Kamis, 08 Desember 2016

MAKALAH JARINGAN PERDAGANGAN DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.
Perdagangan  adalah  proses  interaksi  antara  individu  atau kelompok sosial yang satu dengan lainnya untuk memperoleh komoditas. Dalam perdagangan terkait empat komponen pokok, yaitu: orang yang mengadakan  interaksi,  barang  atau  komoditas,  transportasi  atau  alat yang digunakan untuk memindahkan barang atau komoditas, dan kedua belah pihak yang terkait dalam perdagangan.
Jaringan  perdagangan  masa  lalu  telah  menempatkan  rempah-rempah  sebagai komoditi utama sejak  awal  masehi  dengan  adanya kontak  antara  pedagang  nusantara  dengan  pedagang  Cina, Arab  dan India. Jaringan perdagangan rempah-rempah ini kemudian semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16, ditandai dengan penguasaan  atas  Malaka    salah  satu  bandar  penting  dalam  jaringan perdagangan Asia Tenggara – pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis. Jaringan perdagangan ini semakin ramai dengan  kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16. Dalam konteks perdagangan global, terbentuk jaringan perdagangan yang menghubungkan  dunia barat sebagai konsumen dan dunia timur sebagai penghasil komoditi.  Maluku dikenal sebagai pusat produksi cengkeh dan pala (Kepulauan Rempah-Rempah). Kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia tidak lepas dari keberhasilan bangsa  Portugis  menemukan  jalur  pelayaran  yang  menghubungkan daratan Eropa dan Asia melalui Afrika. Jalur pelayaran inilah  yang  kemudian  menjadi  jalur  alternatif  jaringan  perdagangan dunia yang sebelumnya merupakan jalur darat ( jalut sutera ). Dengan demikian, dalam konteks  perdagangan  rempah-rempah,  khususnya  bagi  bangsa  Eropa telah terbentuk jaringan yang langsung menghubungkan Asia Tenggara khususnya Kepulauan Nusantara sebagai produsen utama rempah-rempah dan Eropa sebagai konsumen.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya Jaringan Perdagangan di Indonesia ?
2.      Bagaimana Jaringan perdagangan di Indonesia pada masa kolonial?

1.3  TUJUAN
1.      Mengetahui sejarah awal perdagangan di Indonesia pada masa kolonial.
2.      Mengetahui kondisi awal perekonomian masyarakat Indonesia saat datangnya Belanda atau masa kolonial.
3.      Mengetahui  jaringan perdagangan di Indonesia pada masa kolonial

BAB II
PEMBAHASAN
Secara geografis wilayah Nusantara berada pada posisi silang di antara dua benua dan dua samudera. Wilayah Nusantara diapit oleh Benua Asia dan Benua Australia, juga diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kondisi geografis tersebut bernilai strategis dan terbuka. Strategis bermakna letaknya baik dan menguntungkan, sedangkan terbuka berarti Nusantara terbuka oleh jalur hubungan antarpulau dan antarnegara. Sejak abad ke-7 kawasan Nusantara telah berhasil memainkan peran sebagai salah satu pusat perdagangan dan pintu gerbang lalu lintas perdagangan internasional, antara India-Cina di Asia atau di antara mata rantai hubungan Asia-Eropa. Di Nusantara muncul beberapa pusat perdagangan penting setelah sebelumnya mampu tampil sebagai pemasok barang komoditas bagi bangsa-bangsa asing, terutama rempah-rempah. Aktivitas perdagangan dan pelayaran internasional di Nusantara dapat berjalan dengan baik sebab negeri-negeri pemilik pusat perdagangan di Nusantara dapat mengamankan wilayah perairannya sehingga memberi jaminan keamanan kepada setiap bangsa. Selain itu, penduduk Nusantara termasuk bangsa yang memiliki kepandaian dan keberanian mengarungi samudera luas. Semua itu menyebabkan posisi Nusantara menjadi teramat penting dalam percaturan perdagangan dan pelayaran antara Asia-Eropa.

2.1  Sejarah awal Jaringan Perdagangan di Indonesia
Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, yaitu.
1.      Jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” (Silk Road) yang dimulai dari daratan Tiongkok (Cina) melalui Asia Tengah, Turkistan hingga ke Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalanjalan yang dipergunakan oleh kafilah India. Jalur ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan antara Cina dan Eropa.
2.      Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Melalui jalur perniagaan laut komoditi ekspor dari wilayah Nusantara menyebar di pasaran India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) yang terus menyebar ke wilayah Eropa. Komoditi ekspor tersebut antara lain terdiri atas rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan.Sejak masa kerajaan lama (baik pada masa kejayaan Hindu-Budha maupun Islam) pengaruh raja-raja atau sultan-sultan dari masing-masing kerajaan dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak sekedar sebagai pengontrol keamanan atau penarik pajak saja, namun sering kali juga bertindak sebagai pemilik modal. Pada dasarnya dunia perdagangan di wilayah Nusantara pada waktu itu mempunyai sifat politis dan kapitialistik. Ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan Internasional pada kurun abad ke-7 hinga ke-15, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Keduanya adalah kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya berhubungan dengan jalan raya perdagangan internasional dari Cina ke Eropa melalui Selat Malaka.
Pada abad ke-7 hingga ke-13 kerajaan tersebut tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat, terutama setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka. Sriwijaya mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat Selat Malaka untuk singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan tersebut sering dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, dan Cina untuk memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri yang dilaluinya. Barang-barang tersebut antara lain berupa tekstil, kapur barus, mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan sengkelat, perak, emas, sutera, pecah belah serta gula.
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa  sebelum  kedatangan bangsa Eropa perdagangan rempah-rempah di Maluku didominasi oleh pedagang-pedagang Cina, Arab, dan pedagang pribumi. Namun, sejak kedatangan bangsa Eropa perdagangan rempah-rempah menjadi rebutan diantara  para  pedagang  Eropa.
Dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis pada tahun 1512. Kedatangan bangsa portugis ke Indonesia mempunyai tiga tujuan sebagai berikut:
a.              Tujuan ekonomi,yaitu mencari keuntungan yang besar dari hasil perdagangan rempah-rempah. Membeli dengan harga murah di Maluku,dan menjualnya dengan harga tinggi di Eropa.
b.              Tujuan agama,yaitu menyebarkan agama Nasrani
c.              Tujuan petualangan,yaitu mencari daerah jajahan.
Tujuan tersebut lebih dikenal dengan gold,glory,gospel. Yaitu:
a.        Gold,yaitu mencari emas dan mencari kekayaan \.
b.        Glory,yaitu mencari keharuman nama,kejayaan,dan kekuasaan.
c.        Gospel,yaitu tugas suci menyebarkan agama Kristen.
       Bangsa Portugis karena ingin mencapai tujuannya segera melakukan serangkaian kegiatan penjelajahan. Di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque,ia bersama armadanya berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511.selanjutnya,pada tahun 1521 portugis sudah berhasil menguasai Ternate,yaitu dengan mengadakan perjanjian dengan kerajaan Ternate.
Portugis dan spanyol memang sama-sama ingin menguasai dunia. Mereka sudah dua kali membuat kesepakatan,yang pertama tahun 1494 dengan Perjanjian Thordesillas,dan yang kedua tahun 1526 dengan perjanjian Saragosa. Perjanjian Saragosa yang dipimpin oleh Paus,membagi dunia dalam dua wilayah kekuasaan.·              
       Setelah mendapat tempat dan berhasil menguasai Malaka dan Maluku, portugis berusaha mendapat tempat lagi di sumatera yang merupakan daerah penghasil Lada terbesar.Namun usaha Portugis gagal,Karena kerajaan Aceh terlalu kuat dan pengawasan yang sangat ketat terhadap semua wilayah kekuasaanya. Di pulau jawa,Portugis diterima dengan baik hanya di Pasuruan dan Blambangan saja,selebihnya di bawah pengaruh Demak yang tidak begitu senang terhadap portugis.
 Kemudian oleh Spanyol pada Tahun yg sama.Tujuan kedatangan bangsa Spanyol ke Indonesia sama dengan tujuan bangsa portugis, yaitu mencari kekayaan,menyebarkan agama Nasrani,dan mencari daerah jajahan.Pada tanggal 8 November 1521,kapal dagang Spanyol berlabuh di Maluku,setelah melalui Filipina,Kalimantan Utara,kemudian langsung ke Tidore.Disini bangsa Spanyol diterima baik oleh rakyat Tidore.
Kemudian diikuti bangsa Inggris. Inggris merupakan bangsa Eropa yang paling banyak memiliki daerah jajahan yaitu benua Amerika bagian Utara, Australia, Afrika maupun Asia. Jajahan Inggris di Asia terutama adalah Indiadan Semenanjung Malaya. Orang-orang Inggris seperti halnya orang Belanda berada dalam tekanan untuk terlibat secara langsung dalam perdagangan rempah-rempah. Pada Tahun 1591, Elizabeth I mendukung usaha pertama Inggris untuk terlibat langsung dalam perdagangan. Sir James Lancaster dan George Raymond siap mengadakan pelayaan pada tahun itu juga. Perjalanan mereka ini mengalami bencana. Di atas kapal timbul banyak kematian akibat terjangkit wabah penyakit. Lancester memang berhasil mencapai Aceh dan Penang, namun dalam perjalanan pulang ke negerinya dia terdampar di kepulauan Hindia Barat dan baru sampai di Inggris tahun 1594 atas kebaikan hati seorang perampok Perancis. Akibatnya Inggris meragukan manfaat yang akan diperoleh dari usaha seperti itu. Tetapi karena tersiar kabar mengenai keuntungan-keuntungan pertama yang diperoleh Belanda, maka lenyaplah sudah semua keraguan itu.
            Bangsa Inggris mendirikan perusahaan dagang bernama EIC (East India Company) pada tahun 1600 yang bermarkas di Calanta India. Pada tahun 1600, Elizabeth I memberi sebuah oktroi kepada Maskapai Hindia Timur ( The East India Company), dan mulailah Inggris mendapat kemajuan di Asia. Sir James Lancaster ditunjuk untuk melakukan pelayaran yang pertama maskapai ini. Dia tiba di Aceh pada Bulan Juni 1602 dan terus menuju Banten. Pimpinan armada kapal membawa surat dan hadiah dari raja untuk Mangkubumi di Banten. Dengan demikian, pedagang Inggris diterima dengan senang hati oleh Mangkubumi di Banten dan dapat berdagang dengan mudah, bahkan juga diperbolehkan mendirikan kantor degang di pelabuhan Banten. Bandar lada yang sangat kaya ini tetap menjadi pusat kegiatan orang-orang Inggris sampai tahun 1682. Lancester kemudian kembali ke Ingris dengan membawa muatan lada yang sangat banyak.   
Lalu diikui oleh Belanda pada tahun 1599. Perang antara Belanda melawan Spanyol selama 80 tahun (1568-1648) telah mendorong Belanda untuk mencari daerah jajahan ke nusantara. Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596,di bawah pimpinan Cornelis de Houtman,dan berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Pada tanggal 20 maret tahun 1602,Belanda mendirikan kongsi dagang yang beranama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie),dengan tujuan sebagai berikut:
a.        Menghilangkan persaingan yang merugikan para pedagang Belanda
b.        Menyatukan tenaga untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Portugis dan pedagang-pedagang lainnya di Indonesia
c.        Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk membiayai perang melawan Spanyol

