JUDUL BUKU :
Membuka Pintu bagi Masa Depan. Biografi Sartono Kartodirdjo.
PENULIS :
M. Nursam
TAHUN TERBIT :
2008
PENERBIT :
PT Kompas Media Nusantara
KOTA TERBIT :
Jakarta
HALAMAN :
382 hlm; 15 cm x 23 cm
Tjitrosarojo, dilahirkan sekitar tahun 1880-an, di Tasikmadu,
Karanganyar, Wilayah Mangkunegara, Karesidenan Surakarta, Tasikmadu terletak di
sebelah barat laut Wonogiri. Di Wonogiri, Pangeran Sambernyawa sangat populer
dan menurut tradisi setempat sangat diagungkan, bahkan condong mengarah ke
mitologisasi seperti keajaiban serta kekuatan magisnya, antara lain sewaktu
akan menyeberang sungai yang sedang banjir, sekonyong-konyong ada batang pohon
yang roboh melintang sungai sehingga dapat dipakai sebagai jembatan.
Hasil pertanian
yang paling dikenal dari daerah ini adalah ubi kayu, sehingga Wonogiri dikenal
sebagai “Kota Geplek”. Ketela pohon ini juga menjadi bagian dari lambang
Kabupaten Wonogiri. Wonogiri berbatasan dengan Sukohardjo dan Karanganyar di
sebelah utara; Karanganyar dan Ponorogo di sebelah timur, Pacitan dan Samudera
Indonesia di sebelah selatan dan Yogyakarta dan Klaten di sebelah barat.
Wonogiri terkenal dengan daerah historis, terdapat petilasan Pangeran
Sambernyawa. Petilasan itu kini dikenal sebagai Monumen Watu Gilang di Nglaroh,
Selagiri, Sendang Siwarni, kurang lebih 5 km arah ke utara Kota Wonogiri.
Monumen ini kini dijadikan “wisata ritual” untuk tempat bermeditasi dan ngalab
pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Tjitrosarojo berasal dari daerah Pabrik Gula
Tasikmadu, Karanganyar. Dilahirkan kira-kira ketika Karesidenan Surakarta dijabat oleh A.J Spaan
(1884-1890), saat dua raja Jawa yang berkedudukan di Surakarta telah kehilangan
kekuasaan ekonomi politik dan sudah menjadi bawahan Raja Belanda dan harus
memberi hormat kepadanya.
Telah dibukanya juga sekolah-sekolah untuk
inlander, anak-anak pribumi secara lebih luas. Berkat usaha kaum liberal
inilah, Tjitrosarojo mengecap pendidikan sekolah tingkat dasar zaman kolonial.
Setelah menempuh pendidikan sekolah ongko loro, oleh kakak iparnya yang menjadi
abdi dalem di Kasunanan, ia diikutkan magang abdi dalem di Kasunanan, tetapi
tidak bertahan lama.
Dengan bermodalkan ijazah satu-satunya yang
dimilikinya, ia kemudian diterima menjadi pegawai pemerintah kolonial pada pos
dan telekomunikasi, PTT. Dalam hal ini, Tjitrosarojo bernasib baik mendapatkan
kesempatan bersekolah dan akhirnya diterima menjadi pegawai pemerintah
kolonial. Sekitar tahun 1911, ia menikah dengan seorang putri Jawa, Sutiya.
Dari silsilahnya, Sutiya asli Wonogiri. Leluhur Sutiya dari garis laki-laki
pernah ada yang menjadi punggawa Keraton Kartasura (Amangkurat IV). Silsilah
Sutiya dari garis ibu, turun-temurun adalah putra dari petinggi di Wonogiri.
Namanya Mangunprajoko. Keluarga dari pihak ibu, merupakan cikal-bakal, orang
pertama yang membuka daerah, dan tinggal serta memimpin di Wonogiri.
