KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyeselaikan
tugas ini dengan tepat waktu. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Gerakan Sosial kami karena telah membimbing kami untuk menjadi lebih
baik dengaan memberikan tugas ini.
Adapun judul daripada tugas kami ini adalah “Pergerakan
Nelayan di Sumatera Utara”.
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang
kami perbuat dalam penyelesaian tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk lebih baik kedepannya.
Terimakasih.
Medan
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebijakan kemaritiman
telah dicanangkan sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Juanda, secara
politik mengklam wilayah Indonesia adalah 12 mil yang diukur dari garis yang
menghubungkan dari titik terluar pulau-pulau Negara Kesatuan Republik
Indonesia. selama periode 1967-1969
pemerintah Soeharto berusaha meletakkan landasan yang kokoh bagi
pelaksanaan pembangunan jangka panjang dengan merumuskan strategi pembangunan
nasional dengan menitik beratkan usahan mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Strategi ini dijabarkan dalam Trilogi Pembangunan ekonomi yang tinggi,
stabilitas keamanan yang nasional dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Pemerintah melakukan
Restrukturisasi organisasi-organisasi pemerintah. Dirjen Pengelolaan Kekayaan
Laut dilebur ke dalam Direktorat Jendral Perikanan di bawah naungan Depatermen
Pertanian. Dileburnya bidang kelautan dalam pertanian maka semua kebijakan
dominan ke darat, sehingga dalam bidang kelautan merasa diabaikan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya berbagai masalah ekologis kelaautan dan kerawaan sosial ekonomi pada komunitas pesisir,
sehingga tidak adanya kebijakan-kebijakan
yang jelas dalam perberdayaan masyarakat nelayan. Tidak ada pembatas
wilayah yang jelas dalam bidang penangkapan sumberdaya perikanan, pemilik modal
dan pemilik sarana penangkapan yang mampu meningkatkan hasil tangkapan, sehingga memicu terjadinya
kecemburuan nelayan lokal dalam mengatasi ketidakberdayaan. Kecemburuan terjadi
pada kelompok nelayan lokal yang tidak memiliki modal dan alat tangkap yang
memmadai, sehingga memicu terjadinya aksi protes yang diwujudkan dalam Gerakan
Nelayan.
Gerakan Nelayan merupakan
suatu reaksi atas aksi terhadap ketidakseimbangan , ketidakadilan dan
ketidakmerataan dari pemberian suatu kebijakan. Gerakan perlawanan masyarakat
nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konflik sosial antar
nelayan dalam memperebutkan hasil sumber daya perikanan dan pemerintah tidak
dapat menyelesaikan secara tuntas. Pemerintah berupaya untuk menyelesaikan dan
menengahi konflik sosial antar nelayan yang terjadi dalam merebutkan sumber
daya perikanan dengan mengeluarkan kebijakan Blue Revolution yang dikeluarkan pada tahun 1970.
Kebijakan Blue Revolution
merupakan kebijakan nasioanal yang mengatur motorisasi perahu dan modernisasi
peralatan tangkap. Tujuan dari kebijakan ini ialah untuk peningkatan
produktivitas hasil laut dan kesejahteraan nelayan. Berbagai teknologi
diterapkan untuk mendukung kebijakan ini antara lain trawl , jaring pukat, pukat lingkar dan pukat harimau. Penggunaan
alat ini dikukuhkan dalam surat keputusan Menteri Pertanian No.
607/kpts/um/1976 tentang jalur-jalur penangkapan dan penggunaan alat
penangkapan.
Penerapan kebijakan justru
menimbulkan perselisahan antara nelayan tradisonal dan pengguna trawl yang
didominasi oleh kaum pendatang, karena nelayan tradisonal tidak dapat
mendapatkan hasil ikan dikarenakan penggunaan trawl. Menyikapi hal itu
pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39/1980 yang berisi larangan penggunaan trawl,
bom, dan alat yang dapat merusak ekologi laut. Pertimbangan keputusan ini
adalah meningkatkan produksi nelayan tradisioanal dan menghindari ketegangan sosial dan
melestarikan sumber perikanan pasar.
Setelah penghapusan Trawl,
muncul berbagai inovasi teknologi berkembang dikalangan masyarakat nelayan.
Untuk menghindari penggunan teknologi yang dapat merusak laut, pemerintah
mengeluarkan Keputusan Menteri No.503/kptsum/7/1998 yang berisi tentang
klasifikasi teknologi penangkapan yang menyempit dan persaingan dengan penentu
teknologi. Karena persaingan teknologi mempengaruhi hasil tangkap nelayan
semakin terasingkan dalam kegiatan ekonomi pasar.
Ketidakmampuan masyarakat
nelayan dalam organisasi-organisasi meupakan akibat dari dominasi negara yang
sangat kuat terhadap masyarakat lokal sehingga pada tahap selanjutnya
menyebankan tatanan masyarakat berkembang dengan baik. Adanya sistem yang
dipaksakan dari atas mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik masyarakat
nelayan. Sebagai contoh di dalam penentuan pengurus Koperasi Unit Desa (KUD)
Mina yang tidak melibatkan Nelayan tetapi ditentukan oleh pemerintahan pusat.
Organisasi nelayan seperti HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) yang
nyatanya berisi pengusaha.
Menghadapi kenyataan
seperti itu maka ada dua pilihan yang dilakukan yaitu menyesuaikan diri dengan
perkembangan atau melakukan perlawanan dengan kekerasan. Pilihan pertama jelas
tidak mungkin bagi masyarakat nelayan dikarenakan kondisi ekonomi yang dialami
dan pendidikan yang dimiliki tidak mampu merespon setiap perubahan sosial
ekonomi yang terjadi di sekitarnya. Kurangnya modal untuk membeli perlengkapan
nelayan dan kurangnya jaringan sosial yang dimiliki masyarakat nelayan.
Pilihan lain adalah dengan
menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan atau peledak yang dampaknya sangat
merusak habitat ikan dan kerusakan fungsi lingkungan laut. Ketidakberdayaan
masyarakat nelayan menghadapai nelayan-nelayan besar menimbulkan sifat apatis,
radikal, disfartisipatif terhadap pembangunan yang menyebabkan tindakan keras
sebagai alternative.
Pembakaran kapal Purse
Seine di Jawa Tengah dan Belawan (SUMUT), membuktikan bahwa adanya reaksi
ketidaksabaran nelayan dalam mengahadapi kelangkaan sumber daya yang
diakibatkan terkurasnya sumberdaya oleh nelayan besar. Aksi radikal nelayan
yang zterjadi semua berawal dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
melindungi hak-hak nelayan lokal dan sedikit modal. Modernisasi perikanan yang
telah berlangsung selama dua dasawarsa (1970-1998) berakibat banyak perubahan
mendasar dalam kehidupan masyarakat nelayan.
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana latar belakang terjadinya pergerakan nelayan di sumatera utara ?
- Siapa saja tokoh yang terlibat dalam pergerakan tersebut serta tokoh yang mempeloporinya ?
- Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan nelayan tradisional setelah pergerakan tersebut dilakukan ?
1.3. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui bagaimana latar belakang terjadinya pergerakan nelayan di sumatera utara.
- Untuk mengetahui siapa saja tokoh yang terlibat dalam pergerakan tersebut serta tokoh yang mempeloporinya.
- Untuk mengetahui bagaimana dampaknya terhadap kehidupan nelayan tradisional setelah pergerakan tersebut dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gerakan sosial adalah
sebuah aktivitas sosial yang berupa tindakan sekelompok informal yang berbentuk
organisasi dalam jumlah besar yang berfokus pada isu-isu sosial atau politik
dalam rangka melaksanakan, menolak atau mengkampanyekan suatu perubahan sosial.
Menurut Tilly dan Tarrow
ada beberapa aspek yang menjadikan sebuah aksi kolektif adalah gerakan sosial.
“Gerakan sosial merupakan suatu kampanye atas suatu Klaim tertentu yang
disampaikan terus menerus melalui penampilan publik (Public Performance) yang
berulang-ulang terkait dengan Klaim tersebut, dimana keberlangsungan
aktifitasnya bersandar pada organisasi, jaringan kerja (Network), tradisi dan
solidaritas kelompok” (Tilly & Tarrow, 2007: 8).
Klaim yang diangkat dari
kasus yang saya bawa adalah belum memihaknya perdagangan global kepada pelaku
perikanan skala kecil.Kesulitan untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di
tingkat nasional dan internasional, seperti ongkos produksi sangat tinggi,
intervensi teknologi minim, dan harga jual ikan rendah. Ketidakpastian status
wilayah tangkap. Negara belum mampu memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil
untuk mengatasi permasalahannya, termasuk kedalam gerakan sosial reformasi
karena gerakan reformasi adalah gerakan yang didedikasikan untuk mengubah
beberapa norma, biasanya hukum.
Gerakan sosial - termasuk
gerakan sosial pedesaan - pada hakekatnya adalah sebuah rangkaian peristiwa
politik atau secara sederhana Charles Tilly menyebutnya “sebuah politik” (a
matter of politics). Ahli lain Craig Jenkins mengatakan pada dasarnya
gerakan-gerakan sosial adalah hal yang berkaitan dengan politik (social
movement are inherently political) (Jenkins 1995: 16).
Dalam politik internal
gerakan sosial, hal ini termasuk kedalam politik tidak formal
(un-institusionalized politics / extra-institusionalized politic) atau dapat
disebut juga organisasi non-pemerintah karena politik yang ada didalam
cenderung terselubung, tidak terang terangan seperti partai politik. Jika
didalam partai politik, jelas ada perebutan kekuasaan yang sangat signifikan
hingga ada sistem penggulingan dan pencitraan publik bagi aktor yang berperan.
Politik gerakan sosial berbeda dengan politik yang dibangun oleh partai
politik, misalnya, karena ia tidak hanya terlibat dalam pertarungan perebutan
kekuasaan (struggle for power) belaka, tetapi berjuang untuk gagasan perubahan
sosial.
Jika dilihat dari ketiga
teori sebab kemunculan gerakan sosial yang akan di bahas kali ini dikaji
kedalam dua teori yaitu teori Relative Deprivation (Depripasi Relatif) dan
teori konflik. Mengapa teori depripasi relatif karena ada kesenjangan yang
tidak bisa diterima lagi bagi masyarakat nelayan tradisional terhadap
ketimpangan yang semakin tajam. Maka timbullah kesenjangan relatif yang
diyakini dapat menyebabkan penderitaan penderitaan koleltif, yang pada akhirnya
dapat memicu munculnya aksi-aksi kolektif. Mengapa teori konflik karena saya
melihat ada ketimpangan sosial yang muncul antara masyarakat lapisan atas dan
masyarakat lapisan bawah.
Masyarakat lapisan atas
disini adalah nelayan yang memiliki banyak modal untuk berkontribusi dalam
perdagangan global, modal disini yaitu untuk ongkos produksi yang sangat tinggi
dan teknologi. Sementara masyarakat lapisan bawahnya adalah nelayan tradisional
yang tidak mempunyai modal untuk berdagang dan hanya mengandalkan alat tradisional
untuk berlayar.
Adapun penyebab utama awal
munculnya gerakan sosial yang dimotori oleh para nelayan tradisional ini adalah
penggunaaan trawl yang dilakukan secara besar – besaran sehingga nelayan yang
masih menggunakan alat tangkap tradisional merasa dirugikan dan potensinya
dalam merusak ekosistem laut. Syafrizal Fauzi (1995) menyebutkan trawl berasal
dari bahasa Perancis TROLER dan kata TRILING artinya “bersamaan”. Dalam bahasa
Indonesia artinya “tarik” atau mengelilingi sambil menarik. Kemudian dari kata
TRAWL, muncul kata TRAWLING berarti menangkap ikan dengan trawl dan kata
TRAWLER yang berarati kapal yang melakukan TRAWLING. Percobaan pengoperasian
trawl di Indonesia dimulai sekitar tahun 1907/1908 oleh AM Von Rosendal dan WCA
Vink berkebangsaan Belanda, percobaan ini dilakukan dengan menggunakan kapal
penyidik Gier dan mengambil lokasi di perairan Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan
bagian Selat Makasar.
Penyelidikan ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tahun 1940 oleh Dr Westenberg juga tidak berhasil.
Tahun 1950 pemerintah melalui Jawatan Perikanan Laut dengan bimbingan E.Schol,
seorang ahli trawl dari Belanda. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Jawatan
Perikanan Laut Surabaya setelah kontrak E. Schol selesai. Penelitian ini
dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan pemerintah saat itu, yakni untuk
memajukan taraf hidup nelayan.
Pada tahun 1957, DR TH
Butler seorang ahli dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melakukan
percobaan Penangkapan udang dengan trawl. Percobaan dilakukan dengan menggunakan
Kapal Muna, dan dalam waktu satu bulan telah dilakukan 36 kali percobaan
didaerah antara Balikpapan dan Kota Baru, pada tempat-tempat yang mempunyai
kedalaman 5-25 meter dan hasilnya cukup memuaskan. Hasil penangkapan terbaik
ditemukan di Tanjung Maru, sebelah Selatan Balikpapan, pada kedalaman 10 meter.
Percobaan penangkapan ini dapat menghasilkan 100 kg udang dalam waktu satu jam.
Pada tahun 1970-an trawl
(Pukat harimau) mulai berkembang pesat baik di Jawa, Kalimantan, Perairan
Indonesia Timur dan Sumatera. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari
kelebihan yang dimiliki yakni mampu meningkatkan hasil tangkapan sehingga izin
yang dikeluarkan pada waktu itu cukup ramai. Seiring dengan itu pula telah
muncul reaksi penolakan dari nelayan tradisional tetapi sifatnya sporadic. Pada
awal 1980-an penolakan semakin ramai, apalagi perolehan tangkapan nelayan
tradisional menurun secara dratis dari tahun ketahun.
PEMBAHASAN
3.1. Hasil Penelusuran
3.1.1 Hasil Wawancara
Latar belakang munculnya pergerakan nelayan di
sumatera utara.
Latar belakang munculnya
pergerakan nelayan di sumatera utara adalah adanya revolusi biru yaitu
modernisasi perikanan tangkap yang memberikan alat tangkap modern . alat
tangkap modern tersebut berupa trawl dengan adanya alat tangkap modern
tersebut, muncullah konflik antar nelayan yaitu nelayan tradisional dan nelayan
yang menggunakan alat tangkap modern yaitu trawl.
Syafrizal Fauzi (1995)
menyebutkan trawl berasal dari bahasa Perancis TROLER dan kata TRILING artinya
“bersamaan”. Dalam bahasa Indonesia artinya “tarik” atau mengelilingi sambil
menarik. Kemudian dari kata TRAWL, muncul kata TRAWLING berarti menangkap ikan
dengan trawl dan kata TRAWLER yang berarati kapal yang melakukan TRAWLING.
Percobaan pengoperasian trawl di Indonesia dimulai sekitar tahun 1907/1908 oleh
AM Von Rosendal dan WCA Vink berkebangsaan Belanda, percobaan ini dilakukan
dengan menggunakan kapal penyidik Gier dan mengambil lokasi di perairan Laut
Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar.
Leonardo menyatakan bahwa
“ sebenarnya factor pemicu terjadinya konflik antar nelayan tersebut adalah
adanya kecemburuan sosial nelayan tradisional terhadap nelayan pemilik alat
tangkap modern ( trawl ). Dimana nelayan modern
mengeksploitasi hasil laut sehingga nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan , sehingga mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhan sehari – harinya ( factor ekonomi ).
Maka, nelayan tradisional
memulai pergerakan dengan munculnya bebebrapa aksi protes terhadap penggunaan
trawl. Selain hal tersebut, pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan
yang melarang penggunaan trawl seperti : Keputusan Presiden No 39
Tahun 1980. Pertimbangan, dikeluarkannya kebijakan Penghapusan dasar
yaitu: Jaring Trawl, pembinaan kelestarian
sumber perikanan dasar mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional
menghindarkan ketegangan sosial
Instruksi Presiden Nomor
11 tahun 1982 Untuk mempercepat tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam
penghapusan jaring trawl berdasarkan Keppres 39/80, maka dikeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 11 tahun 1982 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden No 39/80
yang menginstruksikan kepada Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri
Pertahanan dan Keamanan, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan para
Gubernur Kepala Daerah untuk melanjutkan penghapusan sisa jumlah kapal
perikanan yang menggunakan jaring trawl seperti yang tercantum dalam pasal 4
bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia sudah tidak
ada lagi kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl.
Meskipun telah dibuat
peraturan – peraturan yang melarang
tentang penggunaan alat tangkap trawl, dalam kenyataannya alat tangkap tersebut
tetap digunakan. Hal tersebut diatas merupakan cerminan bahwa kurang tegasnya
pemerintah dalam melakukan penegakan hukum, sehingga nelayan – nelayan
tradisional tetap tidak terlindungi.
Pelaku pergerakan nelayan di sumatera utara
Pada tahun 1973, di bentuk
suatu wadah perlindungsn nelayan seluruh Indonesia, yaitu HNSI ( Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia ). Yang merupakan wadah bentukan Negara yang memiliki
tujuan awal untuk mensejahterakan kehidupan nelayan serta memberikan bantuan
baik moril dan materiil khususnya bagi nelayan tradisional.
Akan tetapi, organisasi
ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik sehingga tidak lagi
terfokus dengan tujuan utamanya, seperti disaat awal pembentukannya. Hal ini
mendorong munculnya organisasi –organisasi di luar bentukan Negara. Seperti
SNSU, Yang dibentuk pada tahun 1998 dan organisasi ini merupakan pelopor atas munculnya organisasi –
organisasi berbasis nelayan lainnya di sumatera utara. Seperti P3MN, WPP, LPPH.
Organisasi – organisasi inilah yang melakukan pergerakan nelayan di sumatera utara. Pergerakan –
pergerakan yang dilakukan adalah aksi demonstrasi pada tahun 1998. Aksi ini
disebut juga dengan serangan fajar, karena aksi ini dilakukan tepatnya pada
pagi hari.
Pasca aksi demonstrasi
tersebut, semakin banyak bermunculan organisasi –organisasi seperti pilar
perjuangan nelayan, serikat nelayan Indonesia, persatuan nelayan tradisional
Indonesia. Pada tahun 2016, ratusan nelayan yang tergabung dalam KNTI (
kesatuan nelayan tradisioanl Indonesia ) melakukan unjuk rasa untuk
menyampaikan aksi damainya yang bertujuan untuk menyuarakan ketidakadilan yang
selama ini sudah menjadi bagian dari hidup nelayan di sumatera utara . mereka
menyuarakan agar pemerintah lebih menyentuh kehidupan para nelayan tradisional
yang masih belum sejahtera kehidupannya. Dan masalah kapal pukat trawl juga
diangkat dan tidak diperbolehkan lagi untuk melaut
Dampak Pergerakan nelayan di sumatera utara
Pada tahun 1985, melalui
kepres no. 38, pemerintah memberikan bantuan kepada nelayan –nelayan
tradisional seperti alat tangkap, jarring. Pemberian bantuan ini dimanfaatkan
untuk kepentingan politik agar tidak terjadi perlawanan nelayan tradisional
terhadap nelayan modern yang menggunakan trawl, dengan demikian penggunaan
trawl akan tetap berjalan.
Namun, dengan adanya
organisasi – organisasi seperti SNSU, P3MN, dan organisasi sejenis lainnya,
mereka tetap melakukan perlawanan yang
menentang penggunaan trawl. Namun, effort yang dilakukan oleh lembaga –
lembaga ini belum terealisasikan. Leonardo menyatakan “ mereka masih berjuang
untuk kehidupan nelayan tradisional dan penghapusan trawl “.
3.1.2 Analisa
Gerakan social (bahasa
Inggris:social movement) adalah aktifitas social berupa gerakan sejenis tindakan
sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi,
berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu
social atau politik dengan melaksanakan, menolak atau mengkampanyekan sebuah
perubahan social. Menurut KBBI (1991), gerakan sosial merupakan tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang
disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai
gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat.
Gerakan
sosial lahir dikarenakan situasi dalam masyarakat yang berada di ketidakadilan
dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain gerakan sosial
lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau
menginginkan perubahan kebijakan jarena dinilai tidak sesuai dengan konteks
masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara
umum. Gerakan sosial terjadi karena faktor deprivasi ( kehilanga, kekurangan
dan penderitaan (giddens, dkk 2004).
Gerakan
Nelayan yang terjadi di Sumatera merupakan gerakan sosial yang terjadi
dikarenakan adanya ketidaksetaraan ataupun ketidakadilan yang dialami oleh
masyarakat Nelayan. Ketidakdilan yang terjadi pada masyarakat Nelayan di
Sumatera juga dialami di sebagian wilayah Indonesia. Gerakan Nelayan di
Sumatera Utara terjadi pertama kali disebabkan peraturan jaring Trawl yang
ternyata menyebabkan ketidakdilan bagi masyarakat Nelayan Tradisonal.
Penggunaan jaring trawl ini diizinkan oleh pemerintahan bagi masyarakat dalam
menangkap hasil laut khususnya Udang, dikarenan udang merupakan hasil laut yang
berada di dasar laut sehingga membutuhkan alat khusus. Namun kenyataannya
penggunaan Trawl ini hanya bisa dipkai oleh Nelayan-nelayan yang mempunyai
modal banyak. Dikarenakan harganya yang mahal, nelayan tradisional pun tidak
dapat merasakan bagaimana hasil penggunaan trawl tersebut dan hanya mendapatkan
kerugian hasil tangkapan.
Dengan
demikian, masyarakat Nelayan tradional melakukan gerakan sosial untuk mengubah
kebijakan peerintahan yang merugikan bagi masyarakat nelayan itu sendiri.
Berbagai cara telah dilakukan dengan melakukan mediasi ke pemerintahan untuk
melarang penggunaan trawl yang merusak ekosistem laut, aksi di laut yaitu
dengan pembakaran kapal yang menggunakan jaring trawl, sampai melakukan aksi
demonstrasi.
Gerakan
nelayan di Sumatera Utara seperti SNSU (Serikat Nelayan Sumatera Utara), Sarekat
Nelayan Indonesia, KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) merupakan
gerakan sosial yang bersifat menyeluruh. Gerakan sosial yang dilakukan merupakan
perubahan sosial secara menyeluruh dengan mengubah kebijakan untuk seluruh
masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat nelayan. Gerakan sosial nelayan di
Sumatera memiliki tujuan Revolutntary Movement yaitu untuk mengubah institusi
pemerintahan dan stratifikasi masyarakat. Dikarenkan lemahnya hukum tentang
peraturan pemerintahan masyarakat atau kurangnya perhatian pemerintah
masyarakat terhadap masyarakat nelayan tradisonal menyebabkan banyaknya terjadi
penyelewengan dan kesenjangan sosial ysehigga masyarakat nelayan melakukan
perubahan untuk merubah seluruh kebijakan yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat nelayan.
3.2
Daftar Informan
Nama :
Leonardo Marbun
Umur :
43 tahun
Pekerjaan : P3MN (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat
Nelayan)
3.3 Dokumentasi
(bersama Narasumber)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gerakan Nelayan merupakan
suatu reaksi atas aksi terhadap ketidakseimbangan, ketidakadilan dan
ketidakmerataan dari pemberian suatu kebijakan. Gerakan perlawanan masyarakat
nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konflik sosial antar
nelayan dalam memperebutkan hasil sumber daya perikanan dan pemerintah tidak
dapat menyelesaikan secara tuntas. Pemerintah berupaya untuk menyelesaikan dan
menengahi konflik sosial antar nelayan yang terjadi dalam meperebutkan sumber
daya perikanan dengan mengeluarkan kebijakan Blue Revolution yang dikeluarkan pada tahun 1970. Kebijakan Blue
Revolution merupakan kebijakan nasioanal yang mengatur motorisasi perahu dan
modernisasi peralatan tangkap. Tujuan dari kebijakan ini ialah untuk
peningkatan produktivitas hasil laut dan kesejahteraan nelayan. Berbagai
teknologi diterapkan untuk mendukung kebijakan ini antara lain trawl , jaring pukat, pukat lingkar dan
pukat harimau. Penggunaan alat ini dikukuhkan dalam surat keputusan Menteri
Pertanian No. 607/kpts/um/1976 tentang jalur-jalur penangkapan dan penggunaan
alat penangkapan.
Penerapan kebijakan ini
justru menimbulkan perselisahan antara nelayan tradisonal dan pengguna trawl
yang didominasi oleh kaum pendatang, karena nelayan tradisonal tidak dapat
mendapatkan hasil ikan dikarenakan penggunaan trawl. Menyikapi hal itu
pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39/1980 yang berisi larangan penggunaan
trawl, bom, dan alat yang dapat merusak ekologi laut. Pertimbangan keputusan
ini adalah meningkatkan produksi nelayan tradisioanal dan menghindari ketegangan sosial dan
melestarikan sumber perikanan pasar.
Pada tahun 1973, di bentuk
suatu wadah perlindungsn nelayan seluruh Indonesia, yaitu HNSI ( Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia ). Yang merupakan wadah bentukan Negara yang memiliki
tujuan awal untuk mensejahterakan kehidupan nelayan serta memberikan bantuan
baik moril dan materiil khususnya bagi nelayan tradisional.
Akan tetapi, organisasi
ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik sehingga tidak lagi
terfokus dengan tujuan utamanya, seperti disaat awal pembentukannya. Hal ini
mendorong munculnya organisasi –organisasi di luar bentukan Negara. Seperti
SNSU, Yang dibentuk pada tahun 1998 dan organisasi ini merupakan pelopor atas munculnya organisasi –
organisasi berbasis nelayan lainnya di sumatera utara. Seperti P3MN, WPP, LPPH.
Organisasi – organisasi inilah yang melakukan pergerakan nelayan di sumatera utara.
Gerakan sosial
nelayan di Sumatera juga menjadi sebuah kasus dimana pemerintah kurang
memperhatikan masyarakat nelayan khususnya nelayan tradisonal yang memiliki
daya cakupan lebih sedikit daripada nelayan modern ataupun pengusaha yang
memiliki modal banyak. Kurangnya perhatian pemerintahan membuat masyarakat
nelayan untuk bergerak menuntut hak keadilan bagi kehidupannya agar segalau
kebijakan yang dibuat pemerintah berpihak kepada masyarakat nelayan kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Ary,Wahyono.2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Presindo.
Kusnadi. 1997. Kemiskinan
Nelayan dan Pembangunan Desa Pantai.jember:Pusat studi
komunikasi pantai.
Nasution arif, badaruddin dkk. 2005. Isu – isu kelautan dari kemiskinan hingga
bajak laut.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kusnadi.2004.polemik
kemiskinan nelayan . Jember : Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan.
Kusnadi . 2006. Konflik
Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan.
Jakarta: LKIS.