2.1  Jaringan Perdagangan pada Masa Kolonial
Tujuan  awal  kedatangan  bangsa  Belanda  ke Indonesia  adalah  untuk  berdagang  dan  mencari keuntungan  dari  berdagang  rempah-rempah.  Sejak Lisabon dikuasai oleh Spanyol, Belanda tidak dapat lagi membeli dan menyalurkan rempah-rempah ke negerinya ataupun ke negara Eropa lainnya. Hal itu disebabkan  Belanda  bermusuhan  dengan  Spanyol yang  telah  berhasil  menguasai  Portugis  sehingga Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah di Lisabon. Oleh sebab itu, para pedagang Belanda berusaha mencari sendiri daerah penghasil rempah-rempah ke timur.Penjelajahan  Belanda  pertama  dimulai  pada tahun  1595  setelah  empat  buah  kapal  Belanda  di bawah  pimpinan  Cornelis  de  Houtman  berangkat dari Amsterdam. Mereka sampai di pelabuhan Banten pada  tanggal  22  Juni  1596.  Selanjutnya  pelayaran yang kedua dipimpin oleh Jacob van Neck, yang tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1598. Sikap bangsa Belanda tidak lagi kasar dan sombong sehingga mereka diterima dengan baik oleh kerajaan Banten. Kerajaan  Banten  sedang  berselisih  dengan  orang-orang Portugis. Di Banten mereka mendapatkan lada. Perjalanan  dilanjutkan  kembali  menuju  Tuban  dan Maluku. Di tempat itu pun mereka diterima dengan baik oleh raja dan masyarakat setempat. Keberhasilan mereka membawa rempah-rempah dari  kepulauan  Indonesia  mendorong  kapal-kapal dagang  Belanda  lainnya  datang  ke  Indonesia.
Pada pertengahan pertama abad ke-16, keadaan perdagangan Belanda masih tetap seperti keadaan abad-abad sebelumnya.Pelayaran yang diselenggarakan masih berkisar antara Eropa Utara dengan Eropa Selatan.Pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda masih berfungsi sebagai tempat pemberhentian dan pemuatan barang-barabg ke kapal. Dalam lapangan perdagangan internasional, kota Antwerpen menempati peran yang penting.
Kapal – kapal dari berbagai bangsa datang ke Antwerpen membawa barang-barang yang berasal dari Cadiz, Lisabon, Inggris, dan juga dari daerah timur.Eksport terpenting Antwerpen adalah laken. Hamper semua pedagang besar Eropa memiliki kantor dagang sebagai perwakilan di kota ini. Ketika terjadi perselisihan antara Belanda dengan Spanyol, Antwerpen memihak kepada Belanda.Pada akhir abad ke-16 pedagang-pedagang Belanda mulai mengadakan pelayaran di Laut Tengah. Dalam tahun 1580 terjadi perubahan politik akibat dikalahkannya Portugis atas Spanyol.Akibatnya pedagang Belanda mengalami kesusahan dalam perdagangan.Para pedagang Belanda akhirnya merasa perlu untuk menemukan sendiri jalan ke arah timur, ke daerah sumber barang-barang yang sebelumnya dapat diperoleh di Lisabon. Kondisi-kondisi objektif yang dimiliki oleh para pedagang Belanda sebagai dorongan untuk menemukan jalan ke timur (Hindia) adalah :
1.      Modal yang mereka miliki sebagai keuntungan perdagangan laut timur sudah cukup untuk mengadakan penjelajahan ke dunia Timur.
2.      Syarat-syarat teknis sudah terpenuhi untuk melakukan penjelajahan samudra.
3.      Sejak tahun 1594 prdagang-pedagang Belanda dilarang melakukan kegiatan dagang di Lisabon melalui dekrit yang dikeluarkan oleh raja Phillipus II dari Spanyol. Tujuan dikeluarkannya dekrit tersebut adalah untuk mematika sumber perekonomian Belanda, sehingga tidak mampu membiayai perangnya melawan Spanyol.
Portugis yang sudah terlebih dahulu datang ke Asia menguasai Lautan Hindia dan Teluk Persia hingga Selat Malaka tidak menghendaki bangsa Eropa lain mendekati wilayah kekuasaanya. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Belanda berlayar menjahui daerah-daerah yang membentang di Lautan Hindia tersebut. Itulah sebabnya pedagang-pedagang Belanda yang melakukan espedisi pertamanya ke perairan Indonesia, setelah dari ujung selatan benua Afrika langsung menuju ke Jawa yang belum diduduki Portugis.Pedagang-pedagang Belanda banyak menaruh kepercayaan kepada keberhasilan ekspedisi dagang pertama yang mencapai wilayah Indonesia. Dari masa penjelajahan itu banyak diperoleh informasi yang cukup lengkap mengenai perdagangan tradisional yang ada di Indonesia dan Asia pada umumnya.Jika melihat latar belakang kehadiran pedagang-pedagang Belanda ke Indonesia, maka secara ekonimis kehadiran mereka ini semata-mata adalah untuk berdagang.Hal ini berbeda bila dibanding dengan motif kehadiran Portugis dan Spanyol yang setengah-tengah.  Oleh karena semangat dagang yang lebih besar yang dimiliki oleh orang-orang Belanda, maka mereka berusaha membentuk organisasi dagang yang benar-benar rapi dalam rangka memperoleh keuntungansecara ekonomis.Pada tahun 1602 terwujud dibentuknya Vereenigde Oost Indische Compsgnie (VOC) yang terbentuk atas prakarsa dari Johan van Oldenbarneveld. Keja sama pedagang-pedagang VOC ini dianggap penting karena alasan-alasan berikut : 1. Secara bersama-sama diperlukan adanya suatu kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Spanyol dan Portugis. 2. Perjalanan yang jauh dan penuh resiko dalam pelayaran dapat diperingan dengan kerjasama di antara mereka. 3. Untuk dapat mempertahankan diri di Asia, maka mereka harus memegang monopoli perdagangan.
Segera setelah VOC berdiri dibentuk, pada tahun 1602 itu pula organisasi ini memperoleh hak octroi dari staten general yang isinya adalah monopoli perdagangan di wilayah yang membentang antara Tanjung Harapan (Afrika Selatan) hingga selat MagelhaensAmerika Selatan). Semua hak yang dimiliki VOC itu secara ketatanegaraan sebenarnya merupakan hak yang dimiliki oleh suatu Negara yang berdaulat.Untuk memperkuat kedudukan VOC di Indonesia, pemerintah Belanda memberikan hak-hak istimewa. Hak-hak istimewa VOC tersebut antara lain :
a.       Hak monopoli dagang
b.      Hak membuat dan mencetak uang
c.       Hak membentuk tentara
d.      Hak menyatakan perang ataupun membuat perjanjian Tujuan diberikannya hak octroi itu dimaksudkan: 1. Mencegah terjadinya persaingan diantara pedagang-pedagang Belanda sendiri, 2. Mampu secara bersama-sama mengahadapi persaingan sesama pedagang Eropa dan pedagang Asia, 3. Memberikan kekuasaan kepada para pedagang untuk mengadakan perlawanan terhadap Spanyol dan Portugis.
Bagi para pendiri VOC (kebanyakan pendirinya adalah bekas anggota-anggota compagnie van verre ). Kumpeni dagang Belanda ini dimulai dengan modal 6,5 juta gulden yang terbagi atas saham-saham. Untuk memperkuat kedudukan kumpeni di Indonesia, De Heren Seventien pada tahun 1609 memutuskan untuk memberikan pimpinan pusat kepada perusahanny yang adaa di Indonesia. Untuk pertama kali Pieter both diangkatsebagai pimpinan tertinggi kumpeni di Indonesia sebagai Gebernur Jenderal di Ambon.Dalam melaksanakan tugasnya, gubernur jenderal dibantu oleh beberapa Dewan Hindu yang merupakan penasehat-penasehat yang ahli dalam masalah-masalah penduduk bumiputera.Fungsi seorang gubernur jenderal adalah sebagai kepala militer, kepala pemerintahan sipil, dan kepala perdagangan.Dengan demikian Ambon berfungsi sebagai pusatmiliter, pusat pemerintahan dan pusat dagang.Sementara itu dalam perdagangan, posisi Portugis semakin terdesak akibat sifat perdagangannya yang agresif. Namun saingan berat yang muncul adalah pedagang-pedagang Inggris.Pada masa kepimpinan gubernur jenderal dipegang oleh J.P.Coen diputuskan untuk melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang dari Inggris. J.P.Coen memidahkan pusat kegiatan dari Ambon ke Batavia.Pemindahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan pangkalan militer dan pangkalan dagang yang dekat dengan pelayaran-pelayaran menuju Tanjung Harapan, India, Melayu dan Asia Timur.
Terjadilah  persaingan  dagang  antara  pedagang Belanda dan pedagang Eropa lainnya di Indonesia. Selanjutnya  untuk  menguasai  perdagangan  dan memenangkan  persaingan  dengan  orang-orang Eropa,  para  pedagang  Belanda  mendirikan  serikat dagang  yang  disebut  VOC  pada  tahun  1602.  VOC singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnieatau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. Kemudian, diangkatlah seorang pimpinan berpangkat gubernur jenderal untuk memperlancar kegiatannya. Gubernur jenderal pertama adalah Pieter Both.Beberapa hak istimewa disebut hak octrooiyang diberikan Pemerintah Belanda kepada VOC, antara lain:
4.      hak monopoli perdagangan;
5.      hak memiliki tentara sendiri;
6.      hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di daerah yang dikuasai;
7.      hak  untuk  mencetak  dan  mengeluarkan  uang sendiri.
8.      hak mengumumkan perang dengan negara lain
9.      hak memungut pajak;
10.  hak mengadakan pemerintahan sendiri.
Usaha pertama VOC untuk menguasai kerajaankerajaan di Indonesia adalah dengan  menguasai salah  satu  pelabuhan  penting  yang  akan  dijadikan  pusat kegiatan VOC. Pada tahun 1619, VOC berhasil merebut  kota  Jayakarta,  dan  mengubah  namanya menjadi Batavia. Dari Batavia, VOC dapat mengawasi daerah-daerah lainnya. Selain itu, untuk menguasai kerajaan-kerajaan  lain,  VOC  menjalankan  politik devide  et  impera (memecah  belah)  dan  menguasai antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. VOC juga  ikut  campur  dalam urusan  pemerintahan kerajaan di Indonesia.Untuk  menguasai  perdagangan  rempahrempah,  VOC  memaksakan  hak  monopolinya.VOC  juga  melaksanakan  Pelayaran Hongi,  yaitu melakukan  patroli  dengan  perahu  kora-kora  yang dilengkapi senjata untuk mengawasi pelayaran dan perdagangan di Maluku. Para petani yang melanggar peraturan monopoli diberi hukuman ekstirpasi, yaitu pemusnahan tanaman rempah-rempah. Akibatnya banyak kerajaan di Indonesia mengalami kehancuran dan kehidupan rakyat menderita.Jika kita perhatikan hak - hak istimewanya, VOC dengan mudah menguasai Indonesia. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan VOC tersebut, sebenarnya telah  membuktikan bahwa Belanda  melaksanakan sistem penjajahan, yaitu imperialisme perdagangan. Dengan imperialisme perdagangan mereka  mudah merampas  dan  menguasai  perdagangan  secara paksaan dan monopoli.Setelah berkuasa selama kurang dari dua abad (1602-1799), akhirnya VOC mengalami kehancuran. Hal tersebut disebabkan:
1.      banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi;
2.      daerah  kekuasaan  VOC  yang  semakin  meluas sehingga  memerlukan  biaya  pengelolaan yang lebih tinggi, dan;
3.      VOC banyak mengeluarkan biaya perang yang besar  dalam  menghadapi  perlawanan  rakyat Indonesia.
Untuk  mengatasi  kesulitan  tersebut,  VOC berupaya  lebih  memeras  rakyat  Indonesia  dengan menerapkan beberapa peraturan baru, seperti Verplichte Leveranties dan Contingenten. Verplichte Leveranties ialah peraturan yang mewajibkan rakyat menjual hasil pertanian kepada VOC dengan standar harga  ditentukan  oleh  VOC  yang  nilainya  amat rendah. Adapun Contingentenadalah penyerahan hasil pertanian dan perkebunan kepada VOC dari daerahdaerah yang tanahnya berada dalam kekuasaan VOC secara  langsung.  Dengan  kedua  peraturan  tersebut, mereka dengan mudah dapat memperoleh lada, beras, kapas, kayu dan barang lainnya seperti gula, ternak dan ikan. Peraturan lainnya yang diberlakukan VOC adalah aturan preanger  stelsel (sistem  wajib  tanam  kopi  di daerah  Priangan),  yang  bertujuan  mendapatkan kopi  sebanyak-banyaknya  dengan  harga  semurah-murahnya. Namun upaya-upaya tersebut tidak dapat memperbaiki kondisi ekonomi VOC. Sementara itu di negeri Belanda pada tahun 1795 terjadi revolusi yang dikendalikan oleh Perancis yang menyebabkan  terjadinya  perubahan  pemerintahan. Dalam  revolusi  tersebut,  raja  Belanda  berhasil digulingkan.  Belanda  berubah  menjadi  republik dengan nama Republik Bataafyang berada di bawah kekuasaan Perancis.Selanjutnya  Pemerintah  Republik Bataaf membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Semua tanah jajahan dan utang-utang VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Republik Bataabelum sempat menata keadaan Indonesia karena pada tahun 1806 terjadi lagi perubahan pemerintahan di  Belanda,  yaitu  dibubarkannya  Republik  Bataaf. Belanda kembali menjadi kerajaan tetapi tetap di bawah kekuasaan Perancis. Kaisar Napoleon yang menjadi Raja Perancis menunjuk adiknya, Louis Napoleon, menjadi Raja Belanda. Dengan demikian secara tidak langsung, Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda beralih ketangan Perancis.
 
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan.
Dengan memiliki letak posisi silang, kawasan Nusantara menerima dampak positif dan negative akibat timbulnya hubungan antarnegara yang melewati wilayah ini. Dampak positif dari posisi silang, yakni Nusantara dapat berperan menjadi jembatan lalu lintas perdagangan dan pelayaran internasional. Nusantara pun bias menjadi tempat persinggahan sementara bagi kapal-kapal yang melewatinya. Adapun dampak negatf dari posisi silang, yaitu mudah mendatangkan bahaya dan ancaman dari luar terhadap Nusantara. Selain itu, mudah masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Nusantara.
Kawasan Nusantara memiliki posisi tersendiri dalam jaringan perdagangan antara Asia-Eropa. Posisi yang strategis dalam lalu lintas perdagangan internasional itu telah menyebabkan kawasan Nusantara menjadi incaran dan ajang perebutan bangsa-bangsa Barat, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Khususnya pada masa Kolonial atau masa penjajahan Belanda. Jaringan perdagangan yang telah lama ada sebelum masuknya Belanda pun semakin berkembang atau semakin luas jaringan perdagangan tersebut akibat telah munculnya berbagai teknologi dan tata cara perdagangan yang menguntungkan pihak pedagang. Ini membuat nama Nusantara semakin dikenal di seluruh penjuru dunia akibat komoditi dagangannya yang menjadi primadona di dunia, khususnya bumi eropa
Berganti-gantinya bangsa Barat yang bercokol di Nusantara bukannya membuat kesejahteraan dan ketenteraman, melainkan rakyat malah menjadi korban penghisapan oleh kolonialis-imperialis dan sumber daya alam terus mengalir ke dunia Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara  1450 – 1680. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam kurun Niaga (Jilid I:Tanah di Bawah Angin). Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Kartodirjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Dari Emporium Sampai Imperium) Jilid I. Jakarta, Gramedia.

Selasa, 29 November 2016

MATERI GERAKAN : ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI DENGAN METODE TIGA BULANAN



ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI
DENGAN METODE TIGA BULANAN
Oleh: Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik

LANDASAN

Pengorganisiran massa agar menjadi kekuatan revolusi—menghancurkan musuh, merebut kekuasaan, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan baru—adalah pekerjaan membangun massa sadar yang terorganisir dan berkekuatan. Makna massa sadar harus dilihat dalam dua (2) pengertian: secara kognitif (kesadarannya) dan secara politik (tindakannya untuk berjuang). Massa sadar yang bertindak sebagai atau dalam pengertian kader, adalah massa maju yang berjuang membangkitkan dan berjuang bersama massa rakyat yang lain. Kader menjadi bagian dari setiap perlawanan massa, memajukan politik perlawanan tersebut, dan terus memperluas/memperbanyak massa maju atau kader lainnya di antara massa berlawan tersebut. Di sinilah pengertian kader sesungguhnya, sebagai kader revolusioner, yaitu selalu tidak pernah dan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan massa—sehingga berbeda dengan aktifis salon (menara gading) (yang tidak berada di tengah massa berjuang), ataupun pekerja sosial (yang tidak untuk memajukan massa (secara kognitif dan tindakan).

Pengertian kader dan pengorganisiran massa sebagaimana dijelaskan di atas adalah pengertian yang sekaligus menjawab pertanyaan: bagaimana kader tumbuh bersama kesadaran massa (yang masih masih reformis) dan memajukannya (menjadi revolusioner), sehingga batas kesadaran kader dengan kesadaran massa semakin menipis? Dengan demikian, pekerjaan membangun revolusi, dalam makna mendirikan pemerintahan rakyat (untuk memerintah dirinya sendiri) memiliki landasan nyatanya—nyata, benar-benar, sanggup mendirikan pemerintahan rakyat sendiri—karena massa telah memiliki kesadaran yang maju, memadai untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Kalaupun masih ada jarak antara kesadaran kader dengan massa, semakin hari jarak tersebut harus semakin menipis dengan semakin memajukan kesadaran massa. Saat perlawanan massa semakin meningkat dan meluas—itu artinya kesadaran dan tindakan (politik) massa sedang meningkat dan meluas—partai seharusnya dibuka untuk massa. Tapi itu bukan berarti organisasi revolusioner melepaskan kreteria-kreteria dalam rekruitmennya, bukan berarti melemahkan syarat-syaratnya namun, pengertiannya adalah: secara organisasional partai harus peka dan dapat dengan segera mewadahi massa yang kesadaran dan tindakan (politik)nya sudah/sedang maju/berkembang.

Pengorganisiran massa dan radikalisasi tiga bulanan kepentingannya adalah untuk memajukan dan menguji kesadaran serta tindakan (politik) massa—sehingga semakin dekat dengan pengertian kader. Bisa saja dibuat dua (2) atau empat (4) bulanan, tidak masalah, namun harus ada landasannya. Pengalaman sehari-hari kami berada di tengah massa memberikan pengertian, dan sepenuhnya maklum bahwa: sekalipun massa telah sanggup menerima propaganda tentang revolusi, namun belum tentu massa tersebut siap bertindak memperjuangkannya—apalagi bila kwantitas massanya belum memadai, sehingga memang tindakan (politik) massa tidak boleh terlalu maju. Dalam situasi kontradiksi yang semakin tajam akibat meluasnya persoalan rakyat—terutama persoalan-persoalan mendesak yang gamblang terasa dan terlihat di depan mata oleh rakyat—hal terpenting dalam tahap awal menuju revolusi adalah bagaimana segala keresahan tersebut diorganisir (baca: disadarkan dan dimobilisasi) menjadi tindakan politik massa yang rapi, menjadi mobilisasi menuntut, serendah apapun isu yang sanggup dan akan diperjuangkan oleh rakyat. Mobilisasi tersebut merupakan wujud kongkrit, wujud nyata kesanggupan rakyat untuk memperjuangakan kepentingannya, ideologinya, yang tumbuh dari kesadarannya, atau merupakan tindakan (politik) utama yang menunjukkan dan menguji kekuatan rakyat sendiri. Bersamaan dengan mobilisasi atau tindakan politik tersebut, semakin hari juga harus dipastikan adanya peningkatan kesadaran dalam politik massa. Dan sekalipun radikalisasi atau mobilisasi tiga bulanan ini dilakukan secara bertahap[1], namun bukan berarti dalam pekerjaan penyadaran massa kita tidak boleh memberikan kesadaran tentang seluk beluk revolusi—baik dalam pengertian ideologinya, politiknya dan organisasinya; dalam pekerjaan menyadarkan massa, sedapat mungkin, kita tidak boleh menahap-nahapkan isian kesadaran tentang revolusi. Sehingga, walaupun massa sedang memperjuangkan tuntutan reformis, namun massa akan sadar bahwa perjuangan tersebut masih merupakan perjuangan reformis, belum revolusioner; itulah yang dinamakan kompartemen kesadaran revolusioner dalam lautan perjuangan reformis—yang secara bertahap, sesuai dengan syarat perluasan kesadaran revolusioner dan kwantitas massanya, akan berderap menuju revolusi. Kompartemen revolusioner tersebut—baik dalam pengertian kesadarannya, maupun para pekerja/aktivisnya—harus semakin meluas menutup/merubah kesadaran dan tindakan (politik) reformis.

Pengertian revolusi secara mudah bisa diartikan sebagai perubahan tiga  hal pokok, yakni: 1) peningkatan tenaga produktif (force of production); bahwa peningkatan kemakmuran (yang berdialektik, berkait-berkelindan) dengan perubahan budaya (baca: nilai-nilai baik) dan sebagainya memiliki dan tergantung pada landasan tenaga produktif; 2) Perubahan hak milik atau transformasi pemilikan; 3) Perubahan kesadaran massa, terutama kesadaran untuk memerintah dirinya sendiri (transformasi dari demokrasi perwakilan ke arah demokrasi langsung). Dengan demikian, sosialisme (yang tenaga prodiktifnya dapat melimpahkan kemakmuran dan pemilikannya adil) justru memberikan landasan material bagi peningkatan potensi manusia sampai ke tingkat ke individu, yang sebelumnya potensi (individu) tidak bisa berkembang karena landasan materialnya telah dirampas oleh pemilik/penguasa tenaga produktif. Potensi (semua) individu untuk menjadi dirinya sendiri akan sanggup dikembangkan.

Oleh karenanya perjuangan kognitif (kesadaran) harus disatukan dengan tindakan perjuangannya/pemwujudannya. Dan agar kesadaran lebih mudah dapat didorong menjadi tindakan perjuangannya/pemwujudannya, maka kita bisa berangkat dari persoalan mendesak rakyat, dari tuntutan-tuntutan darurat rakyat, dari persoalan yang kasat mata dilihat dan dihadapi rakyat.

Situasi sekarang, karena terus menerus terjadi peningkatan dan perluasan penderitaan rakyat, mengakibatkan meluasnya lautan kesadaran ekonomis (reformis) di kalangan rakyat. Bahkan kesadaran reformis tersebut ada yang belum menjadi tindakan perlawanan; kalaupun ada perlawanan, yang semakin hari semakin meningkat kwantitas dan kwalitasnya, namun masih belum terorganisir secara nasional dan masih belum bersatu, terpecah-pecah. Kesadaran rata-rata massa adalah kesadaran reformis, ekonomis, dan itu merupakan realita yang harus diakui (untuk diatasi atau dimajukan, bukan disalahkan atau ditinggalkan). Kita tidak boleh idealis: mengharapkan kesadaran sosialis akan dengan mudah diterima dan diperjuangkan massa, atau datang (dari langit) dan muncul (dari bumi) dengan sendirinya. Lautan kesadaran reformis tersebut harus disimpulkan penyebab kongkritnya, sehingga bisa ditemukan  bagaimana mengobatinya agar menjadi kesadaran revolusioner dan dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan ideologi serta kepentingannya (bahkan tuntan reformis/mendesak sekalipun). Bagaimana menghadapi dan mengatasi kenyataan kesadaran reformis tersebut, apakah hanya kita didik terus sampai mereka paham? Ya bisa saja, tapi lebih lama menyerapnya. Contohnya, pembangunan Taman Siswa (dalam pandangan kolonial Belanda adalah sekolah-sekolah liar) yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Apabila tidak diletakkan dalam gerak perlawanan atau tindakan politik massa, maka pendidikan-pendidikan tersebut akan lebih sulit membangun massa sadar karena perjuangannya tidak menjadi nyata dirasakan dan disaksikan oleh massa sendiri.

Kesadaran akan tuntutan reformis tersebut didorong (baca: diorganisir) menjadi tindakan (baca: mobilisasi) politik massa (yang meluas, membesar dan menguat) dalam memperjuangkan tuntutan-tuntuannya  (ekonomis sekalipun), berupa mobilisasi-mobilisasi massa yang menuntut. Wadah-wadah rakyat yang bertujuan untuk menuntut harus terus menerus diperluas dan disatukan, bahkan persoalan-persoalan mendesak (dan tidak mendesak) lainnya yang belum jelas bagi rakyat harus diungkapkan dan ditunjukan kepada massa (saking banyaknya persoalan, sehingga kadang saling tumpang-tindihnya tak terlihat, tak kasat mata, misalnya: pengamen yang selalu diburu trantib bisa lalai atas persoalan kesehatan dan pendidikan anaknya; dan sebagainya). Segala persoalan mendesak rakyat ini harus terus diolah menjadi basis perlawanan rakyat. Rakyat harus bergerak untuk menuntut atau memperjuangkan kesejahteraannya, dengan metode proletar dalam bentuk: aksi massa.

Tapi harus diingat, setiap perlawanan ekonomis dan reformis tersebut tidak boleh dilepaskan dari kompartemen sosialisme dan kesadaran sejati. Massa sadar atau kader sosialis harus terus menjadi bagian dari setiap gerak massa ekonomis ini. Kompartemen sosialis tersebut harus membesar dan terus membesar, walaupun awalnya kecil. Tidak boleh seperti piramid; tidak boleh dibiarkan massa yang maju tidak membesar atau mengerucut. Apa tugas kompartemen sosialis tersebut? Selain menjadi kekuatan termaju dalam mewujudkan kesadaran ekonomis massa menjadi tindakan politik (dalam isu yang paling diterima massa), tugas kader revolusioner tersebut sejak awal adalah mengisi tuntutan-tuntutan reformis tersebut dengan pengertian sejati (menjelaskan kaitannya dengan sistim kapitalisme), terus menerus menjelaskan penyelesaian revolusioner yang sesejati-sejatinya yang dibutuhkan rakyat sebagai jalan keluar bagi berbagai masalah yang dihadapinya. Walaupun wujudnya tetap tindakan (politik) reformis, tidak masalah, harus diterima sebagai kenyataan, sebagai cerminan kesadaran massa pada waktu sekarang. Karena itulah kita bisa berangkat dari kesadaran tuntutan reformis, yang akan didorong menjadi tindakan politik. Tapi sejak awal massa juga harus tahu bahwa jalan keluar sejatinya tidak bisa reformis, atau hal itu saja belum cukup. Jadi, rakyat tahu bahwa tuntutan tersebut hanya untuk sementara (sebelum kesadaran dan kwantitas massanya memadai), atau sekadar mengurangi kesulitan sehari-hari rakyat. Propaganda kaum revolusioner harus ditransfer menjadi pemahaman massa, walaupun perjuangannya masih seperti itu (masih reformis, masih berupa sekadar tuntutan yang bisa jadi dipenuhi pemerintah), atau belum sekaligus menyelesaikan semua masalah (karena penyelesaiannya belum ke akarnya) karena  revolusi belum memadai syarat-syaratnya. Oleh karena itu, kesadaran massa harus diisi oleh pemahaman bahwa perjuangan reformis sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya, atau perjuangan sekarang ini merupakan  bagian dari suatu tahap dari arah revolusi. Karenanya, arah revolusi harus dijelaskan kepada massa secara lugas, gamblang, jelas dan kongkrit, dapat dimengerti rakyat. Massa harus sadar bahwa: seandainya pun negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya) memenuhi sebagian atau seluruh tuntutan reformis tersebut, namun hal tersebut hanyalah merupakan kemenangan kecil karena desakan rakyat, dan sebagai bagian utnuk mendapatkan kemenangan sejati. Dan yang terpenting: mobilisasi massa tersebut bukanlah sekadar untuk menekan (bargain terhadap) negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya); namun juga untuk memberikan contoh pada rakyat (terutama yang tidak berlawan) bahwa rakyat bisa memiliki kekuatannya sendiri, bahwa berjuang itu tidak mustahil, bahwa rakyat bisa memperjuangkan ideologi dan kepentingannya sendiri dengan kekuatannya sendiri, dengan politiknya sendiri—salah satunya, yang terpenting dan paling ampuh: dengan metode proletar; mobilisasi (aksi) massa. Sedangkan politik menekan, politik bargain dengan kekuatan rakyat tapi hanya untuk kepentingan kelas lain (misalnya hanya untuk memperkuat tawar menawar terhadap elit atau kelompok/partai lain, untuk bersekutu dengan elit atau kelompok/partai lain, dan sebagainya) ADALAH SALAH—bahkan bisa melemahkan keyakinan rakyat atas kekuatannya sendiri. Politik bargain yang salah tersebut sekarang telah menjadi penyakit yang menghinggapi organisasi gerakan, dan tidak boleh dibiarkan.

Agar mewujud menjadi mobilisasi—dengan sebelumnya ada proses (tahapan) investigasi dan peningkatan kesadaran massa—maka sebelumnya harus ada kesanggupan dari organisasi revolusioner untuk mewadahi massa. Lautan kesadaran reformis massa tersebut, yang selalu ada di sebagian besar tempat karena selalu ada himpitan persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, harus bisa ‘ditangkap’, harus bisa diwadahi terlebih dahulu. Pewadahan tersebut akan memudahkan proses tiga bulanan dijalankan di tengah subjektif organisasi yang masih kecil. Pewadahan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan berbagai cara terutama, tentu saja, lagi-lagi, berangkat dari kebutuhan mendesak massa sekitar yang sudah diinvestigasi dan disimpulkan. Misalnya dengan mendirikan Posko Pembelaan Rakyat Miskin untuk Berobat Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan Pendidikan Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan BLT, atau Posko Pembelaan THR Buruh dan sebagainya (kita harus jeli menginvestigasi dan menyimpulkannya). Dengan posko tersebut massa akan diberanikan mengadukan persoalan-persoalannya, dan posko tersebut dengan demikian mejadi penampung, wadah, bagi rakyat yang mengadukan persoalan-persoalannya dan segera dibantu memperjuangkannya—sehingga berkesempatan mendapat kepercayaan rakyat (apalagi jika segera mendapat hasil seperti bisa mengobati rakyat miskin secara gratis di rumah sakit). Bahkan dari keseriusan kita memperjuangkan saja—sekalipun belum berhasil—memungkinkan kita mendapatkan kepercayaan massa.[2] Dengan selebaran dan alat-alat propaganda lainnya (kita harus kreatif menemukan alat-alat atau cara-caranya) kita propagandakan (posko) bantuan pembelaan/advokasi untuk mengurus persoalan-persoalan rakyat, agar bisa membantu mewadahi massa (dalam kantung-kantung massa) yang akan memperjuangkan persoalan-persolannya dengan program radikalisasi tiga bulanan. 

BENTUK-BENTUK  KERJA

Bentuk Kerja dalam melaksanakan radikalisasi tiga bulanan terdiri atas pekerjaan bertahap (dilakukan secara berurutan) dan pekerjaan simultan atau bersamaan (dilakukan secara bersamaan atau seiring dengan pekerjaan bertahap). Dalam hitungan tiga bulan atau 90 hari, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut:

I. Pekerjaan Bertahap

1.                   Investigasi (porsinya 10% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 10% dari 90 hari, yakni 9 hari)
Investigasi adalah pekerjaan pencarian data tentang karakter massa (baik seara ekonomi, politik maupun budaya), apakah itu secara teritorial ataupun secara sektoral.  Selain di teritori basis yang sudah kita organisir, sasaran/arah teritori atau sektor yang akan diinvestigasi diperoleh dari rekomendasi kawan-kawan yang bekerja dalam pekerjaan perluasan, dari analisa geopolitik dan sebagainya. Dua masalah yang hendak diketahui dalam investigasi adalah: 1) kebutuhan-kebutuhan/persoalan-persoalan ekonomi (atau yang lainnya) yang sangat mendesak bagi rakyat. Tujuannya agar rakyat mau masuk dalam mimbar/wadah kita. 2) mengetahui apakah mereka mau melawan/berjuang atau tidak atas persoalan mendesak tersebut; 3) mengapa mereka mau atau tidak mau berjuang untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri.[3]

Banyak hal yang akan didapat dari investigasi tersebut, seringkali juga hal-hal negatif (misalnya bahwa, ternyata, massa sulit berjuang, takut dan sebagainya). Namun, apapun hasil investigasinya, akan sekaligus menjelaskan bagaimana organisasi mendapatkan kemudahan untuk mengajak dan menjadi bagian dari perjuangan massa. Sehingga, dari hasil data yang ada, akan bisa disiapkan bentuk perjuangan yang disanggupi massa, dan diketahui pula bagaimana kemudahan memajukan pemahaman/kognitif massa, serta sekaligus membangun kesiapan politik massa.

Selain keuntungan dapat memperoleh data, pekerjaan investigasi tersebut juga secara bersamaan dapat melatih organisasi dan massa rakyat untuk mengenal serta berlatih menjalankan demokrasi langsung. Maksudnya, dalam mengorganisir kita bisa menyediakan ruang yang mengutamakan aspirasi atau pendapat massa dalam menentukan isi dan sasaran dari perjuangan mobilisasi atau radikalisasi tiga bulan ke depan. Pendapat massa terbanyak (mayoritas) tentang persoalan mendesaknya, yang dipandang harus segera diperjuangkan, merupakan landasan utama untuk merumuskan penyadaran dan tuntutan dalam radikalisasi yang akan dilaksanakan. Keterlibatan atau partisipasi massa dalam aksi juga akan lebih kuat atau lebih mungkin terjadi, karena sejak awal rencana aksi diletakkan pada kepentingan mendesak massa itu sendiri. Metode bertanya langsung ke rakyat sebelum keputusan diambil, bahkan harus diperjuangkan untuk menjadi metode/pola yang dilakukan negara sebelum membuat keputusan penting bagi rakyat (misalnya referendum sebelum buat UUPM, atau dalam pembuatan konstitusi, dan lain sebagainya)[4].

Dalam menjalankan investigasi, alat-alat yang dipergunakan untuk mengetahui pendapat massa bisa berupa: a) Angket: (i) diisi langsung oleh rakyat atau; (ii) (bila ada yang belum sanggup mengisi angket karena berbagai sebab) diisi sambil ditanya; b) dari perbincangan dengan massa; c) dari laporan organiser. Alat-alat investigasi tersebut bisa digunakan semuanya, secara bersamaan, atau bisa juga salah satunya. Namun, bila menggunakan salah satunya saja kadang tidak bisa menjangkau massa luas atau kadang ada kesulitan-kesulitan. Misalnya dengan angket, memang bisa lebih luas dan semakin banyak bisa memperoleh pendapat massa tentang persoalan dan kesanggupan berjuangnya dari satu-persatu massa, tapi seringkali juga ada kesulitan karena massa sulit mengisi angket (karena teknis atau banyak juga karena buta huruf).

Selanjutnya, dari pekerjaan investigasi harus ada kesimpulan hasil investigasi. Hal terpenting dari pendapat massa yang harus diperhatikan adalah pada persoalan apakah massa siap melawan/memperjuangkan persoalan-persoalannya. Sekali lagi, hal prinsipil saat mendorong maju kesadaran ekonomis (reformis) adalah mewujudkannya menjadi tindakan politik massa, menjadi mobilisasi aksi massa. Sehingga harus dihargai betul kesanggupan massa untuk bergerak, dalam persoalan apapun. Kita harus mempelajari persoalan-persoalan yang, bagi massa, paling mendesak untuk diperjuangkan. Secara umum, persoalan-persoalan tersebut harus dilihat apakah: 1) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang sudah dipenuhi negara (tapi ada persoalan dalam pelaksanaannya); atau 2) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang belum dipenuhi oleh negara. Untuk kebutuhan mendesak yang sudah dipenuhi negara atau sudah menjadi program negara (tapi dalam pelaksanaannya masih ada persoalan, sehingga tidak diterima oleh massa di teritori yang sedang diinvestigasi), memang lebih mudah dituntut dan lebih cepat kemungkinannya untuk diselesaikan. Dengan demikian, kader-kader revolusi harus wasapada karena tuntutan massa yang dengan mudah bisa dipenuhi negara (karena memang sudah menjadi program penerintah) bisa menyebabkan massa terilusi: percaya kepada negara sebagai pihak protagonis (pihak yang baik hati), bisa mengurus rakyatnya—Dinas Kesehatan yang memperhatikan rakyat, Dinas Sosial yang peduli dan sebagainya. Bahkan organisasi yang dilibatkan dalam pelaksanaan program pemerintah itupun akan serupa dengan pekerja sosial, atau bahkan menjadi kacung pemerintah. Bagaimana supaya tidak demikian? Agar tidak terbangun ilusi kepercayaan massa terhadap negara (yang sebenarnya bukan pihak yang baik dan dapat mengurus rakyatnya), maka harus disiapkan materi propaganda (sebagai isi tahap berikutnya: tahap penyadaran) tentang kemenangan sejati dan tentang kemenangan-kemenangan kecil yang mungkin didapat sebelum revolusi. Jadi, jangan sampai dibiarkan ada celah berkembangnya kesadaran massa untuk mempercayai negara borjuis ini, tidak perlu berterima kasih kepada negara dan harus berterimakasih pada perjuangan rakyat itu sendiri. (Pengalaman di Jakarta, ketika tuntutan bisa dipenuhi pemerintah—karena memang sudah jadi program pemerintah—maka massa tetap bisa diajak untuk mengritik cara pemerintah yang salah dalam menjalankan program tersebut. Dan massa disadarkan bahwa kemenangan kecil tersebut bukanlah kemenangan sejati karena bisa dicabut kembali atau tidak diberikan lagi, dipotong subsidinya, seperti terjadi di negeri-negeri lain bahkan di negeri kita sendiri; kemenangan sejati adalah buah revolusi, karena revolusi bisa memberikan jalan keluar yang radikal atau menghilangkan akar penyebab persoalan-persoalan rakyat.)

Sekali lagi, kesimpulan investigasi yang terpenting adalah dalam persoalan: apakah sebagaian besar massa sudah siap berjuang. Bisa jadi, dari 500 massa, hanya 50 massa saja yang menyatakan siap berjuang. Tidak masalah. Karena memang rata-rata massa yang ditemui adalah yang tidak mau menuntut, mereka biasanya akan berubah pikiran bila, misalnya, faedahnya sudah bisa dirasakan langsung. Tingkat kesadaran reformisnya bahkan juga bisa lebih rendah dari perkiraan organiser. Jadi memang tidak bisa dijamin bahwa setiap mendapat persoalan pasti akan melawan. Itulah kesadaran reformis—dan yang paling membahayakan adalah: bila sudah tak punya harapan bisa melawan atau berjuang, tak yakin bisa menang (ideologi yang paling berbahaya). Jadi, tidak benar pernyataan bahwa melawan adalah instink[5] manusia, layaknya hewan. Manusia, karena punya kesadaran, dan tidak sekadar mengandalkan instink layaknya binatang, bisa saja tidak melawan bila ditindas (dengan alasan takut, sudah biasa dan terima saja, serta lasan-alasan lainnya). (Pada massa Suharto, banyak massa yang tidak berani melawan. Massa bisa berani melawan karena syarat-syaratnya telah dibuka oleh unsur-unsur pelopor; itulah mengapa sekarang, setelah Suharto jatuh, rakyat banyak yang bisa melawan.) Potensi perlawanan belum tentu dengan segera mewujud, manifes, tidak serta-merta (otomatis) bisa mewujud nyata. Itulah salah satu landasan dasar teori kepeloporan,  harus ada tambahan penyadaran yang dipasok dari luar, dari kelas asing sekalipun, bagi perkembangan dan majunya perlawanan. Dari data hasil investigasi yang menyatakan bahwa masih banyak massa tidak mau melawan, kita harus menyimpulkan: apa saja penghambat kesadaran massa di wilayah massa tersebut, dari mana sumbernya; misalnya, apakah ada oknum/lembaga yang menghambat kemajuan kesadarannya, atau karena sebab-sebab lainnya. Penyebabnya harus disimpulkan kemudian dicari obatnya (remedy). Jadi sebelum melangkah ke tahap dua, tahap penyadaran, harus juga ada kesimpulan tentang obatnya. Biasanya obatnya adalah pengertian atau penyadaran yang bisa menjelaskan tentang kesalahan dari kesadaran massa tersebut, atau obat untuk menghancurkan kesadaran palsu massa.

2.                   Penyadaran (porsinya 75% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 75% dari 90 hari, yakni  sekitar 66 hari)

Tahap kedua adalah penyadaran atau sering disebut tahap agitasi-propaganda. Dalam program radikalisasi tiga bulanan, tahap kedua ini merupakan pekerjaan yang paling banyak porsi waktunya. Karena dalam tahap inilah kesimpulan investigasi diolah, agar diketahui akar masalah mengapa massa tak sanggup berjuang, bagaimana mengobatinya agar betul-betul sanggup memperjuangkan persoalannya, dan mengerti kemenangan sejati yang harus dicapai.

a.                  Penyadaran tentang tuntutan yang mendesak dan yang sejati
Penyadaran untuk memahami masalah mendesak yang dihadapi massa (yang didapat dari hasil investigasi), sekaligus membangun keberanian berlawannya, adalah lebih mudah ketimbang pekerjaan propaganda tentang bentuk perubahan sejati yang hendak dicapai—yang sedapat mungkin harus juga disampaikan, dalam berbagai cara dan bentuk. Di samping kita harus menjelaskan mengapa kita harus menuntut tanggung jawab negara dalam persoalan tersebut, kita juga harus menyampaikan apa akar persoalannya. Itulah tugas organiser: memberi pengertian radikal tentang problem yang akan dituntut; bahwa akarnya adalah persoalan sistem (kapitalis) yang berlaku saat itu. Karena itu, kita tidak boleh menyetujui pemahaman reformis massa terhadap masalah tersebut, tapi kita harus memberikan kesadaran radikal/revolusioner tentang problem reformis yang dituntut oleh massa. Misalnya dalam hal pendidikan, jangan dimaklumi alasan-alasan negara bahwa anggarannya kurang karena harus membayar utang luar negeri; sudah diupayakan (sehingga anggrannya hanya bisa sedikit meningkat), dan alasan-alasan lainnya. Akar persoalan tersebut, yakni adanya sistim (kapitalis), harus dijelaskan. Akar persoalan yang ditimbulkan oleh sistem (kapitalis) tersebut adalah: (1) penjajahan (baca: penghisapan) asing dan agen-agennya di dalam negeri; (2) sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); (3) tentara; (4) reformis gadungan; (5) kebudayaan tak melawan, tak berorganisasi, dan tak bersatu.
Karena penyadaran radikal/revolusioner tersebut berpotensi menjatuhkan dan menggantikan sistim (kapitalis) tersebut, maka pekerjaan penyadaran tersebut sering menghadapi bahaya/gangguan, dari siapapun dan di manapun. Namun karena penjelasan sejati tersebut tidak boleh ditinggalkan, karenanya harus disiasati, bukan diabaikan atau ditahap-tahapkan. Organisasi  dan organiser harus jeli memanfaatkan ruang dan membangun ruang dari situasi yang ada, untuk memberikan tempat bagi propaganda revolusioner tentang akar masalah rakyat. Semua sektor masyarakat harus mendapatkan penyadaran tersebut, tak bisa ditunda atau ditunggu-tunggu lagi. Memang ada bahaya, tapi harus diatasi dan bukan dengan dicabut/ditiadakan. Kalau hanya melakukan propaganda reformis, maka kita tidak beda dengan pekerja sosial radikal, tak punya arah revolusi. Bila pesoalannya adalah keamanan, maka yang perlu diatasi adalah keamanannya, bukan menanggalkan prinsip revolusionernya.

b.                   Penyadaran tentang cara berjuang (dalam arah revolusi)
Massa yang sedang menuntut kebutuhan mendesaknya harus sadar bahwa perjuangan tersebut adalah sebagai tahapan (sekolah) menuju revolusi, yakni untuk memudahkan hajat (survival) hidupnya dan agar mereka sadar bahwa, dengan berjuang bersama, mereka memiliki kekuatannya sendiri, apalagi jika bersatu dengan sektor lain. Itulah mengapa program radikalisasi tiga bulanan tersebut sedapat mungkin beranggotakan multisektor (melibatkan sektor lain masyarakat) dari berbagai tempat, daerah sampai ke tingkat nasional. [Walalupun dalam tahapan penyadaran, sebelum tahap mobilisasi multisektor, diperkenankan melakukan penyadaran dengan cara aksi sektoral ataupun teritori-teritori tertentu saja—terutama bila masalahnya harus sesegera mungkin diatasi atau untuk menyerang musuh lokal (agar kita populer[6] di teritori tersebut)]. Tapi hati-hati: aksi lokal tersebut (dari segi stamina dan dana) jangan sampai menggangu program mobilisasi/radikalisasi tiga bulanan tersebut. Sekali lagi, cara perjuangannya harus dalam arah revolusi, sehingga massa sadar bahwa perjuangan mereka sekarang adalah dalam kerangka revolusi. Sehingga: (1) secara ekonomi bisa menang; (2) secara politik sadar akan kekuatannya. Metodenya bisa berbagai cara, yang satu sama lainnya bisa saja simultan/bersamaan. Misalnya: keikusertaan dalam pemilu merupakan salah satu bagian saja dari siasat revolusi (sehingga keikursertaan dalam pemilu tidak menyimpang, kontradiktif, atau kontra-produktif terhadap arah revolusi); atau dengan mendirikan partai sendiri, partai alternatif (apalagi saat partai-partai yang ada sudah disimpulkan tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat); aksi menuntut; rapat akbar (vergadiring); membuat dan menyebarkan terbitan seluas-luasnya; dan lain sebagainya.

c.                    Alat-alat penyadaran
Banyak dan beragam: 1) penyadaran untuk meningkatkan kesadaran/koginitif, bisa berupa: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik (pengalaman di DKI, debat publiknya digelar di depan warga, menghadapkan wakil DPR, wakil pemerintah, dan wakil organisasi kita); dan lain sebagainya; 2) penyadaran untuk melatih tindakan politik, bisa berupa aksi-aksi sektoral atau teritorial setempat (aksi lokal). (Tapi, sekali lagi, aksi-aksi sektoral dan lokal jangan sampai menggangu program radikalisasi/aksi/mobilisasi tiga bulanan, baik dari segi stamina maupun dana); 3) Gabungan penyadaran (1) dan (2), terutama yang berupa vergadering atau rapat-rapat akbar (di semua tingkatan bahkan, semakin hari, vergaderingnya bukan saja sekadar di tingkat teritori yang tinggi, namun juga harus semakin didorong ke tingkat teritori bawah, di tingkatan RT, misalnya) 

3. Mobilisasi (porsinya 15% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 15% dari 90 hari, yakni  sekitar 13-15 hari)

Pada tahap ini, kembali dijelaskan rencana mobilisasi (beserta rincian tuntutan, sasaran dan lain sebainya) dan ditanyakan kesanggupannya (dalam bentuk mengisi absen) untuk terlibat dalam aksi. Kesanggupan tersebut merupakan kreteria (tolak ukur) keberhasilan pekerjaan TAHAP I (INVESTIGASI) dan TAHAP II (PENYADARAN). Begitulah kita mengukur penerimaan massa terhadap rencana program radikalisasi tiga bulanan. Dalam TAHAP III (MOBILISASI), setiap harinya harus ada (organiser) yang mengumpulkan tanda tangan absen keikutsertaan (aksi) tersebut. Dalam tahap ini juga diperiksa persiapan-persiapan lainnya, seperti: transportasi; perangkat aksi; evaluasi terhadap kecukupan dana; bentuk aksi; sasaran; kampanye ke media massa; pengamanannya; sampai warna, spasi huruf/kata/baris, bentuk huruf agar spanduk dan poster-posernya menonjol; lagu-lagu; yel-yel; slogan-slogan; dan lain sebaginya.

Pada tahap mobilisasi ini, bahkan pada tahap penyadaran, massa secara jelas mengetahui aksi yang akan dilakukan, dari isi tuntutannya (isuuenya) hingga teknis-teknisnya. Sehingga jika di lapangan ada wartawan yang bertanya ke massa, mereka akan bisa menjawab dan memang mengetahui kepentingannya, sebagaimana layaknya massa sadar (tak seperti massa bayaran yang sekadar dimobilisasi). Dan kita juga tahu massa mana saja yang belum siap aksi—dan tugas kita lah untuk menyadarkan dan memberanikannya. Jumlah peserta aksi pun akan rinci sesuai dengan absen (1.313 orang, misalnya). Kalaupun berubah, jumlahnya tidak akan jauh berbeda dari daftar yang ada di absen (bahkan kadang-kadang lebih banyak karena, biasanya, massa mengajak mengajak teman atau keluarganya tanpa didaftarkan. Namun, sedapat mungkin harus didaftarkan agar dapat dikontrol dan dijaga. Selain itu, resiko penyusupan provokator ke dalam aksi bisa dikurangi).

II. Pekerjaan yang dilakukan secara simultan atau bersamaan dengan pekerjaan bertahap

Pekerjaan yang tidak ditahap-tahapkan, yang dikerjakan sejak awal hingga aksi, dan selalu ada dan terus dikerjakan bersamaan dengan pekerjaan bertahap (investigasi, penyadaran dan mobilisasi), kita sebut pekerjaan simultan atau pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan (dengan pekerjaan bertahap). Pekerjaan simultan ini meliputi pekerjaan-pekerjaan yang juga tidak boleh dipisahkan dari radikalisasi tiga bulanan.

1.                   Persatuan
Kerja membangun persatuan dengan organisasi/individu lain sejak awal harus dilakukan dan ada petugas (khusus)nya yang ditunjuk[7]. Petugas untuk membangun persatuan atau front ini akan menawarkan ke organisasi/individu lain untuk terlibat (seluruhnya atau sebagian) dengan tahapan radikalisasi tiga bulanan tersebut.[8] Organisasi/individu lain yang sepakat terlibat atau sepakat menjalankan bersama-sama rencana radikalisasi tiga bulanan tentu akan juga mengikuti dan melaksanakan semua pekerjaan tiga bulanan tersebut. Namun mereka bisa juga hanya terlibat dalam sebagian prosesnya saja: misalnya, saat bekerja sama dengan LSM, mereka hanya mau bekerjasama dalam program atau tahap investigasi. (Dengan demikian, selain kita dan LSM tersebut akan bersama-sama memiliki data hasil investigasi, juga kita dan LSM bisa saling berbagi dalam membiayai program investigasi). Atau misalnya ada kelompok/pihak lain yang hanya mau terlibat dalam mobilisasi dan aksi (dengan menerima program/issue/tuntutan yang kita usung), atau bentuk-bentuk kerjasama yang lainnya. Prinsip dari pekerjaan membangun persatuan tersebut adalah untuk memperbanyak sekutu dan sumber daya (massa, organiser, dan dana). Bahkan bisa jadi kita yang kemudian ikut dalam program kelompok/pihak lain atau front yang sudah ada, oleh karena tuntutan mereka lebih tepat, misalnya (tentu saja kita harus menjelaskannya kepada massa kita mengapa kita harus mengusung program/issue/tuntutan front). Ada banyak lagi kemungkinan bentuk taktik persatuan yang dijalankan—bahkan, misalnya,  bisa saja kelompok/pihak lain tidak mau dicantumkan sebagai penyelenggara aksi tapi hanya sebagai pendukung (sponsor) aksi (tercantum dalam statemen dan selebaran sebagai pendukung); atau sengaja (dengan persetujuan kelompok/pihak lain) kita mencantumkannya hanya sebagai pendukung aksi karena mereka memang tidak terlibat dalam program tiga bulanan sejak awal. Walaupun, di lapangan, kita harus memberikan kesempatan (demokratik) kepada mereka untuk berorasi. Semua itu agar mempercepat persatuan dan penggabungan antar kota/wilayah/sektor dari berbagai kekuatan demokratik. Unsur-unsur kekuatan politik rakyat harus terus kita dorong bersatu, dan akan semakin mudah jika organisasi kita tidak sektarian, rendah hati dan tidak memaksakan kehendak. Dan akan semakin mudah bila proses persatuan tersebut menuju ke arah yang benar (tuntutannya semakin baik, membela rakyat, dan kelompok/pihak yang terlibat semakin bertambah). Dengan demikian massa, rakyat, secara umum akan melihat keseriusan kita membangun persatuan berbagai kekuatan politik demokratik yang menguntungkan rakyat. Kerjasama dengan organisasi politik lain yang sering atau pernah menjadi musuh rakyat akan kontra-produktif bagi politik alternatif, karenanya TIDAK bisa dijadikan sekutu atau membangun persatuan dengan pihak tersebut. (Pengecualian kerjasama dengan pihak semacam itu adalah hanya jika sedang menghadapi serangan musuh yang lebih berbahaya bagi rakyat, dan pihak lain tersebut dengan tegas JUGA menyatakan perlawanan terhadap musuh rakyat tersebut).

2.                   Perluasan
Pekerjaan perluasan bisa dibedakan dengan pekerjaan front atau persatuan—walaupun pekerjaan front mengandung unsur manfaat perluasan. Bahkan manfaat perluasan yang diberikan oleh front (secara manajemen) harus ditindaklanjuti oleh pekerjaan perluasan. Pekerjaan perluasan lebih bermakna memperluas perjuangan kita sendiri (baik secara teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakatnya). Pekerjaan perluasan tidak boleh kita abaikan, harus selalu dikerjakan, sehingga mempercepat pembesaran organisasi. Makna perluasan bisa dilihat dari: perluasan basis teritori (struktur dan massa), perluasan sektor, perluasan tuntutan dan lain sebagainya; dan perluasan  itu ada yang terencana (mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang potensial akan bergolak) atau ataupun tidak terencana (misalnya, kita mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang sudah/sedang bergolak, yang sudah manifes/berwujud). Perluasan harus menjadi bentuk kerja tersendiri, karenanya perlu ada orang-orang khusus (SATGAS Perluasan) yang ditugaskan untuk pekerjaan perluasan tersebut. Petugas perluasan ini harus siap melakukan pekerjaan perluasan yang diolah dari setiap potensi yang datang (selain yang sudah direncanakan), termasuk misalnya dari hasil kerja persatuan/front yang berhasil mendapatkan peluang perluasan.

Bahkan untuk mempercepat perluasan, bisa diputuskan bahwa sebagian besar organiser (75% nya, misalnya) dalam dua hari setiap minggunya melakukan pekerjaan perluasan atau berkeja sebagai SATGAS Perluasan, apalagi bisa sudah ada massa maju (pengganti/second liner) untuk menjaga basis yang ditinggalkan selama dua hari dalam setiap minggunya itu. Biasanya, bila pekerjaan perluasan dilakukan secara bersama-sama, atau tidak sendiri-sendiri, maka keberanian organiser untuk melakukan pekerjaan perluasan akan terjamin. Dalam dua hari itu, pekerjaan basis bisa diserahkan kepada second liner (bila ada), atau massa maju yang sudah diberikan pendidikan dan diberikan/didelegasikan wewenang pekerjaan pengorganisasian basis yang sudah ada (sekaligus merupakan latihan dalam proses kaderisasi). Alat-alat atau media untuk melakukan perluasan bisa berbagai macam bentuk, misalnya, layaknya dalam pekerjaan penyadaran: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik, dan lain sebagainya; atau misalnya dengan selebaran yang isinya menjelaskan bahwa kita bisa memberikan advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis kepada rakyat (dengan memberikan nama petugas kita, alamat terdekat, dan nomer telpon/handphone yang dapat dihubungi rakyat).

Pekerjaan perluasan tersebut akan saling-memberikan manfaat (dialektik) antara massa basis lama dengan massa basis baru: massa basis lama akan meningkat semangatnya bila mengetahui adanya perluasan basis massa baru; demikian pula sebaliknya, massa basis baru akan mau terlibat bisa mengetahui sudah ada/banyak massa di daerah lain yang terlibat. (oleh karena itu, dalam selebarannya, juga harus dicantumkan massa basis-basis mana saja yang sudah mendapatkan manfaat advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis.) Apalagi bila keterlibatan massa di basis lama stagnan, sulit meningkatnya, atau bahkan cenderung menurun. Selain itu, dengan perluasan, kita bisa mengukur kapan kita bisa meningkatkan tindakan dan/atau tuntutan politik kita, radikalisasi (KADANG, apalagi pada masa awal) harus diselaraskan dengan jumlah massa dan tingkat kesadaran/kesanggupan politiknya. [misalnya, saat kita hendak menggulingkan Soeharto, kita memiliki ukuran perluasannya: bila kita berhasil melibatkan 25% massa dari 98 kelurahan (di DKI Jakarta) di jalur revolusi[9], maka Soeharto akan tumbang.

Untuk menentukan sasaran perluasan kita harus memahami watak geopolitik dan watak massanya. Teritori yang dipertimbangkan memenuhi syarat geopolitik sangat penting menjadi sasaran perluasan (baik dalam pengertian geopolitik teritorial maupun geopolitik sektoral), karena daya juang politiknya akan memiliki pengaruh politik yang tinggi/luas, baik ketika berhadapan dengan negara maupun untuk mempengaruhi teritori lain (sehingga perluasan selanjutnya ke teritori lai akan lebih mudah). Sasaran perluasan perlu juga dilihat dari watak massanya. Misalnya, perluasan ke lapisan masyarakat yang tak terlalu miskin bisa lebih mendapatkan massa yang lebih mudah untuk dimajukan sebagai organiser atau kader.

Pekerjaan perluasan tersebut juga bisa dikaji untuk diterapkan dalam pekerjaan perluasan di sektor-sektor mayarakat lainnya, misalnya di sektor buruh, tani dan lain sebagainya.


3.                  DANA JUANG
Dilihat dari sumbernya, dana juang bisa diperoleh dari dua sumber:

·  Dari dalam:
Mutlak HARUS karena, dengan demikian, kita bisa menguji dan mengkur komitmen atau kesetiaan massa untuk mendanai perjuangannya sendiri. Dana dari dalam ini sebaiknya dipergunakan untuk item-item atau hal yang kaitannya dengan perjuangan massa sangat dekat, misalnya: untuk biaya mobilisasi aksi; untuk bacaan; untuk pendidikan; dan lain sebagainya. Memang sering tumpang tindih dengan sumber dana dari  luar, tapi harus selalu diupayakan agar massa mendanai perjuangannya sendiri. Dalam pengalaman di DKI Jakarta, Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) mengajurkan agar massa menyumbangkan dananya sebesar Rp.500,- per hari (sebagai tabungan). Kenapa harus per hari (atau per dua hari; di buruh per minggu): itu agar meringankan massa memberikan dannya, ketimbang sekaligus Rp.30.000,- per bulan, berat. Dan agar terlaksana dengan baik, harus ada petugas keliling yang mengumpulkannya. (Rekor pengumpulan dana juang SRMK Jakarta: pernah mengumpulkan 45 jutaan rupiah dalam tiga bulan, dari keharusan terkumpul 90 jutaan rupiah). Banyak hambatannya, memang, tapi harus terus diupayakan metode terbaiknya, sesuai dengan watak massa masing-masing.

·  Dari luar:
Bisa didapatkan dari kerjasama dengan kelompok/pihak lain atau dari unit usaha kita sendiri. dan alokasi dananya, sebaiknya, untuk yang kaitannya dengan perjuangan massa lebih jauh, misalnya untuk tranportasi organiser, untuk kesekretariatan, dan lain sebagainya.

III. Pekerjaan Tambahan

Selain pekerjaan bertahap dan pekerjaan simultan, ada juga pekerjaan tambahan yang dalam setiap periode tiga bulanan bisa berubah-ubah. Namun begitu pekerjaan tambahan ini ditetapkan di satu periode tiga bulanan, maka pekerjaannya juga harus menjadi bagian dari program tiga bulanan dan hasilnya ditelit/dievaluasi bersama dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Dalam program tiga bulanan, SMRK DKI Jakarta pernah menetapkan pekerjaan tambahannya adalah sebagai berikut (untuk jadi acuan):

1.                  Pembangunan kompartemen:
Misalnya, pembangunan kompartemen: a) Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS); b) Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika c) Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Artinya dalam satu periode tiga bulanan (bisa saja terus berlanjut di tiga bulanan berikutnya) maka pekerjaan organisasi ditambah dengan pekerjaan membangun PAPERNAS, Mahardhika, dan Jaker di setiap teritori. Sebenarnya, dari pengalaman, pembangunan kompartemen tersebut sangat membantu dalam perluasan dan penyadaran massa (massa jadi tidak cupet/parokial pemikirannya), serta membantu dalam menggalang sumberdaya organiser dan dana.
2.                  Pendidikan kader/massa maju
Tujuannya untuk mempertinggi pengetahuan/meningkatkan kemampuan dan pendelegasian wewenang kepada massa yang dianggap telah memenuhi kreteria maju; selain itu, juga agar pekerjaan perluasan dapat ditingkatkan dan diperingan (karena sumberdaya organisernya lebih banyak) dengan melimpahkan wewenang kepada massa maju untuk mengorganisir/menjaga basis yang sudah ada, selama organiser lama bekerja menjadi petugas SATGAS Perluasan. Taktik ini berangkat dari pengalaman: saat basis massa meluas, atau potensial meluas, tapi tak bisa ditangani karena organisernya tak mencukupi.

3.                  BUK (Badan Urusan Kontradiksi)
Badan ini difungsikan untuk menyelesaikan persoalan personal antar kawan, antar massa, atau antara organiser dengan massa, yang mungkin muncul selama proses tiga bulanan. Persoalan antar personal tersebut penting untuk diperhatikan, dan sebisa mungkin segera diselesaikan, sehingga tidak menganggu pekerjaan-pekerjaan dalam tiga bulanan.

4.                  Unit Usaha
Pengembangan usaha ekonomi untuk membiayai organisasi, yang muncul dari potensi yang paling sanggup dikerjakan, sebagai bagian penting membangun kemandirian organisasi dalam memenuhi kebutuhannya. Seberapapun capaian awal dalam unit usaha organisasi ini, harus dihargai dan dikembangkan terus. Arah untuk mencukupi kebutuhan sendiri bagi organisasi harus dijadikan tujuan yang penting, arah yang penting, melalui dana juang dan unit usaha organisasi.

5.                  Manajemen
Yang harus dipelajari dari manajemen terutama tentang manajemen Gerak dan Waktu (Motion and Times Study). Agar lebih peka melihat transaksi-transaksi kerja beserta  variabel-variabel kerja apa yang harus dikerjakan dan diatur. Prinsipnya adalah: setelah ada penetapan strategi-taktik, harus ada pengaturan bagaimana mencapainya, bagaimana melaksanakan dan mengatur waktunya. Hasil akhirnya akan seperti jadwal (schedule) kerja beserta personilnya. Kolektif harus peka bahwa, untuk mencapai tujuan tersebut dan untuk melaksankan strategi-taktik tertentu, pekerjaan apa saja yang harus dilaksanakan (dari yang paling rumit sampai sederhana), siapa-siapa saja yang mengerjakan, dan bagaimana jadwal waktunya, serta kemudian diatur menjadi pekerjaan yang bisa dijalankan. Yang terakhir, bisa diketahui mana yang harus dikerjakan secara bertahap, dan mana yang harus dikerjakan bersamaan.

6.                  Advokasi/pembelaan
Pekerjaan advokasi atau pembelaan terhadap masalah-masalah rakyat sehari-hari (di luar program 3 bulanan) bisa menjadi pintu masuk (meraih simpati) massa agar massa bisa masuk ke dalam wadah-wadah pengorganisasian kita, sehingga bisa terjangkau oleh kerja penyadaran kita. Masalah-masalah rakyat tersebut misalnya bila ada massa yang sakit (dan memerlukan pengobatan gratis), bila ada massa yang mau menyekolahkan anak-anaknya tapi tidak mampu (karenanya membutuhkan pendidikan gratis atau diperingan), bila ada massa yang kesulitan mengurus surat-surat di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota dan lain sebagainya (sehinga perlu didampingi dan diberikan penyadaran hukum), bila massa tidak berhasil mendapatkan manfaat dari program-program yang (sebenarnya) telah diberikan oleh pemerintah tapi di lapangan tidak mencapai sasaran (program BLT, konpensai gempa, misalnya) (sehingga membutuhkan arahan dan mobilisasi untuk menuntutnya), dan lain sebaginya. Namun, secara ideologis dan politik, pekerjaan advokasi juga mengandung bahaya: 1) organiser atau organisasi yang mendampinginya oleh massa akan dianggap sebagai dewa penolong; atau massa tak punya kesadaran akan kekuatannya sendiri. (oleh karena itu, massa juga harus diberikan pelatihan advokasi agar bisa mengadvokasi dirinya, keluarganya, teman-temannya dan masyarakat lingkungannya); 2) massa menganggap bahwa bila sudah diadvokasi maka persoalannya sudah selesai; massa tidak menganggap bahwa masih banyak (potensi) persoalan yang akan menimpa rakyat miskin; 3) massa tidak sadar bahwa hanya persoalan dirinya saja yang diselesaikan, hanya persoalan anggota (SRMK saja, misalnya) yang selesai, sedangkan persoalan massa di teritori lain, persoalan massZa yang bukan anggota (SRMK) tidak bisa diselesaikan—apalagi bila capaian atau metode-metode perjuangannya tidak tersebar secara luas sehingga massa dari teritori lain dan anggota organisasi lain  tidak bisa belajar dan mengambil hikmah dari hasil perjuangan (SRMK, misalnya) (apalagi massa yang tak berorganisasi); 4) ini yang paling bahaya: massa, organiser, dan organisasinya, menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian, kebaikan atau keberhasilan program pemerintah. Massa, organiser, dan organisasinya tak sadar bahwa keberhasilan tersebut adalah buah, panen, dari program-program menuntut/radikalisasi massa. (Misalnya, DepKes atau Pemda bisa mempermudah advokasi kesehatan SRMK karena mereka sudah tahu radikalisasi SRMK yang dilakukan sebelumnya; banyak organisasi atau individu yang tidak seperti SRMK, kesulitan melakukan advokasi. Bahkan, sekarang, dari laporan oragnisernya, anggota-anggota SRMK sendiri mulai dipersulit melakukan advokasi di beberapa rumah sakit; contoh lain: dalam film SICKO, karya terbaru Michael Moore, yang dilarang diperkenalkan perdana (launching) di Amerika Serikat, dijelaskan bahwa banyaknya layanan publik yang diberikan pemerintah kepada warga Prancis adalah karena warganya sering menuntutnya. Sebagai contoh: bahkan bila warga Prancis dan keluarganya kerepotan mencuci pakaian mereka, maka mereka bisa meminta Pemda setempat untuk datang mencucikannya, gratis); 5) dengan demikian, massa tidak mengerti tentang arah revolusi dari perjuangan sehari-harinya; hanya jadi penadah kebaikan pemerintah, kacung pemerintah, atau pekerja sosial saja.

Demikian pekerjaan-pekerjaan menuju aksi tiga bulanan. Keseluruhan kerja tersebut saling terkait dan menjadi bagian tak terpisahkan dari konsepsi radikalisasi tiga bulanan, dan bukan sekedar jadwal aksi tiga bulan sekali. Aksi tiga bulan ini setahap demi setahap harus meningkat. Walau tuntutannya sama, tapi isi, kwalitas, radikalisasi dan jumlah mobilisasinya harus  ditingkatkan. Dan harus menjadi program multi-sektor dari tingkatan teritori yang paling rendah sampai tingkatan teritori naional/internasional. Harus bergabung. Supaya psikologi perjuangannya lebih bagus. Misalnya kepercayaan diri massa meningkat karena ada sektor lain yang terlibat, karena kekuatannya besar. Oleh karenanya, menyertai pelaksanaan radikalisasi tiga bulanan tersebut, harus ada lembaga tambahan, yakni LEMBAGA GABUNGAN ANTAR-SEKTOR MASYARAKAT (beserta rapat-rapatnya), yang di dalamnya ada perwakilan tiap-tiap sektor masyarakat. Juga, selain ada rapat regular di tiap sektor dan antar-sektor masyarakat; dibutuhkan juga pertemuan konferensi-konferensi stratak, yang reguler dan meluas baik di sektornya sendiri maupun dalam gabungan antar-sektor masyarakat, untuk mengatasi hambatan-hambatan dan terobosan perjuangan, baik dalam hal strategi–taktik sektoral, antar-sektor maupun antar-teritori.

Dalam hal organisasi, radikalisasi tiga bulanan tersebut juga merupakan metode terstruktur yang perlu dikaji dan dicoba untuk dijalankan, dalam upaya menjawab persoalan kecilnya organisasi. Dalam situasi subjektif organisasi yang kecil, baik organisasi kita (maupun organisasi lain), akan lebih sulit untuk membangun kekuatan politik alternatif, walaupun secara objektif perlawanan rakyat meluas di mana-mana. Kecilnya organisasi harus diatasi, tidak boleh dihindari dengan kapitulasi (menyerah) kepada organisasi non-alternatif, karena hal tersebut adalah pokok. Hal yang pokok bagi revolusi, sesulit apapun, harus terus dikerjakan dan harus dicari kemudahan-kemudahannya, oleh kaum revolusioner sendiri. Begitu menghindari yang pokok, maka seketika itu juga tergelincir dari arah politik alternatif, dari arah kemenangan rakyat, dari arah revolusi.



[1] Misalnya tuntutannya masih reformis, masih dalam hal kepentingan mendesaknya, karena memang kesadaran dan kwantitas massanya belum memadai.
[2] Namun kita harus hati-hati: jangan samapai kita seperti dewa penolong di mata rakyat. Karena itu, dalam perjalanan pengorganisasian, kita harus dengan sabar membimbing, mendampingi rakyat agar mereka sendiri bisa mengadvokasi/membela dirinya, keluarganya, tetangganya, teman-temannya atau massa lainnya—bahkan setelah kita bisa mengadvokasi rakyat, kita dengan santun memohon agar rumahnya bisa dijadikan posko advokasi, apalagi bila dirinya pun bisa diyakinkan menjadi pekerja poskonya.
[3] Inilah (hanya) contoh sebagian hal-hal yang harus diketahui dalam investigasi program radikalisasi tiga bulanan untuk mengetahui kesiapan perjuangan massa (kita bisa berkreatif menemukan hal-hal yang harus dipertanyakan dalam investigasi sesuai dengan sektor, situasi dan kondisinya): 1) apakah anda punya pengalaman memperjuangkan tuntutan mendesak anda?; 2) bila ya, apakah berhasil atau tidak?; 3) bila berhasil/tidak berhasil, kenapa; 4) bila tak pernah berjuang, mengapa?; 5) apakah anda sekarang berkehendak berjuang atau tidak?; 6) bila ya/tidak, mengapa?; 7) menurut anda, apakah berjuang bersama itu ampuh atau tidak?; 8) apakah agama anda melarang untuk berjuang bersama?; 9) apakah anda menjadi anggota organisasi massa atau partai politik?; 10) apakah organisasi anda melarang atau menghambat perjuangan bersama?; 11) apakah anda puas dengan kinerja negara (pemerintah; DPRI, DPRD I/II, polisi/tentara, peradilan dan sebagainya)?
[4] Lihat Lampiran I: tentang demokrasi langsung yang pernah dipraktekan di Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil.
[5] Sebenarnya manusia (terutama yang sudah lepas masa bayinya) tak memiliki instink seperti binatang; paling-paling saat bayi, ketika dia lapar, dia akan menangis atau mencari buah dada ibunya (itupun setelah diajari). Manusia sepenuhnya merupakan bentukan (dialektika) dari luar dan dalam dirinya, bukan bentukan dari instink.
[6] Maknanya positif, dalam arti: dicintai/didukung rakyat.
[7] Petugas yang ditunjuk biasanya adalah kawan yang sabar (tidak temperamen atau tidak cepat marah), santun, ulet, pandai menjelaskan (retorikanya rapi/sistimatis dengan kalimat pendek-pendek), pandai dan rajin berkomunikasi, dan lain sebagainya.
[8] Walaupun kita harus berjuang mati-matian mempropagandakan program dan tuntutan kita, tapi kita tidak boleh memaksakan kehendak agar kelompok atau pihak lain selalu harus mengikuti program atau tuntutan kita saja; kita boleh saja menerima program atau tuntutan kelompok atau pihak lain, selama program dan tuntutannya tidak bertentangan, kontradiktif atau kontra-produktif terhadap perjuangan kita. Kalau kita memaksakan kehendak kita saja maka tujuan untuk membesarkan jumlah massa yang dimobilisasi akan sulit dicapai dan, selain itu, upaya untuk mengkondisikan agar atmosfir politik semakin tinggi, sering, dan meluas akan menjadi sekadar impian; bahkan, dalam program radikalisasi tiga bulanan, sesekali kita harus menjadwalkan mobilisasi massa kita dengan program atau tuntutan yang disepakati bersama dalam front (apalagi bila isssuenya memang mendesak atau penting). Tujuan dari taktik ini, yang paling utama, adalah: dengan taktik ini  mobilisasi massa akan menjadi lebih besar, terjadwal dan rapi dan, dengan demikian, maka wibawa serta popularitas front bisa ditingkatkan dengan segera. Akibatnya, bila wibawa dan popularitas front bisa terlihat semakin meningkat (dalam prosesnya), maka kelompok dan pihak lain yang sebelumnya belum tergabung dalam front bisa dengan lebih mudah diajak atau secara sukarela bergabung. [Bahkan kelompok atau partai yang bertujuan memperoleh dukungan suara dalam pemilu, sebenarnya tidak boleh sektarian menganggap bahwa mobilisasi front yang tidak bertujuan untuk politik pemilu (elektoral) tidak memiliki manfaat untuk meningkatkan dukungan suara (apalagi bila kelompok dan pihak yang tergabung dalam front menolak terlibat dalam pemilu); bagaimana mungkin partai tersebut bisa merubah pendirian kelompok/pihak lain dan mendapatkan dukungan suaranya bila tidak pernah berjuang bersama mereka dan bergaul dengan mereka, apalagi bila dalam keadaan kesadaran GOLPUT semakin meningkat dan meliputi massa yang demikian besar. Pemikiran sektarian tersebut adalah cermin dari filsafat IDEALIS dan cara berpikir LOGIKA FORMAL; tidak mungkin telur bisa berubah jadi anak ayam bisa tidak dierami atau tidak ada panas tertentu yang mempengaruhi/bersentuhan dengannya.
[9] Jalur-jalur penting tersebut termasuk: Senen – Kramat – Salemba – Matraman – (Tugu) Proklamasi – Pramuka – Jatinegara – Kampung Melayu – Casablanca – Otista – Dewi Sartika – Cawang – Cilitan – Gatot Subroto – Kuningan – Warung Buncit – mampang Prapatan – Sudirman – S. Parman – Bunderan Slipi – Pal Merah – Petamburan – Tanah Abang – Kampung Bali – Grogol – Daan Mogot – Roxy.

KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA : Korespondensi Cina Di Hindia Belanda 1865-1949

Korespondensi Cina Di Hindia Belanda, 1865-1949 SIEM TJONG HAN, M.D . Artikel ini merupakan upaya untuk menggambarkan beberapa aspek ...