Dilihat dari besar gaji yang diterimanya
sebagai pegawai negeri, gaji Tjitrosarojo memang di bawah gaji kepala sekolah
HIS dan dokter di Wonogiri, maupun gaji sepupunya, Raden Ngabei Reksosarojo,
yang menjadi Mantri Hutan Donoloyo, Wonomarto. Tetapi, Sutiya sang istri
mempunyai pekerjaan tambahan dengan membatik dari pagi sampai siang, disamping
dua bagian rumahnya disewakan, yang berada di sisi kiri dan kanan. Keluarga
Tjitrosarojo hanya menempati rumah joglo miliknya yang menjadi rumah utama,
bagian tengah.
Setelah agak lama menunggu, lima tahun pada
tanggal 15 Februari 1921, Sutiya melahirkan anaknya yang ketiga, laki-laki
diberi nama: Sartono. Kelahiran Sartono hampir bersamaan dengan aksi gerakan
Tunggal Budi (Jawadipa) di Distrik Baturetno awal 1921.
Rumah Tjitrosarojo menghadap ke utara. Di
sebelah timur rumahnya, ada pohon beringin besar, dan di bawah pohon beringin
itu terdapat sendang, mata air. Sendang ini pun dikeramatkan. Sendang ini biasa
ditaruh kemenyan dan sesaji lainnya. Di sendang kulon ini lahir banyak cerita
yang bersifat gaib, supranatural, di luar kemampuan akal manusia. Setiap tahun
masyarakt melakukan nyadran, sebagai siklus peringatan dalam penanggalan Jawa
yang jatuh pada bulan Ruwah. Pada bulan ini, orang banyak berkumpul, berdoa
bersama, mengunjungi makam leluhur, membersihkan dan menabur bunga, membakar
kemenyan, melaksanakan kenduri dengan “ingkung ayam” dan berbagai sayuran.
Adanya upacara tingkeban, upacar perempuan
mengandung putra pertama kali pada bulan ke-7. Peristiwa penting lainnya dalam
siklus hidup seseorang adalah khitanan bagi anak laki-laki ketika berusia 10-15
tahun dan anak perempuan 1-10 tahun. Khusus ketika khitanan anak laki-laki,
biasanya dipentaskan wayang kulit.
Sebagai orang Jawa, ruang sosial budaya
Tjitrosarojo dan Sutiya seperti kebanyakan pribadi/manusia Jawa lainnya, adalah
abangan/kejawen. Penataan atas perilaku dan hidup manusia Jawa meliputi semua
bidang kehidupan, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Maka
di dalam kehidupan manusia, termasuk bahasanya ikut ditata dan diciptakan
sesuai dengan ide. Itulah sebabnya, bahasa Jawa pun mengenal aspek lahir dan
batin. Sebagai ekspresi dan realisasi pandangan hidup, maka bahasa Jawa menjadi
simbol atas filsafat masyarakatnya.
Pemahaman agama bagi orang Jawa adalah bahwa
semua agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus
ditunjukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, Agama ageming aji,
menurut ungkapan Wedatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat
bersifat sikretis (bersifat momot, atau memuat), di mana setiap agama diterima
dengan sikap terbuka dan tidak memperdulikan benar salahnya agama tersebut.
Berkaitan dengan sikap hidup orang Jawa yaitu, sikap feodalistik, sikap
keagamaan, dan sikap fatalistik. Sikap feodalisme tak lain ialah salah satu
mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus
karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan.
Menurut adat Jawa, setelah bayi lahir dalam
beberapa saat, sang ibu turun dari tempat tidur lalu berdiri dan
berjalan-jalan. Hal ini dilakukan oleh sang ibu dengan maksud agar darah segera
mengalir kembali secepatnya dan dengan demikian dia akan segera kembali menjadi
bersih lagi. Mempersiapkan santapan ritual bagi bayi itu, babaron. Lalu
dimulailah selama lima hari lima malam perjamuan terus-menerus, serta dengan
menyanyikan tembang semalam suntuk yang memuncak pada santapan ritual yang
besar dan jamuan pada hari kelima.
Ritual yang dilakukan untuk menyambut
kelahiran Sartono adalah pertunjukan wayang, pertunjukan wayang juga dilakukan
ketika Sartono berusia satu tahun. Sartono kecil, oleh Sutiya, sang ibu – dan
mbah-nya, dalam setiap harinya, mejelang tidurnya- tampaknya dinyanyikan
tembang-tembang Jawa klasik; sebuiah kekayaan dari karya-karya kesusasteraan
klasik Jawa Kuno yang dihasilkan peradaban Jawa yang mengajarkan tentang banyak
hal tentang kisah-kisah para leluhur dengan segala kearifannya.
Usia Sartono kurang lebih setahun, Sartono
dibawa ke Candi Prambanan dengan naik kereta, Tjitrosarajo bersama rombongan
keluarganya, sang jabang bayi pun dibawa ke Candi yang didirikan pada zaman
Prabu Baka ini. Tjitrosarojo ia mempunyai apresiasi terhadap sastra, khususnya
sastra Jawa. Ia membaca berbagai macam syair. Ia juga membeli Volksalmanak,
Amanat Rakyat yang terbit setahun sekali. Almanak dimaksudkan sebagai buku
pintar yang memuat pengetahuan yang sering diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Sartono mendapatkan pendidikan informal dalam
keluarga dan lingkungannya dalam atmosfir budaya abangan. Pendidikan anak-anak
Jawa secara tradisional dipengaruhi oleh aspek-aspek etik dan religius wayang.
Bahwa dunia wayang adalah dunia yang sangat dekat dengan kehidupannya.
Kebiasaan Tjitrosarojo jika sedang berada
dirumah-pada malam hari, sehabis makan malam, di ruang tengah rumahnya,
keluarga Tjitrosarojo berkumpul santai. Pada saat-saat itu, sang ayah yang
mempunyai siter(biasanya)- dan siteran- bermain siter disertai dengan
macapat(membaca), karya sastra Jawa dalam bentuk puisi.
Memasuki usia sekolah, anak-anak Tjitrosarojo
dimasukkan ke sekolah Hollands Indische School (HIS) yang ada di Wonogiri.
Ketika Sartono berusia enam tahun, 1927, ia mulai memasuki pendidikan formal di
Hollands Indische School (HIS) Wonogiri. Oleh karena di Wonogiri sudah ada
sekolah Belanda, HIS, banyak keluarga Tjitrosarojo dan Sutiya yang menitipkan
anak-anak keluarganya di rumahnya.
Sewaktu kecil, kegemaran Sartono bersama
teman-teman sebayanya adalah adu ayam, oleh karena di rumah, orang tuanya
memilik banyak ayam. Di sekolah, Sartono tampaknya termasuk murid yang pintar.
Sejak kecil, Sartono dikenal sebagai murid yang “kutu buku”. Sejak kelas 3 di
HIS, mata Sartono sudah mulai sakit dan harus memakai kaca mata, mungkin karena
terlalu banyak membaca.
Saat liburan kelas 3, Sartono diajak berlibur
ke Mendut, dari Solo Sartono naik kereta api dan turun di Muntilan. Dari
Muntilan disambung naik dokar sampai Mendut. Suatu perjalanan yang mengesankan
namun ia belum mempunyai pandangan yang lebih jauh soal Borobudur sebagai salah
satu bukti peradaban manusia yang sangat tinggi dan salah satu bangunan yang
dilestarikan UNESCO sabagai warisan dunia.
Sejak awal, Sartono bercita-cita menjadi guru,
disebabkan pengaruh dari guru-gurunya semasa di HIS Wonogiri. Sebagai anak yang
berada dalam astmosfer budaya abangan, Sartono pun tidak bisa melepaskan dirinya
dari ritual budaya lingkungannya. Dalam masyarakat Wonogiri ketika-itu bahkan
sampai sekarang- nyadran merupakan tradisi tahunan yang di lakukan masyarakat.
Sartono pernah ambil bagian, ikut dalam ritual nyadran. Nyadran merupakan
siklus penanggalan Jawa yang jatuh pada bulan Ruwah, dengan mengunjungi makam
leluhur, membersihkan dan menabur bunga.
Pada saat Sartono kelas VI HIS, kuartal II, ia
pindah sekolah dari Wonogiri ke Surakarta, tepatnya Agustus 1932. Pada saat di
Surakarta, ibu Sartono menderita penyakit kandungan. Di rahimnya terdapat
kanker dan sudah berobat ke mana-mana tetapi belum bisa sembuh. Di temani sang
suami, Sutiya sudah berusaha berobat ke mana-mana, termasuk ke rumah pengobatan
Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik R.M. Panji Sosrokartono
(1877-1952). Setelah tujuh bulan di Surakarta, Maret 1933, Ibu Sartono
dioperasi di rumah sakit Surakarta. Akhirnya ibu Sutiya, Ibu Sartono meninggal
dunia dalam usia yang masih sangat muda. Ia meninggalkan 3 orang anak dan
suami.
Perpindahan Sartono dari Wonogiri ke Surakarta
adalah membuka cakrwala baru. Dalam ruang sosial dan kebudayaan yang baru,
Sartono mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat dan modern, baik didapatkan
dari lingkungan tempat tinggalnya maupun di sekolah yang tentu punya guru-guru
dan murid-murid Belanda. Setelah lulus HIS, 1934, ia melanjutkan sekolahnya ke
MULO. Di MULO, bacaan Sartono lebih banyak dan persentuhannya dengan budaya
Barat melebihi masa di HIS. Ia sudah mulai membaca karya-karya sastra Eropa,
novel, dan drama. Salah satu novel yang diingatnya adalah roman Belanda, De
Opstandegen, Pembangkangan. Kebiasaan menulis Sartono terus berlanjut di MULO.
Di sini, ia menulis soal batik. Dapat dipastikan bahwa tulisan ini mendapat
inspirasi dari ibunya, yang pekerjaannya membatik selama hidupnya.
Sartono pun melakukan kegiatan ekstra di
sekolahnya seperti kepanduan. Dua tahun setalah Sutiya, ibunda Sartono
meninggal dunia, 1935, Tjitrosarojo menikah lagi dengan keluarganya yang di
Semarang, Siti Tartijen.
Sewaktu di MULO Surakarta, ia mondok pada guru
agama. Ia belajar agama, kataketik. Pada tahun 1936, Sartono pindah sekolah
dari MULO ke Hollands Inlandshe Kweekschool (HIK) di Muntilan. Kedekatan
Sartono dengan kehidupan orang-orang suci, santo, dipengaruhi dari kedekatannya
dengan kedua kakak perempuannya.
Secara administratif, Muntilan menjadi bagian
dari wilayah Karesidenan Magelang, Muntilan merupakan dataran yang banyak
ditanami tembakau. Di Muntilan, Sartono masuk di HIK Kolese Xaverius, sekolah
yang dirintis van Lith. Van Lith datang ke Hindia Belanda pada tahun 1896
bersama dengan Romo Hoevenaars, dan seorang romo lain dan langsung bertugas di
Maluku. Tetapi tugas pertamanya oleh Romo van Lith dianggap gagal sehingga pada
tahun 1899 dia mulai merintis Kolese Xaverius dengan konsep sekolah dan asrama.
Ketika Sartono mulai masuk di HIK Kolese Xaverius Muntilan, Romo van Lith sudah
meninggal sepuluh tahun sebelumnya. Tetapi suasana dan pola mengajar tetap
dipertahankan. Sartono menginjakkan kakinya di kompleks Kolese Xaverius pada
salah satu hari di tahun 1936. Sartono bergaul dan dari pergaulan itu, ia
mendapat berbagai pengetahuan tentang berbagai daerah dan budaya asal
siswa-siswa di Kolese Xaverius. Sebagai penghuni dan siswa di Kolese Xaverius,
Sartono pun mengalami pengajaran dan pendidikan yang diajarkan di sekolah ini,
ia mengenal dan mengikuti berbagai pementasan yang di lakukan sekolah dan
asrama, oleh karena semua muridnya ikut bermain: bola, bas, dan berbagai macam
alat musik.
Kebiasaan Sartono menulis selama di Muntilan
terus berlanjut. Berkat bacaan yang sudah semakin luas dan berkembang, ia pun
mulai berani mengirim tulisan-tulisannya ke Majalah Pristo, yang berkedudukan
di Maastricht, sebuah kota kecil di pinggiran Belanda. Tulisan yang dikirimnya
dalam bahasa Belanda dan diantara tulisan yang dimuat adalah: “Solo 200 Tahun”
dan “Candi Borobudur”. Sama seperti tulisannya waktu di Surakarta, “Batik”, dua
tema dari tulisannya ini, Solo dan Borobudur, adalah hal yang dekat dengan
kehidupannya. Proses kehidupan yang dijalani Sartoni di sini perlu mendapat
perhatian serius karena- menurut penulis-periode ini merupakan titik kisar
dalam proses pembentukan kepribadian dan intelektual Sartono sebagai calon
bruder. Sartono mulai menjalani kehidupan religius secara disiplin dan ketat,
di samping aspel religius, aspek intelektual pun mendapat perhatian yang
seimbang.
Sejak September 1939, di Eropa terjadi perang yang
dalam sejarah modern dikenal sebagai awal Perang Dunia II. Perang ini ditandai
dengan penyerbuan tentara Jerman ke Polandia. Kemampuan Jepang menghancurkan
Pearl Harbor – meski hanya sementara membuka peluang bagi Jepang untuk
melakukan hasrat ekspansionnya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang
ketika itu masih di bawah jajahan Belanda.
Tujuh bulan sebelum Jepang menduduki Jawa, Sartono
menamatkan HIK di Kolese Xaverius, Muntilan, tepatnya Agustus 1941, setelah
belajar lima tahun. Sesudah novisiat mula – mula novisiat berlangsung dua tahun
novis mengucapkan kaul sementara dan sesudah tiga tahun berprasetia untuk
seumur hidup dan disebut bruder (brother). Tetapi Sartono tidak melanjutkannya
karena terkait dengan kondisi keluarganya, ayahnya yang sedang sakit – sakitan.
Sartono memilih menjadi guru, bukan karena
pertimbangan sendiri tetapi dari pembimbing. Maka ia lantas ke Salatiga,
dibenum jadi guru HIS swasta. November 1941. Profesi guru dipilih didasarkan
pada motivasi untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Sartono akhirnya
memulai karirnya sebagai guru di Sekolah Schakel di Muntilan. Di Schakel
Muntilan, Sartono hanya mengajar selama kurang lebih tiga bulan, lalu pindah ke
Salatiga. Kurang lebih sebulan berada di Salatiga, pecah Perang Pasifik.
Suasana sudah mulai tidak normal. Tujuan utama Jepang di Indonesia adalah
mentusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang
upaya perang Jepang.
Untuk lebih mempercepat perwujudan dari kebijakan
Jepang, berbagai tindakan diambil mulai dari yang halus sampai yang kasar.
Sebagaimana dicatat Kurasawa, pendidikan sekolah, terutama sekolah dasar,
merupakan wilayah yang banyak dimanfaatkan oleh pemerintah militer Jepang
sebagai sarana untuk mengindoktrinasi massa. Latihan militer dan pelajaran
moral merupakan dua pelajaran khas yang paling penting di dalam pendidikan
sekolah di Jepang semasa perang ketika itu.
Beberapa teman sebaya Sartono di Salatiga waktu ada
kesempatan masuk menjadi Peta, mereka berusaha masuk Peta pada awal revolusi
banyak pemuda sebayanya yang masuk tentara RI. Sartono tidak ikut, disamping
karena kendala mata, ia juga tidak terlalu tertarik dengan birokrasi dan
ketentaraan di mana yang diharuskan lebih banyak latihan – latihan fisik. Pada
awal Jepang, sekolah swasta, di mana Sartono mengajar, tidak mendapat subsidi
dari pemerintah. Para guru hidup dari uang sekolah Sartono hanya mendapatkan
sedikit karena ia belum berkeluarga.
Pada bulan September 1942, setelah menderita sakit
ayah Sartono meninggal dunia, meninggalkan tiga orang anak dari istri peratama
(ibunya meninggal 8 tahun sebelumnya)
dan satu istri dengan (kedua) dengan dua orang anak yang masih kecil.
Pada saat ayahnya meninggal, Sartono sudah berusia 21 tahun dan sudah menjadi
guru dan sudah ada pendapatan. Praktis sejak ayahnya meninggl, Sartono membantu
kedua adiknya lebih dari masa sebelumnya yang hanya membantu sedikit karena
ayahnya masih hidup. Inilah masa yang disebut Sartono masa – masa terberat.
Ketika ayah Sartono meninggal, Asrtono ditawari
menggantikan ayahnya untuk bekerja di postel Surakarta. Sartono juga suatu kali
mendapatkan kesempatan untuk kerja di kepolisian tetapi ia tidak tertarik.
Sartono memang mengakui bahwa ia agak pasif, dalam arti jika orang mau aktif
dalam masa Jepang fisiknya harus kuat. Pada tahun 1943, Sartono mendapat
tawaran untuk pindah mengajar ke SMP Surakarta, meski mendapat tawaran gaji
yang lebih tinggi Sartono tetap di Salatiga. Ketika itu Sartono boleh dikatakan
menjadi tokoh sekaligus yang menancapkan tonggak pendidikan di Salatiga.
Pada tahun 1944 – 1945, Perang Pasifik sudah mulai
berbalik arah. Sekutu dengan kekuatan penuhnya mulai memperlihatkan
kemampuannya mengimbangi kekuatan Jepang dan semakin lama menunjukkan
kemenangannya. Berita pemboman sekutu dan menyerahnya Jepang tersebar di
kalangan elite pergerakan ketika itu.akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat pada Indonesia, dan
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.
Sartono termasuk diantara sekian banyak pemuda
disebuah kota kecil di Jawa Tengh yang menyambut revolusi dengan semangat dan
kegairahan baru. Di awal proklamasi, banyak terjadi pertempuran antara tentara
Jepang dan badan atau laskar setempat. Situasi diatas membuat banyak warga Kota
Semarang dan dan sekitarnya mengungsi ke Salatiga yang sat itu merupakan tempat
yang aman. Salah seorang gadis Semarang mengungsi ke Salatiga ketika itu, kelak
akan menjadi istri sartono.
Semangat dan usaha Sartono untuk melanjutkan
pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, universitas. Yogyakarta sebagai “ibu
Kota Revolusi” ketika itu belum mempunyai universitas yang bisa dijadikan
“sumur ilmu pengetahuan”. Universitas Gajah Mada baru diresmikan, tetapi
universitas ini belum memadai dari segi fasilitas dan tidak adanya buku – buku
yang menjadi penunjang utama.
Di Jakarta Sartonodan keluarganya tinggal beberapa
hari disebuah kamar kecildi Jalan Kramat Raya 48, sebelum pindah ke Jalan
Gunung Sahari 88, kompleks sekolah Van Lith. di kompleks ini pun, sartono dan
keluarganya tinggal di sebuah kamar yang sedikit lebih besar dibandingkan
sengan sebelumnya. Di tempat inilah Sartono merintis obsesinya. Sambil menunggu
kuliah, Sartono menempuh kursus kepangkatan guru, Hoofd Acte (HA). Hal ini
dilakukan untuk mningkatkan keterampilandan kemampuannya sebagai guru.
Setelah mendapatkan HA, mulai oktober 1950, Sartono
terdaftar sebagai mahasiswa Geschiedenis Richting (Jurusan Sejarah), Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia. Sartono kuliah di jurusan Sejarah UI saat Indonesia baru memproklamirkan
kemerdekaannya lima tahun sebelumnya dan kemerdekaan dari Belanda belum cukup
setahun didapatkan. “Sejarah Indonesia” ketika itu belum ada, yang ada adalah
sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarawan Belanda, J.C
Van Leur, menyebutkan bahwa subyek pelaku dalam sejarah Indonesia adalah orang
Belanda dalam menyelenggarakan aktivitasnya di Indonesia. Sejarah semacam itu
sering disebut sejarah Indonesia versi Belanda, jadi bersifat Belandasentris.
