MAKALAH
“KONFLIK PERTANAHAN MESUJI”
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA
: WIWID ANGGRAINI
NIM:
140706050
DEPARTEMEN
SEJARAH
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Sengketa
lahan sampai saat ini masih tetap menjadi fenomena global termasuk tentunya di
Indonesia.Sengketa lahan di Indonesia secara umum dapat dilihat dari beberapa
pendekatan yang terjadi di lapangan yaitu warga,BPN,perusahaan swasta. Adapun
persoalan sengketa lahan lebih dipicu oleh perebutan tanah dan rendahnya
kesadaran warga sekitar lokasi tersebut.Secara konseptual maupun praktis
pemahaman tentang sengketa lahan jika dicermati seringkali terjadi kesalahan. Pada
tataran konseptual, paradigma,pendekatan, dan metodologi yang digunakan selama
ini masih berpijak pada out comes indicators, sehingga kurang memperhatikan
aspek serta sebab-sebab yang mempengaruhinya.
Masyarakat
di lihat hanya sebagai korban pasif dan objek penelitian, dan bukannya sebagai
manusia yang memiliki “sesuatu“ yang dapat digunakan, baik dalam
mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang
dilakukan oleh mereka sendiri.Pada tataran praktis, kebijakan dan program pengentasan
sengketa lahan belum sepenuhnya menyentuh akar penyebab sengketa tersebut.
Akibatnya, program-program tersebut tidak mampu menumbuhkan kesadaran
masyarakat, sehingga sulit mewujudkan aspek keberlanjutan dari program
penanggulangan lahan tersebut.
Untuk
itu perlu dilakukan koreksi secara mendasar beberapa hal yang menjadi landasan
pengambilan kebijakan pada masa lalu, antara lain : masih bersifat parsial,
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang terpusat, lebih
bersifat karikatif, bernuansa jangka pendek dan tidak struktural,serta
memposisikan masyarakat sebagai objek Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan
atau program untuk mengatasi akar persoalan. Pembangunan yang berbasiskan
pemberdayaan merupakan pilihan utama untuk mengatasi persoalan dasar termasuk
masalah sengketa lahan.
Program
yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan secara multi
sektoral, khusus di bidang pertanahan reforma agraria merupakan salah satu
wujud dari kebijakan tersebut. Reforma agraria melakukan proses pengentasan ini
dengan mengupayakan rakyat memiliki aset berupa tanah yang dapat dikelola dan
di miliki serta mempunyai akses untuk memberdayakan asetnya. Rakyat dalam hal
ini khususnya petani harus mempunyai tanah dan mempunyai akses pada modal,
teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya.
Selain
itu, petani juga harus mempunyai alat-alat produksi, kapasitas dan kemampuan.
Itu semua dapat terwujud bila dilaksanakan reforma agraria,yang secara garis
besar didefinisikan sebagai land reform dengan salah satu programnya
redistribusi tanah(pembagian tanah). Mungkin yang di alami Desa Seri Tanjung di
Provinsi Lampung, serta di Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan lebih akrab
di panggil Mesuji.kali ini tidak jauh beda dimana ada suatu kegagalan dalam
reforma argaria yang terjadi di Mesuji yang menjadi perbincangan hangat di
masyarakat indonesia dan BPN sendiri yang menyangkut sengketa lahan warga dan
perusahaan.
B. Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa
penyebab terjadinya peristiwa Mesuji?
2. Bagaimana
tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji?
3. Bagaimana
tragedi Mesuji dalam pandangan HAM?
4. Bagaimana
penyelesaian kasus Mesuji?
5. Bagaimana
menuju reforma agraria pada kasus Mesuji?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
penyebab terjadinya peristia Mesuji
2. Untuk
mengetahui Bagaimana tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji.
3. Mengetahui Bagaimana
tragedi Mesuji dalam pandangan HAM?
4. Untuk
mengetahui bagaimana penyelesaian kasus Mesuji?
5. Agar
memahami bagaimana menuju reforma agraria pada kasus Mesuji?
BAB II
Permasalahan
A. Reforma
agraria
Dalam
pengertian terbatas, reforma agraria dipandang sebagai land reform, dengan
salah satu programnya yaitu redistribusi tanah (pembagian tanah),hal inilah
yang menyebabkan mengapa agrarian reform dan land reform sering kali dianggap
identik. Berbagai pihak dengan sudut pandang yang sangat beragam memberikan
pengertian yang berbeda-beda mengenai reforma agraria. Menurut Wiradi (2001),
reforma agraria adalah penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah
beserta seluruh paket penunjang secara lengkap.
Paket
penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang
diberikan,tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa advokasi,akses
terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan, dan adanya akses
terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran.Setiawan (2001),
memandang bahwa inti dari reformasi agraria adalah land reform dalam pengertian
redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah yang harus diikuti dengan dukungan
modal produksi di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang
diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan didalam sistem pemasaran dan
perdagangan hasil pertanian, penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk
membantu para petani memecahkan masalah teknis yang dihadapinya dan program
penunjang lainnya.
B. Penyebab
peristiwa Mesuji
Peristiwa
di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi
perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang
tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk
masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama
kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat
kompensasi. Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian
tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil
kembali tanah tersebut melalui pendudukan.Tidak juga mengembalikan tanah
tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai
gangguan.
C. Tanggapan
BPN terhadap kasus Mesuji
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) tidak tegas dan tidak prorakyat dalam menyelesaikan
sengketa lahan sawit milik warga yang diklaim PT Barat Selatan Makmur
Investindo (BSMI) Mesuji Lampung.Konflik yang terjadi karena tuntutan warga
tidak dapat dipenuhi pihak PT BSMI.
“Warga
menuntut 7.000 hektare lahannya lepas dari PT BSMI, tapi BPN tidak
menetapkannya.Maka, terjadilah konflik,” kata Dasrul Djabar, salah seorang
anggota Komisi III DPR RI, dalam rapat di Mapolda Lampung.Rapat membahas kasus
Mesuji Lampung ini digelar bersama Pemerintah Provinsi dan Polda Lampung.
Menurut Dasrul, ketidaktegasan BPN sangat dipertanyakan semua pihak untuk
menyelesaikan sengketa lahan warga yang terjadi sudah sejak lama. Hal ini
terbukti, BPN menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pengukuran ulang lahan
yang diklaim PT BSMI dan lahan warga.
D. Tragedi
Mesuji dalam pandangan HAM
Menurut
beberapa kalangan di dalam kasus sengketa lahan perhutanan di Mesuji ini
terdapat banyak sekali pelanggaran HAM.Selain dalam peristiwa pembantaian, di
dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya pun banyak hak mereka yang
terampas.Peristiwa itu telah memakan korban jiwa, yang secara otomatis
melanggar hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD ’45 pasal 28A.Selain itu,
penyerobotan lahan warga yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, juga telah
merenggut hak warga untuk hidup tenang dan bertempat tinggal.Karena
penyerobotan lahan itu, warga kini harus mengungsi di tenda-tenda pengungsian
yang jauh dari standar kelayakan hidup manusia.
Perusahaan-perusahaan
yang menjadi sorotan berbagai pihak, disinyalir telah melakukan berbagai
pelanggaran HAM. Menurut kalangan yang tertentu, mereka menyewa dan melatih
orang-orang dan membentuknya menjadi sebuah tim khusus (PAM Swakarsa), pasukan
untuk membela kepentingan mereka. Pasukan bentukan mereka tidak segan-segan
menganiaya warga yang dinilai macam-macam kepada perusahan.Tentu saja ini
sangat meresahkan warga, karena jika warga melawan dan memberikan respon atas
tindak-tanduk perusahaan yang merugikan warga keselamatan mereka
terancam.Bahkan ada isu kuat bahwa aparat juga terlibat dan membacking
perusahaah.Hal ini sangat disayangkan, mengingat aparat seharusnya membela
kepentingan warga.Sementara perusahaan sendiri mengklaim bahwa mereka tidak
membentuk PAM Swakarsa, apalagi meminta bantuan Brimob.
E. Penyelesaian
kasus Mesuji
Sejak
dilaporkannya kasus Mesuji ke DPR, ada beberapa tindakan yang sudah dilakukan
oleh pemerintah. Dengan instruksi dari Presiden, Menko Polhukam Djoko Suyanto
dan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) kasus Mesuji yang diketuai oleh Denny Indrayana yang merupakan wakil
Menkum HAM. Tim tersebut akhirnya berhasil mengantongi beberapa fakta baru
mengenai peristiwa Mesuji, hasil dari investigasinya ke lokasi kejadian.
Ada
beberapa keterangan yang disampaikan TGPF ke media, yaitu:
1. TGPF menyimpulkan bahwa video
yang menggambarkan peristiwa Mesuji itu bukanlah rekayasa. Hal ini dikuatkan
dengan bukti hasil investigasi mereka, yang ternyata ada kesamaan tempat antara
tempat-tempat di video dengan tempat di lokasi kejadian.Namun ada pula beberapa
tempat yang tidak ditemukan di Sodong.Bahkan masyarakat sekitar sendiri banyak
yang tidak mengenali tempat terjadinya peristiwa sadis tersebut.
2. Pada tanggal 30 Desember
2011, TGPF memanggil perwakilan dari tiga perusahaan yang ada di tempat
kejadian, di kecamatan Mesuji. Tiga perusahaan itu adalah PT. Silva Inhutani,
PT Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo.
3. Pada hari yang sama,
setelah melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan, TGPF segera mendiskusikan
hasilnya dengan pihak pembuat kebijakan, diantaranya Badan Pertanahan Nasional,
Kehutanan, dan Kepolisian.
Selain
itu, investigasi lain juga dilakukan oleh komisi hukum DPR dipimpin oleh wakil
Komisi III, Aziz Syamsuddin. Investigasi tidak hanya dilakukan di Mesuji dan
Sodong, namun juga daerah-daerah lain yang juga memiliki konflik pertanahan.
Fokus penyelidikan mereka adalah mengenai masalah HTI (Hutan Tanaman Industri),
karena ternyata banyak HTI areal kehutanan yang diberi ijin oleh perhutanan,
tapi tidak digunakan untuk tanaman hutan, tapi tanaman sawit dan singkong, yang
jelas-jelas hal tersebut menyalahi aturan. Sedangkan di Mesuji dan Sodong
sendiri masalah utamanya adalah mengenai lahan plasma yang tidak diberikan oleh
perusahaan kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan yang diperuntukkan, yaitu
7000 hektar.
Aslinya
banyak pihak yang mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan
reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Direktur Program Imparsial,
Al Araf menilai pembaharuan dan reformasi agraria bisa menjadi jalan keluar
konflik kekerasan di dalam sektor agraria tersebut. Menurut Al Araf di dalam
detikcom, konflik dan kekerasan dalam sektor agraria seperti di Mesuji dan Bima
akan terus berlangsung sepanjang pembaharuan agraria dan reformasi agraria yang
menjadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dijalankan pemerintah.
Dewan
Perwakilan Daerah juga mendesak pemerintah agar menata kembali kebijakan
reformasi agraria.Ketua DPD Irman Gusman di dalam Kompas.com mengatakan
kebijakan tersebut harus berpihak kepada petani dan kelompok tani harus
diterapkan secara sistematis. Irman mengungkapkan, pada masa Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) I, sebenarnya telah dirancang program land reform yang meliputi
lahan seluas 1,8 juta hektar.
F. Menuju
reforma argaria
Pemerintah
segera melakukan audit menyeluruh kebijakan pemberian konse si dan
konsekuensinya pada ketersediaan tanah pertanian dan permukiman untuk rakyat
miskin perdesaan. Prinsipnya, badan-badan pemerintahan berkewajiban melindungi,
menghormati, dan memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk di dalamnya hak atas
tanah, hak atas hidup yang layak, sebagai bagian dari hak ekonomi,sosial, dan
budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut secara progresif merupakan kewajiban negara,
dan sebaliknya,membiarkan terjadinya perampasan-perampasan tanah oleh
perusahaan-perusahaan raksasa merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia by omission, yang terjadi karena negara abai pada upaya melindungi
warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan perampasan tanah.
Sementara
itu, penggunaan kekerasan oleh aparat Negara kepada korban jelas merupakan
pelanggaran HAM yang langsung, by commission. Menggunakan perspektif keadilan
transisional (transitional justice) untuk penyelesaian konflik agrarian semacam
kasus Mesuji akan memungkinkan kita memahami konfl ik agraria ini sebagai suatu
tanda dari krisis agraria yang meluas. Pemerintah mestinya secara sungguh-
sungguh bisa memahami kecenderungan konsentrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam itu pada perusahaan-perusahaan
raksasa.
Di
lain pihak, memperhatikan perhitungan mengenai kebutuhan akan tanah untuk
permukiman dan usaha pertanian rakyat miskin perdesaan. Pemerintah seharusnya
mempunyai gambaran mengenai ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam di seluruh wilayah kabupaten dan
provinsi.Hanya dengan gambaran itulah pemerintah bisa merancang program reforma
agraria yang menyeluruh.Inpres tentang Reforma Agraria sebagaimana diusulkan
TGPF seharusnya diefektifkan untuk menyiapkan gambaran dan desain itu.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari berbagai kondisi yang
telah diuraikan maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
1. Dukungan reforma agraria
terhadap kasus Mesuji merupakan keberhasilan pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan sangat diperlukan sehingga modal penting kepemilikan ( property
right ) terhadap aset/tanah yang dimiliki oleh masyarakat akan dapat
dimanfaatkan sebagai modal suatu usaha perekonomian melalui pemberian berbagai
akses produksi dan ekonomi.
2. Untuk menjaga dan
mengawal program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dalam kasus
mesuji secara berkelanjutan diperlukan pola kemitraan yang saling menguntungkan
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,swasta, perbankan dan dunia usaha.
B. Saran
Saran
kami hendaknya dilakukan melalui pengkajian yang matang dan terencana dengan
jelas dalam masalah ini, dengan dasar hukum, peraturan dan petunjuk pelaksanaan
yang juga jelas, serta dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dan jika perlu
melalui perubahan yang menyeluruh terhadap UUPA. Jika tidak, reformasi agraria
kali ini, akan kembali berada dalam bayang-bayang konflik pertanahan atau
bahkan akan menjadi pintu munculnya konflik-konflik pertanahan baru yang dimana
pemberdayaan masyarakat tentang pertanahan tidak akan berjalan dengan baik
sesuai harapan untuk kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat tentang
pertanahan.
UU No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, 2010, Citra Umbara, Bandung.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Dasar 1945, Permata Bangsa.
UU No 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Indonesia.
Www.Google.Com/
Kasus sengketa Tanah yang terjadi di Mesuji.
Harian
Analisa,Sabtu, 17 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar