setelah meninggalkan hidup petualangannya selama masa Jepang dan revolusi, ternyata setelah ke Jakarta ia dan keluarganya hidup dalam suasana perjuangan.
Untuk membantu ekonomi rumah tangga, istrinya Sri Kadaryati, disamping mengasuh anak – anaknya, ia juga mengajar di SD Van Lith. Sri Kadaryati adalah sosok penting dalam hidup dan kehidupan Sartono. Sejak awal pernikahannya, ia mempunyai posisi penting dalam perjalanan Sartono, baik sebagai pribadi maupun dalam karier intelektualnya kemudian.
Pada periode ini pula, di samping kuliah, Sartono juga aktif berorganisasi, salah satunya sekjen Persatuan Guru Katolik sejak tahun 1950. Sartono juga menjadi Pengasuh Majalah Persatuan Guru Katolik. Antara tahun 1952 – 1954, Sartono menjadi Redaktur Utama, sekaligus sekretaris majalah tersebut dan ia sering menyumbangkan tulisan dalam setiap edisinya. Dalam majalah ini,  Sartono menulis segalah hal, mulai dari masalah pendidikan sampai masalah umum, termasuk sedikit mengenai tema sejarah. Di sini Sartono mengasah kemampuan menulisnya.
Selama masa perkuliahan Sartono di jurusan Sejarah pada Fakultas Sastra UI, ia mendaptkan dasar – dasar pemikiran dan pandangannya serta permasalahan mengenai sejarah ( Sejarah Indonesia Khusunya) dan langkah – langkah apa yang harus dilakukan dalam proses dekolonisasi sejarah.
Setelah mendapat gelar sarjana dan setelah sembuh dari sakitnya, ia mendapat tawaran bekerja, di antaranya menjadi perumus laporan rahasia pada Kantor Perdana Mentari.  Tetapi Sartono tidak tertarik karena ia menerima tawaran ke UGM sebagai Dosen, yang sudah memiliki jurusan sejarah tetapi kekurangan dosen. Ia merasa terpanggil dan menganggap daerah pun perlu dikembangkan,  jadi Sartono memutuskan membantu UGM yang membutuhkan dosen sejarah dan, yang lebih penting, di luar Jakarta perlu ada pusat studi bermacam ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan studinya, pada tahun 1957, Sartono Kartodirdjo memilih UGM sebagai tempat berkarier sebagai dosen sejarah. Sensibilitas revolusi dan nasionalisme sebagai bangsa yang merdeka, menuntut antara lain dilakukannya dekolonisasi sejarah. Sebagai sarjana sejarah, tuntutan itu dianggap sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Pada akhir tahun 1950-an, pemikiran Sartono mengenai sejarah sudah lahir, antara lain disampaikan pada seminar sejarah tahun 1957 di Yogyakarta mengenai priodisasi sejarah. Pemikiran Sartono mengenai konsep integrasi- yang disampaikan pada seminar 1957- ini tetap dipertahankan sampai akhir hayatnya.
Kesempatan untuk melanjutkan karier akademiknya terbuka ketika pada tahun 1962, Sartono mendapat beasiswa dari The Rockeffeler Foundation untuk melanjutkan studinya di Yale University Amerika Serikat. Di sinilah Sartono berkenalan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial yang sangat mewarnai pendekatan multidimensionalnya. Di sini pulalah, Sartono bertemu dengan Harry Julian Benda, salah seorang yang berpengaruh dalam batu-bata bangunan intelektualnya. Setelah dua tahun di Yale, 1964, berkat rekomendasi Benda, Sartono diterima di Universitas Amsterdam di bawah bimbingan W.F. Wertheim. Akhirnya, titik kisar ketiga dalam perjalanan hidup Sartono bermula: pada tanggal 1 November 1966, promosi doktornya dilaksanakan dengan hasil cum laude. Masa-masa Sartono “nyantri” di pesantren modern (Yale dan Amsterdam) merupakan masa yang diwarnai dengan kerja keras, ketekunan, ketelitian, ketuntasan, dan kesempurnaan. Semua sikap itu dibalut dengan kedisiplinan dan keprihatinan. Dalam bahasa Sartono, menghayati asketisme secara terus-menerus”.
Disertasinya yang berjudul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Condiditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia menjadi batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Menurutnya, penulisan disertasinya didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Dengan menggunakan social scientific approach, Sartono memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah.
Sekembalinya ke Indonesia, Sartono memulai kerja besar untuk membangun tradisi sejarah kritis di Indonesia. Ia mengawali dengan memperbaiki kurikulum jurusan sejarah di UGM dan dari situ, lewat jaringan yang ada menyebar ke seluruh Indonesia. Tradisi akademik pun dibangun Sartono. Persinggahannya di Berkeley selama empat dalam rangka penulisan sejarah nasional Indonesia lebih memantapkan tema sejarah sosial yang sudah mulai dibangunnya setelah kembali dari Belanda. Berbagai karyanya yang dihasilkannya menunjukkan hal tersebut. Apa yang dilakukan Sartono juga berpengaruh kepada murid-muridnya yang pada perjalanannya kemudian, tersebar di seluruh Indonesia. Lewat jaringan inilah, pengaruh Sartono bisa dilihat di berbagai jurusan Sejarah di Indonesia.
Sartono telah menghasilkan murid-murid yang tersebar di seluruh Nusantara. Sartono telah membukakan jalan bagi murid-muridnya untuk mengembangkan karier akademik dan intelektualnya. Sebagai seorang guru, ia selalu memberi apresiasi terhadap anak-anak muda yang ingin mengembangkan karier. Di samping itu, Sartono selalu menghargai perbedaan pendapat, sekalipun pendapat itu datang dari anak muda yang baru memulai mengembangkan karier intelektualnya.
Karya-karya yang dihasilkannya telah mengukuhkan posisinya sebagai protagonis dalam historiografi Indonesia pada satu sisi dan sebagai intelektual yang selalu konsens dengan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsanya. Patriotisme dan kecintaannya terhadap bangsa dan negara Indonesia tidak dapat diragukan lagi.
Sartono telah menunaikan tugasnya, baik sebagai aktor maupun sebagai pribadi. Sartono telah memberi makna dalam hidupnya lewat karya dan mengajar sebagai bagian dari perealisasian dirinya. Perjalanannya di dunia fana ini telah ia lampaui dengan segala historisitasnya. Ia telah melanjutkan ke kehidupan lain sejak 7 Desember 2007, pukul 00:45. Pemakamannya pada tanggal 8 Desember 2007 di Ungaran merupakan bukti akhir atas kesederhanaan hidupnya. Menilai sosok Sartono secara utuh, sebagai pribadi maupun aktor, harus dikembalikan pada konteks sosial-budaya, sensibilitas, saat mana pemikiran itu lahir. Akhirnya, buku ini akan ditutup dengan mengutip secara lengkap renungan Sartono di senja usianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...