Selama kuliah, Sartono tetap mengajar SMP Negeri
Gunung Sahari dan di SMA Santa Ursula. Hal itu dilakukan agar dapur “tetao
berasap”. Bagaimanapun, Sartono telah memliki keluarga. Setelah meninggalkan
hidup petualangannya selama masa Jepang dan revolusi, ternyata setelah ke
Jakarta ia dan keluarganya hidup dalam suasana perjuangan.
Untuk membantu ekonomi rumah tangga, istrinya Sri
Kadaryati, disamping mengasuh anak – anaknya, ia juga mengajar di SD Van Lith.
Sri Kadaryati adalah sosok penting dalam hidup dan kehidupan Sartono. Sejak
awal pernikahannya, ia mempunyai posisi penting dalam perjalanan Sartono, baik
sebagai pribadi maupun dalam karier intelektualnya kemudian.
Pada periode ini pula, di samping kuliah, Sartono
juga aktif berorganisasi, salah satunya sekjen Persatuan Guru Katolik sejak
tahun 1950. Sartono juga menjadi Pengasuh Majalah Persatuan Guru Katolik.
Antara tahun 1952 – 1954, Sartono menjadi Redaktur Utama, sekaligus sekretaris
majalah tersebut dan ia sering menyumbangkan tulisan dalam setiap edisinya.
Dalam majalah ini, Sartono menulis
segalah hal, mulai dari masalah pendidikan sampai masalah umum, termasuk
sedikit mengenai tema sejarah. Di sini Sartono mengasah kemampuan menulisnya.
Selama masa perkuliahan Sartono di jurusan Sejarah
pada Fakultas Sastra UI, ia mendaptkan dasar – dasar pemikiran dan pandangannya
serta permasalahan mengenai sejarah ( Sejarah Indonesia Khusunya) dan langkah –
langkah apa yang harus dilakukan dalam proses dekolonisasi sejarah.
Setelah mendapat gelar sarjana dan setelah sembuh
dari sakitnya, ia mendapat tawaran bekerja, di antaranya menjadi perumus
laporan rahasia pada Kantor Perdana Mentari.
Tetapi Sartono tidak tertarik karena ia menerima tawaran ke UGM sebagai
Dosen, yang sudah memiliki jurusan sejarah tetapi kekurangan dosen. Ia merasa
terpanggil dan menganggap daerah pun perlu dikembangkan, jadi Sartono memutuskan membantu UGM yang
membutuhkan dosen sejarah dan, yang lebih penting, di luar Jakarta perlu ada
pusat studi bermacam ilmu pengetahuan.
Setelah
menyelesaikan studinya, pada tahun 1957, Sartono Kartodirdjo memilih UGM sebagai
tempat berkarier sebagai dosen sejarah. Sensibilitas revolusi dan nasionalisme
sebagai bangsa yang merdeka, menuntut antara lain dilakukannya dekolonisasi
sejarah. Sebagai sarjana sejarah, tuntutan itu dianggap sebagai bagian dari
tanggung jawabnya. Pada akhir tahun 1950-an, pemikiran Sartono mengenai sejarah
sudah lahir, antara lain disampaikan pada seminar sejarah tahun 1957 di
Yogyakarta mengenai priodisasi sejarah. Pemikiran Sartono mengenai konsep
integrasi- yang disampaikan pada seminar 1957- ini tetap dipertahankan sampai
akhir hayatnya.
Kesempatan
untuk melanjutkan karier akademiknya terbuka ketika pada tahun 1962, Sartono
mendapat beasiswa dari The Rockeffeler Foundation untuk melanjutkan studinya di
Yale University Amerika Serikat. Di sinilah Sartono berkenalan secara langsung
dengan ilmu-ilmu sosial yang sangat mewarnai pendekatan multidimensionalnya. Di
sini pulalah, Sartono bertemu dengan Harry Julian Benda, salah seorang yang
berpengaruh dalam batu-bata bangunan intelektualnya. Setelah dua tahun di Yale,
1964, berkat rekomendasi Benda, Sartono diterima di Universitas Amsterdam di
bawah bimbingan W.F. Wertheim. Akhirnya, titik kisar ketiga dalam perjalanan
hidup Sartono bermula: pada tanggal 1 November 1966, promosi doktornya
dilaksanakan dengan hasil cum laude. Masa-masa Sartono “nyantri” di pesantren
modern (Yale dan Amsterdam) merupakan masa yang diwarnai dengan kerja keras,
ketekunan, ketelitian, ketuntasan, dan kesempurnaan. Semua sikap itu dibalut
dengan kedisiplinan dan keprihatinan. Dalam bahasa Sartono, menghayati
asketisme secara terus-menerus”.
Disertasinya
yang berjudul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Condiditions,
Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia menjadi batu
loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Menurutnya, penulisan disertasinya
didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia
yang konvensional dan Neerlandosentris. Dengan menggunakan social scientific
approach, Sartono memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah
historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam
sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Sartono menjadi aktor
sejarah.
Sekembalinya
ke Indonesia, Sartono memulai kerja besar untuk membangun tradisi sejarah
kritis di Indonesia. Ia mengawali dengan memperbaiki kurikulum jurusan sejarah
di UGM dan dari situ, lewat jaringan yang ada menyebar ke seluruh Indonesia.
Tradisi akademik pun dibangun Sartono. Persinggahannya di Berkeley selama empat
dalam rangka penulisan sejarah nasional Indonesia lebih memantapkan tema
sejarah sosial yang sudah mulai dibangunnya setelah kembali dari Belanda.
Berbagai karyanya yang dihasilkannya menunjukkan hal tersebut. Apa yang
dilakukan Sartono juga berpengaruh kepada murid-muridnya yang pada
perjalanannya kemudian, tersebar di seluruh Indonesia. Lewat jaringan inilah,
pengaruh Sartono bisa dilihat di berbagai jurusan Sejarah di Indonesia.
Sartono
telah menghasilkan murid-murid yang tersebar di seluruh Nusantara. Sartono
telah membukakan jalan bagi murid-muridnya untuk mengembangkan karier akademik
dan intelektualnya. Sebagai seorang guru, ia selalu memberi apresiasi terhadap
anak-anak muda yang ingin mengembangkan karier. Di samping itu, Sartono selalu
menghargai perbedaan pendapat, sekalipun pendapat itu datang dari anak muda
yang baru memulai mengembangkan karier intelektualnya.
Karya-karya
yang dihasilkannya telah mengukuhkan posisinya sebagai protagonis dalam
historiografi Indonesia pada satu sisi dan sebagai intelektual yang selalu
konsens dengan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsanya. Patriotisme dan
kecintaannya terhadap bangsa dan negara Indonesia tidak dapat diragukan lagi.
Sartono
telah menunaikan tugasnya, baik sebagai aktor maupun sebagai pribadi. Sartono
telah memberi makna dalam hidupnya lewat karya dan mengajar sebagai bagian dari
perealisasian dirinya. Perjalanannya di dunia fana ini telah ia lampaui dengan
segala historisitasnya. Ia telah melanjutkan ke kehidupan lain sejak 7 Desember
2007, pukul 00:45. Pemakamannya pada tanggal 8 Desember 2007 di Ungaran
merupakan bukti akhir atas kesederhanaan hidupnya. Menilai sosok Sartono secara
utuh, sebagai pribadi maupun aktor, harus dikembalikan pada konteks
sosial-budaya, sensibilitas, saat mana pemikiran itu lahir. Akhirnya, buku ini
akan ditutup dengan mengutip secara lengkap renungan Sartono di senja usianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar