BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aceh merupakan
salah satu wilayah Indonesia yang letaknya di bagian paling barat. Masa
penjajahan Belanda terhadap Aceh mendatangkan dampak yang sangat merugikan.
Wilayah Aceh sangat ingin dikuasai oleh Belanda dan kemudian pada tahun 1873
Belanda menyerang Aceh. Namun, di Aceh memiliki para Pahlawan yang siap menjaga
dan mempertahankan wilayahnya dari serbuan Belanda. Sebut saja Cut Nyak Dhien
yaitu istri dari salah satu pahlawan Nasional juga yang bernama Teuku Umar ia
adalah seorang Pahlawan wanita yang gagah berani melawan kolonialisme Belanda
terhadap Aceh sehingga Belanda pun banyak menghabiskan uang yang banyak hanya
untuk berperang melawan Cut Nyak Dhien.
Ia adalah
seorang wanita keturunan Bangsawan yang taat beragama ia juga masih keturunan
Minangkabau. Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia
memperoleh pendidikan pada bidang agama(yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut
kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya).
Pengetahuan tentang rumah tangga seperti
memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata
kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan
tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang
tabah, lembut dan tawakal. Karena perjuangannya melawan Belanda beserta para
pahlawan lainnya ia dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangannya tidak akan
pernah dilupakan sampai kapanpun oleh bangsa Indonesia khususnya daerah Aceh.
Dalam makalah ini kami mencoba menggambarkan bagaimana perjuangan Cut Nyak
Dhien melawan Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Latar Belakang Cut Nyak Dhien?
2. Bagaimana
Perjuangan Cut Nyak Dhien dalam menghadapi Kolonial?
3. Bagaimana
Kondisi Akhir Hidup dari Cut Nyak Dhien?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien
dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI
Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau
dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan
keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.[1]
Pada masa
kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada
bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang
dididik baik oleh orang tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti
memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata
kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan
tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang
tabah, lembut dan tawakal.
Banyak
laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12
tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim
Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang,
tetapi juga disebabkan seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas,
seorang alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay. Mereka memiliki satu
anak laki-laki.
Pernikahan
mereka dilangsungkan secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal
Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang
dibawakan mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan
hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri
membiayai rumah tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku
Nanta.
3.1 Perjuangan Cut Nyak
Dhien Dalam Menghadapi Kolonial
3.1.1 Belanda Menyerang Aceh
Pada tanggal
26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen.
Perang Aceh meletus. Perang Aceh 1 (1873-1874),
yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan
Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu,
pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah
pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang ini. Ibrahim Lamnga yang
bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas
tertembak pada April 1873.[2]
Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873,
sedangkan Keraton Sultan jatuh
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu
dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas
pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Selama
berkecamuknya peperangan, Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di
Lampadang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah.
Bersama Teuku Imum Leungbata maju keperbatasan VI mukim dan berusahan
menaklukkan Meuraksa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya
di luar Keraton dan Mesjid Raya.
Pasukan
Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI
mukim, berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dhien.
Kedatangannya ingin mengabarkan kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus
meninggalkan Lampadang dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan
bekal yang cukup untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29
desember 1875, rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lampadang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang
bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan
Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil
dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran di
Lembah Beurandeun Gle Tarum, kemukiman
Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid
3.1.2 Pernikahan Dengan Teuku Umar
Kekecewaan dan
kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang
mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia
pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya
untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat
bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien
membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang
oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya
untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880.[3]
Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda
Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut
Gambang.
Bersatunya dua
kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang
telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan
antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa
kecut juga mendengar pernikahan mereka , adapun Tgk Chik di Tiro dan
kawan-kawan seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.
Bukti dari
ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah
VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung
halamannya, pada saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut
Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya
pengangkatan itu hanya sekedar kamuflase saja.
Dengan
diangkatnya Cut Rayut menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan
politik dalam perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya
di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim
ulama yang mengorbankan semangat jihad fisabilillah.
3.1.3 Perlawanan Teuku Umar Terhadap Belanda
Taktik Teuku
Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan
juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan
Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar,
kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi
penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah
peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama
dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan
ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar
tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom.[4]
Perang
dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya
dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali
mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai
Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena
Hansen meniggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung.
Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan
Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan
tebusan 25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat Aceh.
Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250
orang pergi keKutaraja dan
menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat
mereka keluar dari hutan mereka berkata:
Mereka
menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar
kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh
Teuku Umar
bersedia untuk mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap
kepada pasukannya untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar
diberikan tanggung jawab panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan
Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya
disesuaikan denga bentuk rumah pejabat Belanda dan dihiasi taman serta
diberikan fasilitas yang memadai. Teuku umar kemudian menjalankan tugas dari
Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh.[5]
Belanda sangat
senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini
sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan,
Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus
berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik
Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit
yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika
jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Namun ternyata
perjuangan itu hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien dan pada
tanggal 29 maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan
masyarakat Aceh dan membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil
curian dari Belanda. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan
dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah
kembali.
Penghianatan
ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Mengetahui
pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai
panglima perang, gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap
Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Teuku Umar
yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi
besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan
identitasnya menjadi pasukan gerilyawan. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara jendral Van Swieten diganti. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat
terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan untuk pertama kalinya.
Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga
mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar
menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis
Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Pasukan
gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpin hal ini sukses. Sejarah
yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan
dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan
terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der
Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh
orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De
Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada
di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang. Akibat dari hal ini, pasukan
Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit
"De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan
nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[6]
Jendral Van
Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk
memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan
rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan
akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena
diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh. Ketika Cut Gambang,
anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang
lalu memeluknya dan Dien berkata:
Sebagai wanita
Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah
"Shaheed" yang
senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh.
3.1.5 Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda
Ribuan tentara
Belanda tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak Dhien. Tokoh
tokoh yang membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali Baet
menantunya yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku
Raja Nanta, adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karena
kejaran Belanda, dan akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh. Pada saat itu pula
.terjadi perlawanan oleh Sultan Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang
berjuang di daerah Pidie. Dalam perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak
Dhien selalu menjaga siang malam dan berpindah dari satu Dalam perjuangannya,
Cut Nyak Dhien dibantu oleh para uleebalang, datuk-datuk, serta penyair-penyair
tempat ke tempat yang lain untuk menghindari penggerebekan yang dilakukan
Belanda yang tidak lain adalah imbas dari pelaporan para pengkhianat yang
memberitahukan dimana posisi rombongan Cut Nyak Dhien.
Akibat
kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi
laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan
daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun,
dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta
sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya,
termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang
melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu,
agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut
Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Pengaruh Cut
Nyak Dhien di Masyarakat cukup besar dikalangan penduduk , baik dikalangan atas
maupun dikalangan bawah, cukup besar.Cut
nyak dhien telah kelaparan ditengah hutan-hutan sementara patroli telah
memburunya kemana saja dari suatu tempat sembunyian ketempat sembunyian
lain.Berminggu lamanya tidak ada sesuap nasi pun masuk kedalam
perutnya.Sementara itu makanan nya hanyalah pisang-pisang hutan yang
direbus.Enam tahun lamanya wanita ini berjuang mati-matian.[7]
Dari pengakuan ini jelas bahwa Cut
Nya’ Din adalah tokoh wanita yang luar biasa.Belanda akan tetap menghadapi
seribu satu kesulitan beliau tidak uzur sekali karena tuanya.Dalam kesulitan
wanita ini hidup dihutan timbullah kesimpulan dikalangan sebagian pengagum Cut
nyak Dhien bahwa terlalu mahal kiranya bakti yang harus dibayar oleh seorang
wanita lemah dan tua seperti dia.Panglima laot adalah pengikut Cut Nyak Dhien
yang pertama menasehatkan agar pahlawan wanita ini meyerah saja, sebab sudah
sia-sia saja melakukan perlawanan.Dengan keamarahan Cut Nyak Dhien maka
diusirlah Panglima Laot.Panglima laot telah tidak tabah mempercerminkan
kesengsaraan yang telah diderita oleh Cut Nyak Dhien, pada posisi perlawanan telah
semakin sulit akibat jepitan dari pengepungan oleh Belanda yang tak
henti-hentinya mencari Cut Nyak Dhien.Karena terlalu banyak penyerangan dari
Belanda makanya pasukan Cut Nyak Dhien terpaksa mengundurkan diri.
Cut Nyak Dhien
sudah uzur sekali dan dinaikkan keatas tanduh untuk dibawa ke
Meulaboh.Sepanjang perjalanan Cut Nyak Dhien terus mengutuk pasukan
Belanda.Akhirnya dari Meulaboh,Cut Nyak Dhien diberangkatkan dengan kapal
Belanda ke Kutaraja.Awal tahun 1907, beliau dibuang kesumedang tanggal 23 januari
1907.Hal ini menyebabkan Panglima Laot yang menyebabkan dia terharu dan demi
kesetiaan nya kepada pahlawan wanita ini ingin mengkhianatinya supaya
terpelihara dari azab sengsara dalam hutan belantara, tiadalah tepat adanya.[8]
4.1 Kondisi
Akhir Hidup Dari Cut Nyak Dhien
4.1.1 Pembuangan Cut Nyak Dhien Ke Sumedang
Ada 2 Kapten
Belanda yang menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz dan Van
Dalen. Selama Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita
korban sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan
perjalanan panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade
marsose. Tujuannya adalah untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif
di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh tenggara).[9]
Karena
pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien
tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental
berjuang yang semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan
berbagai faktor yang membuat Cut Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang
dipapah saat melakukan perpindahan dari satu gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini
membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien mengusulkan
kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga kesehatannya
dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan kemarahan
sambil mengeluarkan perkataan: “lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah
kepada kafir Kompeni”.[10]
Namun, dengan
berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan
memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan
perundingan kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai
seorang Pahlawan dan tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang
dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh jendral Van Veltman Atas
kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman mengerahkan
pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi
perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat
minim membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang
Panglimai pun syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut Nyak Dhien
dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh berhasil
melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak
Dhien. Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien
berhasil ditangkap oleh pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan
Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat jendral Van Veltmen langsung memerintahkan
pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian pun berakhir, Cut Nyak Dhien
ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil melarikan diri
dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu
menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah
baik kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan
sikap hormat.
Anak buah Cut
Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda
sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka
terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan
menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Akibat Cut Nyak
Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat
Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah
dilakukan ayah dan ibunya.
Setelah ia
ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti
rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan
membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang
yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa
Barat.
Untuk beberapa
saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh Belanda,
diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat
tidak pernah hilang kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering
dikunjungi oleh para masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur
Belanda merasa cemas dan mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke
Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Ia dibawa ke
Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati
Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian
pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas
tahanan. Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak
Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu). Ia ditahan bersama ulama
bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat
bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia
disebut Ibu Perbu. Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada
tanggal 8 November 1908. Saat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu
Perbu telah hilang pada tahun 1960-an, dari keterangan dari pemerintah Belanda,
diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan
berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).
4.1.2Wafatnya Cut Nyak dhien
Setelah ia dipindah ke Sumedang,
pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. [11]Makam
"Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat
itu, Ali Hasan. Pada tahun
1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu
Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi
pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu
Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang,
Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke
Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu
Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Menurut
penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang
ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan,
dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di
Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari
pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul
setiap bulan November
Makam Cut Nyak
Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang
ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal
7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam
bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di
sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam
keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H.
Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut
Nyak Dhien.
Pada batu
nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At
Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.
Gerakan Aceh
Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia
sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu
letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.
Kini, makam ini
mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana.[12]
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cut Nyak
Dhien adalah salah satu pejuang wanita dari tanah rencong atau Aceh yang
memperjuangkan Aceh dari serbuan Belanda. Cut Nyak Dhien adalah wanita yang
taat beragama karena sejak kecil ia sudah dididik oleh keluargannya yang memang
keturunan bangsawan. Pada tahun 1873 Belanda menyerang Aceh dan dimulailah
perang Aceh I dengan Aceh dipimpin oleh Sultan Machmud melawan Belanda yang
dipimpin oleh Koler. Pada saat itu kesultanan Aceh memenangkan peperangan
dengan tewasnya Koler. Teuku
Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya
untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Banyak perjuangan yang
dilakukan Cut Nyak Dhien bersama suaminya Teuku Umar dalam memerangi Belanda.
Ketika Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dhien pun memimpin pasukan Aceh melawan
Belanda. Belanda pun dibuat pusing oleh Cut Nyak Dhien sehingga untuk mengejar
Cut Nyak Dhien Belanda banyak mengeluarkan uang dan tenaga sehingga banyak
pasukannya yang tewas.
Cut Nyak Dhien meninggal karena
usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun
1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat
itu, Ali Hasan. Pada tahun
1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu",
telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda
pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu
Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang,
Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke
Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu
Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muchtaruddin,
Ibrahim, Cut Nyak Dhien. Jakarta: Balai Pustaka. 2001.
2. Mansur.s.
Amhadi, Api Sejarah.
Jakarta : Salamandani Pustaka. 2009
3. Soetrisno Eddy,
100 Pahlawan Nasional 1 dan Sejarah Perjuangan. Jakarta: Ladang
Pustaka dan Inti Media. 2001
4. Said H.Mohammad,Aceh Sepanjang Abad.Medan:PT.Harian
Waspada Medan,hal 479
[1]
.Muchtaruddin,
Ibrahim, Cut Nyak Dhien. Jakarta: Balai Pustaka. 2001
[2]
ibid
[4] Soetrisno Eddy, 100 Pahlawan Nasional 1
dan Sejarah Perjuangan. Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media. 2001
[5] Ibid
[6] Mansur.s.
Amhadi, Api Sejarah.
Jakarta : Salamandani Pustaka. 2009
[8]
ibid
[9] Soetrisno Eddy, 100 Pahlawan Nasional 1
dan Sejarah Perjuangan. Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media. 2001
[11]
ibid
[12] Soetrisno Eddy, 100 Pahlawan Nasional 1 dan Sejarah Perjuangan. Jakarta:
Ladang Pustaka dan Inti Media. 2001