A.
Judul Makalah
PERANAN
RM. TIRTO ADHI SOERYO DALAM PERGERAKAN NASIONAL (1880 – 1918)
B.
Latar Belakang Masalah
Tirto Adhi Soerjo adalah tokoh yang
tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum, karena perannya dalam pembentukan
kesadaran awal kebangsaan yang selama ini tidak banyak dibahas dalam
pelajaran-pelajaran sekolah dan hanya terbatas pada sejarah awal pendirian
Sarekat Dagang Islam saja. Padahal, pemikiran dan gerakan-gerakan politiknya
yang dtuangkan dalam tulisan telah banyak memberikan pencerahan terhadap
tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Sepak terjangnya begitu berpengaruh dalam
pergerakan nasional di masa itu, disertai dengan gerakan politiknya, antara
lain; gerakan melawan kekuasaan, gerakan feminisme, dan gerakan pers nasional[1].
Raden
Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh pers
dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dan dikenal juga sebagai perintis
persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia[2].
Namanya sering disingkat TAS. Tirto Adhi Soerjo menerbitkan surat kabar Soenda
Berita (1903- 1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908).[3]
Medan Prijaji dikenal
sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu, dan
seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya
adalah pribumi Indonesia asli. Tirto Adhi Soerjo juga mendirikan Sarikat Dagang
Islam. Tirto Adhi Soerjo juga dikenal sebagai tokoh pelopor pergerakan nasional
yang sangat cerdas, terutama dalam pengembangan nasionalisme Indonesia. Tirto
Adhi Soerjo berpikir bahwa bangsa Hindia Belanda dipersatukan bukan oleh
kesamaan agama, etnik atau hubungan darah, akan tetapi, oleh kesamaan
pengalaman sebagai “orang terperintah”. Dalam hal ini adalah bangsa Hindia
Belanda sebagai bangsa yang dijajah yang merupakan cikal bakal bangsa
.Berangkat dari kesamaan tersebut juga mendorong lahirnya zaman pergerakan
nasional sebelum sejarah mencatat sebagai era kebangkitan nasional[4].
Tirto Adhi Soerjo berpendapat; bahwa penjajahan dapat eksis
karena feodalisme dan penguasaan sumber- sumber ekonomi oleh perusahaan Belanda
saat itu adalah karena lemahnya kontrol kaum priyayi Dalam kebudayaan Jawa,
istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu
kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena
memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Priyayi adalah lapisan masyarakat
yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri
Pada 1906, dengan usahanya yang begitu gigih, sebuah
organisasi yang mempunyai wawasan nasionalisme pun terbentuk. Cita-cita untuk
mempersatukan bangsa termanifestasikan dalam perhimpunan Sarekat Prijaji.
Namun, harapan untuk menyatukan bangsanya lewat perhimpunan Sarekat Prijaji
ternyata berakhir dengan kegagalan.[5]
Kemudian, pada 27 Maret 1909, di rumah Tirto Adhi Soerjo, di Bogor, terjadi
pertemuan untuk pembentukan sebuah organisasi baru dan berdirilah Sarikat
Dagang. Sarikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam adalah
prakarsa Tirto Adhi Soerjo. Kegiatan utama Sarekat Islam adalah sebagai
organisasi yang berdiri di antara rakyat dan pemerintah. Pemerintah Hindia
Belanda pun siap menampung keluhan-keluhan yang diajukan Sarekat Islam..[6]
Tidak ada yang bisa menepis, Tirto Adhi Soerjo adalah
merupakan pelopor beberapa gerakan politik di akhir abad 19 sampai awal abad
20, antara lain; gerakan politik arsip, gerakan feminisme, dan gerakan pers
nasional. Gerakan politik melawan kekuasaan antara lain gerakan politik arsip,
yaitu diawali dengan adanya Skandal Donner dan Kasus Tirto Adhi Soerjo kontra
A. Simon. Gerakan feminisme ditunjukkan dengan menunjukkan bagaimana Tirto Adhi
Soerjo mendukung pergerakan Kartini dan Dewi Sartika . terakhir adalah gerakan
pers nasional, antara lain dengan berdirinya Soenda Berita, Medan Prijaji, dan
Poetri Hindia.
Gerakan melawan kekuasaan lainnya adalah Kasus Tirto Adhi
Soerjo Kontra A. Simon. Kasus ini mirip seperti Skandal Donner namun dengan
wilayah yang lebih rendah. A. Simon merupakan Aspiran Kontroleur Purworejo. A.
Simon telah bersekongkol dengan Wedana dalam mengangkat Lurah Desa Bapangan.
Lurah yang mendapatkan suara terbanyak justru ditangkap dan dikenai hukuman.
Terbakar oleh amarah, Tirto Adhi Soerjo bersama penduduk Desa Bapangan berusaha
melawan kebijakan yang dilakukan oleh A.Simon dengan memperkarakan hal tersebut
di pengadilan dan menghasilkan perkara ganda, yaitu penyalahgunaanwewenang dan
penghinaan atas Tirto Adhi Soerjo. Untuk perkara pertama dimenangkan oleh A.
Simon dan perkara kedua diputuskan ditunda berkat campur tangan Gubernur
Jenderal van Heutsz
Tirto Adhi Soerjo juga merupakan motor gerakan feminisme.
Hal ini dibuktikan dengan karya fiksinya yang berjudul Busono pada 1912
bersumber dari rasa terima kasih terhadap istrinya. Selain itu, Tirto Adhi
Soerjo juga sebagai donatur dan penasihat dalam mendirikan Sekolah Kaoetamaan
Istri. Tirto Adhi Soerjo juga menerbitkan karya fiksi Nyi Permana yang
menceritakan hak menuntut cerai dari seorang istri.
Selain itu, Tirto
Adhi Soerjo juga memiliki hubungan dengan Kartini dan Dewi Sartika terutama
dalam membantu perjuangan mereka. Ketika Kartini bercita-cita mendirikan
sekolah perempuan untuk pribumi, Tirto Adhi Soerjo bertemu dengan J. Stigter
untuk mendirikan Komite Pendidikan Sekolah Perempuan Bumiputera dengan anggota
Nyonya Stigter dan akhirnya mendirikan sekolah seperti yang diinginkan oleh
Kartini meskipun menumpang di sekolah HBS di depan Stasiun Gambir.[7]
Kartini juga selalu berhubungan dengan Perhimpunan Oost en West yang berpusat
di Be- landa yang bertujuan membantu kemajuan pribumi terutama untuk memasarkan
kerajinan mereka, dan Tirto Adhi Soerjo merupakan pimpinan organisasi tersebut
di Jawa Barat. Selain Kartini, Tirto Adhi Soerjo juga memiliki hubungan dengan
Dewi Sartika. Tirto Adhi Soerjo sebagai donatur dan penasihat usaha Dewi
Sartika .
Selain
gerakan feminisme, Tirto Adhi Soerjo juga terkenal dengan gerakan pers
nasional. Pada Februari 1903, berdiri harian Soenda Berita atas biaya sendiri
dan dari bantuan Bupati Cianjur. Harian ini merupakan terbitan pertama pribumi
yang redaksinya bertempat di desa. Pada 1904, redaksi dan administrasi Soenda
Berita pindah ke Weltvreden (sekitar Gambir sekarang). Karena disebabkan
kesulitan keuangan, akhirnya, Soenda Berita ditutup pada 1906 Selanjutnya, pada
1907, Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji yang kemudian dijadikan Tirto
Adhi Soerjo sebagai alat untuk memajukan bangsanya.
Keluhan-keluhan dan
penderitaan yang dialami oleh rakyat bangsanya disuarakan lewat Medan Prijaji.
Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo adalah koran pertama di
nusantara yang awak redaksinya orang pribumi. Sayang koran ini hanya kuat
bertahan lima tahun. Ketika hendak memasuki tahun ke-6, Tirto Adhi Soerjo
beberapa kali masuk penjara lantaran laporan-laporannya yang diturunkan di
Medan Prijaji yang beralamat di Jalan Naripan, Bandung, yaitu di Gedung
Kebudayaan (dinilai merugikan pemerintah Hindia Belanda Pada pertengahan kedua
1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi mingguan, dan dicetak
di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1, Bandung. Inilah harian
pertama milik pri- bumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909- 1911 dengan
tiras sebanyak 2000 eksemplar. Saat itu, pemberitaan-pemberitaan harian Me- dan
Prijaji sering dianggap menyinggung pe- merintahan Kolonial Hindia Belanda
Selain itu, terbit harian gerakan wanita pertama Poetri
Hindia dengan nomor pertamanya pada 1 Juli 1908 yang dipimpin oleh Tirto Adhi
Soerjo - serta beberapa wartawan wanita yang bekerja di sana, antara lain; R.A.
Hendraningrat, Raden Ajoe Siti Habiba, Prinses Fatimah, R.A.S Tirtokoesoemo,
R.A. Pringgowinoto, dan R.A. Tirtoadiwinoto.
Tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo me- nunjukkan gerakan
politik yang dibawa terutama dalam mengkritik kekuasaan Pemerintah Hindia
Belanda antara lain: “Geraknya Bangsa Cina di Surabaya Memusuh
Handelsvereninging Amsterdam”, “Bangsa Cina di Priangan”, “Pelajaran buat
Perempuan Bumiputera”, “Surat Orang-Orang Desa Bapangan”, “Persdelicht:
Umpatan”, “Satu Politik di Banyumas”, “Dreyfusiana di Madiun”, “Kekejaman di
Banten”, “Turki Masa Kini”, “Apa Yang Gubernemen Kata dan Apa yang Gubernemen
Bikin”, dan “Oleh- Oleh dari Tempat Pembuangan”. Kesemuanya ini merupakan
sebagian kecil dari tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo yang terbit di awal abad
19.
Tirto Adhi Soerjo mulai menanamkan gerakan politiknya dari
dibangkitkannya kesadaran persatuan rakyat lewat usaha ekonomi. Di desa
Pasircabe, Bandung, Tirto Adhi Soerjo menghimpun dan menggerakkan ma- syarakat
dengan usaha produksi. Dari sini ia menyadari, ternyata, rakyat Hindia Belanda
mampu dipersatukan oleh kepentingan bersama, yaitu melawan pemerintah kolonial
Belanda. Selanjutnya, usaha Tirto Adhi Soerjo untuk mempersatukan rakyat tidak
berhenti sampai di sini Salah satu contoh gerakan politiknya adalah politik
arsip yang ditandai dengan Skandal Donner.
Skandal ini melibatkan nama Asisten Residen Madiun J.J.
Donner, yang pada saat itu berupaya menurunkan Bupati Madiun, Raden Adipati
Brotodiningrat. Untuk melancarkan usahanya, Donner bersekongkol dengan Patih
dan Kepala Jaksa Madiun, Mangoen Atmodjo dan Adipoetro. Donner lantas mengirim
surat kepada Gubernur Jenderal melaui Algemene Secretarie (mirip seperti
Sekretariat Negara sekarang) yang memberitahukan bahwa Brotodiningrat sebagai
orang yang bertanggungjawab di dalam pelbagai kerusuhan di Madiun.
Tirto Adhi Soerjo yang mengetahui seluk-beluk
tipu muslihat Donner itu meminta pemerintah Hindia Belanda melakukan
penyelidikan. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda segera memerintahkan
Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kasus tersebut. Berdasarkan bukti-bukti
melaui arsip, terutama dari Algemene Secretarie, Brotodiningrat akhirnya
diajukan ke pengadilan. Namun dengan kekuasaannya sebagai residen, Donner
mempergunakan berbagai cara untuk menghalang-halangi hadirnya saksi yang
membela Brotodiningrat. Untuk membongkar kasus itu kepada khalayak luas, Tirto
Adhi Soerjo lantas menulis berita secara berturut-turut di koran
Pembrita Betawi di bawah rubrik Dreyfusiana dengan
mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut berdasarkan bukti-bukti yang diajukan
di pengadilan yang menggunakan arsip Algemene Secretarie. Tulisan yang
menggemparkan itu membawa namanya dikenal sebagai wartawan muda pribumi yang
berani menentang pemerintah kolonial. Namun begitu, Raden Adipati Broto-
diningrat tetap dinyatakan bersalah dan harus menjalani buangan ke Padang.
Skandal Donner adalah skandal yang dibuat oleh J.J Donner,
seorang Residen Madiun, untuk menurunkan kekuasaan Bupati Madiun, Raden Adipati
Brotodiningrat. J.J Donner bekerja sama dengan Patih Madiun, Mangoen Atmodjo
dan Jaksa-Kepala Adipoetro. J.J. Donner melaporkan kepada Gubernur Jenderal
Willem Rooseboom bahwa Raden Adipati Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah
kerusuhan di Kare- sidenan Madiun termasuk seluruh Jawa, dari Bantam (Banten)
sampai Banyuwangi. Dalam laporannya, Donner memberi keterangan bahwa
Raden Adipati Brotodiningrat mendapat bantuan dari sanak
familinya, sebagian besar bupati di seluruh Jawa, kepala polisi,
pegawai-pegawai pribumi, redaktur berbagai koran, para kriminal- kriminal di
seluruh Pulau Jawa Laporan J.J. Donner
itu menimbulkan kecurigaan bagi kaum pribumi di Jawa termasuk Tirto Adhi
Soerjo, seorang jurnalis yang memiliki hubungan keluarga dengan beberapa bupati
di Jawa. Tirto Adhi Soerjo mengumpulkan data tentang tindakan J.J. Donner
termasuk me- ngumpulkan arsip-arsip yang berkaitan dengan laporan tersebut yang
kemudian dimuat di Pem- berita Betawi. Tirto Adhi Soerjo memberikan saran agar
pemerintah mengadakan penyelidikan atas kasus
Meski Tirto Adhi Soerjo telah menulis banyak artikel di
koran-koran yang memberitahukan bahwa laporanJ.J.Donneradalah tidak benar,
namun, Raden Adipati Brotodiningrat tetap saja disidangkan di Landraad. J.J.
Donner pun menghalangi munculnya saksi dengan menggunakan kekuasaannya. Akhirnya,
Raden Adipati Brotodiningrat dinyatakan bersalah oleh Landraad dan dibuang ke
Padang.
Di lain pihak, artikel-artikel Tirto Adhi Soerjo tetap
mengungkapkan ketidakadilan atas pencopotan Bupati Madiun. Pada akhirnya, Algemene
Secretarie memerintahkan Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasihat Urusan
Pribumi) C. Snouck Hurgronje untuk melakukan penyelidikan terhadap
laporan-laporan J.J. Donner pada Gubernur Jenderal. C. Snouck Hurgronje dalam
suratnya pada 29 Desember 1902 kepada Gubernur Jenderal Willem Roseboom
mendapatkan simpulan, bahwa tuduhan J.J. Donner pada Raden Adipati
Brotodiningrat adalah salah. Raden Adipati Brotodiningrat dianggap sebagai
korban salah tafsir. Namun, surat Snouck Hurgronje ini menjadi sia-sia, karena
Raden Adipati Brotodiningrat telah sampai di pembuangannya di Padang
Gerakan Feminisme dan Kelahiran Pers
Nasional
Gerakan perempuan juga menjadi komitmen Tirto Adhi Soerjo.
Pada 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia, yang melahirkan
nama Siti Soendari yang berpendidikan Belanda, namun lebih memilih menjadi
perem- puan merdeka, yang bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua,
yang menawarkan segala fasilitas dan kemudahan menjadi penulis termahsyur.
Sejak itu, jadilah Soendari sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi
pertama. Kebangkitan pergerakan perempuan pasca Kartini mulai bertunas,
kemudian berkembang ke penjuru tanah air. Sebarisan srikandi yang bertarung me-
lawan kekuatan zaman bermunculan selain lewat koran, menurut Tirto Adhi Soerjo,
kemajuan gerakan perempuan juga harus dimulai lewat sekolah. Ia bahkan menjadi
donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi
Sartika .Tirto Adhi Soerjo juga
merupakan motor gerakan feminisme.[8]
Hal ini dibuktikan
dengan karya fiksinya berjudul Busono pada 1912 yang bersumber dari rasa terima
kasih terhadap istrinya. Selain itu, Tirto Adhi Soerjo juga sebagai donatur dan
penasihat dalam mendirikan Sekolah Kaoetamaan Istri. Tirto Adhi Soerjo juga
menerbitkan karya fiksi Nyi Permana yang menceritakan hak menuntut cerai dari
seorang istri Selain itu, Tirto Adhi
Soerjo memiliki hubungan dengan Kartini dan Dewi Sartika terutama dalam
membantu perjuangan mereka. Ketika Kartini bercita-cita mendirikan sekolah
perempuan untuk pribumi, Tirto Adhi Soerjo bertemu dengan J.Stigter untuk
mendirikan Komite Pendidikan Sekolah Perempuan Bumiputera dengan anggota Nyonya
Stigter dan akhirnya mendirikan sekolah seperti yang diinginkan oleh Kartini
meskipun menumpang di sekolah HBS di depan Stasiun Gambir.
Kartini juga selalu berhubungan dengan Perhimpunan Oost en
West yang berpusat di Belanda yang bertujuan membantu kemajuan pribumi terutama
untuk memasarkan kerajinan mereka dan Tirto Adhi Soerjo merupakan pimpinan
organisasi tersebut di Jawa Barat. Selain itu, Tirto Adhi Soerjo juga memiliki
hubungan dan menjadi donatur serta penasihat usaha Dewi Sartika Semasa kuliah
di Batavia,TirtoAdhi Soerjo melepaskan diri dari segala macam aturan ningrat
yang mengekangnya.
Beliau menenggelamkan diri ke dalam kalangan masyarakat yang
lebih luas, tak peduli dari strata sosial mana mereka berasal. Keterlibatannya
di dalam dunia jurnalistik sudah ia mulai sejak duduk di kelas persiapan STOVIA
(1894-1895). Pada saat itu, Tirto Adhi Soerjo rajin mengirimkan tulisannya ke
berbagai media massa di Batavia. Kemudian pada 1888 – 1897 ia bekerja sebagai
wartawan pembantu di koran Hindia Olanda pimpinan Alex Regensburg. Setelah
koran ini tak terbit lagi, Tirto Adhi Soerjo pindah ke koran Pembrita Betawi
(1884 – 1916) pimpinan Overbeek Bloem dengan posisi yang sama
Dedikasi kerja jurnalistik yang di- tunjukkan oleh Tirto
Adhi Soerjo membuatnya dipercaya sebagai redaktur-kepala (hoofd redacteur)
Pembrita Betawi. Pada saat itu ia berkenalan dengan Karel Wijbrands, pimpinan
redaksi harian De Sumatra Post (1899-1942) yang terbit di Medan. Wijbrands
kemudian pindah ke Batavia untuk bekerja di Nieuws van den Dag, dan semenjak
itu Tirto Adhi Soerjo menjalin hubungan dekat dengannya. Ternyata,
pertemanannya dengan Wijbrands berpengaruh besar pada hidup dan karir Tirto
Adhi Soerjo.
Sebelumnya ia hanya
dikenal sebagai “penjual tulisan”, namun setelah bergaul dengan Wijbrands
wawasan dan kualitas dirinya mengalami peningkatan. Karena terlalu menyibukkan
diri di dalam pekerjaannya sebagai wartawan, akhirnya, TirtoAdhi Soerjo
dikeluarkan dari STOVIA setelah belajar di sana selama enam tahun. Pada 1905,
ketika Soenda Berita sudah bisa mengorganisir diri, TirtoAdhi Soerjo mengembara
ke Maluku.
Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja
Bacan, Princess Fatimah perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa
Belanda; dan seseorang yang kelak menjadi anggota redaksi Medan Prijaji.
Sepulang dari Maluku, tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial warisan J.P.
Coen, sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi lebih lugas
dan garang. Pada 1907, ia mendirikan Medan Prijaji, sebuah mingguan sederhana
berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Untuk mengatasi persoalan
modal, ia memulai sebuah gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta
pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan memiliki saham perusahaan
bernama NV Medan Prijaji. Itulah bentuk perniagaan pertama yang didirikan
pribumi
Mingguan Medan Prijaji semakin berkembang pesat, bahkan,
setahun kemudian, berubah menjadi harian. Tirto Adhi Soerjo men- ciptakan gaya
jurnalistik tersendiri, radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai
penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para
kaki tangan kolonial. Kemudian mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang
dibungkus politik etis. Pemerintah kolonial murka.
Pengalaman tersebut yang menabalkan dirinya untuk
menerbitkan Medan Prijaji dengan delapan pedoman bahwa surat kabar (pers)
harus: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum,
menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan,
menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun
dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan per-
dagangan. Medan Prijaji menunjukkan secara gamblang kemana keberpihakan pers
serta jurnalis harus diarahkan
Kesimpulan
Tirto
Adhi Soerjo merupakan seorang tokoh politik dan pemimpin pergerakan politik
yang andal. Pergerakan politik mulai ditanamkan oleh Tirto Adhi Soerjo diawali
dengan membangkitkan kesadaran persatuan rakyat lewat usaha ekonomi. TirtoAdhi
Soerjo menghimpun dan menggerakkan masyarakat dengan usaha produksi. Dari sini
ia menyadari bahwa rakyat Hindia Belanda mampu dipersatukan oleh kepentingan
bersama, yaitu melawan pemerintah kolonial Belanda. Usaha Tirto Adhi Soerjo
untuk mempersatukan rakyat tidak berhenti sampai di sini. Pada 1906, dengan
usahanya yang gigih, sebuah organisasi yang mempunyai wawasan kebangsaan
terbentuk. Cita-cita untuk mempersatukan bangsa terma- nifestasikan dalam
perhimpunan Sarekat Prijaji. Namun, harapan untuk menyatukan bangsanya lewat
perhimpunan Sarekat Prijaji ternyata berakhir dengan kegagalan.
Cita-cita
Tirto Adhi Soerjo untuk memajukan bangsa tidak dapat dipahami secara penuh oleh
kawan-kawan seorganisasinya. Hancurnya Sarekat Prijaji tidak membuat Tirto
berhenti untuk memajukan bangsanya. Ia tetap melakukan usaha untuk
membangkitkan kesadaran bangsanya, yaitu kesadaran untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan. Pada 1907, Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji (MP)
yang kemudian dijadikan Tirto sebagai alat untuk memajukan bangsanya.
Keluhan-keluhan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat bangsanya disuarakan
lewat Medan Prijaji yang juga sebagai alat untuk memajukan dan mempersatukan
bangsa pada proses perjalanan dapat membuahkan hasil.
Usaha Tirto Adhi Soerjo membangkitkan kesadaran bangsanya
lewat alat yang lebih modern dapat dilihat sebagai kesadaran maju bagi
bangkitnya gerakan pembebasan. Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme
tertulis pertama kali dan dibaca serta menjadi pembentuk kesadaran awal tentang
nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi. Tidak puas dengan
usahanya memajukan bangsanya lewat media jurnalistik, pada 1909, Tirto Adhi
Soerjo mendirikan organisasi pergerakan yang sepanjang sejarah Indonesia sangat
terkenal, yaitu Sarikat Dagang Islam (SDI). Sarikat Dagang Islam berdiri
sebagai antitesa Sarekat Prijaji dan Budi Utomo yang tidak bisa merangkul semua
golongan yang ada di Hindia Belanda. Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik
tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi
publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk
membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.
Tirto Adhi Soerjo juga turut memulai pergerakan lewat jalan
berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian
kesadaran berbangsa. Dengan kata lain, Tirto Adhi Soerjo adalah perancang
pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik
kiri, tengah, maupun kanan --- adalah merupakan konsep Sarekat Dagang Islam
yang dibuatnya di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta ---
bahkan, ia pula yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu
tu- juan, yakni kesadaran berbangsa.
Gerakan politik Tirto Adhi Soerjo yang sangat berpengaruh
adalah gerakan melawankekuasaan, gerakan feminisme, dan gerakan pers nasional.
Gerakan politik melawan kekuasaan antara lain gerakan politik arsip yang
diawali adanya Skandal Donner dan Kasus Tirto Adhi Soerjo kontra A. Simon.
Gerakan feminisme de- ngan menunjukkan bagaimana Tirto Adhi Soerjo mendukung
pergerakan Kartini dan Dewi Sartika. Terakhir adalah gerakan pers nasional antara
lain adalah berdirinya Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia.
Tirto Adhi Soerjo juga terkenal sebagai pemula gerakan pers
nasional. Pada Februari 1903, berdiri harian Soenda Berita atas biaya sendiri
dan dari bantuan Bupati Cianjur. Harian ini merupakan terbitan pertama pribumi
yang redaksinya bertempat di desa. Selanjutnya, pada 1904, redaksi dan
administrasi Soenda Berita pindah ke Weltvreden (sekitar Gambir sekarang).
Kemudian pada 1907, Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji yang kemudian
dijadikan Tirto Adhi Soerjo sebagai alat untuk memajukan bangsanya.
Keluhan-keluhan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat bangsanya disuarakan
lewat Medan Prijaji. Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo adalah
koran pertama di nusantara yang seluruh awak redaksinya orang pribumi. Selain
itu, diterbitkan harian gerakan wanita pertama Poetri Hindia dengan nomor
pertamanya pada 1 Juli 1908 yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo. Dalam harian
gerakan wanita ini terdapat beberapa wartawan wanita yang bekerja disana antara
lain R.A. Hendraningrat, Raden Ajoe Siti Habiba, Princes Fatimah, R.A.S
Tirtokoesoemo, R.A. Pringgowinoto, dan R.A. Tirtoadiwinoto.
DAFTAR PUSTAKA
Daliman, A. 2012. Sejarah
Indonesia Abad XIX- Awal Abad XX: Sistem Politik Kolonial dan Administrasi
Pemerintahan Hindia- Belanda. Yogyakarta
Niel, Robert van. 2009. Munculnya
Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya
George McTurnan Kahin, Nationalism and
Revolution in Indonesia, Cornell University Press, 1952.
M.A. Gani, Cita Dasar & Pola Perjuangan
Syarikat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Yayasan
Bentang Budaya Yogyakarta, 1992.
Valina Singka Subekti, Partai Syarikat Islam
Indonesia : Kontestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elit, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014.
[1] Niel,
Robert van. 2009. Munculnya Elite Modern
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hal 34
[2] Ibid, Hal 35.
[3] M.A. Gani, Cita
Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.hal
78
[4] Daliman,
A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX- Awal
Abad XX: Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia- Belanda.
Yogyakarta: Hal 123.
[5] Valina Singka Subekti, Partai Syarikat Islam Indonesia : Kontestasi Politik hingga
Konflik Kekuasaan Elit, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
[6] George McTurnan Kahin, Nationalism and
Revolution in Indonesia, Cornell University Press, 1952. Hal 67
[7] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
[8] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Yayasan
Bentang Budaya Yogyakarta, 1992. Hal 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar