Selasa, 25 April 2017

Pergerakan Nelayan di Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kami panjatkan  kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyeselaikan tugas ini dengan tepat waktu. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Gerakan Sosial kami karena telah membimbing kami untuk menjadi lebih baik dengaan memberikan tugas ini.
Adapun judul daripada tugas kami ini adalah “Pergerakan Nelayan di Sumatera Utara”.
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang kami perbuat dalam penyelesaian tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk lebih baik kedepannya.
Terimakasih.

Medan


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebijakan kemaritiman telah dicanangkan sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Juanda, secara politik mengklam wilayah Indonesia adalah 12 mil yang diukur dari garis yang menghubungkan dari titik terluar pulau-pulau Negara Kesatuan Republik Indonesia. selama periode 1967-1969  pemerintah Soeharto berusaha meletakkan landasan yang kokoh bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang dengan merumuskan strategi pembangunan nasional dengan menitik beratkan usahan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Strategi ini dijabarkan dalam Trilogi Pembangunan ekonomi yang tinggi, stabilitas keamanan yang nasional dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Pemerintah melakukan Restrukturisasi organisasi-organisasi pemerintah. Dirjen Pengelolaan Kekayaan Laut dilebur ke dalam Direktorat Jendral Perikanan di bawah naungan Depatermen Pertanian. Dileburnya bidang kelautan dalam pertanian maka semua kebijakan dominan ke darat, sehingga dalam bidang kelautan merasa diabaikan. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai masalah ekologis kelaautan dan kerawaan  sosial ekonomi pada komunitas pesisir, sehingga tidak adanya kebijakan-kebijakan  yang jelas dalam perberdayaan masyarakat nelayan. Tidak ada pembatas wilayah yang jelas dalam bidang penangkapan sumberdaya perikanan, pemilik modal dan pemilik sarana penangkapan yang mampu meningkatkan hasil  tangkapan, sehingga memicu terjadinya kecemburuan nelayan lokal dalam mengatasi ketidakberdayaan. Kecemburuan terjadi pada kelompok nelayan lokal yang tidak memiliki modal dan alat tangkap yang memmadai, sehingga memicu terjadinya aksi protes yang diwujudkan dalam Gerakan Nelayan.
Gerakan Nelayan merupakan suatu reaksi atas aksi terhadap ketidakseimbangan , ketidakadilan dan ketidakmerataan dari pemberian suatu kebijakan. Gerakan perlawanan masyarakat nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konflik sosial antar nelayan dalam memperebutkan hasil sumber daya perikanan dan pemerintah tidak dapat menyelesaikan secara tuntas. Pemerintah berupaya untuk menyelesaikan dan menengahi konflik sosial antar nelayan yang terjadi dalam merebutkan sumber daya perikanan dengan mengeluarkan kebijakan Blue Revolution yang dikeluarkan pada tahun 1970.
Kebijakan Blue Revolution merupakan kebijakan nasioanal yang mengatur motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap. Tujuan dari kebijakan ini ialah untuk peningkatan produktivitas hasil laut dan kesejahteraan nelayan. Berbagai teknologi diterapkan untuk mendukung kebijakan ini antara lain trawl , jaring pukat, pukat lingkar dan pukat harimau. Penggunaan alat ini dikukuhkan dalam surat keputusan Menteri Pertanian No. 607/kpts/um/1976 tentang jalur-jalur penangkapan dan penggunaan alat penangkapan.
Penerapan kebijakan justru menimbulkan perselisahan antara nelayan tradisonal dan pengguna trawl yang didominasi oleh kaum pendatang, karena nelayan tradisonal tidak dapat mendapatkan hasil ikan dikarenakan penggunaan trawl. Menyikapi hal itu pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39/1980 yang berisi larangan penggunaan trawl, bom, dan alat yang dapat merusak ekologi laut. Pertimbangan keputusan ini adalah meningkatkan produksi nelayan tradisioanal  dan menghindari ketegangan sosial dan melestarikan sumber perikanan pasar.
Setelah penghapusan Trawl, muncul berbagai inovasi teknologi berkembang dikalangan masyarakat nelayan. Untuk menghindari penggunan teknologi yang dapat merusak laut, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri No.503/kptsum/7/1998 yang berisi tentang klasifikasi teknologi penangkapan yang menyempit dan persaingan dengan penentu teknologi. Karena persaingan teknologi mempengaruhi hasil tangkap nelayan semakin terasingkan dalam kegiatan ekonomi pasar.
Ketidakmampuan masyarakat nelayan dalam organisasi-organisasi meupakan akibat dari dominasi negara yang sangat kuat terhadap masyarakat lokal sehingga pada tahap selanjutnya menyebankan tatanan masyarakat berkembang dengan baik. Adanya sistem yang dipaksakan dari atas mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik masyarakat nelayan. Sebagai contoh di dalam penentuan pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina yang tidak melibatkan Nelayan tetapi ditentukan oleh pemerintahan pusat. Organisasi nelayan seperti HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) yang nyatanya berisi pengusaha.

Menghadapi kenyataan seperti itu maka ada dua pilihan yang dilakukan yaitu menyesuaikan diri dengan perkembangan atau melakukan perlawanan dengan kekerasan. Pilihan pertama jelas tidak mungkin bagi masyarakat nelayan dikarenakan kondisi ekonomi yang dialami dan pendidikan yang dimiliki tidak mampu merespon setiap perubahan sosial ekonomi yang terjadi di sekitarnya. Kurangnya modal untuk membeli perlengkapan nelayan dan kurangnya jaringan sosial yang dimiliki masyarakat nelayan.
Pilihan lain adalah dengan menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan atau peledak yang dampaknya sangat merusak habitat ikan dan kerusakan fungsi lingkungan laut. Ketidakberdayaan masyarakat nelayan menghadapai nelayan-nelayan besar menimbulkan sifat apatis, radikal, disfartisipatif terhadap pembangunan yang menyebabkan tindakan keras sebagai alternative.
Pembakaran kapal Purse Seine di Jawa Tengah dan Belawan (SUMUT), membuktikan bahwa adanya reaksi ketidaksabaran nelayan dalam mengahadapi kelangkaan sumber daya yang diakibatkan terkurasnya sumberdaya oleh nelayan besar. Aksi radikal nelayan yang zterjadi semua berawal dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak melindungi hak-hak nelayan lokal dan sedikit modal. Modernisasi perikanan yang telah berlangsung selama dua dasawarsa (1970-1998) berakibat banyak perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat nelayan.

1.2. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana latar belakang terjadinya pergerakan nelayan di sumatera utara ?
  2. Siapa saja tokoh yang terlibat dalam pergerakan tersebut serta tokoh yang mempeloporinya ?
  3. Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan nelayan tradisional setelah pergerakan tersebut dilakukan ?

1.3. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang terjadinya pergerakan nelayan di sumatera utara.
  2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh yang terlibat dalam pergerakan tersebut serta tokoh yang mempeloporinya.
  3. Untuk mengetahui bagaimana dampaknya terhadap kehidupan nelayan tradisional setelah pergerakan tersebut dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gerakan sosial adalah sebuah aktivitas sosial yang berupa tindakan sekelompok informal yang berbentuk organisasi dalam jumlah besar yang berfokus pada isu-isu sosial atau politik dalam rangka melaksanakan, menolak atau mengkampanyekan suatu perubahan sosial.
Menurut Tilly dan Tarrow ada beberapa aspek yang menjadikan sebuah aksi kolektif adalah gerakan sosial. “Gerakan sosial merupakan suatu kampanye atas suatu Klaim tertentu yang disampaikan terus menerus melalui penampilan publik (Public Performance) yang berulang-ulang terkait dengan Klaim tersebut, dimana keberlangsungan aktifitasnya bersandar pada organisasi, jaringan kerja (Network), tradisi dan solidaritas kelompok” (Tilly & Tarrow, 2007: 8).
Klaim yang diangkat dari kasus yang saya bawa adalah belum memihaknya perdagangan global kepada pelaku perikanan skala kecil.Kesulitan untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di tingkat nasional dan internasional, seperti ongkos produksi sangat tinggi, intervensi teknologi minim, dan harga jual ikan rendah. Ketidakpastian status wilayah tangkap. Negara belum mampu memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil untuk mengatasi permasalahannya, termasuk kedalam gerakan sosial reformasi karena gerakan reformasi adalah gerakan yang didedikasikan untuk mengubah beberapa norma, biasanya hukum.
Gerakan sosial - termasuk gerakan sosial pedesaan - pada hakekatnya adalah sebuah rangkaian peristiwa politik atau secara sederhana Charles Tilly menyebutnya “sebuah politik” (a matter of politics). Ahli lain Craig Jenkins mengatakan pada dasarnya gerakan-gerakan sosial adalah hal yang berkaitan dengan politik (social movement are inherently political) (Jenkins 1995: 16).
Dalam politik internal gerakan sosial, hal ini termasuk kedalam politik tidak formal (un-institusionalized politics / extra-institusionalized politic) atau dapat disebut juga organisasi non-pemerintah karena politik yang ada didalam cenderung terselubung, tidak terang terangan seperti partai politik. Jika didalam partai politik, jelas ada perebutan kekuasaan yang sangat signifikan hingga ada sistem penggulingan dan pencitraan publik bagi aktor yang berperan. Politik gerakan sosial berbeda dengan politik yang dibangun oleh partai politik, misalnya, karena ia tidak hanya terlibat dalam pertarungan perebutan kekuasaan (struggle for power) belaka, tetapi berjuang untuk gagasan perubahan sosial.
Jika dilihat dari ketiga teori sebab kemunculan gerakan sosial yang akan di bahas kali ini dikaji kedalam dua teori yaitu teori Relative Deprivation (Depripasi Relatif) dan teori konflik. Mengapa teori depripasi relatif karena ada kesenjangan yang tidak bisa diterima lagi bagi masyarakat nelayan tradisional terhadap ketimpangan yang semakin tajam. Maka timbullah kesenjangan relatif yang diyakini dapat menyebabkan penderitaan penderitaan koleltif, yang pada akhirnya dapat memicu munculnya aksi-aksi kolektif. Mengapa teori konflik karena saya melihat ada ketimpangan sosial yang muncul antara masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan bawah.
Masyarakat lapisan atas disini adalah nelayan yang memiliki banyak modal untuk berkontribusi dalam perdagangan global, modal disini yaitu untuk ongkos produksi yang sangat tinggi dan teknologi. Sementara masyarakat lapisan bawahnya adalah nelayan tradisional yang tidak mempunyai modal untuk berdagang dan hanya mengandalkan alat tradisional untuk berlayar.
Adapun penyebab utama awal munculnya gerakan sosial yang dimotori oleh para nelayan tradisional ini adalah penggunaaan trawl yang dilakukan secara besar – besaran sehingga nelayan yang masih menggunakan alat tangkap tradisional merasa dirugikan dan potensinya dalam merusak ekosistem laut. Syafrizal Fauzi (1995) menyebutkan trawl berasal dari bahasa Perancis TROLER dan kata TRILING artinya “bersamaan”. Dalam bahasa Indonesia artinya “tarik” atau mengelilingi sambil menarik. Kemudian dari kata TRAWL, muncul kata TRAWLING berarti menangkap ikan dengan trawl dan kata TRAWLER yang berarati kapal yang melakukan TRAWLING. Percobaan pengoperasian trawl di Indonesia dimulai sekitar tahun 1907/1908 oleh AM Von Rosendal dan WCA Vink berkebangsaan Belanda, percobaan ini dilakukan dengan menggunakan kapal penyidik Gier dan mengambil lokasi di perairan Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar.

Penyelidikan ini tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tahun 1940 oleh Dr Westenberg juga tidak berhasil. Tahun 1950 pemerintah melalui Jawatan Perikanan Laut dengan bimbingan E.Schol, seorang ahli trawl dari Belanda. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Jawatan Perikanan Laut Surabaya setelah kontrak E. Schol selesai. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan pemerintah saat itu, yakni untuk memajukan taraf hidup nelayan.
Pada tahun 1957, DR TH Butler seorang ahli dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melakukan percobaan Penangkapan udang dengan trawl. Percobaan dilakukan dengan menggunakan Kapal Muna, dan dalam waktu satu bulan telah dilakukan 36 kali percobaan didaerah antara Balikpapan dan Kota Baru, pada tempat-tempat yang mempunyai kedalaman 5-25 meter dan hasilnya cukup memuaskan. Hasil penangkapan terbaik ditemukan di Tanjung Maru, sebelah Selatan Balikpapan, pada kedalaman 10 meter. Percobaan penangkapan ini dapat menghasilkan 100 kg udang dalam waktu satu jam.
Pada tahun 1970-an trawl (Pukat harimau) mulai berkembang pesat baik di Jawa, Kalimantan, Perairan Indonesia Timur dan Sumatera. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari kelebihan yang dimiliki yakni mampu meningkatkan hasil tangkapan sehingga izin yang dikeluarkan pada waktu itu cukup ramai. Seiring dengan itu pula telah muncul reaksi penolakan dari nelayan tradisional tetapi sifatnya sporadic. Pada awal 1980-an penolakan semakin ramai, apalagi perolehan tangkapan nelayan tradisional menurun secara dratis dari tahun ketahun.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Hasil Penelusuran
3.1.1 Hasil Wawancara
Latar belakang munculnya pergerakan nelayan di sumatera utara.
Latar belakang munculnya pergerakan nelayan di sumatera utara adalah adanya revolusi biru yaitu modernisasi perikanan tangkap yang memberikan alat tangkap modern . alat tangkap modern tersebut berupa trawl dengan adanya alat tangkap modern tersebut, muncullah konflik antar nelayan yaitu nelayan tradisional dan nelayan yang menggunakan alat tangkap modern yaitu trawl.
Syafrizal Fauzi (1995) menyebutkan trawl berasal dari bahasa Perancis TROLER dan kata TRILING artinya “bersamaan”. Dalam bahasa Indonesia artinya “tarik” atau mengelilingi sambil menarik. Kemudian dari kata TRAWL, muncul kata TRAWLING berarti menangkap ikan dengan trawl dan kata TRAWLER yang berarati kapal yang melakukan TRAWLING. Percobaan pengoperasian trawl di Indonesia dimulai sekitar tahun 1907/1908 oleh AM Von Rosendal dan WCA Vink berkebangsaan Belanda, percobaan ini dilakukan dengan menggunakan kapal penyidik Gier dan mengambil lokasi di perairan Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar.
Leonardo menyatakan bahwa “ sebenarnya factor pemicu terjadinya konflik antar nelayan tersebut adalah adanya kecemburuan sosial nelayan tradisional terhadap nelayan pemilik alat tangkap modern ( trawl ). Dimana nelayan modern  mengeksploitasi hasil laut sehingga nelayan tradisional  mengalami penurunan  hasil tangkapan , sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari – harinya ( factor ekonomi ).
Maka, nelayan tradisional memulai pergerakan dengan munculnya bebebrapa aksi protes terhadap penggunaan trawl. Selain hal tersebut, pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan yang melarang penggunaan trawl seperti : Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980. Pertimbangan, dikeluarkannya kebijakan Penghapusan dasar yaitu:  Jaring Trawl, pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional menghindarkan ketegangan sosial
Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982 Untuk mempercepat tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam penghapusan jaring trawl berdasarkan Keppres 39/80, maka dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden No 39/80 yang menginstruksikan kepada Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan para Gubernur Kepala Daerah untuk melanjutkan penghapusan sisa jumlah kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl seperti yang tercantum dalam pasal 4 bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia sudah tidak ada lagi kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl.
Meskipun telah dibuat peraturan – peraturan  yang melarang tentang penggunaan alat tangkap trawl, dalam kenyataannya alat tangkap tersebut tetap digunakan. Hal tersebut diatas merupakan cerminan bahwa kurang tegasnya pemerintah dalam melakukan penegakan hukum, sehingga nelayan – nelayan tradisional tetap tidak terlindungi. 
Pelaku pergerakan nelayan di sumatera utara
Pada tahun 1973, di bentuk suatu wadah perlindungsn nelayan seluruh Indonesia, yaitu HNSI ( Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia ). Yang merupakan wadah bentukan Negara yang memiliki tujuan awal untuk mensejahterakan kehidupan nelayan serta memberikan bantuan baik moril dan materiil khususnya bagi nelayan tradisional.
Akan tetapi, organisasi ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik sehingga tidak lagi terfokus dengan tujuan utamanya, seperti disaat awal pembentukannya. Hal ini mendorong munculnya organisasi –organisasi di luar bentukan Negara. Seperti SNSU, Yang dibentuk pada tahun 1998 dan organisasi ini merupakan  pelopor atas munculnya organisasi – organisasi berbasis nelayan lainnya di sumatera utara. Seperti P3MN, WPP, LPPH. Organisasi – organisasi inilah yang melakukan pergerakan  nelayan di sumatera utara. Pergerakan – pergerakan yang dilakukan adalah aksi demonstrasi pada tahun 1998. Aksi ini disebut juga dengan serangan fajar, karena aksi ini dilakukan tepatnya pada pagi hari.
Pasca aksi demonstrasi tersebut, semakin banyak bermunculan organisasi –organisasi seperti pilar perjuangan nelayan, serikat nelayan Indonesia, persatuan nelayan tradisional Indonesia. Pada tahun 2016, ratusan nelayan yang tergabung dalam KNTI ( kesatuan nelayan tradisioanl Indonesia ) melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aksi damainya yang bertujuan untuk menyuarakan ketidakadilan yang selama ini sudah menjadi bagian dari hidup nelayan di sumatera utara . mereka menyuarakan agar pemerintah lebih menyentuh kehidupan para nelayan tradisional yang masih belum sejahtera kehidupannya. Dan masalah kapal pukat trawl juga diangkat dan tidak diperbolehkan lagi untuk melaut
Dampak Pergerakan nelayan di sumatera utara
Pada tahun 1985, melalui kepres no. 38, pemerintah memberikan bantuan kepada nelayan –nelayan tradisional seperti alat tangkap, jarring. Pemberian bantuan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik agar tidak terjadi perlawanan nelayan tradisional terhadap nelayan modern yang menggunakan trawl, dengan demikian penggunaan trawl akan tetap berjalan.
Namun, dengan adanya organisasi – organisasi seperti SNSU, P3MN, dan organisasi sejenis lainnya, mereka tetap melakukan perlawanan  yang menentang  penggunaan trawl.  Namun, effort yang dilakukan oleh lembaga – lembaga ini belum terealisasikan. Leonardo menyatakan “ mereka masih berjuang untuk kehidupan nelayan tradisional dan penghapusan trawl “.

3.1.2 Analisa
Gerakan social (bahasa Inggris:social movement) adalah aktifitas social berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu social atau politik dengan melaksanakan, menolak atau mengkampanyekan sebuah perubahan social. Menurut KBBI (1991), gerakan sosial merupakan tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat.
            Gerakan sosial lahir dikarenakan situasi dalam masyarakat yang berada di ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain gerakan sosial lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan jarena dinilai tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Gerakan sosial terjadi karena faktor deprivasi ( kehilanga, kekurangan dan penderitaan (giddens, dkk 2004).
            Gerakan Nelayan yang terjadi di Sumatera merupakan gerakan sosial yang terjadi dikarenakan adanya ketidaksetaraan ataupun ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Nelayan. Ketidakdilan yang terjadi pada masyarakat Nelayan di Sumatera juga dialami di sebagian wilayah Indonesia. Gerakan Nelayan di Sumatera Utara terjadi pertama kali disebabkan peraturan jaring Trawl yang ternyata menyebabkan ketidakdilan bagi masyarakat Nelayan Tradisonal. Penggunaan jaring trawl ini diizinkan oleh pemerintahan bagi masyarakat dalam menangkap hasil laut khususnya Udang, dikarenan udang merupakan hasil laut yang berada di dasar laut sehingga membutuhkan alat khusus. Namun kenyataannya penggunaan Trawl ini hanya bisa dipkai oleh Nelayan-nelayan yang mempunyai modal banyak. Dikarenakan harganya yang mahal, nelayan tradisional pun tidak dapat merasakan bagaimana hasil penggunaan trawl tersebut dan hanya mendapatkan kerugian hasil tangkapan.
            Dengan demikian, masyarakat Nelayan tradional melakukan gerakan sosial untuk mengubah kebijakan peerintahan yang merugikan bagi masyarakat nelayan itu sendiri. Berbagai cara telah dilakukan dengan melakukan mediasi ke pemerintahan untuk melarang penggunaan trawl yang merusak ekosistem laut, aksi di laut yaitu dengan pembakaran kapal yang menggunakan jaring trawl, sampai melakukan aksi demonstrasi.
            Gerakan nelayan di Sumatera Utara seperti SNSU (Serikat Nelayan Sumatera Utara), Sarekat Nelayan Indonesia, KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) merupakan gerakan sosial yang bersifat menyeluruh. Gerakan sosial yang dilakukan merupakan perubahan sosial secara menyeluruh dengan mengubah kebijakan untuk seluruh masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat nelayan. Gerakan sosial nelayan di Sumatera memiliki tujuan Revolutntary Movement yaitu untuk mengubah institusi pemerintahan dan stratifikasi masyarakat. Dikarenkan lemahnya hukum tentang peraturan pemerintahan masyarakat atau kurangnya perhatian pemerintah masyarakat terhadap masyarakat nelayan tradisonal menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan dan kesenjangan sosial ysehigga masyarakat nelayan melakukan perubahan untuk merubah seluruh kebijakan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat nelayan.

3.2  Daftar Informan
Nama               : Leonardo Marbun
Umur               : 43 tahun
Pekerjaan         : P3MN (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Nelayan)

3.3 Dokumentasi
(bersama Narasumber)

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gerakan Nelayan merupakan suatu reaksi atas aksi terhadap ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakmerataan dari pemberian suatu kebijakan. Gerakan perlawanan masyarakat nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konflik sosial antar nelayan dalam memperebutkan hasil sumber daya perikanan dan pemerintah tidak dapat menyelesaikan secara tuntas. Pemerintah berupaya untuk menyelesaikan dan menengahi konflik sosial antar nelayan yang terjadi dalam meperebutkan sumber daya perikanan dengan mengeluarkan kebijakan Blue Revolution yang dikeluarkan pada tahun 1970. Kebijakan Blue Revolution merupakan kebijakan nasioanal yang mengatur motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap. Tujuan dari kebijakan ini ialah untuk peningkatan produktivitas hasil laut dan kesejahteraan nelayan. Berbagai teknologi diterapkan untuk mendukung kebijakan ini antara lain trawl , jaring pukat, pukat lingkar dan pukat harimau. Penggunaan alat ini dikukuhkan dalam surat keputusan Menteri Pertanian No. 607/kpts/um/1976 tentang jalur-jalur penangkapan dan penggunaan alat penangkapan.
Penerapan kebijakan ini justru menimbulkan perselisahan antara nelayan tradisonal dan pengguna trawl yang didominasi oleh kaum pendatang, karena nelayan tradisonal tidak dapat mendapatkan hasil ikan dikarenakan penggunaan trawl. Menyikapi hal itu pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39/1980 yang berisi larangan penggunaan trawl, bom, dan alat yang dapat merusak ekologi laut. Pertimbangan keputusan ini adalah meningkatkan produksi nelayan tradisioanal  dan menghindari ketegangan sosial dan melestarikan sumber perikanan pasar.
Pada tahun 1973, di bentuk suatu wadah perlindungsn nelayan seluruh Indonesia, yaitu HNSI ( Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia ). Yang merupakan wadah bentukan Negara yang memiliki tujuan awal untuk mensejahterakan kehidupan nelayan serta memberikan bantuan baik moril dan materiil khususnya bagi nelayan tradisional.

Akan tetapi, organisasi ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik sehingga tidak lagi terfokus dengan tujuan utamanya, seperti disaat awal pembentukannya. Hal ini mendorong munculnya organisasi –organisasi di luar bentukan Negara. Seperti SNSU, Yang dibentuk pada tahun 1998 dan organisasi ini merupakan  pelopor atas munculnya organisasi – organisasi berbasis nelayan lainnya di sumatera utara. Seperti P3MN, WPP, LPPH. Organisasi – organisasi inilah yang melakukan pergerakan  nelayan di sumatera utara.
Gerakan sosial nelayan di Sumatera juga menjadi sebuah kasus dimana pemerintah kurang memperhatikan masyarakat nelayan khususnya nelayan tradisonal yang memiliki daya cakupan lebih sedikit daripada nelayan modern ataupun pengusaha yang memiliki modal banyak. Kurangnya perhatian pemerintahan membuat masyarakat nelayan untuk bergerak menuntut hak keadilan bagi kehidupannya agar segalau kebijakan yang dibuat pemerintah berpihak kepada masyarakat nelayan kecil.



DAFTAR PUSTAKA
Ary,Wahyono.2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Presindo.
Kusnadi. 1997. Kemiskinan Nelayan dan Pembangunan Desa Pantai.jember:Pusat studi
komunikasi pantai.
Nasution arif, badaruddin dkk. 2005. Isu – isu kelautan dari kemiskinan hingga bajak laut.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kusnadi.2004.polemik kemiskinan nelayan . Jember : Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan.
Kusnadi . 2006. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan.
Jakarta: LKIS.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...