Selasa, 29 November 2016

MATERI GERAKAN : ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI DENGAN METODE TIGA BULANAN



ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI
DENGAN METODE TIGA BULANAN
Oleh: Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik

LANDASAN

Pengorganisiran massa agar menjadi kekuatan revolusi—menghancurkan musuh, merebut kekuasaan, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan baru—adalah pekerjaan membangun massa sadar yang terorganisir dan berkekuatan. Makna massa sadar harus dilihat dalam dua (2) pengertian: secara kognitif (kesadarannya) dan secara politik (tindakannya untuk berjuang). Massa sadar yang bertindak sebagai atau dalam pengertian kader, adalah massa maju yang berjuang membangkitkan dan berjuang bersama massa rakyat yang lain. Kader menjadi bagian dari setiap perlawanan massa, memajukan politik perlawanan tersebut, dan terus memperluas/memperbanyak massa maju atau kader lainnya di antara massa berlawan tersebut. Di sinilah pengertian kader sesungguhnya, sebagai kader revolusioner, yaitu selalu tidak pernah dan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan massa—sehingga berbeda dengan aktifis salon (menara gading) (yang tidak berada di tengah massa berjuang), ataupun pekerja sosial (yang tidak untuk memajukan massa (secara kognitif dan tindakan).

Pengertian kader dan pengorganisiran massa sebagaimana dijelaskan di atas adalah pengertian yang sekaligus menjawab pertanyaan: bagaimana kader tumbuh bersama kesadaran massa (yang masih masih reformis) dan memajukannya (menjadi revolusioner), sehingga batas kesadaran kader dengan kesadaran massa semakin menipis? Dengan demikian, pekerjaan membangun revolusi, dalam makna mendirikan pemerintahan rakyat (untuk memerintah dirinya sendiri) memiliki landasan nyatanya—nyata, benar-benar, sanggup mendirikan pemerintahan rakyat sendiri—karena massa telah memiliki kesadaran yang maju, memadai untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Kalaupun masih ada jarak antara kesadaran kader dengan massa, semakin hari jarak tersebut harus semakin menipis dengan semakin memajukan kesadaran massa. Saat perlawanan massa semakin meningkat dan meluas—itu artinya kesadaran dan tindakan (politik) massa sedang meningkat dan meluas—partai seharusnya dibuka untuk massa. Tapi itu bukan berarti organisasi revolusioner melepaskan kreteria-kreteria dalam rekruitmennya, bukan berarti melemahkan syarat-syaratnya namun, pengertiannya adalah: secara organisasional partai harus peka dan dapat dengan segera mewadahi massa yang kesadaran dan tindakan (politik)nya sudah/sedang maju/berkembang.

Pengorganisiran massa dan radikalisasi tiga bulanan kepentingannya adalah untuk memajukan dan menguji kesadaran serta tindakan (politik) massa—sehingga semakin dekat dengan pengertian kader. Bisa saja dibuat dua (2) atau empat (4) bulanan, tidak masalah, namun harus ada landasannya. Pengalaman sehari-hari kami berada di tengah massa memberikan pengertian, dan sepenuhnya maklum bahwa: sekalipun massa telah sanggup menerima propaganda tentang revolusi, namun belum tentu massa tersebut siap bertindak memperjuangkannya—apalagi bila kwantitas massanya belum memadai, sehingga memang tindakan (politik) massa tidak boleh terlalu maju. Dalam situasi kontradiksi yang semakin tajam akibat meluasnya persoalan rakyat—terutama persoalan-persoalan mendesak yang gamblang terasa dan terlihat di depan mata oleh rakyat—hal terpenting dalam tahap awal menuju revolusi adalah bagaimana segala keresahan tersebut diorganisir (baca: disadarkan dan dimobilisasi) menjadi tindakan politik massa yang rapi, menjadi mobilisasi menuntut, serendah apapun isu yang sanggup dan akan diperjuangkan oleh rakyat. Mobilisasi tersebut merupakan wujud kongkrit, wujud nyata kesanggupan rakyat untuk memperjuangakan kepentingannya, ideologinya, yang tumbuh dari kesadarannya, atau merupakan tindakan (politik) utama yang menunjukkan dan menguji kekuatan rakyat sendiri. Bersamaan dengan mobilisasi atau tindakan politik tersebut, semakin hari juga harus dipastikan adanya peningkatan kesadaran dalam politik massa. Dan sekalipun radikalisasi atau mobilisasi tiga bulanan ini dilakukan secara bertahap[1], namun bukan berarti dalam pekerjaan penyadaran massa kita tidak boleh memberikan kesadaran tentang seluk beluk revolusi—baik dalam pengertian ideologinya, politiknya dan organisasinya; dalam pekerjaan menyadarkan massa, sedapat mungkin, kita tidak boleh menahap-nahapkan isian kesadaran tentang revolusi. Sehingga, walaupun massa sedang memperjuangkan tuntutan reformis, namun massa akan sadar bahwa perjuangan tersebut masih merupakan perjuangan reformis, belum revolusioner; itulah yang dinamakan kompartemen kesadaran revolusioner dalam lautan perjuangan reformis—yang secara bertahap, sesuai dengan syarat perluasan kesadaran revolusioner dan kwantitas massanya, akan berderap menuju revolusi. Kompartemen revolusioner tersebut—baik dalam pengertian kesadarannya, maupun para pekerja/aktivisnya—harus semakin meluas menutup/merubah kesadaran dan tindakan (politik) reformis.

Pengertian revolusi secara mudah bisa diartikan sebagai perubahan tiga  hal pokok, yakni: 1) peningkatan tenaga produktif (force of production); bahwa peningkatan kemakmuran (yang berdialektik, berkait-berkelindan) dengan perubahan budaya (baca: nilai-nilai baik) dan sebagainya memiliki dan tergantung pada landasan tenaga produktif; 2) Perubahan hak milik atau transformasi pemilikan; 3) Perubahan kesadaran massa, terutama kesadaran untuk memerintah dirinya sendiri (transformasi dari demokrasi perwakilan ke arah demokrasi langsung). Dengan demikian, sosialisme (yang tenaga prodiktifnya dapat melimpahkan kemakmuran dan pemilikannya adil) justru memberikan landasan material bagi peningkatan potensi manusia sampai ke tingkat ke individu, yang sebelumnya potensi (individu) tidak bisa berkembang karena landasan materialnya telah dirampas oleh pemilik/penguasa tenaga produktif. Potensi (semua) individu untuk menjadi dirinya sendiri akan sanggup dikembangkan.

Oleh karenanya perjuangan kognitif (kesadaran) harus disatukan dengan tindakan perjuangannya/pemwujudannya. Dan agar kesadaran lebih mudah dapat didorong menjadi tindakan perjuangannya/pemwujudannya, maka kita bisa berangkat dari persoalan mendesak rakyat, dari tuntutan-tuntutan darurat rakyat, dari persoalan yang kasat mata dilihat dan dihadapi rakyat.

Situasi sekarang, karena terus menerus terjadi peningkatan dan perluasan penderitaan rakyat, mengakibatkan meluasnya lautan kesadaran ekonomis (reformis) di kalangan rakyat. Bahkan kesadaran reformis tersebut ada yang belum menjadi tindakan perlawanan; kalaupun ada perlawanan, yang semakin hari semakin meningkat kwantitas dan kwalitasnya, namun masih belum terorganisir secara nasional dan masih belum bersatu, terpecah-pecah. Kesadaran rata-rata massa adalah kesadaran reformis, ekonomis, dan itu merupakan realita yang harus diakui (untuk diatasi atau dimajukan, bukan disalahkan atau ditinggalkan). Kita tidak boleh idealis: mengharapkan kesadaran sosialis akan dengan mudah diterima dan diperjuangkan massa, atau datang (dari langit) dan muncul (dari bumi) dengan sendirinya. Lautan kesadaran reformis tersebut harus disimpulkan penyebab kongkritnya, sehingga bisa ditemukan  bagaimana mengobatinya agar menjadi kesadaran revolusioner dan dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan ideologi serta kepentingannya (bahkan tuntan reformis/mendesak sekalipun). Bagaimana menghadapi dan mengatasi kenyataan kesadaran reformis tersebut, apakah hanya kita didik terus sampai mereka paham? Ya bisa saja, tapi lebih lama menyerapnya. Contohnya, pembangunan Taman Siswa (dalam pandangan kolonial Belanda adalah sekolah-sekolah liar) yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Apabila tidak diletakkan dalam gerak perlawanan atau tindakan politik massa, maka pendidikan-pendidikan tersebut akan lebih sulit membangun massa sadar karena perjuangannya tidak menjadi nyata dirasakan dan disaksikan oleh massa sendiri.

Kesadaran akan tuntutan reformis tersebut didorong (baca: diorganisir) menjadi tindakan (baca: mobilisasi) politik massa (yang meluas, membesar dan menguat) dalam memperjuangkan tuntutan-tuntuannya  (ekonomis sekalipun), berupa mobilisasi-mobilisasi massa yang menuntut. Wadah-wadah rakyat yang bertujuan untuk menuntut harus terus menerus diperluas dan disatukan, bahkan persoalan-persoalan mendesak (dan tidak mendesak) lainnya yang belum jelas bagi rakyat harus diungkapkan dan ditunjukan kepada massa (saking banyaknya persoalan, sehingga kadang saling tumpang-tindihnya tak terlihat, tak kasat mata, misalnya: pengamen yang selalu diburu trantib bisa lalai atas persoalan kesehatan dan pendidikan anaknya; dan sebagainya). Segala persoalan mendesak rakyat ini harus terus diolah menjadi basis perlawanan rakyat. Rakyat harus bergerak untuk menuntut atau memperjuangkan kesejahteraannya, dengan metode proletar dalam bentuk: aksi massa.

Tapi harus diingat, setiap perlawanan ekonomis dan reformis tersebut tidak boleh dilepaskan dari kompartemen sosialisme dan kesadaran sejati. Massa sadar atau kader sosialis harus terus menjadi bagian dari setiap gerak massa ekonomis ini. Kompartemen sosialis tersebut harus membesar dan terus membesar, walaupun awalnya kecil. Tidak boleh seperti piramid; tidak boleh dibiarkan massa yang maju tidak membesar atau mengerucut. Apa tugas kompartemen sosialis tersebut? Selain menjadi kekuatan termaju dalam mewujudkan kesadaran ekonomis massa menjadi tindakan politik (dalam isu yang paling diterima massa), tugas kader revolusioner tersebut sejak awal adalah mengisi tuntutan-tuntutan reformis tersebut dengan pengertian sejati (menjelaskan kaitannya dengan sistim kapitalisme), terus menerus menjelaskan penyelesaian revolusioner yang sesejati-sejatinya yang dibutuhkan rakyat sebagai jalan keluar bagi berbagai masalah yang dihadapinya. Walaupun wujudnya tetap tindakan (politik) reformis, tidak masalah, harus diterima sebagai kenyataan, sebagai cerminan kesadaran massa pada waktu sekarang. Karena itulah kita bisa berangkat dari kesadaran tuntutan reformis, yang akan didorong menjadi tindakan politik. Tapi sejak awal massa juga harus tahu bahwa jalan keluar sejatinya tidak bisa reformis, atau hal itu saja belum cukup. Jadi, rakyat tahu bahwa tuntutan tersebut hanya untuk sementara (sebelum kesadaran dan kwantitas massanya memadai), atau sekadar mengurangi kesulitan sehari-hari rakyat. Propaganda kaum revolusioner harus ditransfer menjadi pemahaman massa, walaupun perjuangannya masih seperti itu (masih reformis, masih berupa sekadar tuntutan yang bisa jadi dipenuhi pemerintah), atau belum sekaligus menyelesaikan semua masalah (karena penyelesaiannya belum ke akarnya) karena  revolusi belum memadai syarat-syaratnya. Oleh karena itu, kesadaran massa harus diisi oleh pemahaman bahwa perjuangan reformis sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya, atau perjuangan sekarang ini merupakan  bagian dari suatu tahap dari arah revolusi. Karenanya, arah revolusi harus dijelaskan kepada massa secara lugas, gamblang, jelas dan kongkrit, dapat dimengerti rakyat. Massa harus sadar bahwa: seandainya pun negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya) memenuhi sebagian atau seluruh tuntutan reformis tersebut, namun hal tersebut hanyalah merupakan kemenangan kecil karena desakan rakyat, dan sebagai bagian utnuk mendapatkan kemenangan sejati. Dan yang terpenting: mobilisasi massa tersebut bukanlah sekadar untuk menekan (bargain terhadap) negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya); namun juga untuk memberikan contoh pada rakyat (terutama yang tidak berlawan) bahwa rakyat bisa memiliki kekuatannya sendiri, bahwa berjuang itu tidak mustahil, bahwa rakyat bisa memperjuangkan ideologi dan kepentingannya sendiri dengan kekuatannya sendiri, dengan politiknya sendiri—salah satunya, yang terpenting dan paling ampuh: dengan metode proletar; mobilisasi (aksi) massa. Sedangkan politik menekan, politik bargain dengan kekuatan rakyat tapi hanya untuk kepentingan kelas lain (misalnya hanya untuk memperkuat tawar menawar terhadap elit atau kelompok/partai lain, untuk bersekutu dengan elit atau kelompok/partai lain, dan sebagainya) ADALAH SALAH—bahkan bisa melemahkan keyakinan rakyat atas kekuatannya sendiri. Politik bargain yang salah tersebut sekarang telah menjadi penyakit yang menghinggapi organisasi gerakan, dan tidak boleh dibiarkan.

Agar mewujud menjadi mobilisasi—dengan sebelumnya ada proses (tahapan) investigasi dan peningkatan kesadaran massa—maka sebelumnya harus ada kesanggupan dari organisasi revolusioner untuk mewadahi massa. Lautan kesadaran reformis massa tersebut, yang selalu ada di sebagian besar tempat karena selalu ada himpitan persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, harus bisa ‘ditangkap’, harus bisa diwadahi terlebih dahulu. Pewadahan tersebut akan memudahkan proses tiga bulanan dijalankan di tengah subjektif organisasi yang masih kecil. Pewadahan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan berbagai cara terutama, tentu saja, lagi-lagi, berangkat dari kebutuhan mendesak massa sekitar yang sudah diinvestigasi dan disimpulkan. Misalnya dengan mendirikan Posko Pembelaan Rakyat Miskin untuk Berobat Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan Pendidikan Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan BLT, atau Posko Pembelaan THR Buruh dan sebagainya (kita harus jeli menginvestigasi dan menyimpulkannya). Dengan posko tersebut massa akan diberanikan mengadukan persoalan-persoalannya, dan posko tersebut dengan demikian mejadi penampung, wadah, bagi rakyat yang mengadukan persoalan-persoalannya dan segera dibantu memperjuangkannya—sehingga berkesempatan mendapat kepercayaan rakyat (apalagi jika segera mendapat hasil seperti bisa mengobati rakyat miskin secara gratis di rumah sakit). Bahkan dari keseriusan kita memperjuangkan saja—sekalipun belum berhasil—memungkinkan kita mendapatkan kepercayaan massa.[2] Dengan selebaran dan alat-alat propaganda lainnya (kita harus kreatif menemukan alat-alat atau cara-caranya) kita propagandakan (posko) bantuan pembelaan/advokasi untuk mengurus persoalan-persoalan rakyat, agar bisa membantu mewadahi massa (dalam kantung-kantung massa) yang akan memperjuangkan persoalan-persolannya dengan program radikalisasi tiga bulanan. 

BENTUK-BENTUK  KERJA

Bentuk Kerja dalam melaksanakan radikalisasi tiga bulanan terdiri atas pekerjaan bertahap (dilakukan secara berurutan) dan pekerjaan simultan atau bersamaan (dilakukan secara bersamaan atau seiring dengan pekerjaan bertahap). Dalam hitungan tiga bulan atau 90 hari, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut:

I. Pekerjaan Bertahap

1.                   Investigasi (porsinya 10% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 10% dari 90 hari, yakni 9 hari)
Investigasi adalah pekerjaan pencarian data tentang karakter massa (baik seara ekonomi, politik maupun budaya), apakah itu secara teritorial ataupun secara sektoral.  Selain di teritori basis yang sudah kita organisir, sasaran/arah teritori atau sektor yang akan diinvestigasi diperoleh dari rekomendasi kawan-kawan yang bekerja dalam pekerjaan perluasan, dari analisa geopolitik dan sebagainya. Dua masalah yang hendak diketahui dalam investigasi adalah: 1) kebutuhan-kebutuhan/persoalan-persoalan ekonomi (atau yang lainnya) yang sangat mendesak bagi rakyat. Tujuannya agar rakyat mau masuk dalam mimbar/wadah kita. 2) mengetahui apakah mereka mau melawan/berjuang atau tidak atas persoalan mendesak tersebut; 3) mengapa mereka mau atau tidak mau berjuang untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri.[3]

Banyak hal yang akan didapat dari investigasi tersebut, seringkali juga hal-hal negatif (misalnya bahwa, ternyata, massa sulit berjuang, takut dan sebagainya). Namun, apapun hasil investigasinya, akan sekaligus menjelaskan bagaimana organisasi mendapatkan kemudahan untuk mengajak dan menjadi bagian dari perjuangan massa. Sehingga, dari hasil data yang ada, akan bisa disiapkan bentuk perjuangan yang disanggupi massa, dan diketahui pula bagaimana kemudahan memajukan pemahaman/kognitif massa, serta sekaligus membangun kesiapan politik massa.

Selain keuntungan dapat memperoleh data, pekerjaan investigasi tersebut juga secara bersamaan dapat melatih organisasi dan massa rakyat untuk mengenal serta berlatih menjalankan demokrasi langsung. Maksudnya, dalam mengorganisir kita bisa menyediakan ruang yang mengutamakan aspirasi atau pendapat massa dalam menentukan isi dan sasaran dari perjuangan mobilisasi atau radikalisasi tiga bulan ke depan. Pendapat massa terbanyak (mayoritas) tentang persoalan mendesaknya, yang dipandang harus segera diperjuangkan, merupakan landasan utama untuk merumuskan penyadaran dan tuntutan dalam radikalisasi yang akan dilaksanakan. Keterlibatan atau partisipasi massa dalam aksi juga akan lebih kuat atau lebih mungkin terjadi, karena sejak awal rencana aksi diletakkan pada kepentingan mendesak massa itu sendiri. Metode bertanya langsung ke rakyat sebelum keputusan diambil, bahkan harus diperjuangkan untuk menjadi metode/pola yang dilakukan negara sebelum membuat keputusan penting bagi rakyat (misalnya referendum sebelum buat UUPM, atau dalam pembuatan konstitusi, dan lain sebagainya)[4].

Dalam menjalankan investigasi, alat-alat yang dipergunakan untuk mengetahui pendapat massa bisa berupa: a) Angket: (i) diisi langsung oleh rakyat atau; (ii) (bila ada yang belum sanggup mengisi angket karena berbagai sebab) diisi sambil ditanya; b) dari perbincangan dengan massa; c) dari laporan organiser. Alat-alat investigasi tersebut bisa digunakan semuanya, secara bersamaan, atau bisa juga salah satunya. Namun, bila menggunakan salah satunya saja kadang tidak bisa menjangkau massa luas atau kadang ada kesulitan-kesulitan. Misalnya dengan angket, memang bisa lebih luas dan semakin banyak bisa memperoleh pendapat massa tentang persoalan dan kesanggupan berjuangnya dari satu-persatu massa, tapi seringkali juga ada kesulitan karena massa sulit mengisi angket (karena teknis atau banyak juga karena buta huruf).

Selanjutnya, dari pekerjaan investigasi harus ada kesimpulan hasil investigasi. Hal terpenting dari pendapat massa yang harus diperhatikan adalah pada persoalan apakah massa siap melawan/memperjuangkan persoalan-persoalannya. Sekali lagi, hal prinsipil saat mendorong maju kesadaran ekonomis (reformis) adalah mewujudkannya menjadi tindakan politik massa, menjadi mobilisasi aksi massa. Sehingga harus dihargai betul kesanggupan massa untuk bergerak, dalam persoalan apapun. Kita harus mempelajari persoalan-persoalan yang, bagi massa, paling mendesak untuk diperjuangkan. Secara umum, persoalan-persoalan tersebut harus dilihat apakah: 1) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang sudah dipenuhi negara (tapi ada persoalan dalam pelaksanaannya); atau 2) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang belum dipenuhi oleh negara. Untuk kebutuhan mendesak yang sudah dipenuhi negara atau sudah menjadi program negara (tapi dalam pelaksanaannya masih ada persoalan, sehingga tidak diterima oleh massa di teritori yang sedang diinvestigasi), memang lebih mudah dituntut dan lebih cepat kemungkinannya untuk diselesaikan. Dengan demikian, kader-kader revolusi harus wasapada karena tuntutan massa yang dengan mudah bisa dipenuhi negara (karena memang sudah menjadi program penerintah) bisa menyebabkan massa terilusi: percaya kepada negara sebagai pihak protagonis (pihak yang baik hati), bisa mengurus rakyatnya—Dinas Kesehatan yang memperhatikan rakyat, Dinas Sosial yang peduli dan sebagainya. Bahkan organisasi yang dilibatkan dalam pelaksanaan program pemerintah itupun akan serupa dengan pekerja sosial, atau bahkan menjadi kacung pemerintah. Bagaimana supaya tidak demikian? Agar tidak terbangun ilusi kepercayaan massa terhadap negara (yang sebenarnya bukan pihak yang baik dan dapat mengurus rakyatnya), maka harus disiapkan materi propaganda (sebagai isi tahap berikutnya: tahap penyadaran) tentang kemenangan sejati dan tentang kemenangan-kemenangan kecil yang mungkin didapat sebelum revolusi. Jadi, jangan sampai dibiarkan ada celah berkembangnya kesadaran massa untuk mempercayai negara borjuis ini, tidak perlu berterima kasih kepada negara dan harus berterimakasih pada perjuangan rakyat itu sendiri. (Pengalaman di Jakarta, ketika tuntutan bisa dipenuhi pemerintah—karena memang sudah jadi program pemerintah—maka massa tetap bisa diajak untuk mengritik cara pemerintah yang salah dalam menjalankan program tersebut. Dan massa disadarkan bahwa kemenangan kecil tersebut bukanlah kemenangan sejati karena bisa dicabut kembali atau tidak diberikan lagi, dipotong subsidinya, seperti terjadi di negeri-negeri lain bahkan di negeri kita sendiri; kemenangan sejati adalah buah revolusi, karena revolusi bisa memberikan jalan keluar yang radikal atau menghilangkan akar penyebab persoalan-persoalan rakyat.)

Sekali lagi, kesimpulan investigasi yang terpenting adalah dalam persoalan: apakah sebagaian besar massa sudah siap berjuang. Bisa jadi, dari 500 massa, hanya 50 massa saja yang menyatakan siap berjuang. Tidak masalah. Karena memang rata-rata massa yang ditemui adalah yang tidak mau menuntut, mereka biasanya akan berubah pikiran bila, misalnya, faedahnya sudah bisa dirasakan langsung. Tingkat kesadaran reformisnya bahkan juga bisa lebih rendah dari perkiraan organiser. Jadi memang tidak bisa dijamin bahwa setiap mendapat persoalan pasti akan melawan. Itulah kesadaran reformis—dan yang paling membahayakan adalah: bila sudah tak punya harapan bisa melawan atau berjuang, tak yakin bisa menang (ideologi yang paling berbahaya). Jadi, tidak benar pernyataan bahwa melawan adalah instink[5] manusia, layaknya hewan. Manusia, karena punya kesadaran, dan tidak sekadar mengandalkan instink layaknya binatang, bisa saja tidak melawan bila ditindas (dengan alasan takut, sudah biasa dan terima saja, serta lasan-alasan lainnya). (Pada massa Suharto, banyak massa yang tidak berani melawan. Massa bisa berani melawan karena syarat-syaratnya telah dibuka oleh unsur-unsur pelopor; itulah mengapa sekarang, setelah Suharto jatuh, rakyat banyak yang bisa melawan.) Potensi perlawanan belum tentu dengan segera mewujud, manifes, tidak serta-merta (otomatis) bisa mewujud nyata. Itulah salah satu landasan dasar teori kepeloporan,  harus ada tambahan penyadaran yang dipasok dari luar, dari kelas asing sekalipun, bagi perkembangan dan majunya perlawanan. Dari data hasil investigasi yang menyatakan bahwa masih banyak massa tidak mau melawan, kita harus menyimpulkan: apa saja penghambat kesadaran massa di wilayah massa tersebut, dari mana sumbernya; misalnya, apakah ada oknum/lembaga yang menghambat kemajuan kesadarannya, atau karena sebab-sebab lainnya. Penyebabnya harus disimpulkan kemudian dicari obatnya (remedy). Jadi sebelum melangkah ke tahap dua, tahap penyadaran, harus juga ada kesimpulan tentang obatnya. Biasanya obatnya adalah pengertian atau penyadaran yang bisa menjelaskan tentang kesalahan dari kesadaran massa tersebut, atau obat untuk menghancurkan kesadaran palsu massa.

2.                   Penyadaran (porsinya 75% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 75% dari 90 hari, yakni  sekitar 66 hari)

Tahap kedua adalah penyadaran atau sering disebut tahap agitasi-propaganda. Dalam program radikalisasi tiga bulanan, tahap kedua ini merupakan pekerjaan yang paling banyak porsi waktunya. Karena dalam tahap inilah kesimpulan investigasi diolah, agar diketahui akar masalah mengapa massa tak sanggup berjuang, bagaimana mengobatinya agar betul-betul sanggup memperjuangkan persoalannya, dan mengerti kemenangan sejati yang harus dicapai.

a.                  Penyadaran tentang tuntutan yang mendesak dan yang sejati
Penyadaran untuk memahami masalah mendesak yang dihadapi massa (yang didapat dari hasil investigasi), sekaligus membangun keberanian berlawannya, adalah lebih mudah ketimbang pekerjaan propaganda tentang bentuk perubahan sejati yang hendak dicapai—yang sedapat mungkin harus juga disampaikan, dalam berbagai cara dan bentuk. Di samping kita harus menjelaskan mengapa kita harus menuntut tanggung jawab negara dalam persoalan tersebut, kita juga harus menyampaikan apa akar persoalannya. Itulah tugas organiser: memberi pengertian radikal tentang problem yang akan dituntut; bahwa akarnya adalah persoalan sistem (kapitalis) yang berlaku saat itu. Karena itu, kita tidak boleh menyetujui pemahaman reformis massa terhadap masalah tersebut, tapi kita harus memberikan kesadaran radikal/revolusioner tentang problem reformis yang dituntut oleh massa. Misalnya dalam hal pendidikan, jangan dimaklumi alasan-alasan negara bahwa anggarannya kurang karena harus membayar utang luar negeri; sudah diupayakan (sehingga anggrannya hanya bisa sedikit meningkat), dan alasan-alasan lainnya. Akar persoalan tersebut, yakni adanya sistim (kapitalis), harus dijelaskan. Akar persoalan yang ditimbulkan oleh sistem (kapitalis) tersebut adalah: (1) penjajahan (baca: penghisapan) asing dan agen-agennya di dalam negeri; (2) sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); (3) tentara; (4) reformis gadungan; (5) kebudayaan tak melawan, tak berorganisasi, dan tak bersatu.
Karena penyadaran radikal/revolusioner tersebut berpotensi menjatuhkan dan menggantikan sistim (kapitalis) tersebut, maka pekerjaan penyadaran tersebut sering menghadapi bahaya/gangguan, dari siapapun dan di manapun. Namun karena penjelasan sejati tersebut tidak boleh ditinggalkan, karenanya harus disiasati, bukan diabaikan atau ditahap-tahapkan. Organisasi  dan organiser harus jeli memanfaatkan ruang dan membangun ruang dari situasi yang ada, untuk memberikan tempat bagi propaganda revolusioner tentang akar masalah rakyat. Semua sektor masyarakat harus mendapatkan penyadaran tersebut, tak bisa ditunda atau ditunggu-tunggu lagi. Memang ada bahaya, tapi harus diatasi dan bukan dengan dicabut/ditiadakan. Kalau hanya melakukan propaganda reformis, maka kita tidak beda dengan pekerja sosial radikal, tak punya arah revolusi. Bila pesoalannya adalah keamanan, maka yang perlu diatasi adalah keamanannya, bukan menanggalkan prinsip revolusionernya.

b.                   Penyadaran tentang cara berjuang (dalam arah revolusi)
Massa yang sedang menuntut kebutuhan mendesaknya harus sadar bahwa perjuangan tersebut adalah sebagai tahapan (sekolah) menuju revolusi, yakni untuk memudahkan hajat (survival) hidupnya dan agar mereka sadar bahwa, dengan berjuang bersama, mereka memiliki kekuatannya sendiri, apalagi jika bersatu dengan sektor lain. Itulah mengapa program radikalisasi tiga bulanan tersebut sedapat mungkin beranggotakan multisektor (melibatkan sektor lain masyarakat) dari berbagai tempat, daerah sampai ke tingkat nasional. [Walalupun dalam tahapan penyadaran, sebelum tahap mobilisasi multisektor, diperkenankan melakukan penyadaran dengan cara aksi sektoral ataupun teritori-teritori tertentu saja—terutama bila masalahnya harus sesegera mungkin diatasi atau untuk menyerang musuh lokal (agar kita populer[6] di teritori tersebut)]. Tapi hati-hati: aksi lokal tersebut (dari segi stamina dan dana) jangan sampai menggangu program mobilisasi/radikalisasi tiga bulanan tersebut. Sekali lagi, cara perjuangannya harus dalam arah revolusi, sehingga massa sadar bahwa perjuangan mereka sekarang adalah dalam kerangka revolusi. Sehingga: (1) secara ekonomi bisa menang; (2) secara politik sadar akan kekuatannya. Metodenya bisa berbagai cara, yang satu sama lainnya bisa saja simultan/bersamaan. Misalnya: keikusertaan dalam pemilu merupakan salah satu bagian saja dari siasat revolusi (sehingga keikursertaan dalam pemilu tidak menyimpang, kontradiktif, atau kontra-produktif terhadap arah revolusi); atau dengan mendirikan partai sendiri, partai alternatif (apalagi saat partai-partai yang ada sudah disimpulkan tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat); aksi menuntut; rapat akbar (vergadiring); membuat dan menyebarkan terbitan seluas-luasnya; dan lain sebagainya.

c.                    Alat-alat penyadaran
Banyak dan beragam: 1) penyadaran untuk meningkatkan kesadaran/koginitif, bisa berupa: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik (pengalaman di DKI, debat publiknya digelar di depan warga, menghadapkan wakil DPR, wakil pemerintah, dan wakil organisasi kita); dan lain sebagainya; 2) penyadaran untuk melatih tindakan politik, bisa berupa aksi-aksi sektoral atau teritorial setempat (aksi lokal). (Tapi, sekali lagi, aksi-aksi sektoral dan lokal jangan sampai menggangu program radikalisasi/aksi/mobilisasi tiga bulanan, baik dari segi stamina maupun dana); 3) Gabungan penyadaran (1) dan (2), terutama yang berupa vergadering atau rapat-rapat akbar (di semua tingkatan bahkan, semakin hari, vergaderingnya bukan saja sekadar di tingkat teritori yang tinggi, namun juga harus semakin didorong ke tingkat teritori bawah, di tingkatan RT, misalnya) 

3. Mobilisasi (porsinya 15% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 15% dari 90 hari, yakni  sekitar 13-15 hari)

Pada tahap ini, kembali dijelaskan rencana mobilisasi (beserta rincian tuntutan, sasaran dan lain sebainya) dan ditanyakan kesanggupannya (dalam bentuk mengisi absen) untuk terlibat dalam aksi. Kesanggupan tersebut merupakan kreteria (tolak ukur) keberhasilan pekerjaan TAHAP I (INVESTIGASI) dan TAHAP II (PENYADARAN). Begitulah kita mengukur penerimaan massa terhadap rencana program radikalisasi tiga bulanan. Dalam TAHAP III (MOBILISASI), setiap harinya harus ada (organiser) yang mengumpulkan tanda tangan absen keikutsertaan (aksi) tersebut. Dalam tahap ini juga diperiksa persiapan-persiapan lainnya, seperti: transportasi; perangkat aksi; evaluasi terhadap kecukupan dana; bentuk aksi; sasaran; kampanye ke media massa; pengamanannya; sampai warna, spasi huruf/kata/baris, bentuk huruf agar spanduk dan poster-posernya menonjol; lagu-lagu; yel-yel; slogan-slogan; dan lain sebaginya.

Pada tahap mobilisasi ini, bahkan pada tahap penyadaran, massa secara jelas mengetahui aksi yang akan dilakukan, dari isi tuntutannya (isuuenya) hingga teknis-teknisnya. Sehingga jika di lapangan ada wartawan yang bertanya ke massa, mereka akan bisa menjawab dan memang mengetahui kepentingannya, sebagaimana layaknya massa sadar (tak seperti massa bayaran yang sekadar dimobilisasi). Dan kita juga tahu massa mana saja yang belum siap aksi—dan tugas kita lah untuk menyadarkan dan memberanikannya. Jumlah peserta aksi pun akan rinci sesuai dengan absen (1.313 orang, misalnya). Kalaupun berubah, jumlahnya tidak akan jauh berbeda dari daftar yang ada di absen (bahkan kadang-kadang lebih banyak karena, biasanya, massa mengajak mengajak teman atau keluarganya tanpa didaftarkan. Namun, sedapat mungkin harus didaftarkan agar dapat dikontrol dan dijaga. Selain itu, resiko penyusupan provokator ke dalam aksi bisa dikurangi).

II. Pekerjaan yang dilakukan secara simultan atau bersamaan dengan pekerjaan bertahap

Pekerjaan yang tidak ditahap-tahapkan, yang dikerjakan sejak awal hingga aksi, dan selalu ada dan terus dikerjakan bersamaan dengan pekerjaan bertahap (investigasi, penyadaran dan mobilisasi), kita sebut pekerjaan simultan atau pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan (dengan pekerjaan bertahap). Pekerjaan simultan ini meliputi pekerjaan-pekerjaan yang juga tidak boleh dipisahkan dari radikalisasi tiga bulanan.

1.                   Persatuan
Kerja membangun persatuan dengan organisasi/individu lain sejak awal harus dilakukan dan ada petugas (khusus)nya yang ditunjuk[7]. Petugas untuk membangun persatuan atau front ini akan menawarkan ke organisasi/individu lain untuk terlibat (seluruhnya atau sebagian) dengan tahapan radikalisasi tiga bulanan tersebut.[8] Organisasi/individu lain yang sepakat terlibat atau sepakat menjalankan bersama-sama rencana radikalisasi tiga bulanan tentu akan juga mengikuti dan melaksanakan semua pekerjaan tiga bulanan tersebut. Namun mereka bisa juga hanya terlibat dalam sebagian prosesnya saja: misalnya, saat bekerja sama dengan LSM, mereka hanya mau bekerjasama dalam program atau tahap investigasi. (Dengan demikian, selain kita dan LSM tersebut akan bersama-sama memiliki data hasil investigasi, juga kita dan LSM bisa saling berbagi dalam membiayai program investigasi). Atau misalnya ada kelompok/pihak lain yang hanya mau terlibat dalam mobilisasi dan aksi (dengan menerima program/issue/tuntutan yang kita usung), atau bentuk-bentuk kerjasama yang lainnya. Prinsip dari pekerjaan membangun persatuan tersebut adalah untuk memperbanyak sekutu dan sumber daya (massa, organiser, dan dana). Bahkan bisa jadi kita yang kemudian ikut dalam program kelompok/pihak lain atau front yang sudah ada, oleh karena tuntutan mereka lebih tepat, misalnya (tentu saja kita harus menjelaskannya kepada massa kita mengapa kita harus mengusung program/issue/tuntutan front). Ada banyak lagi kemungkinan bentuk taktik persatuan yang dijalankan—bahkan, misalnya,  bisa saja kelompok/pihak lain tidak mau dicantumkan sebagai penyelenggara aksi tapi hanya sebagai pendukung (sponsor) aksi (tercantum dalam statemen dan selebaran sebagai pendukung); atau sengaja (dengan persetujuan kelompok/pihak lain) kita mencantumkannya hanya sebagai pendukung aksi karena mereka memang tidak terlibat dalam program tiga bulanan sejak awal. Walaupun, di lapangan, kita harus memberikan kesempatan (demokratik) kepada mereka untuk berorasi. Semua itu agar mempercepat persatuan dan penggabungan antar kota/wilayah/sektor dari berbagai kekuatan demokratik. Unsur-unsur kekuatan politik rakyat harus terus kita dorong bersatu, dan akan semakin mudah jika organisasi kita tidak sektarian, rendah hati dan tidak memaksakan kehendak. Dan akan semakin mudah bila proses persatuan tersebut menuju ke arah yang benar (tuntutannya semakin baik, membela rakyat, dan kelompok/pihak yang terlibat semakin bertambah). Dengan demikian massa, rakyat, secara umum akan melihat keseriusan kita membangun persatuan berbagai kekuatan politik demokratik yang menguntungkan rakyat. Kerjasama dengan organisasi politik lain yang sering atau pernah menjadi musuh rakyat akan kontra-produktif bagi politik alternatif, karenanya TIDAK bisa dijadikan sekutu atau membangun persatuan dengan pihak tersebut. (Pengecualian kerjasama dengan pihak semacam itu adalah hanya jika sedang menghadapi serangan musuh yang lebih berbahaya bagi rakyat, dan pihak lain tersebut dengan tegas JUGA menyatakan perlawanan terhadap musuh rakyat tersebut).

2.                   Perluasan
Pekerjaan perluasan bisa dibedakan dengan pekerjaan front atau persatuan—walaupun pekerjaan front mengandung unsur manfaat perluasan. Bahkan manfaat perluasan yang diberikan oleh front (secara manajemen) harus ditindaklanjuti oleh pekerjaan perluasan. Pekerjaan perluasan lebih bermakna memperluas perjuangan kita sendiri (baik secara teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakatnya). Pekerjaan perluasan tidak boleh kita abaikan, harus selalu dikerjakan, sehingga mempercepat pembesaran organisasi. Makna perluasan bisa dilihat dari: perluasan basis teritori (struktur dan massa), perluasan sektor, perluasan tuntutan dan lain sebagainya; dan perluasan  itu ada yang terencana (mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang potensial akan bergolak) atau ataupun tidak terencana (misalnya, kita mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang sudah/sedang bergolak, yang sudah manifes/berwujud). Perluasan harus menjadi bentuk kerja tersendiri, karenanya perlu ada orang-orang khusus (SATGAS Perluasan) yang ditugaskan untuk pekerjaan perluasan tersebut. Petugas perluasan ini harus siap melakukan pekerjaan perluasan yang diolah dari setiap potensi yang datang (selain yang sudah direncanakan), termasuk misalnya dari hasil kerja persatuan/front yang berhasil mendapatkan peluang perluasan.

Bahkan untuk mempercepat perluasan, bisa diputuskan bahwa sebagian besar organiser (75% nya, misalnya) dalam dua hari setiap minggunya melakukan pekerjaan perluasan atau berkeja sebagai SATGAS Perluasan, apalagi bisa sudah ada massa maju (pengganti/second liner) untuk menjaga basis yang ditinggalkan selama dua hari dalam setiap minggunya itu. Biasanya, bila pekerjaan perluasan dilakukan secara bersama-sama, atau tidak sendiri-sendiri, maka keberanian organiser untuk melakukan pekerjaan perluasan akan terjamin. Dalam dua hari itu, pekerjaan basis bisa diserahkan kepada second liner (bila ada), atau massa maju yang sudah diberikan pendidikan dan diberikan/didelegasikan wewenang pekerjaan pengorganisasian basis yang sudah ada (sekaligus merupakan latihan dalam proses kaderisasi). Alat-alat atau media untuk melakukan perluasan bisa berbagai macam bentuk, misalnya, layaknya dalam pekerjaan penyadaran: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik, dan lain sebagainya; atau misalnya dengan selebaran yang isinya menjelaskan bahwa kita bisa memberikan advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis kepada rakyat (dengan memberikan nama petugas kita, alamat terdekat, dan nomer telpon/handphone yang dapat dihubungi rakyat).

Pekerjaan perluasan tersebut akan saling-memberikan manfaat (dialektik) antara massa basis lama dengan massa basis baru: massa basis lama akan meningkat semangatnya bila mengetahui adanya perluasan basis massa baru; demikian pula sebaliknya, massa basis baru akan mau terlibat bisa mengetahui sudah ada/banyak massa di daerah lain yang terlibat. (oleh karena itu, dalam selebarannya, juga harus dicantumkan massa basis-basis mana saja yang sudah mendapatkan manfaat advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis.) Apalagi bila keterlibatan massa di basis lama stagnan, sulit meningkatnya, atau bahkan cenderung menurun. Selain itu, dengan perluasan, kita bisa mengukur kapan kita bisa meningkatkan tindakan dan/atau tuntutan politik kita, radikalisasi (KADANG, apalagi pada masa awal) harus diselaraskan dengan jumlah massa dan tingkat kesadaran/kesanggupan politiknya. [misalnya, saat kita hendak menggulingkan Soeharto, kita memiliki ukuran perluasannya: bila kita berhasil melibatkan 25% massa dari 98 kelurahan (di DKI Jakarta) di jalur revolusi[9], maka Soeharto akan tumbang.

Untuk menentukan sasaran perluasan kita harus memahami watak geopolitik dan watak massanya. Teritori yang dipertimbangkan memenuhi syarat geopolitik sangat penting menjadi sasaran perluasan (baik dalam pengertian geopolitik teritorial maupun geopolitik sektoral), karena daya juang politiknya akan memiliki pengaruh politik yang tinggi/luas, baik ketika berhadapan dengan negara maupun untuk mempengaruhi teritori lain (sehingga perluasan selanjutnya ke teritori lai akan lebih mudah). Sasaran perluasan perlu juga dilihat dari watak massanya. Misalnya, perluasan ke lapisan masyarakat yang tak terlalu miskin bisa lebih mendapatkan massa yang lebih mudah untuk dimajukan sebagai organiser atau kader.

Pekerjaan perluasan tersebut juga bisa dikaji untuk diterapkan dalam pekerjaan perluasan di sektor-sektor mayarakat lainnya, misalnya di sektor buruh, tani dan lain sebagainya.


3.                  DANA JUANG
Dilihat dari sumbernya, dana juang bisa diperoleh dari dua sumber:

·  Dari dalam:
Mutlak HARUS karena, dengan demikian, kita bisa menguji dan mengkur komitmen atau kesetiaan massa untuk mendanai perjuangannya sendiri. Dana dari dalam ini sebaiknya dipergunakan untuk item-item atau hal yang kaitannya dengan perjuangan massa sangat dekat, misalnya: untuk biaya mobilisasi aksi; untuk bacaan; untuk pendidikan; dan lain sebagainya. Memang sering tumpang tindih dengan sumber dana dari  luar, tapi harus selalu diupayakan agar massa mendanai perjuangannya sendiri. Dalam pengalaman di DKI Jakarta, Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) mengajurkan agar massa menyumbangkan dananya sebesar Rp.500,- per hari (sebagai tabungan). Kenapa harus per hari (atau per dua hari; di buruh per minggu): itu agar meringankan massa memberikan dannya, ketimbang sekaligus Rp.30.000,- per bulan, berat. Dan agar terlaksana dengan baik, harus ada petugas keliling yang mengumpulkannya. (Rekor pengumpulan dana juang SRMK Jakarta: pernah mengumpulkan 45 jutaan rupiah dalam tiga bulan, dari keharusan terkumpul 90 jutaan rupiah). Banyak hambatannya, memang, tapi harus terus diupayakan metode terbaiknya, sesuai dengan watak massa masing-masing.

·  Dari luar:
Bisa didapatkan dari kerjasama dengan kelompok/pihak lain atau dari unit usaha kita sendiri. dan alokasi dananya, sebaiknya, untuk yang kaitannya dengan perjuangan massa lebih jauh, misalnya untuk tranportasi organiser, untuk kesekretariatan, dan lain sebagainya.

III. Pekerjaan Tambahan

Selain pekerjaan bertahap dan pekerjaan simultan, ada juga pekerjaan tambahan yang dalam setiap periode tiga bulanan bisa berubah-ubah. Namun begitu pekerjaan tambahan ini ditetapkan di satu periode tiga bulanan, maka pekerjaannya juga harus menjadi bagian dari program tiga bulanan dan hasilnya ditelit/dievaluasi bersama dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Dalam program tiga bulanan, SMRK DKI Jakarta pernah menetapkan pekerjaan tambahannya adalah sebagai berikut (untuk jadi acuan):

1.                  Pembangunan kompartemen:
Misalnya, pembangunan kompartemen: a) Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS); b) Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika c) Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Artinya dalam satu periode tiga bulanan (bisa saja terus berlanjut di tiga bulanan berikutnya) maka pekerjaan organisasi ditambah dengan pekerjaan membangun PAPERNAS, Mahardhika, dan Jaker di setiap teritori. Sebenarnya, dari pengalaman, pembangunan kompartemen tersebut sangat membantu dalam perluasan dan penyadaran massa (massa jadi tidak cupet/parokial pemikirannya), serta membantu dalam menggalang sumberdaya organiser dan dana.
2.                  Pendidikan kader/massa maju
Tujuannya untuk mempertinggi pengetahuan/meningkatkan kemampuan dan pendelegasian wewenang kepada massa yang dianggap telah memenuhi kreteria maju; selain itu, juga agar pekerjaan perluasan dapat ditingkatkan dan diperingan (karena sumberdaya organisernya lebih banyak) dengan melimpahkan wewenang kepada massa maju untuk mengorganisir/menjaga basis yang sudah ada, selama organiser lama bekerja menjadi petugas SATGAS Perluasan. Taktik ini berangkat dari pengalaman: saat basis massa meluas, atau potensial meluas, tapi tak bisa ditangani karena organisernya tak mencukupi.

3.                  BUK (Badan Urusan Kontradiksi)
Badan ini difungsikan untuk menyelesaikan persoalan personal antar kawan, antar massa, atau antara organiser dengan massa, yang mungkin muncul selama proses tiga bulanan. Persoalan antar personal tersebut penting untuk diperhatikan, dan sebisa mungkin segera diselesaikan, sehingga tidak menganggu pekerjaan-pekerjaan dalam tiga bulanan.

4.                  Unit Usaha
Pengembangan usaha ekonomi untuk membiayai organisasi, yang muncul dari potensi yang paling sanggup dikerjakan, sebagai bagian penting membangun kemandirian organisasi dalam memenuhi kebutuhannya. Seberapapun capaian awal dalam unit usaha organisasi ini, harus dihargai dan dikembangkan terus. Arah untuk mencukupi kebutuhan sendiri bagi organisasi harus dijadikan tujuan yang penting, arah yang penting, melalui dana juang dan unit usaha organisasi.

5.                  Manajemen
Yang harus dipelajari dari manajemen terutama tentang manajemen Gerak dan Waktu (Motion and Times Study). Agar lebih peka melihat transaksi-transaksi kerja beserta  variabel-variabel kerja apa yang harus dikerjakan dan diatur. Prinsipnya adalah: setelah ada penetapan strategi-taktik, harus ada pengaturan bagaimana mencapainya, bagaimana melaksanakan dan mengatur waktunya. Hasil akhirnya akan seperti jadwal (schedule) kerja beserta personilnya. Kolektif harus peka bahwa, untuk mencapai tujuan tersebut dan untuk melaksankan strategi-taktik tertentu, pekerjaan apa saja yang harus dilaksanakan (dari yang paling rumit sampai sederhana), siapa-siapa saja yang mengerjakan, dan bagaimana jadwal waktunya, serta kemudian diatur menjadi pekerjaan yang bisa dijalankan. Yang terakhir, bisa diketahui mana yang harus dikerjakan secara bertahap, dan mana yang harus dikerjakan bersamaan.

6.                  Advokasi/pembelaan
Pekerjaan advokasi atau pembelaan terhadap masalah-masalah rakyat sehari-hari (di luar program 3 bulanan) bisa menjadi pintu masuk (meraih simpati) massa agar massa bisa masuk ke dalam wadah-wadah pengorganisasian kita, sehingga bisa terjangkau oleh kerja penyadaran kita. Masalah-masalah rakyat tersebut misalnya bila ada massa yang sakit (dan memerlukan pengobatan gratis), bila ada massa yang mau menyekolahkan anak-anaknya tapi tidak mampu (karenanya membutuhkan pendidikan gratis atau diperingan), bila ada massa yang kesulitan mengurus surat-surat di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota dan lain sebagainya (sehinga perlu didampingi dan diberikan penyadaran hukum), bila massa tidak berhasil mendapatkan manfaat dari program-program yang (sebenarnya) telah diberikan oleh pemerintah tapi di lapangan tidak mencapai sasaran (program BLT, konpensai gempa, misalnya) (sehingga membutuhkan arahan dan mobilisasi untuk menuntutnya), dan lain sebaginya. Namun, secara ideologis dan politik, pekerjaan advokasi juga mengandung bahaya: 1) organiser atau organisasi yang mendampinginya oleh massa akan dianggap sebagai dewa penolong; atau massa tak punya kesadaran akan kekuatannya sendiri. (oleh karena itu, massa juga harus diberikan pelatihan advokasi agar bisa mengadvokasi dirinya, keluarganya, teman-temannya dan masyarakat lingkungannya); 2) massa menganggap bahwa bila sudah diadvokasi maka persoalannya sudah selesai; massa tidak menganggap bahwa masih banyak (potensi) persoalan yang akan menimpa rakyat miskin; 3) massa tidak sadar bahwa hanya persoalan dirinya saja yang diselesaikan, hanya persoalan anggota (SRMK saja, misalnya) yang selesai, sedangkan persoalan massa di teritori lain, persoalan massZa yang bukan anggota (SRMK) tidak bisa diselesaikan—apalagi bila capaian atau metode-metode perjuangannya tidak tersebar secara luas sehingga massa dari teritori lain dan anggota organisasi lain  tidak bisa belajar dan mengambil hikmah dari hasil perjuangan (SRMK, misalnya) (apalagi massa yang tak berorganisasi); 4) ini yang paling bahaya: massa, organiser, dan organisasinya, menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian, kebaikan atau keberhasilan program pemerintah. Massa, organiser, dan organisasinya tak sadar bahwa keberhasilan tersebut adalah buah, panen, dari program-program menuntut/radikalisasi massa. (Misalnya, DepKes atau Pemda bisa mempermudah advokasi kesehatan SRMK karena mereka sudah tahu radikalisasi SRMK yang dilakukan sebelumnya; banyak organisasi atau individu yang tidak seperti SRMK, kesulitan melakukan advokasi. Bahkan, sekarang, dari laporan oragnisernya, anggota-anggota SRMK sendiri mulai dipersulit melakukan advokasi di beberapa rumah sakit; contoh lain: dalam film SICKO, karya terbaru Michael Moore, yang dilarang diperkenalkan perdana (launching) di Amerika Serikat, dijelaskan bahwa banyaknya layanan publik yang diberikan pemerintah kepada warga Prancis adalah karena warganya sering menuntutnya. Sebagai contoh: bahkan bila warga Prancis dan keluarganya kerepotan mencuci pakaian mereka, maka mereka bisa meminta Pemda setempat untuk datang mencucikannya, gratis); 5) dengan demikian, massa tidak mengerti tentang arah revolusi dari perjuangan sehari-harinya; hanya jadi penadah kebaikan pemerintah, kacung pemerintah, atau pekerja sosial saja.

Demikian pekerjaan-pekerjaan menuju aksi tiga bulanan. Keseluruhan kerja tersebut saling terkait dan menjadi bagian tak terpisahkan dari konsepsi radikalisasi tiga bulanan, dan bukan sekedar jadwal aksi tiga bulan sekali. Aksi tiga bulan ini setahap demi setahap harus meningkat. Walau tuntutannya sama, tapi isi, kwalitas, radikalisasi dan jumlah mobilisasinya harus  ditingkatkan. Dan harus menjadi program multi-sektor dari tingkatan teritori yang paling rendah sampai tingkatan teritori naional/internasional. Harus bergabung. Supaya psikologi perjuangannya lebih bagus. Misalnya kepercayaan diri massa meningkat karena ada sektor lain yang terlibat, karena kekuatannya besar. Oleh karenanya, menyertai pelaksanaan radikalisasi tiga bulanan tersebut, harus ada lembaga tambahan, yakni LEMBAGA GABUNGAN ANTAR-SEKTOR MASYARAKAT (beserta rapat-rapatnya), yang di dalamnya ada perwakilan tiap-tiap sektor masyarakat. Juga, selain ada rapat regular di tiap sektor dan antar-sektor masyarakat; dibutuhkan juga pertemuan konferensi-konferensi stratak, yang reguler dan meluas baik di sektornya sendiri maupun dalam gabungan antar-sektor masyarakat, untuk mengatasi hambatan-hambatan dan terobosan perjuangan, baik dalam hal strategi–taktik sektoral, antar-sektor maupun antar-teritori.

Dalam hal organisasi, radikalisasi tiga bulanan tersebut juga merupakan metode terstruktur yang perlu dikaji dan dicoba untuk dijalankan, dalam upaya menjawab persoalan kecilnya organisasi. Dalam situasi subjektif organisasi yang kecil, baik organisasi kita (maupun organisasi lain), akan lebih sulit untuk membangun kekuatan politik alternatif, walaupun secara objektif perlawanan rakyat meluas di mana-mana. Kecilnya organisasi harus diatasi, tidak boleh dihindari dengan kapitulasi (menyerah) kepada organisasi non-alternatif, karena hal tersebut adalah pokok. Hal yang pokok bagi revolusi, sesulit apapun, harus terus dikerjakan dan harus dicari kemudahan-kemudahannya, oleh kaum revolusioner sendiri. Begitu menghindari yang pokok, maka seketika itu juga tergelincir dari arah politik alternatif, dari arah kemenangan rakyat, dari arah revolusi.



[1] Misalnya tuntutannya masih reformis, masih dalam hal kepentingan mendesaknya, karena memang kesadaran dan kwantitas massanya belum memadai.
[2] Namun kita harus hati-hati: jangan samapai kita seperti dewa penolong di mata rakyat. Karena itu, dalam perjalanan pengorganisasian, kita harus dengan sabar membimbing, mendampingi rakyat agar mereka sendiri bisa mengadvokasi/membela dirinya, keluarganya, tetangganya, teman-temannya atau massa lainnya—bahkan setelah kita bisa mengadvokasi rakyat, kita dengan santun memohon agar rumahnya bisa dijadikan posko advokasi, apalagi bila dirinya pun bisa diyakinkan menjadi pekerja poskonya.
[3] Inilah (hanya) contoh sebagian hal-hal yang harus diketahui dalam investigasi program radikalisasi tiga bulanan untuk mengetahui kesiapan perjuangan massa (kita bisa berkreatif menemukan hal-hal yang harus dipertanyakan dalam investigasi sesuai dengan sektor, situasi dan kondisinya): 1) apakah anda punya pengalaman memperjuangkan tuntutan mendesak anda?; 2) bila ya, apakah berhasil atau tidak?; 3) bila berhasil/tidak berhasil, kenapa; 4) bila tak pernah berjuang, mengapa?; 5) apakah anda sekarang berkehendak berjuang atau tidak?; 6) bila ya/tidak, mengapa?; 7) menurut anda, apakah berjuang bersama itu ampuh atau tidak?; 8) apakah agama anda melarang untuk berjuang bersama?; 9) apakah anda menjadi anggota organisasi massa atau partai politik?; 10) apakah organisasi anda melarang atau menghambat perjuangan bersama?; 11) apakah anda puas dengan kinerja negara (pemerintah; DPRI, DPRD I/II, polisi/tentara, peradilan dan sebagainya)?
[4] Lihat Lampiran I: tentang demokrasi langsung yang pernah dipraktekan di Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil.
[5] Sebenarnya manusia (terutama yang sudah lepas masa bayinya) tak memiliki instink seperti binatang; paling-paling saat bayi, ketika dia lapar, dia akan menangis atau mencari buah dada ibunya (itupun setelah diajari). Manusia sepenuhnya merupakan bentukan (dialektika) dari luar dan dalam dirinya, bukan bentukan dari instink.
[6] Maknanya positif, dalam arti: dicintai/didukung rakyat.
[7] Petugas yang ditunjuk biasanya adalah kawan yang sabar (tidak temperamen atau tidak cepat marah), santun, ulet, pandai menjelaskan (retorikanya rapi/sistimatis dengan kalimat pendek-pendek), pandai dan rajin berkomunikasi, dan lain sebagainya.
[8] Walaupun kita harus berjuang mati-matian mempropagandakan program dan tuntutan kita, tapi kita tidak boleh memaksakan kehendak agar kelompok atau pihak lain selalu harus mengikuti program atau tuntutan kita saja; kita boleh saja menerima program atau tuntutan kelompok atau pihak lain, selama program dan tuntutannya tidak bertentangan, kontradiktif atau kontra-produktif terhadap perjuangan kita. Kalau kita memaksakan kehendak kita saja maka tujuan untuk membesarkan jumlah massa yang dimobilisasi akan sulit dicapai dan, selain itu, upaya untuk mengkondisikan agar atmosfir politik semakin tinggi, sering, dan meluas akan menjadi sekadar impian; bahkan, dalam program radikalisasi tiga bulanan, sesekali kita harus menjadwalkan mobilisasi massa kita dengan program atau tuntutan yang disepakati bersama dalam front (apalagi bila isssuenya memang mendesak atau penting). Tujuan dari taktik ini, yang paling utama, adalah: dengan taktik ini  mobilisasi massa akan menjadi lebih besar, terjadwal dan rapi dan, dengan demikian, maka wibawa serta popularitas front bisa ditingkatkan dengan segera. Akibatnya, bila wibawa dan popularitas front bisa terlihat semakin meningkat (dalam prosesnya), maka kelompok dan pihak lain yang sebelumnya belum tergabung dalam front bisa dengan lebih mudah diajak atau secara sukarela bergabung. [Bahkan kelompok atau partai yang bertujuan memperoleh dukungan suara dalam pemilu, sebenarnya tidak boleh sektarian menganggap bahwa mobilisasi front yang tidak bertujuan untuk politik pemilu (elektoral) tidak memiliki manfaat untuk meningkatkan dukungan suara (apalagi bila kelompok dan pihak yang tergabung dalam front menolak terlibat dalam pemilu); bagaimana mungkin partai tersebut bisa merubah pendirian kelompok/pihak lain dan mendapatkan dukungan suaranya bila tidak pernah berjuang bersama mereka dan bergaul dengan mereka, apalagi bila dalam keadaan kesadaran GOLPUT semakin meningkat dan meliputi massa yang demikian besar. Pemikiran sektarian tersebut adalah cermin dari filsafat IDEALIS dan cara berpikir LOGIKA FORMAL; tidak mungkin telur bisa berubah jadi anak ayam bisa tidak dierami atau tidak ada panas tertentu yang mempengaruhi/bersentuhan dengannya.
[9] Jalur-jalur penting tersebut termasuk: Senen – Kramat – Salemba – Matraman – (Tugu) Proklamasi – Pramuka – Jatinegara – Kampung Melayu – Casablanca – Otista – Dewi Sartika – Cawang – Cilitan – Gatot Subroto – Kuningan – Warung Buncit – mampang Prapatan – Sudirman – S. Parman – Bunderan Slipi – Pal Merah – Petamburan – Tanah Abang – Kampung Bali – Grogol – Daan Mogot – Roxy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...